Data buku kumpulan puisi
Judul : Sripah
Penulis : Budhi
Wiryawan
Cetakan : I, Oktober
2009
Penerbit : Berdikari
Publising, Yogyakarta.
Tebal : 120 halaman
(103 puisi)
ISBN : 978-602-95702-0-5
Editor : Tedi
Kusyairi
Desain cover :
Mahendradewa
Layout : Tedy
Kusyairi, Mahendradewa
Prolog : Fajar
Suharno, Harry Leo AER
Catatan Akhir :
Latief Noor Rochmans
Beberapa pilihan puisi Budhi Wiryawan dalam Sripah
Srinalendra
maka selesailah tugasku mengantarkan
surat
setelah kutemukan alamatmu di bibir
sarang semut rangrang
di atas pohon yang lebat, jauh dari
orbit terbang kunang-kunang
sejak bersembunyi di tempat yang tinggi
itu, kau berdiam
memagut sepi, memunguti serpih
jentik-jentik belalang,
sepimu menggoda, jauh di tepi bising
keluh kesah,
orang-orang yang suka bernyanyi dan
menutup jalan
sambil membawa spanduk berisi kecaman
sampai suatu saat tahun menua
jambangmu menjadi belukar
menutupi seluruh pipimu yang pucat
lalu laku yang kau susuri ke rumah
pendeta
mentasbihkan dirimu dalam pemandian
bulan
rindumu pada kesendirian adalah
lelah anak kuda di padang sabana
kau adalah lelaki yang tekun menunggu
panggilan
yang akhirnya bersedia menghadapi
kekalahan
2008
Srimpi
kakimu melayang di atas anyaman tali
bambu
terbang jauh dalam bidikan teropong.
kau mengelayut di
langit biru
warna yang kau sungging di belahan
dada, menyembul di
jaritmu
betis-betis padi menguning, langkah kau
hentak pelan, hilang
di kabut
korneaku, terasah di lingkar pendapa.
aku mengagumimu
pada jiwa yang
ingin menunggu dalam lama arloji atau
kesabaran yang
menjanjikan
kau burung tak bersangkar emas, tapi
lautmu biru
menghanyutkan.
pupil mataku yang rabun tetap kuasa
memandangimu dalam
takjub malam.
di penghujung setiap kau tinggalkan gores senyum, seperti
lipatan gunung yang dirimbuni hutan pinus. aku mencarimu
terus dalam dingin dan pekat
malam. tak jemu menunggumu di pringgitan, lepas penat
tanpa pengawalan
2008
Matinya Raja Ketoprak
jurit malam mengelilingi segi empat
wilayah kampung
burung malam terpekur, lidah bulan
menyala,
di pertengahan lakon, penonton histeris
ketakutan
mereka menutupi satu matanya dengan
sapu tangan
satu matanya lagi jatuh di tanah lapang
poros tobong
layar diturunkan, lampu sorot menyala
panas
gamelan redup, juru keprak patah tangannya.
orang tahu ia telah lama berkelana dari
kota satu
ke kampung yang tak berpenghuni, makan
asin garam
dan cukayang tidak lagi terasa getirnya
malam itu ia gagah dengan surjan
keprabon
di mimpu pun ia sering menjadi raja
sungguhan
sungguh pun dalam batin, ia menangis
dalam tawa
semua lakon sudah habis dilahapnya,
hingga suatu ketika
tak ada lagi peran untuk laki-laki ini
esoknya, bendera putih menancap di dada
kanannya
2007
Slendro
temani aku menari di rumput basah,
wahai kaki padi
salsa dalam hentak kaki kuda, gairah di
pucuk cemara
yang limbung di pembaringan anak-anak
sembrani
rindukan golek menak, saat pendapa seni
tanpa wiyaga
ribuan tahun ketika bunyi dilantunkan
di sayap mega
petir membagikan laras, menelusup di
ladang-ladang petani
bunyi sunyi yang menguliti bulu lembut
tangan kita
biarkan menari di atas bilah-bilah
perunggu yang terkulai
jangan salahkan anak kita,
jika mereka berbagi peta
karena desir suaranya dihantam badai
akhirnya menepi di pantai tak
berpenghuni
2008
Mesin Kupu-Kupu
(menyusuri lekuk penjahit kebaya di
Pasar Bantul, 1990)
berlembar jarik, panjang tangannya
menggamit
benang basah mencari jalan ke lubang
kancing yang sempit
tangannya bergelombang urat kering, tak
ada bau lotion
kecuali minyak pekat mengguyur sekujur
badan
sejak pasar berarak bambu
dan los becek penuh lumpur, larut buih
tembakau kedu
jari-jarinya lelah memutar bibir bulat
mesin kupu-kupu
ia menyedu gunting dalam garis dan
aksen yang lugu
dari kebaya hingga baju koko tanpa saku
cucu simbah lebih lekat dengan celana
koboi
jagad sinjang telah digunting menjadi
bikini
baju koko ustad hasan pun buatan
konveksi
seonggok aurat telah tergadai di papan
ini
riwayat kota tua adalah sejarah
rumah-rumah mode
tak ada tawar menawar kecuali kekalahan
atas beban-beban ide
2008
Tanpa Anak Kata
aku mencintaimu, karena kau anak kata
demikian rajin membangun kalimat,
sehingga rumah kita penuh berkah
menghidupkan yang mati menjadi cahaya
memancarkan yang redup menjadi lentera
aku mencintaimu lebih dari sekedar anak
kata
karena kuyakin tiap malam, malaikat
meronda kemari
kutahu. jika setiap ketulusan harus
dibuktikan dengan matahari
berapa panjang mistar mengitari lekuk
tubuhku
selalu kubangunkan masa laluku yang
membatu
agar berganti menjadi cahaya yang
berbinar
aku mencintaimu, sudah barang tentu
mengalahkan seluruh pantul cermin
yang memaki-maki, mengejekku dengan
giginya yang pongah
aku mencintaimu, dan sekali lagi
mengharapkanmu
lalu menjauhi mimpi yang telah meracuni
syaraf-syarafku
2007
Sripah
/1/
kau dekati cahaya, hijau menyobek alis
putihmu
tulang kering, jahitan kerangka tua
berbunyi
berlagu bersahut birama tapi bukan
penembrana
gigimu hitam, sudah lapuk pula,
perempuan menghindar
oi, angin tua lesat di atas buritan
kapal
camar menepikan sehelai bibirnya, jatuh
di pasir putih
kau menyedak pasir, menenggelamkan
kerongkonganmu yang
kosong
oi, tali layar berderai, layang-layang
putus siripnya
lagu di kedalaman laut nyaring kau
dengarkan
maut, sebentar sudahi pertemuan.
burung-burung memanjatkan doa, awan
begitu lantang
sakaratul menyobek angkasa kampung tua
perahu-perahu berbaris, menunduk
memberikan salam
tidurlah wahai penggalan pantai, seribu
tahun tidurmu
/2/
rindu-rindu ikan, telah diobati dengan
kenduri petang
dan anak-anak tanpa baju mengambil
sesajen
rindu-rindu yang dihindari para tetua,
menyedu kopi
dalam lamunan malam, takut ditinggal
sendirian
merawat para renta, mengembalikan
asupan dongeng
tangan anak-anak tak berbaju basah,
kitari tempayan
berebut mengendus air, tangannya dipautkan
dengan bibir
perahu
perempuan-perempuan berendam di dapur
gulai ingkung ayam, menyebar di mulut
ikan
susah dan sedih yang dibangun oleh
gelombang
tak cukup untuk membayar kabarmu yang
kusam
/3/
airmata yang direndam di kuali larutan
kapur
memutihkan giginya, tubuh lindung
menggeliat
minta asupan kemenyan dan bunga mawar
di tampah warna bulir beras menguning,
lendir di bibir ikan tumpah di anglo
merah
ruwat atas segala jasad, menepi di
kediaman angin
: dilarung di manapun ombak tetap menerima
jawaban atas ruh yang berkhidmat di
gumuk-gumuk pasir
/4/
oi, sudah tinggi matahari mendirikan
pagar
berlindung ikan-ikan kecil, tubuhnya
tak terbaca
oleh pukat, dan semilir angin
mengangkat pembaringan
menidurkan para bujang yang takut
menyentuh gincu
lalu perkampungan ikan membayar
utangnya pada
tetua, leluhur pantai yang tak disebut
lagi dalam syair
remang-remang, yang keluar anak-anak
tak berbaju lapang
oi, jangan tinggalkan garis gerimis
ini, para tetua marah
disambarnya puluhan genting tanah, dan
rumah bergerak
pohon pisang menunduk seperti unta, tak
ada lagi buah ranum
kecuali upacara pemaafan, mengambil
alih hati yang berutang
: pekat menyayat langit hitam mendung
menggantung kuat
rahasia yang ditiriskan di
tampah-tampah luas, menguap bau asin
2008
* sripah = kematian
Gemulai Perempuan Pundong
siku bagian dalam tangannya lancip
menyerupai segi tiga sama kaki
kakinya berisi seperti bulir padi,
dadanya yang tegak berpeluh dengan daki
yang melunturi
adonan donat tanah liat, meliuk bak
penari srimpi,
jadilah vas bunga yang melankoli,
mau dipajang di tempat manapun, ia tak
peduli
perempuan bergingsul tajam itu,
sesekali suka menyanyi, meski hanya
hafal tembang loro
bronto,
ia memang lagi jatuh cinta pada lelaki
kota
yang memesan buah tangannya,
tapi ia ragu, sejatikah cinta seseorang
juragan mlegedu itu dengan gadis ndeso
seperti dirinya?
adonan donat yang lengket di tangannya
menangis karena lama dibiarkan
teronggok di sudut jogan,
ia melamun, pandangannya menumpuk di
larik-larik
vas bunga yang ayu tapi tak berparfum
itu
perempuan itu kemudian menepi,
sepenggal baris tembang lirih
berdengung
/ora kaya wong kang lagi wuyung/
menguap dibawa burung prenjak
ia terkulai di samping jambangan,
wajahnya pucat seperti kapas,
perempuan itu pingsan,
sejak pagi perutnya baru terisi air
kendi
Jatuh
tubuhku mematung, suara lindap jatuh
dari atap
kakiku terpancung, suara lindap jatuh
dari plafon
tanganku buntung, suara lindap jatuh
dari sirap
telingaku lepas, suara lindap jatuh
dari pohon
jantungku bocor, suara lindap jatuh
dari gunung
mulutku busuk, suara lindap jatuh dari
tangga
mataku rabun, suara lindap jatuh dari
loteng
alisku tercabut, suara lindap jatuh
dari meja
tubuhku dan seluruh jasadku berada di
bawah
ketinggian-Mu yang bersahaja
2008
Kaki Bunda
tempat yang keramat bersembunyi luka
adalah kaki bunda yang berongga goa
bertahun kerikil menusuk sembilu di
hatinya
dari sarapan yang terlanjur siang
dan hari-hari yang dikejar-kejar jajan
lauk
menutupi vena merontokkan ruas jari kaki
hidup seperti ditimbun badan gunung
yang tebal
tempat yang lenggang bersembunyi duka
adalah rambut bunda yang merenda warna
bersemayam sejuta nikmat dalam kilatan
masa
meski tak ada baju yang sempurna
melilit pinggang hingga bahunya yang
membatu
menyulam rintihan menjadi kesanggupan
untuk menaklukkan karang menghalau
rintang
2007
Message from God
//aku menciptakan kegelisahan agar
engkau merenungi
setiap hembusan oksigen menjadi berkah
yang
membasahi
taman bunga dan kemudian kau selipkan
di setiap
hembusan karbondioksida,
jadilah engkau bersuku-suku dan saling
membutuhkan
di antara kalian agar jangan saling
bermusuh-musuhan//
2007
Hujan Sajakmu Biru
hujan sajakmu biru berselimut kristal
menyala
di antara langit dan kelam cahaya, kau maknakan
batas perjalanan yang goyah dengan
tongkat bersayap
lautan sajakmu bermandikan kilat biru
menyala
lantai pesolatan yang kau bangun dari
embun
menetes di lingkar leher, kening yang
menyala cahaya
memompa kumparan doa menjadi trafo
penggerak
yang memutar di sekeliling batas yang
tak lagi koyak
hujan sajakmu biru berputar-putar di
kamar tidur malaikat
2007
Kutembus Misterimu
dari dalam hujan aku curi suara hening
yang bersarang di dalam membran,
engkaukah wajah yang hening dan beku
itu?
di atas hujan aku curi suara senyap
yang berlindung di balik atap
engkaukah wajah yang hening,
kontemplatip itu?
lapisan sel yang kubuka dengan lazuardi
adalah kau juga yang membalikkan
telapak merah
rajah yang digambari garis lurus
beraturan
engkaukah yang menyimpan puluhan lembar
fosil
misteri dari ruang keniscayaan
Bantul, 2007
Kerongkongan Api
arak yang kau tenggak di telak keringmu
katamu energi pembangkit rindu
yang kian lama lupakan kesepakatan
antara kau dan tubuh-tubuhmu yang
berlayar di tepian
katamu surga adalah hedonisme yang
tertunda
tidak lebih dari panggung sandiwara
yang menganga
ada saat tertawa yang dikepung
kesenyapan
di gelap kamarmu yang ditumbuhi dahan
dan jati hutan
sejak kau mulai mengingkari hakekat
cinta
segala hidup yang kau mau adalah
permainan
cakrawala yang ditinggalkan fatamorgana
berakhir di gelas sunyi kerongkongan
2008
Srimartani
rindu sawah ladang di awal pesta
wiwitan, rindu bunga karuk
dan rimbunan kapuk randu yang
terbangkan sisa pakan anak
prenjak,
rindunya baju pagi, menerawang mantel
musim tua, adalah
kangen anak kambing
yang menetek belanga coklat, mengitari
pematang liat, bak
opera di panggung dewi sri
air terjun bukit duri, dan pinggang
bukit gamping,
menenggelamkan hati perih pedih
kala perawan tak cukup usia menarikan
srimpi dalam kilatan
lampu yang membakar pipi merahnya.
hinggaplah kumbang yang selekasnya
tertidur di pucuk duri
surga ada di ladang singkong,
penggembala memainkan
cemeti dengan lepas
tanpa kendali pusaran angin, yang
melempar batang lengan
mereka ke tepian sungai.
berhentilah menunggu puso, kabar dari
atap, panen
menyembulkan asap
2008
Penggali Kubur
hari ini cangkul-cangkulmu menari
lusa kau menatapnya di atas gelap
di muka persembunyianmu,
di dalam lorong mimpi-mimpi panjangmu
2008
Di Jalan Keabadian
(untuk mas Hadjid)
di batas jalan tiada bertepi engkau
menidurkan bulan
pada persimpangan abadi yang disapu
mendung sore
kelabu
di kain putih tak bermotif itu engkau
tinggalkan senyum
pada 12 pagina yang tak sempat lagi kau
baca
di ruang perpustakaan Tuhan
engkau tak lagi ada di persimpangan
tapi di jalan pasti yang menebarkan
kehangatan
dari ribuan hari yang tak lagi diburu
oleh deadline
di antara tumpukan ribuan rim kertas
putih,
mesin tik, dan ratusan kertas karbon
yang tiada lagi terbaca titik dan
komanya
(di meja sebelah
arie, niesby, linggar, minuk
membawakanmu sajian terakhir gudeg Yu
Siyem)
Depok, Desember 2007
Penopeng Krebet
sejak menjadi kapur, tanah liat itu
menyingkir
menenggelamkan hutan jambu yang berarak
dan di saat metamorfosis terakhir itu
pula, mereka
meradang
lengan puluhan lelaki dewasa berubah
menjadi batu,
berkubik bongkahan kayu diubahnya
menjadi wajah-wajah
mereka
yang pasrah, yang ngungun,
namun wajah-wajah itu menyimpan lava
yang menyala
para penopeng krebet itu lahir
dari fragmen di persimpangan
mataram-mangir
kaki-kaki mereka berjalan di atas
pusaran jaman
hingga tertambat di kumparan kerak
peradaban
para penopeng krebet itu berlari
mengejar wajah-wajah mereka yang
terpahat
di bilahan warna-warni kehidupan baru
ruang hampa udara, yang terasa asing
dan
membingungkan
(wajah-wajah mereka terpasang di
etalase
yang tersembunyi di balik kerumunan
pasar)
Titian Alit
adakalanya aku enggan meneriakkan
keletihan
atas kedunguan yang berkobar-kobar di
bilik otakku
adakalanya angin mematikan api yang
kupiara
di gelap kamar kepompong
adakalanya mata melayang disambut
taring elang
rindu yang retak anak-anak bercelana
monyet
menipiskan kulit ariku, kelak tinggal
gajih menganga
seluruh yang berkemampuan padang, ada
pada
jendela bulan yang membacakan dongeng
untuk anak-anak yang lapar kasih sayang
haus buku bacaan yang kering kerontang
membaca titian bambu yang kau pasang
di pinggir jurang dangkal, janganlah
oleng
menggapai tiang pohon aren, jalan lewat
anak-anak kita sekolah ke kota
2008
Tentang Budhi Wiryawan
Budhi Wirwawan
lahir di Bantul, 8 Februari 1964. Pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Tambang
UPN Veteran Yogyakarta, Teknik Geologi STTNAS dan IESP Universitas Terbuka.
Pernah berkhidmat di Teater Laskar, Sanggar Kereta, Paguyuban Teater Bantul,
Masyarakat Seni Bantul dan Komunitas Seni Bantul. Karir jurnalistik, menjadi
koresponden SKH Kedaulatan Rakyat (1982), SKM Minggu Pagi (1989-1995), dan 4
tahun bergabung di jaringan radio lokal pendidikan untuk demokrasi UNISCO di
Radio Persatuan Bantul. Puisinya tersebar di berbagai media cetak dan antologi
puisi bersama. Sejak 2003 hingga buku ini terbit (2009), bekerja sebagai
komisioner KPU Kabupaten Bantul.
Catatan Lain
Ada empat foto
berikut komentarnya di sampul belakang buku. Pertama dari penyairnya sendiri,
yang mengutarakan bahwa membukukan “Sripah” merupakan niat dan obsesi ybs untuk
mendokumentasikan perjalanan kesastraannya yang relatif minim itu. Kemudian ada
Penggiat Sastra & Teater, Budayawan, Fajar Suharno; Ketua Komunitas Seni
Bantul dan Sanggar Kereta, Bardikari Jatmiko; dan Redaktur Pelaksana Minggu
Pagi, Latief Noor Rochmans.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar