Data Buku Kumpulan Puisi
Judul:
Kalung dari Teman
Penulis:
Afrizal Malna
Penerbit:
PT Grasindo, Jakarta
Cetakan:
I, 1999
Tebal:
x + 158 halaman (85 puisi)
ISBN:
979-669-547-2
Kata
penutup: Dami N. Toda
Penyunting
penyelia: Pamusuk Eneste
Penyunting
naskah: Djony Herfan & Tri Marganingsih
Desain
Sampul: A. Kunta Rahardjo
Perwajahan
isi: Suwarto
Beberapa pilihan puisi Afrizal Malna dalam Kalung dari Teman
Tanaman Tahun
Satu dua orang datang satu dua orang
pergi
Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan
sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang
pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan
ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang
pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
Di situ
1983
Karikatur 15 Menit
Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-
raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit
berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting
dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari
es. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio
foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik
lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk
dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti. Tak ada lagi
peristiwa untuk dipotret, karena setiap 15 menit orang
jadi karikatur.
Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu
makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang
padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat
menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka
sampai mati.
1987
Arsitektur Hotel
Hotel sepi. Hotel mati. Seekor
burung dari kamar ke
kamar, menyileti cermin. Dan
batu-batu membuat
bangku, dan batu-batu membuat pintu,
dan batu-batu
membuat tamu. Dada. Telur-telur mati
mengisi hotel. Beri
aku orang.
Hotel mengubah orang-orang datang
jadi orang-orang
pergi, menyetir mobil sendiri,
menyetel radio sendiri,
memanggil burung-burung terbang,
menghias sunyi di
setiap telur. Maka, dada, kupu-kupu
bersarang jadi
pohon mati, burung-burung terbang
jadi bukit mati. Ia
bangun manusia pecah.
Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang
membuat sarang,
membuat telur. Setelah semua janji
dianggap tidak suci,
angin itu jadi hotel, semangka itu
jadi hotel, sapi itu jadi
hotel. Maka jendela-jendela hotel,
Dada, menunggu
semua yang pergi, menunggu semua
yang lari,
menunggu semua yang tak setuju.
Biarkan tamu-tamu datang. Dada.
Memecahkan telur
dari kamar ke kamar. Memecahkan
telur dari kamar ke
kamar.
1984
Dada
Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi
Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi
terbaring dalam tangan yang
tidur. Ingin jadi manusia
terbakar dalam mimpi sendiri.
Sehari. Semua terbaring
dalam waktu tak ada. Membaca,
Dada. Membaca kenapa
harus membaca, bagaimana harus
dibaca. Orang-orang
terbaring dalam
tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring
dalam pikirannya sendiri. Mengaji,
Dada. Mengaji.
Keinginan jadi
manusia, menulis dan membaca di tangan
sendiri.
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya
hidup, hanya hidup membaca
dirinya sendiri; seperti
anak-anak membaca, seperti
anak-anak bertanya.
Menulis, Dada. Menulis kenapa
harus menulis,
bagaimana harus
ditulis. Orang-orang menjauh dari
setiap yang
bergerak, Dada; seperti menakuti setiap yang
dibaca dan
ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa
membaca, menulis
jadi mengapa menulis.
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.
1983
Orang-orang Jam 7 Pagi
Lemari makan dan atap rumah, ribut
sekali semalam.
Sisa-sisa mie goreng seperti serakan
orang bunuh diri.
Tikus mengundang teman-temannya di
situ, membuka
lemari es, membayangi selokan got
pada irisan mentega.
Tak pernah kutahu kebahagiaan dan
kesedihan mereka:
Aduh! Ribut sekali kalimat seperti
ini. Lalu sikat gigi,
suara air kamar mandi, mulai membuka
pintu dan
jendela-jendela pagi.
Selimut masih membayangi sebuah
kota, bersama
bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di
atas kompor.
Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh
dari teras
rumah, bau sabun dan shampo pada rambut
basah. Suara
ribut di meja makan mulai berubah jadi asap
knalpot. Aku
adalah 3 km yang lalu dalam bis penuh
sesak,
menelusuri koridor-koridor yang menyimpan
betismu. Lalu
menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi
masyarakat,
pada telepon yang kau angkat.
Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam
kristal-kristal
vitamin C, lembar-lembar fotocopi:
tolong cumi kering
setengah kilo; minyak goreng satu
botol; bawang putih:
siapa yang telah menyusun pagi jadi
seperti ini?
Suaranya, seperti siaran berita yang
menggebrak meja.
1995
Usaha Menjadi Ibu Rumah Tangga
Aku pulang malam sekali. Istriku
terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum. “Tak
apa, kalau tak
ada siang di sini,” katanya. Aku
segera meletakkan tas.
Aku lihat matanya, sebuah
pemandangan baru saja
mendapatkan sinar. “Bisakah besok
kamu jadi ibu rumah
tangga,” katanya.
Pagi sekali aku bangun. Membereskan
seprai.
Memasak air. Memandikan anak.
Menyapu. Menyusun
pot-pot tanaman. Dan banyak urusan
lagi untuk menjadi
seorang ibu. “Telepon aku jam 12 siang.” Masakan apa?
Semuanya aku
kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke
kota lainnya.
Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan
kelinci di
dapur, pemandangan putih ketika membuat
susu. Hingga
aku hamil, melahirkan diriku sendiri,
membesarkannya.
Dan mengerti, kenapa ia memanggil
“ibu”
kepadaku.
Aku pulang malam sekali. Istriku
terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum.
“Kenapa kamu
menjadi seorang ibu seperti itu,”
katanya. Aku peluk
bahunya, seperti sebuah kamar,
dengan jendela
menghadap ke bukit.
1997
Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan
Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar
saja, kepalaku
satu kubik pasir. Tanganku 60 cm.
Permisi, berapa jam
berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu,
kakiku coklat,
seperti bangunan pemerintah. Berat
badanmu
bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku
satu kubik pasir. Ada saluran got.
Irisan daging di
wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu
keras? Seperti
kekuasaan. Kamu punya kebudayaan, ya?
Wajahmu
merah. Anda suka juice tomat? Maaf. Berat badanmu
siapa? Kakiku ada di situ, tolol! Please ... please. Temani
badanku. Jangan begitu. Satu karung
pasir untuk apa?
Sorry ... di mana berat
badanmu? Maaf, jangan pegang
hidungku. Kekasihmu mana? Wortel dan
buncis sudah
direbus. Permisi, sudah mendidihkan
air itu? Bulu kucing
di matamu lucu, ya. Beautiful. Pakai saja baju batik itu.
Nanti pacarku curiga. Jangan lupa,
namaku Ahmad!
Idiiiih, masa tidak pakai sabun? Aaaaaaa,
kok kupingnya
seperti itu? Maaf, pernah melihat
berat badanku? Mau
membuat esei, ya? Tentang
kebudayaan? Analisa politik
dan ekonomi, ya. Sakit, dong,
tanganmu.
1995
Fotokopi Orang Ramai
Tak ada lagi yang merasa perlu meniru
jadi hujan,
kalau tak siapa pun perlu berbeda.
Semua yang dilihat
telah mengenakan mantel, payung, dan
sepatu
berlumpur. Segala yang besar telah
tumbuh, meniadakan
arti pada hujan yang turun.
Selalu seperti itu peristiwa berlalu
melampaui saya,
seperti menanam batu di depan pintu.
Saya antar diri
sendiri ke situ, di antara orang-orang
ramai bergerak,
mengisi dekor-dekor kota yang bukan
miliknya. Melihat
hari seperti etalase menyimpan lenganmu.
Setiap saat saya harus meyakini
kembali di situ, setiap
benda yang bergerak di sekitar saya:
Meraba dinding,
memukuli tiang listrik, dan
mendengar dentang jam
hanya untuk tahu: Di situ orang
datang menuju dirinya
sendiri, seperti menuju ke sebuah
daerah yang telah
lampau.
Saya orang ramai yang ditulis oleh
peristiwa di situ,
telah jadi bahasa yang menafsirkan
dirinya kembali,
ketika jalan raya menjemputnya
pergi.
1987
Jam Kerja Telepon
Ini bicara dengan Merlin. Saya
Merlin. Tetapi Merlin
tak ada di mana-mana. Merlin sedang
jadi bintang.
Merlin sedang jadi bintang. Saya
ciptakan orang-orang
dari obat tidur. Tetapi suaramu
parau, Merlin. Saya
menelanjangi diri sendiri, seperti
menelanjangi dunia
yang minta saya jadi Merlin.
Tetapi Merlin tak ada di mana-mana,
seperti dunia tak
ada di mana-mana, seperti orang tak
ada di mana-mana.
Merlin telah jadi pamflet dari
keinginan jadi manusia.
Tolong sambungkan saya dengan dunia
mana pun,
Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin
tak ada di mana-mana.
Merlin sedang jadi bintang, mengubah
dunia jadi obat
tidur. Kau menangis, Merlin. Saya
menyaksikan orang-
orang lahir dari telepon. Mereka
memaksa saya jadi
Merlin. Mereka memaksa saya jadi
Merlin. Dan saya
meneguknya dalam putaran: Pil!
Saya mencium bau busuk dari telepon.
Saya
kehilangan kontak. Saya tercekik.
Saya bukan Merlin.
Merlin telah jadi ibu, Merlin telah
jadi ibu, dalam TV-TV
merah kuning hijau biru dan sepi.
1986
Dalam Gereja Munster
Pintu tebal gereja Munster, melepaskan
tubuhnya di
tepi Sungai Rhein, di Basel.
Tiang-tiang meninggi,
membuat malamnya sendiri.
Kursi-kursi dingin,
membuat ruangnya sendiri juga.
Bukankah telah aku
tinggalkan rasa dingin itu, di
Schilthorn, bentangan salju
di puncak-puncak air terjun,
menurunkan sebuah kota
dari gumpalan-gumpalan es. Langit
putih kelabu telah
disalibkan dalam gereja tua itu,
lenganku terguncang.
Aku tersedu, bertamu padamu.
Masih ada donat di tangannya, jari
letih ungu, dan
peta lipat menjatuhkan batu-batu. Temanku hilang
dalam kesedihan: Selamatkanlah
mereka yang bercinta,
katanya. Lalu aku sentuh, bahunya
jadi tembok sunyi
bertuliskan: “Amis raus! – Pergi orang-orang Amerika!”
dengan huruf-huruf gemetar, di
gereja St Marien. Aku
tunggu lagi dia, di stasiun bawah
tanah. Tubuhnya hotel
yang sepi, poster, dan orang-orang
bergegas ...
Kereta telah disalibkan dalam gereja
tua itu, berderak
lagi. Membawa remaja-remaja
bercumbu, dan hari esok
putih menggumpal. Aku tersedu.
Lonceng-lonceng gereja
berdentangan lagi memanggilmu.
Sejak paskah itu, aku tahu, kita tak
perlu bertemu lagi ...
Kursi telah malam. Piring telah
malam juga.
1993
Makan Malam Bersama Ama dan Ami
Ama dan Ami memesan rendang. Saya
memesan gulai
tunjang, satu gelas teh manis. Di
luar, gerimis memotret
kota Padang. Seperti kereta batubara
berjalan sendiri,
membuat lembah dari rel-rel besi dan
gerobak sapi. Tak
ada partai sosialis dan Masyumi di
sini, juga seorang
kemenakan yang hilang di kaki lima.
Edy sedang
mencukur bulu hidung waktu itu. Noni
memasak telur
dadar. Tiba-tiba dua gadis kembar
berusia 5 tahun,
mengucapkan dialog-dialog peri dari
negeri Hamlet. Ada
es krim warna-warni pada tawa lucu
Ama dan Ami,
seperti tanah air yang lain. Mereka
memang pernah jadi
peri dalam pertunjukan itu, meramal
tragedi Hamlet, dari
kekuasaan paman dan ibu. Lalu mereka
berlari-lari kembali
ke masa kanak-kanakku, yang menunggu
di depan pintu.
Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama
dan Ami sedang
minum susu di pasar Bukittinggi, mengumpulkan
bangkai-bangkai rumah dari Kota
Gadang: “Para
perantau itu,” kata ibuku, “seperti
rumah-rumah Minang
yang menusuk telapak kakimu.” Lalu
seekor anjing
berlari dari ujung jalan, seperti
negeri berada dalam
bahaya perang PRRI. Tahu, politik
tidak ikut campur
mengatur kamar mandi saya.
Tetapi tutup pintu itu!
Angin dingin di Padangpanjang, kabut
dalam sorotan
lampu senter, membuat Ama dan Ami
gaduh dalam masa
kanak-kanakku. Mereka memakai sepatu
ayah, memakai
topi ayah, memerankan Hamlet yang
terusir. Kamar
hotel, yang berdiri di depan
kantormu, Edy, gemetar,
memotret negeri ibu sendiri lewat siaran
radio.
1994
Jamal Menari
Jamal menari. Tangannya gemulai,
seperti bunga
dirangkai seorang gadis. Tetapi
matanya penuh pecahan
telur: “Inlander dilarang masoek,”
katanya. Ada yang
bergerombol di luar sana.
Konservatif. Tubuhnya cairan
otak dalam botol, dan semacam minyak
tanah bercampur
air. Kemudian orang-orang asing
datang, mengajar
menari. Memasang pengeras suara di
gedung-gedung
pemerintah. Tetapi ketika aku mulai
menari, menabrak-
nabrakkan tubuh pada tembok, aku
lihat pengeras suara
pecah di atas kepalamu: Aku putus
asa untuk jadi orang
asing, juga putus asa untuk jadi
inlander.
Jamal, temanku dari Madura itu,
kemudian berdoa
dengan baju tebal yang gemetar,
seperti Abu Nawas
menghadap raja: “Yang mulia, aku
terlalu lemah untuk
jadi orang asing, tetapi juga
terlalu lemah untuk jadi
inlander.”
Di tengah pesta, dari orang-orang
yang merasa dirinya
pemberontak, aku kena diare.
Tarianku jadi kacau, seperti
pengeras suara yang pecah di atas
kepalamu itu:
“Inlander dilarang masoek”. Aku
bersumpah: Dunia
konservatif sedang memakan
jantungmu.
1995
Saya Menyetrika Pakaian
Dia adalah deru kereta .... Seorang
wanita Indonesia di
Bern, membuat bahasa aneh, dari
jaket kulit dan
pembebasan visa: “Suami saya seorang
Itali. Tetapi saya
dari Gunung Kidul.” Di Sungai
Melezza, batu-batu
berkaca menghanyutkan kembali
lukisan-lukisan Bacon,
jadi bangkai-bangkai rumah Abad 20.
Rasialisme telah
tertanam dalam warna kulitku. Dia
adalah sapi dan sepeda,
di antara gereja, kafe, dan
batang-batang rel kereta.
Perkenalkan, namaku Muhamad Amin,
dari Irak. Tapi
sebuah negeri telah membuatku hidup
hanya dari wortel,
body lotion, dan paspor yang
menyimpan keresahan para
imigran. Dia adalah seorang Jerman,
yang belajar
tersenyum dari tomat-tomat yang tumbuh
di balkon.
Danke. Revolusi Iran telah
mengusirku hanya karena
teater. Lalu para seniman menolak
setrikaan di Monte
Verito. Dia adalah ... tiba-tiba
ingin jadi makhluk danau
di Ascona. Mengirim bukit-bukit
berhimpitan, tanpa
Hitler, Madonna, atau si jenggot
dari Trier: Ini tembok
untukmu, Berlin, jangan sedih.
Tetapi bank-bank telah menanam
Suisse, di antara
kantor-kantor pemerintah, seperti
bunga di kamar mandi:
Siapa yang mau bunuh diri dengan
keindahan. Wi, wi ...
mari. Dia telah membuat sebuah
negeri dari perahu
penyeberangan, di sepanjang Sungai
Rhein. Tetapi di
sebuah pesta ulang tahun, dia adalah
sejumlah pelukan
bernyanyi ... oh, my papa ... “Namaku Lili dari
Madagaskar,” dalam bahasa Perancis
yang tercekik.
1993
Kalung
dari Teman
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
restoran
dengan seorang teman lama. Kami berusaha
saling
membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami
tetap
berada dalam kereta berbeda. Dari jendela kami
hanya
saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi
halaman?
Ada nomor teleponnya dalam kantong baju
saya,
sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu
seperti
binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai
kami
dari balik jendela.
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
waktu
di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa
yang
telah mati dengan cara begini? Pelayan restoran
meletakkan
lembaran nota di meja makan kami, tak
peduli
dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah
bangunan
baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai
dirimu,
seperti bahasa yang mengubahmu terus-
menerus.
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
di
luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman,
membuat
pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu,
meninggalkan
kami di peron yang sama. Tetapi matanya
seperti
ingin memanggil seluruh orang, ingin
membenarkan
dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin
melihat
air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari
genggaman
lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa
membuat
untaian kalung permata di leher kami.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya.
Menjadi
api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu
ikut
membakar kami berdua. Saya dan teman saya
menjadi
kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran
itu.
Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus
berkobar-kobar,
seperti tanaman api, yang sepanjang
masa
ingin kau padamkan
1997
Kucing Berwarna Biru
Sudah tiga malam ini seekor kucing
sakit, selalu tidur
di depan pintu rumah saya. Ia
mengeluh dan mengerang.
Suaranya seperti keluar dari rumpun gelap
di halaman
rumah. Kadang seperti makhlus halus yang
sedang
membuat perjanjian dengan pohon nangka
di halaman
rumah saya. Orang bilang kucing itu kena
teluh. Saya
mencoba mengusirnya. Tetapi kucing itu
menatap saya
seperti mata ibu saya. Katanya, dirinya
adalah roh saya
sendiri yang sedang sakit. Ia mohon agar
bisa tidur
dalam kamar saya. Saya tak tega mengusir
kucing itu.
Bulu-bulunya seperti kenangan saya pada
kasih sayang.
Malam berikutnya saya mulai terganggu.
Keluhnya
berbau darah. Ia mulai menginap dalam
pikiran saya.
Setiap malam, seperti ada rumpun gelap
dalam diri saya,
menyerupai kucing yang sakit itu. Suara
gaib di depan
pintu. Setiap malam, seperti ada pohon
nangka yang
berjalan-jalan dalam tubuh saya, menyerupai
kucing
yang mengaku sebagai roh saya yang sedang
sakit itu.
Akhirnya saya membunuh kucingitu. Menjerat
lehernya
dengan tali plastik. Matanya seperti
kematian yang
mengetuk kaca jendela.
Besok pagi saya temukan mulut, telinga
dan lubang
hidung kucing itu telah mengeluarkan
tanah, berwarna
merah. Rumput-rumput tumbuh di atasnya.
Saya lihat
ikan-ikan juga telah berenang dalam perut
dan tengkorak
kepalanya. Dan seperti seluruh surat
kabar, matahari
tidak terbit pagi itu.
1997
2 X 2 Meter
Di sini ada pohon
keramat, memancarkan air. Satu-
satunya sumber air bersih
di kampung ini. Anak-anak
menangkap
ikan . . . dalam lumpur.
Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan.
Tentang kota dan kampung yang padat.
Inem, Yana dan
Kunah, bekerja sebagai buruh jahit.
Cacuk menjual
bakmi. Jangan lupa selametan nanti
malam. Edy baru
lulus sarjana. Dedy tidak tinggal
lagi bersama orang tua.
Kuro tidak lagi mencari perempuan
dari desa. Besok, jam
8 malam, kami akan membuat
pertunjukan. Tentang
puskesmas di antara kubangan lumpur.
Sumbangan mesjid
dan setoran keamanan toko-toko. Ke
manakah Wardah
mereka bawa? Mulut kami seperti
massa di loteng-loteng
berhimpit. Langit dari seng dan
plastik bekas. Iwan dan
Firman sakit perut. Ada golok tumpul
di bawah bantal.
Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa
dibakar. Ketakutan telah
berhimpitan di setiap tikungan gang.
Orang-orang dari
desa terus datang ke rumah kami.
Tangga kecil dari kayu,
tempat memasuki kota. Besok, jam 8
malam, kami akan
membuat pertunjukan. Tentang
keputusan lurah. Di
kamar mandi masih ada sisa banjir,
dan iuran sampah.
Sepatu dan sandal berserak di pintu.
Bersama ibu-
ibu menggendong anak, sambil mencuci
baju-baju kotor,
sambil memasak sayur, sambil
memikirkan nasib suami,
sambil ke pasar membeli ikan asin.
Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa
digusur. Bau telur
digoreng dan bunyi kipas angin. Kota
terus melangkah,
ingin merebut kamar kami dan sisa
udara pengap. Nama-
nama kampung telah berubah dari
Tanah Sereal, Roxi,
Jelambar, dengan taksi ke Bintaro,
Pondok Indah dan
kondominium. Kisah kami tinggal 2 X
2 meter.
Jangan lupa, Sumi, Cacuk. Besok kami
akan membuat
pertunjukan, jam 8 malam. Tentang
Tini yang hatinya
terbuat dari 2 X 2 meter. Menunggu
pohon keramat.
Menunggu sumber air bersih. Kota
telah berjalan. Jauh.
Tak pernah puas. Tak pernah memberi
pemandangan lagi
untuk hatinya. Besok, jam 8 malam,
kami akan membuat
pertunjukan. Jangan lupa.
1997
Tentang Penulis
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957.
Pendidikan terakhir: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak selesai). Sejak
1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan TeaterSae. Tahun 1995
membuat pertunjukan seni instalasi (Hormat
dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Tahun
1996 koloborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan
Mengamati Batu-batu, dengan berbagai seniman dari berbagai disiplin di TIM
Jakarta.
Ia pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan
Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam
rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca
dan workshop puisi di Den Haag dalam forum penyair Indonesia-Belanda (1995),
memberikan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di K⍤ln, Bonn dan Hamburg
(1995), dan mengikuti Poetry International Rotterdam (1996). Karyanya: Abad Yang Berlari (1984; mendapat
penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995; mendapat
penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 1996), dan Biography
of Reading (1995).
Karyanya yang lain dimuat dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (editor
Ariel Heryanto, 1986), Tonggak: Antologi
Puisi Indonesia Modern 4 (editor Linus Suryadi, 1987), Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir (editor Suratman Markasan, Kuala
Lumpur, 1991), Dinamika Budaya dan
Politik (Fauzie Ridjal, 1991), Traum
der Freiheit Indonesien 50 Jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk
& Edith Koesoemawiria, K⍤ln, 1995), Ketika
Warna Ketika Kata (Taufiq Ismail, ed.all,
1995), Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan
Kompas 1996 (1996), Anjing-Anjing
Menyerbu Kuburan: Cerpen Pilihan Kompas 1997 (1997), Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo,
1997; dalam bahasa Jepang), Poets,
Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997), dan Menagerie 3 (John H. McGlynn, 1997).
Penghargaan lain yang pernah diperolehnya: Kincir
Perunggu untuk naskah monolog dari radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika
Award untuk esei dalam Senimania Republika harian Republika (1994), dan esei untuk 30 tahun majalah sastra Horison (1997).
Catatan Lain
Buku ini saya beli dari Bang T. Sandi Situmorang,
penulis Sumut yang tulisannya sering nangkring di koran Analisa, dengan kondisi bekas perpustakaan. Sebelumnya saya memang
sempat penasaran dengan buku puisi Afrizal. Saya mencari di beberapa online shop, namun selalu saja stoknya
habis. Dan suatu waktu ketika bermain fb, tanpa sengaja saya melihat di beranda
Bang Sandi mengunggah foto-foto buku bekas jualannya, salah satunya buku Kalung Dari Teman ini. Maka tanpa pikir
panjang langsung saja saya beli, barengan buku Ups! karya Rieke Diah Pitaloka dan Baju Bulan karya Joko Pinurbo.
Dalam kata penutup, Dami N. Toda ada menulis begini:
“Gambar-gambar lepas terbangun di dalam komponen sebagai mosaik-mosaik. Tampil
dalam sosok sendiri-sendiri saling berhubungan atau tidak berhubungan langsung
dengan yang lain, seperti potongan dialog sosok-sosok (makhluk-makhluk) ramai
berlalu-lalang di sekitar Anda memikul tubuhnya sendiri, sehingga terkadang
kehadiran judul penting untuk mengenali “nama” atau setting (sosial atau alam) tempat gambar-gambar itu berada.”
Dalam catatan proses kreatif yang ditulis oleh
Afrizal sendiri setebal 30 halaman, ia ada berkata: “Saya harus memiliki
semacam rasionalisasi. Sebab saya tidak mau terombang-ambing dalam wilayah yang
cenderung tak bertuan itu. Solusi konkret itu justru tidak datang dari saya,
melainkan dari seorang teman saya, Marianne K⍤nig. Suatu hari ia bertanya pada saya, apakah saya
selama ini berpikir dengan gambar dalam menulis puisi? Pertanyaan ini menurut
saya justru adalah sebuah jawaban yang selama ini saya cari. Saya seperti
mendapatkan cahaya terang yang membukakan pintu intelektual untuk kerja saya
menulis puisi.
Berpikir dengan gambar tidak sama dengan memotret.
Puisi-puisi saya bukan hasil sebuah pemotretan. Bagi saya puisi merupakan
representasi dari kawasan teks yang kaya. Kawasan teks yang bergerak antara
pengalaman empiris serta lingkungan teks dalam pergaulan literer seorang
penyair. Keduanya diangkat lewat berbagai elemen dalam puisi: ide, latar puisi,
metafor, pesan, bunyi. Pada mulanya elemen-elemen ini statusnya sama. Pada
penggarapan selanjutnya, mulai terjadi pergeseran. Elemen yang satu bisa
menjadi fokus, sementara elemen yang lain hanyalah pendukung. Tapi bisa jadi
semua elemen hingga penggarapan puisi dianggap rampung tetap berada dalam
status yang sejajar, yang mengingatkan saya pada lukisan-lukisan Bali yang
berkesan non-proyektif dan non-fokus. Semuanya datar, rata, monoton. Kedalaman
atau dimensi tidak terdapat pada proyeksi, tetapi pada detail.”
(Kontributor: Ahmad Fauzi)
Puisi yang sungguh indah dan bermakna begitu dalam
BalasHapus(Wisnu Murti, http://tulisandenpasar.blogspot.com)