Data Buku Kumpulan Puisi:
Judul: Para Penziarah
Penulis: Soni Farid Maulana
Cetakan: I, 1987
Penerbit: Angkasa, Bandung
Tebal: x + 74 halaman (59 puisi)
ISBN:
979-404-187-4
Rencana kulit: Joko Kurnain
Sketsa: Acep Zamzam Noor
Para Penziarah terdiri dari tiga bagian: Sebuah Album (26 puisi), Para
Penziarah (21 puisi), dan Krematorium
Matahari (12 puisi).
Beberapa pilihan puisi Soni Farid
Maulana dalam Para Penziarah
ODE
BANGKAI ANJING
Merasakan sunyi (anyir darah menguap dari tubuhmu)
Matahari menyala. Musik pengantar ke kubur
Hanyalah dengung lalat. O, jangan harap orang mengaji
Mereka lupa padamu
Dengan perkasa kau menangkap maling. Mungkin di tempat lain
Orang akan membuat patungmu! ̶ Kuhikmati deritamu.
Hidup menempuh tebing. Menghancurkan tebing
(Di lamping) cengkrik bernyanyi. Kau berhadapan dengan Amarah
Dengan angan-angan. Dibangun: tulang dan tulang
(Masih tersisa sedikit sumsum) menggairahkan nafsu!
Aku tak tahu. Di manakah kehadiranmu dihormati orang?
Tembok yang kokoh. Pagar besi menusuk langit
Rumah-rumah tak menjawabku. Aku sampaikan salam atas bunga
Ingin copot dari tangkainya. Meneduhi tubuhmu
Dari sengatan waktu. Dari sengatan waktu!
1984
PROSA
CINTA
̶– Nina Dianawati
Aku mendengarkan percakapan burung-burung
Di dahan hatimu. Embun yang bening dalam sebuah pagi
Mengabarkan dunia yang tak ada padaku
Setelah kerling matamu menyungkup langit jiwaku. Ah, matahari
Yang berkobar. Waktu yang melenggang lewat. Senja yang padat
Oleh guguran daun. Malam. Bintang-bintang. Suara-suara alam
Mengalir dalam keheningan semestaku. Mengaji kehadiranmu.
Setiap saat menyanyikan gairah kehidupan.
Tapi pada hening mata ular, cintaku. Kenangan menjulang!
1984
LIRIK
DARI JAKARTA
Mereka akan masuk
Ke dalam pikiranmu. O, anak-anak
Yang lapar
Berbaris dalam irama Diam.
Kenyataan hanya kelu
Dan tangis darah. Zaman yang berpupur
Hanya keasingan yang abadi
Ke dalam comberan, ke dalam comberanlah
Kalian dapat menghilangkan
Dahaga hidupmu
Karena hotel-hotel menolak adamu!
1983
DI
RUANGAN MUSEUM
Biarlah patung-patung itu mengekalkan sunyi
Aku ulangi: ̶– jangan kauusik
dengan jerit
Ataupun dengan erangan
Setelah kautahu apa makna kengerian!
1984
RITUS
MAWAR, 2
Gairah cintaku berkobar padaMu
Dalam satu tarikan dzikir, seribu matahari
Kuputar sekehendak ruhaniku. Jiwa ceria, menari
Bersama seribu burung. O,
Seribu mata air mendadak ngalir
Membasahi tanah-tanah yang kering. Menumbuhkan
Seribu mawarku. Seribu rahasia cintaku padaMu
Ditasbihkan angin dan kediaman batu-batu dasar kali!
1985
RITUS
MAWAR, 3
Seperti minyak zaitun jiwaku
Sekali Kaubakar dengan apiMu
Menyala. Kekal, tanpa ruang dan waktu yang fana!
1985
PARA
PENZIARAH
1
Kutemukan semesta dalam geliat butir pasir
Jarum jam di tangan menjahit kenangan
Dan kini anyir darah itupun tercium kembali
Setelah hotel-hotel hanya semata kata
Tak pernah kaumengerti apa maknanya!
2
Ia berdoa di pinggir mesjid
Beribu angin menyampaikan keluhnya
Terasa bumi pedih (dalam tangis ular)
Terkubur timbunan sampah!
1984
SELEMBAR
DAUN
̶–
Wing Kardjo
Selembar daun, gugur
Tanah menanti. Isyaratnya
Menyimpan hakekat
(Fossil sari gairah)
Dan kini ̶– kau pun berontak
Saat jiwa didera sunyi
Walau dengan hati lega
Kita telan arti tua
Gugur. Selembar daun gugur
Kesunyian kabut pun bergetar
Akrab menjemput!
1982
AU
REVOIR
Angin mengalir
Lewat kisi jendela
Membaringkan dingin yang letih
Di tubuhku. Lalu bau vicks. Hangat tangan dara
Bibir padat merekah ̶– mengekalkan birahi
Menggulirkan malam lebih bermakna!
“Adakah kaudengar, sebuah musik
Mengalun dari tik-tok jam?” (Suara cengkrik
Begitu nyaring dalam pendengaran) “Jam berapa?”
Bisikmu. Sunyi. (Lalu hujan
menggeliat di tangkai
Daun) Menangisi kemarau yang akan segera berlabuh
Di bunga kecubung! “Jam berapa?” bisikmu.
1983
̶–1984
ELEGI,
XII
Senja menggeliat dalam derai hujan
Tapi matahari yang berlayar di langit jauh
Jadi lain warnanya dalam gerak batinku!
Dan kini, di sini ̶– kita dengar
batu-batu
Bergeser di dasar sungai
Sunyi berselimutkan rumputan
(Mungkin sebuah kenang dikekalkan)
Saat tiang listrik dipukul orang
Mengusik salak anjing!
Dan jauh di hulu, seribu pedang ajal
Berpacu ke leherku (bulan ̶– mengkhianati
kelelawar)
Semilir angin melayarkan kubur-kubur!
Sayap cengkrik menjelma pisau
Mengerat nadiku
Terekam mataku tak berkedip (Kilat bersambaran)
1985
SAJAK
BATIN
Jurang-jurang batin kaucipta dari pertengkaran
Tengadah dan meludah. Matahari menyala
Begitu terik membakar kehidupan
Kau yang ditekuk tanda tanya. Buku demi buku
Merabunkan mata. Selebihnya rumus-rumus tak terbaca
Pahamkanlah makna batu bagi sebuah rumah
Bagi hidup segalanya harus dirapihkan
Pikiran dijernihkan dikekalkan lewat peradaban
Pahamkanlah makna genting bagi sebuah rumah
Bagi pertempuran alangkah kaudamba cinta
Membaca isyarat membaca mekanisme zaman
Kaubangun dunia kejaran ruhani!
1984
SEBUAH
PERJALANAN
̶ Beni Setia
Aku tak tahu. Mengapa bioskop memutarkan
Kebosanan? Kupu-kupu terbang menembus malam
Mengabarkan losmen, mengabarkan bunuh diri!
Di beranda. Gerimis pun begitu tipis
Memperjelas pendengaran terpelihara salak anjing
Bertasbih pada sunyi (angin mencumbu
guguran daun)
Dan dibangun atas nama harapan. Jalan-jalan
Mengalirkan darah. Mengalirkan airmata
Kesepian dan keasingan nama-nama tetap menjulang
Kita hampir jauh berjalan. Membaca semesta
Merasakan rumput memperdengarkan getarnya
Menahan kengerian ajal. Diam-diam kita tertarik
Pada batu. Diam-diam kita ingin jadi batu. Jadi batu
Jiwa terpusat padaNya. Kata-kata tersebar
Di semesta terbuka ̶ jadi tembang kehidupan! ̶
1985
TANCAP
KAYON
Malam tanpa bintang
Mengeraskan bau kayu cendana
Terbakar oleh api batinku
Pada kelir ruhani
Berkelebatan wajah-wajah yang getir
Lihatlah kasihku
Pohon yang tumbuh dalam gunungan
Ular. Harimau. Kehidupan yang tak pernah
Ular. Harimau. Kehidupan yang tak pernah
Kita pikirkan
Mengekalkan luka purba
Pertarungan hidup dan mati
Rasakanlah, rasakanlah jarak dan rahasia
Tak terjejaki. Terluap dari tanahNya
Terhembus angin dari aliran nafasNya
Sampai ketinggian subuh
Menjejakkan kayon pada tubuhku
Maut pun menghilir
Mencari muara di sungai kepalaku
Kesirnaanku
Atas senyumNya yang sederhana!
1984
LA
CONDITION HUMAINE
Karena jiwaku matahari
Dan jiwamu kelelawar
Bagaimana mungkin kelelawar
Sejenak saja
Berkesempatan melihat matahari!
Berkesempatan melihat matahari!
Karena jiwaku tercelup embun pagi
Dan jiwamu tercelup lemak babi
Bagaimana mungkin jiwamu
Mencapai keheningan jiwaku
Berdzikir dengan kediaman batu-batu
Kota menelan kehadiranmu
Menghadiahkan kengerian tanpa ampun
Karenanya kau bunga terserak di keranjang sampah
Bagaimana mungkin jiwamu mengharum di bumi
Berulatkan dendam dan dengki
Terpenjarakan nafsu-nafsu badani
Karena jiwaku kemurnian teratai
Kenyataan hidup terbaca di hati sanubari
Pertarungan berlepotkan darah
Pertarungan yang terus terloncengi kematian
Menembus keheningan kabut pagi
Sebelah timur keheninganku
Dekat batu-batu yang terus berdzikr padaNya,
Guguran daun bersintuhan di semesta terbuka!
1985
AMSAL
TANAH KUBUR
Penyair! Matahari berkobar
Menerangi seribu burung yang terbang
Dari pohon benakku. Setelah batu-batu mengekalkan cinta
Mampu memecahkan kepalaku yang dikonfrontasi
Oleh perhitungan matematis. Perkalian, pertambahan dan pengurangan
Kekallah ketidaktahuanku
Akan rahasia tersimpan di balik cadarNya
Bila aku terus mabuk, mengikut arus kota
Tenggelam dalam buaian musik dan minum bukan dari piala
Kesejatian hidup! O, lembah yang hijau
Bergoyang dalam mataku. Dikandungnya rumput-rumputku. Pohon-pohonku,
Berbuah. Kelezatan yang tersimpan di dalamnya matang oleh pengetahuan
Sejati. Mampu meniadakan radang otakku dan rasa dahagaku yang fana,
Dikandungnya segala jenis anginku. Segala aliran sungaiku
Segala jenis satwaku. Bergerak dengan kelembutan hingga keganasan
Yang mengerikan. Di mana setiap gigi taringnya berkilat oleh nafsuku,
Dikandungnya segala jenis unsur bumiku. Dengan segala pengetahuanku
yang fana ̶ menjelma mobil! ̶ berseliweran di
setiap benuaku!
Menjelma tv mengabarkan pembunuhan kekasihku. O, kelaparan
Menjelma senjata ̶ mendzikirkan ajal duniaku! ̶ terkotak-kotaklah
Manusia dalam rangkaian zamanku
Terus mengusir kemiskinan dirampok habis-habisan kekayaan. Penyair!
Aku tersedu tak habis ajal menjemput tak habis tangan menulis.
1984
RITUS
JALAN RAYA
Waktu bagai embun (bagai curahan air hujan) bergulir
Di tangkai daun,
Adakah kaudengar seekor burung bernyanyi di ranting hatiku?
Suaranya alangkah parau. Menggetarkan dinding kota
Mengiring matahari condong ke barat.
Meratapi anak-anak
Berderet sepanjang kaca etalase toko elektronika. Saat mereka
Menepuk-tangani fantasi-fantasi Amerika
Lewat rol film pada video cassette. Setelah terlebih dahulu
Mereka berpose dengan belencong yang padam di tangan. Dengan
Kelir sanubari tergulung di jalan ruhani
̶ hingga gunungan
Hanya kekal dalam kenangan. Setelah mereka tasbihkan makna baru
Tanpa sepenuhnya mereka pahami di dunia mana berada!
O, bau kehidupan mengeras terbakar matahari
Peradaban demi peradaban bagai bayang-bayang berkelebat
Menyeret nilai demi nilai (menyengat bagai kelabang)
Hingga seekor burung yang bernyanyi di ranting hatiku
Membisikkan sunyi pada tembok beton dan baja
(Sebelum daun-daun sempat gugur) Dan kota hanyalah penjara
Berlantaikan keasingan. Kengerian demi kengerian
Dikekalkan bahasa dan tindakan ̶ tanpa ampun!
̶
Sebagaimana tembang yang disuarakan nenek moyang,
Tinggal album tua! O, seribu anjing yang bertasbih di hadapanku
Menghendaki pertunjukan ini terus berlangsung
Setelah seribu toko serentak menawarkan harga kosmetik baru
Tapi bau amunisi menghendaki jantungku
̶
Mewarnai upacara pemakaman yang berlangsung secara gaib!
Tinggal debur jam. Menggema ke semesta perenungan. Mengekalkan
Sunyi Ilahi! O, hening cintamu semekar mawar
Tapi udara terus bergolak dalam tungku perapian
Tapi laut masih juga biru dan seribu hiu mengangakan rahangnya
Dan kesetiaan rumputan masih menghidupkan kambing
Di pelataran real-estate. Lalu dunia berputar dalam tanganku
Terluka oleh rangkaian zaman edan! Tanpa kompromi!
1985
Tentang
Penulis
Soni
dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 19 Februari 1962. Setamatnya SLA (SMA
Pancasila-Tasikmalaya) melanjutkan kuliahnya ke ASTI Bandung, mengambil jurusan
teater. Dalam dunia teater, di Tasikmalaya pernah aktif di sanggar EPOS. Sedangkan di Bandung, Soni lebih
aktif dalam dunia sastra, baik bersama KPB
ataupun Kelompok Sepuluh. Adapun
dalam dunia teater, Soni lebih cenderung sebagai pengamat saja. Ini bukan
berarti menghindarkan diri dari dunia akting.
Kumpulan
sajaknya yang pernah terbit, al: Bunga
Kecubung (1984), Dunia Tanpa Peta
(1985), Antologi Puisi Pesta Sastra
Indonesia ’85 (1985) dan Krematorium
Matahari (1986). Menulis puisi sejak tahun 1978, banyak dipublikasikan di Berita Buana dan Pikiran Rakyat, selain sekali-kali muncul di Mutiara, Hai, Suara Karya, Suara Merdeka, Pelita, Minggu Pagi, Bandung Pos, Gadis, dan Mangle (majalah sunda). Selain puisi
juga menulis cerpen dan esay. Sering juga membacakan sajak-sajaknya di GK. Rumentang Siang Bandung. Pada bulan
Maret 1986 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan sejumlah
puisinya di TIM-Jakarta dalam acara 50 tahun Perjalanan Polemik Kebudayaan.
Catatan
Lain
Di
halaman v, ada tulisan penyairnya yang mempersembahkan buku ini kepada Srie Amy
Meilani Pancasilaiswati. Di bawahnya ada tulisan yang bunyinya: “Sependakian matahari itu pun
berkobar/Dan aku sepanjang waktu mendzikirkan ketiadaan!”
Di
cover belakang ada 3 testimoni yang masing-masing dari Yakob Sumardjo, Abdul
Hadi WM, dan Benny Yohannes. Yakob Sumardjo berkata, “membaca sajak-sajak Soni
akan terasa penguasaannya terhadap idiom-idiom puitik modern. Pilihan-pilihan
imajinya terasa cerdas, otentik dan di luar dugaan.”
Dari
sejumlah puisi Soni yang saya baca di buku ini, diksi “mengekalkan” dan
“guguran daun” cukup banyak ditemui.
(Kontributor:
Ahmad Fauzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar