Selasa, 15 Agustus 2023

Faruk: AMBANG KORONA

 

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Ambang Korona
Penulis: Faruk
Penerbit: Gadjah Mada University Press, Sleman, DIY.
Cetakan: I, Mei 2021
Tebal: xxiv + 154 halaman
Editor: Nindy
Desain Sampul: Aliem Bachtiar
Tata Letak Isi: Epic Akbar Kingpin
Digitalisasi: Irwan dan Maarif
ISBN: 978-602-386-971-8
Pengantar: Dr. Wening Udasmoro (Dekan F. Ilmu Budaya UGM)
Prolog: Tia Setiadi (Jarak dan Melankolia Ikhtiar Memasuki Kumpulan Puisi Huma Maya dan Ambang Korona Karya Faruk)
 
Catatan: Semua puisi di buku ini tak memiliki judul. Jadi, antar puisi diberi tanda ***
 
Sepilihan puisi Faruk dalam Ambang Korona
 
***
di rotterdam aku berdiri
menahan gulungan abad
dengan ribuan kapal di pundak
mandi rempah dan darah
di pelabuhan itu aku membisu
tertambat dalam kenang
tentang rawa, tanah basah
jejak yang begitu cepat membekas
begitu lekas terbenam dan luluh
larut dalam genang
aku tahu, aku tak mungkin kembali
karena masa lalu pasang dan surut
seperti kapal api gandengan dua
tak pernah membawa yang serupa
lebur dalam samudera lalu menjelma
ikan seluang, lundu, baung, dan patin
terdampar di sela batang perdu
menjadi haruan dan papuyu
di pelabuhan itu aku hanya bicara
dengan kata entah siapa yang punya
antara ombak dan tubuh ulinku
sejarah, cerita, dan masa lalu
 
 

Minggu, 13 Agustus 2023

Inggit Putria Marga: EMPEDU TANAH

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Empedu Tanah
Penulis: Inggit Putria Marga
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, Oktober 2020
(pernah diterbitkan Lampung Literatur, November 2019)
Tebal: 76 halaman (30 puisi)
Ilustrasi sampul: Bebe Wahyu
Desainer isi: Fitri Yuniar
ISBN: 978-602-06-4806-4 (PDF)
 
Sepilihan puisi Inggit Putria Marga dalam Empedu Tanah
 
GAGAL PANEN
 
ratusan kangkung membusuk dalam pot-pot
yang terbuat dari botol-botol air mineral
yang ia susun vertikal pada sebuah rak di pekarangan
batang tumbuhan itu runduk seperti tubuh manusia
bungkuk. daun-daun sekulai tangan tak bisa
merentang, tak mampu menerima sekaligus melepas
segala yang diberikan kehidupan: cahaya matahari atau
udara berpolusi, bulir-bulir pupuk daun atau percik ludah
mulut manyun. di larutan dalam pot botol berdinding lumut,
helai-helai akar menyerupai rambut tergerai dan terendam,
cacing-cacing merah muda berenang bagai melayang
bergerak bukan sebab ingin pergi atau hendak pulang
bergerak karena waktu dan ruang memberi peluang.
 
tak sekali ia tuai yang tak disemai
menanam pohon jambu, yang ia panen: daun benalu
menabur benih sawi, yang tumbuh: rumput teki
memupuk ladang pepaya, yang subur: ragam gulma
memelihara cita-cita, yang membesar: keluh kesah saja
biasanya, ia rayakan gagal panen
dengan pesta bakar ladang atau tebang pohon
namun, kali ini, sambil pegangi kepala yang memberat
seperti habis menyantap sop kambing, beralas tikar rumput
yang terhampar di pekarangan rumahnya, ia hanya duduk
ditemani beberapa bongkah tahi kucing. ujung pisau nasib sial
yang menikamnya kali ini, barangkali, tak terlalu runcing.
 
2019
 

Jumat, 11 Agustus 2023

Oka Rusmini: PANDORA


Data Buku Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Pandora
Penulis: Oka Rusmini
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: ix + 85 halaman (40 puisi)
Editor: A. Ariobimo Nusantara
Penata Isi: Suwarto
Ilustrasi sampul: Wolfgang Widmoser (Gravitation)
Epilog: Jose Rizal Suriaji
ISBN: 978-979-025-280-6

Sepilihan puisi Oka Rusmini dalam Pandora
 
SPORA
 
Apa arti sebuah garis, Anakku? Ketika kau menggenggam pensil,
aku melihat sebuah dunia perlahan tersibak di kakimu. Matamu
yang bulat mengerjap. Menatapku dengan ratusan belati
tanya.
 
Di luar, cuaca sering begitu buruk. Hujan dan angin bertikaman
Asap beracun merobek nafas, menguliti tubuh. Kecemasan
merendam seluruh wujudku.
 
Kau mulai menjelma jadi manusia. Detak jantungmu mengeja
hidup. Tapi aku kian menjelma jadi perempuan penakut. Makin
pandai menelan bongkahan biji mata yang menatapku dengan
asing.
 
Dari jalanan, orang-orang menebarkan bau anyir. Aku mual.
Sanak-kerabat mencangkuli masa lalu. Mengerat otakku.
Bersekutu memasukkanku ke peti mati. Mereka tanyakan kulit
Tuhanku!
 
Negeri apa ini, Anakku? Orang-orang begitu pintar membangun
menara. Mengurai sejarah, menguliti ilmu pengetahuan,
merapal mantra. Mereka berceloteh tentang kebesaran, kejayaan
dan kemasyuran, sembari terus membakar pulau tempat leluhur
mereka tenggelam hilang. Buih kata-kata mereka melukai
sepotong kakiku.
 
Kini kau mulai jatuh-cinta pada angka dan aksara. Kauputar
pensilmu, kadang kautusukkan di kulit bukuku. Negeri apakah
yang kelak menyentuhmu? Siapakah yang akan menemanimu
ketika aku telah tiada? Siapa akan mengajakmu bicara? Berbincang
tentang warna kulit Tuhan, cara menyentuh dan mengenalNya?
Tentang jalan bercecabang para pencari cinta ilahi?
 
Anakku, kelak bila telah kaukuasai angka dan aksara, belajarlah
mengenal cinta. Pahamilah dengan seluruh pikiran dan detak aliran
darahmu. Pahami arti duka, luka dan derita di luar tempurung
akumu. Rasakan keindahan cinta pohon-pohon rindang yang
tiada pernah lelah melindungimu dari cakar matahari. Cintai
dirimu, hidupmu, sesamamu. Juga mulutmu, tingkahmu dan
pikiranmu.
 
Bangunlah, Anakku, matahari mulai mengupas kuntum bunga
kecombrangku. Tidakkah kaulihat daunnya mulai membelai kaca
jendela kamar tidur? Jerang tubuhmu. Jelang harimu.
 
Dunia baru menunggumu.
 
2005