Umbu Landu Paranggi (foto: agus wiryadhi saidi, 2012) |
Data Buku
Kumpulan Puisi
Judul
: -
Penulis:
Umbu Landu Paranggi
Sumber
puisi: http://umbulanduparanggi.blogspot.com
Penyunting
: Wayan Sunarta
Jumlah
postingan : 38 posting puisi (37 judul puisi, total 42 puisi dengan memasukkan
berbagai versi)
Periode penulisan puisi: Yogyakarta
(30 puisi), Bali (8 puisi)
Beberapa pilihan puisi Umbu Landu Paranggi dalam blog http://umbulanduparanggi.blogspot.com
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa
bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.
Ni Reneng
sebatang pohon nyiur
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
selembar demi selembar daun sirih
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana
jika kematian kebahagiaan kayangan
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba
(Denpasar, Oktober-November 1984)
Sumber : Majalah Kolong, No.3. Th I,
1996; Nusa Tenggara, 10 Agustus 1997; Kompas, Jumat, 1 September 2000; Bentara,
Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Sutardji Calzoum Bachri. Jakarta,Kompas,
2001. (halaman 120-121).
Melodia
cintalah yang membuat diri betah
untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum
duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam
mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan
pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata
dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih
memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu
hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak
dalam gempuran waktu
takkan jemu-jemu napas bergelut di
sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka,
hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di
bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu
padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia
sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang kecil papa, tapi bergelora
hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi
gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan
urat biru di dahi dan kedua tangan
Keterangan : versi 1
Sumber : “Persada Studi Klub dan
Sajak-sajak Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan
Kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984 (halaman 73).
Percakapan Selat
Pantai berkabut di sini, makin
berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam
terbantun di buritan
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
Laut bersuara di sisi, makin
berbenturan dalam kenangan
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
Menggaris batas jaga dan mimpikah
cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
namun membujuk jua langkah, pantai,
mega, lalu burung-burung
Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
saat langit luputkan cuaca dan laut
siap pasang
saat pulau-pulau lengkap berbisik,
saat haru mutlak biru
(1966)
Keterangan : versi 1, Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi
Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240).
Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, 18 Januari 1970.
Aide Memoire
bukalah
jendela, di luar angin
menyiapkan
pelaminan kemarau
sebelum
burung-burung dan daunan
luput
dari nyalang pandang dukaku
catatan-catatan
mengubur segala kecewa
upacara
kecil hari-hari kelampauanku
bukalah
kerudung jiwa di sini
gemakan
kenangan pengembaraan sunyi
jauh
atau dekat, dari ruang ini
sebelum
sayap-sayap derita dan kerja
pergi
berlaga mendarahi bumi
dan
dengan gemas menyerbu kaki langit itu
di
mana mengkristal rindu dendamku abadi
(1967)
Sumber
: Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia,
Jakarta, 1987 (halaman 239). Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, 12 April
1970.
Tujuh Cemara
sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
si tua muda yogyakarta
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
tujuh cemara
di jantung Yogyakarta
barisan rindudendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati
tujuh gelandangan
(buah asam malioboro)
memanggul gitar nembakkan syair lagu
mentari jalanan bulan lorong kumuh
antara kampung kampus, gubuk
gedongan
singsing singsing fajar lenganmu
prosesi tugu pasar alun-alun
bongkar pasang dadadadamu
kang becak andong muatan perkasa
kilatan raut pasi berpeluh debu
ciumlah bumi yang nerbitkan sayangmu
nyelamlah lubuk urat nadi hayatmu
tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo
(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)
tumpukan hijau restu sanubari jelata
sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati
hulubalang benih ilham di siang malammu
tujuh cemara gelandang
tujuh gunung seribu saksi tak bisu
gelaran tak sunyi gusargusur
kakilima
bentangan dukacita langit sukma
manggang biji mata di kawah candradimuka
tak kau dengar keliling kidung
sembilu
meronda dan menggedor mimpi mimpi
igaumu
(tak kau ingat peta rute juang
gerilya
gercik darah tumpah meriba pertiwi)
di bawah jam kota tujuh pengemis tua
bertumpu seperti mendoakan kita
semua
di bawah tapak sudirman kami mangkal
malam-malam ini
sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
tujuh cemara
di jantung yogyakarta
barisan rindudendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati
Sumber : The Ginseng, Antologi Puisi Indonesia, Sanggar
Minum Kopi, Denpasar, 1993.
Seremoni
dengan mata pena kugali gali seluruh
diriku
dengan helai helai kertas kututup
nganga luka lukaku
kupancing udara di dalam dengan
angin di tanganku
begitulah, kutulis nyawaMu senyawa
dengan nyawaku
sumber : Bali Post, 1978
Dari Pura Tanah Lot
inilah bunga angin dan tirta air
kelapa muda
para peladang yang membalik balik
tanah dengan tugal
agar bermuka muka langit tinggal
serta dalamku
bercocok tanam mengidungkan musik
dwitunggal
dan seruling tidur ayam di dangau
pinggir tegalan
atau sepanjang pematang sampai ke
batang air
duduklah bersila di atas tumpukan
batu batu karang ini lakon lakon
rumput dan sayur laut mengirimkan
gurau ombak
seraya uap air memercik pedihku
beribu para aku sebrang sana datang
mengabadikanmu pasang naik pasang
surut
dan kini giliran asal bunyi sunyiku
menggapai puncak meru
ke gunung gunung agung tengadah
mataku mengail ufuk
tak teduh mengairi kasihku
sumber : Majalah Kolong Budaya No. 3 Th. I / 1996
Fragmen Upacara
XXXIX
(buat Inna
Rambunaijati Pajijiara Marambahi)
Tujuh
lapis langit kutapis
teratas:
sungsang lapar dahaga
delapan
peta bumi kukipas
terbawah:
hening runtuhan sukma
mencium
celah retak tanah tanah
serayaraya
sawahladang terimakasihmu
dan
ringkik kuda putih putus tali
ke negeri dewata terlupa
(ke
mata air matahari ribuan ternak)
menggiring
yang berumah di sajak sajak
membasuh debu tungkai
barisan anakanak sulungmu
barisan anakanak bungsuku
(Denpasar
1984; versi 1)
Sajak Dalam Angin
Sebelum sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
(Yogya, 1968)
Sumber : Tonggak 3, Antologi
Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG,
Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240-241). Puisi ini diambil dari Pelopor
Yogya, Minggu, 26 April 1970.
Sajak Kecil
(1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
(2)
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari nafasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi
Sumber : Tonggak
3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta,
1987 (halaman 240). Puisi ini diambil dari Pusara, No. 1, Th. 43, Januari 1970.
Ronggeng Sumba
I
Tambur tua, ditabuh dewa
menujum sunyiku, di mulut kemarau
sirih pinang tembakau, membaun angin
cendana
duh sarungkan pedangmu, dendam budak
biru
gulung rokok daun lontar, kumurkan mantra
pengantar
api pediangan menanti, siraman darah
lelaki
II
Gong gong purba, meningkah bertalu
talu
duh restu dewata, menjaring bulan
buangan
lima perawan saringan, menghambur
dalam arena
terjurai melindas baying, kain dan
selendang pilihan
tenunan datu, kayu dan batu
anyaman pelangi, menyambar nyambar
dukaku
III
gemerincing giring-giring di kaki,
mabuk berburu sorak sorai
bulu ayam di kepala meronta, surai
kuda di jari melambai
melipat malam lupa berbusa, hai
patah tambur buat rajamu
(hingga lepas urat-urat tangan),
gong-gong nyaring dan tajamkan
(bahkan hingga putus napas tarian),
mari…hanya kesepianku
panggang di bara cemar, sampai subuh
berlinangan
embun, pijaran riap embun, yang
meramu cintaku
IV
rawa rawa, paya paya, duka cintaku
mengibas telaga senja
rawa rawa, paya paya, di punggung
sunyi hariku busur cakrawala
rawa rawa, paya paya, baris cemara
meriap gerimis nyawaku
rawa rawa, paya paya, pelaminan
kemarau, nyanyi fana nyanyi baka
Sumber : “Persada Studi Klub dan Sajak-sajak
Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan Kritik,
Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.
Sabana
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
Sumber : “Persada Studi Klub dan
Sajak-sajak Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan
Kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.
Di Sebuah Gereja Gunung
lonceng kecil yang bertalu,
memanggil-manggil belainya
di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah
mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala
dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah
bukit dan padang-padang sepi
hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan, telah terpanggil
dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia
dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa
panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu
-- berpadu memanjat doa dan terima kasih bagi kehidupan
-- bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketentraman
-- di antara sesama, pada malapetaka menimpa dunia ini
-- pertikaian peperangan, damailah di surga di bumi ini: mazmur mereka
keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta deru oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang sama
mentari dan bulan yang bersinar di mana pun --
dan tuhan mendengar seru doa mereka
di tengah kesunyian, minggu pagi yang cerah
mereka pun berduyunlah ke sana: warga petani dan gembala
dalam dandanan sederhana, bangkit dari kampung, lembah
bukit dan padang-padang sepi
hidup dan kehidupan mereka di tanah warisan, telah terpanggil
dan lonceng gereja lalang di lereng gunung itu menuntun setia
dalam galau kesibukan mereka sehari-hari tak pernah lupa
panggilan minggu: di sini mereka, dalam gereja lalang dan bambu
-- berpadu memanjat doa dan terima kasih bagi kehidupan
-- bagi kebutuhan hari ini, hari depan datanglah ketentraman
-- di antara sesama, pada malapetaka menimpa dunia ini
-- pertikaian peperangan, damailah di surga di bumi ini: mazmur mereka
keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta deru oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang sama
mentari dan bulan yang bersinar di mana pun --
dan tuhan mendengar seru doa mereka
Sumber : “Persada Studi Klub dan
Sajak-sajak Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan
Kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.
Kuda Merah
kuda merah musim buru,
berapa kemarau panjang maumu
jantung yang akan terbakar hangus,
satu cambuk api lagi
peluki padang anak angin
dan batu gunungku purba
melulur bayang-bayang di pasir waktu
:
rahasia cinta
(versi 3; berdasarkan tulisan tangan ULP)
Kuda
Putih
kuda putih yang meringkik dalam
sajak-sajakku
merasuki basabisik kantong peluh
rahasiaku
diam diam kupacu terus ini binatang
cintaku
dengan cambuk tali anganan dari
padang padangku
Keterangan: versi I; Sumber : Majalah Kolong No.3 Th. I/1996;
Nusa, 10 Agustus 1997
Tentang Umbu Landu Paranggi
Umbu
Wulang Landu Paranggi nama lengkapnya. Bangsawan kelahiran Kananggar, Waingapu,
Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur 10 Agustus 1943.
Umbu, Bali Post, Juli 1979 |
Umbu dan Jengki |
wooooooooooooooooooooo kerreeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen
BalasHapuspengen kayak umbu
HapusSalam kenal..demitplano.blogspot.com
BalasHapusSalam kenal..demitplano.blogspot.com
BalasHapussaya inget foto ini, bli Jengki dan Umbu ....kalau tidak salah ini foto 30 desember 2013 di seminyak..
BalasHapusMohon info kediaman umbu sekarang dimana..makasih..
BalasHapusSulit menemukan kediaman umbu,dia mahaguru bagi murid muridnya,dia misteri bagi pecintanya,dia adalah pohon rindang,biarlah rahasia menjadi rahasia
HapusIa tinggal menjelma kata
BalasHapusRumah diri abadi dalam rahasia
Kuda putih telah berpacu melebur cinta
Aku kaum mudah yang selalu cinta akan sastra. Aku anak sumba yang selalu mengejar pengentahuan
BalasHapusKarena sang maha guru adalah inspirasiku
Umbu wulang landu paranggi
Dimanakah umbu sekarang???
BalasHapusTuhan, panjangkanlah umurnya...amin
BalasHapusMantap
BalasHapusMukhlis jalani kehidupannya........Tak butuh posisi, tak butuh sensasi, benih cinta kemanusiaannya telah beliau tebar.....tinggallah dipupuk oleh si muda dengan berbinar-binar
BalasHapusAku mengagumi puisi2 mu
BalasHapus