Data buku kumpulan puisi
Judul : Suara
Kesunyian
Penulis :
Korrie Layun
Rampan
Cetakan : I, 1981
Penerbitan khusus : Budaya Jaya & Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta
Dicetak : Mitra
Srangenge, Bandung
Tebal : 92 halaman (75 judul puisi)
Gambar jilid : Nana
Banna
Suara Kesunyian terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu Lagu Impian (29 puisi), Lagu
Bathin (16) puisi dan Wajah Puisi
(30 puisi).
Beberapa pilihan puisi Korrie Layun Rampan dalam Suara Kesunyian
Bertahan Kita dalam Ayunan Waktu
Terayun kita dalam saat, dalam
terban hari
Dingin pun memekat, membasuh
jasmani
Sejuta makna terlepas dari
jari, raib
Menghunjam khayalmu ke wilayah
ajaib
Pekik gema pun menampar ruang,
rintih yang sedih
Tikaman mata belati,
sayap-sayap Kasih
Engkau membayang di hati,
pijaran Kata-Kata salih
Menyadarkan kita dari mimpi
tidur yang letih
Bertahan kita dalam ayunan
Waktu, menganyam duka Kasih
Berjalan dalam luka hari. Dalam
kibaran dendam rindu
(1975)
Sawan
Aku terkurung dalam lautan
gelagah yang terbakar
Memburu tujuh matahari yang
menyulut kota jadi puing dan debu
Di mana-mana kebakaran, huma,
hutan dan tanah datar
Terik-Mu tangis darah, sejuta
laskar yang menyerbu!
Siang menjadi merah penuh raung
gagak-gagak keji
Yang membunuh kebeliaan kudus, menyungkurnya
ke bumi
Kegemilangan mengarak jenazah
sepanjang hari-hari mati
Perih kita melekapkan muka pada
nyala derita abad ini
Kesilauan padang api menyala di
atas kuburan-kuburan raksasa
Sungai membanjir darah, menyapu
seluruh kota yang kalah
Kita bagai debu kembali kepada
duli
Kepala menjunjung langit, kaki
membenam dasar bumi
Udara yang busuk memintal
hari-hari hitam
Memangkas pohon-pohon Kebesaran
Kata-Mu: ”Telah kuhirup mersik
darah bumi
Darah langit dan kehidupan
untuk harga Kematianmu yang belia!”
Aku terus terkurung dalam
lautan api yang berkobar
Menjeritkan kekosongan: ”Hari
ini telah kugenapkan Firman
Dan seluruh ayat-ayat Kitab
Keabadian!” Tertawa Kau mengucap kelakar
Memahat nisan jiwa dari sisa
nafas yang berangkat perlahan-lahan.
(1975)
Diri
Apakah yang masih tertinggal
dari percakapan
Busa telah mengental di dasar
gelas, pohon-pohon limbung
Sementara kelasi menghabisi
sisa maboknya
Alam murni tiba-tiba melepaskan
isyarat ke arah kita
yang terperas tuntas.
Angka-angka telah sampai pada kewujudan
tentang mula Penciptaan, sepi
yang dalam
Lama aku jadi fasik,
lilih-letih mengeja Firman
Kutinggalkan lembah yang
membuai musik mati. Kuraih Aku
Diri yang telanjang di depan
mata-Nya sendu
(1975)
Pantun
Segamang-Mu kah lagu
Tergantung di cakrawala merah
Serawan-Mu kah ujung sedu
Pecah di hati melayah
Singgah di manakah Sukma
Istirah menuju Keabadian
Meludah wajah bumi tua
Memadam bakaran Zaman
Tinggal keasingan purba
Karib mengukur diri
Rawan-Mu menyalib Kata
Membaca 1000 ayat para Nabi
(1976)
Rahasia
Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar di luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar
Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah dan mandi
cahaya
Merangkak pada sumbu
Jantung kita
Seperti sejumlah risau, benci
dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian
ziarahmu
Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
Jiwa kita
(1973)
Kutulis
Kutulis dalam senyum
Hari-hari yang ranum
Sekepal puisi cinta
Membaun sukma kehidupan
Kutulis dalam tangis
Hari-hari yang manis
Sekepal puisi cinta
Gairah dada remaja
Kutulis dalam tawa
Hari-hari berlumur duka
Sekepal puisi cinta
Melayah bicara
(1973)
Serenade Hampir Penghabisan
Dari pantai itu masih terdengar
ujung siul
Dan lagu burung menyambut
matahari dan mega timbul
Adalah taman dan bulan mengeras
pada padas
Dan sepotong sajak dari bait
terlepas
Selebihnya tapak kaki pada
pasir tertimbun
Ketika angin mati gemetar
menyinggahi rumpun
(1973)
Doa Seorang Bocah Tuna
Berikan padaku pagi
Cahaya dan kebun bunga
Sungai yang membelah cakrawala
Lubuk-Mu kaca
Berikan padaku siang
Terik didih warna kehidupan
Benua hitam dan tanjung pulau
Tugu-Mu yang kukuh di tengah
desau
Berikan padaku senja
Cangkir kopi, perapian dan buku
tua
Kaca rabun dan pantai sejarah
Bukit-Mu megah
(1973)
Momento Mori
Irama nyanyian mengangkat
sayap-sayap burung ke angkasa
Ai, wanginya angin kemerdekaan,
wanginya taman Kekasih
Cinta mekar di padang-padang
tanah janjian
Mengelus dada insan, menerobos
dinding Kerajaan Tuhan
Menderap kuda putihku dalam
angin, memacu waktu
Ai, wanginya mawar batu,
wanginya padang rindu
Kudaku memintas padang cahaya,
melagu jerit langit
Meraih kodrat yang meluncur
menunjam dataran benua
Kucium tanganmu di luar jamah,
wahai Junjunganku
Ai, wanginya belantara
telanjang, wanginya jiwa yang basah
Berperang dalam sepi, berbenah
di bilik Waktu
Memanjat ke Tuhan, ke Hati yang
Indah!
(1976)
Satu April 1976
yogya? masih juga emha dan
linus
dan angin malioboro yang terpendam
tiang-tiang malam dan
pergulatan kita yang dulu juga
ke mana lagi hari? umbu sudah
jenuh
psk terlantar dan warno
menyurukkan mimpi ke tengah kelam
bayi-bayi lahir di antara duri
di sekitar hutan larangan
dinding-dinding kota ini masih
juga bersaput debu
dulu kaugosokkan puisi-puisimu
segairah sunyi merapi
tak terasa hari lenyap dan kita
tersaruk-saruk kefanaan
yogya? masih juga kosong dalam
keajaiban semula
membentangkan padang-padang
terkukur. Di sini lengang
daerah perpuisian, perjalanan
baja
gairah sejuta kaki bianglala!
(1976)
Siang Bening
Siang bening dalam bayang abad
Terkaca gurat-gurat wajah, luka
dunia
Ada puing sejarah, reruntuk
kota-kota Asia
Seorang raja Jawa dan derap
pasukan-pasukan berkuda
Dalam kidung orang-orang
menyanyi cinta
Derita puteri puri gunung
Kulihat wajahku yang asing
terlelap di tengah kota
Aku mandi. Ciumlah aku, o,
Pelindung!
(1977)
Paradise
Lost
Aku berjalan di
sepanjang goa-goa tanah mati
Memandang
Kemegahan: o, bukit-bukit purba
Derita-Mu Kota,
Kesunyian yang tegak di seantero pintu
Menyekap dingin
memuruk, rindu berkabut ke pucuk-pucuk
Buah-buah di
lembah menyala bagai kunang-kunang
O, jiwa yang
Agung, bersua kita di ruang Niskala
Di sini Tangan
Raksasa membelah hari dan puncak gunung
Menghumbalang
sungai, dan Kau tiba-tiba tersedu di depan
ranjang mati
Api membakar
tepi-tepi malam yang garang
Kaukah itu
selubung Rahasia, o, Kekasih yang berduka
Percakapan ini
tinggal suara, ayat-ayat warna Bianglala
Dan Kau terus
tersedu membenam muka ke ufuk yang hilang
Tangan-Tangan
Waktu terus gemetar menuding padaku
Menyerahkan darah
dan beribu nyawa para Habil
Tuhanku, begini
memerih elegi sepanjang Abad Kami
Sejuta sayatan
torehan Wajah: beku dan Mati!
Aku berjalan di
sepanjang goa-goa ufuk rembang petang
Memandang Telaga
Kemegahan: o, Diri yang hilang
Terlindas
rahasia-Mu yang dingin dan Sunyi
Yang terus
menjajar angka-angka Nasib dalam rabun Kaca Misteri!
(1976)
Kita
Berpisah dalam Kuyup Waktu
Kita berpisah
dalam kuyup Waktu
Menapak lengang
Sejarah, menyadap resah tempat demi tempat
Membongkar padang
akal di tengah hiruk-pikuk dunia
Yang penuh tawa
dan tangis dan usungan keranda
Para relaki
meninggalkan jejak membekas pada beranda
Langit Tuhan yang
purba meneteskan sejumlah rahasia
Pada Nasib pada
sampan pada lanting dan pada Kata
Mengembalikan
bayang kepada bayang dan diri kepada Diri
Tak kukenal lagi
keindahan rawan ini
Apakah kasar atau
lembut. Sukma kotaku telah mati
Dari gairah
nyanyian
Wajahnya asing
dalam sisa gemuruh Keabadian
Kita berpisah dalam
kuyup Waktu
Bocah-bocah
menyanyikan senandung tak bernama
Tentang kampung
halaman, tentang derita sebuah tempat
Aku terhenyak
mengusap debu pada pelupuk, meneguk kelelahan
pahit liur dan asin keringat!
(1976)
Puisi
Jalan ini
berdebu, kekasih
Terbentang di
padang rasa
Enam belas
matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang garang
sepanjang kulminasi
Bahak malam
mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan
putih
Di taman kekasih
Pengantinku
Antara kerikil
dan pasir merah
Tersembunyi
jejak-jejak yang singgah
(1973)
Dari A
ke Z
Lengan-lengan
yang capai
Suara gaib itu
Pohon-pohon
kedasai
Berjajar
membisiki waktu
Ujung cakrawala
Daun violet sayap
rama-rama
Sepotong bulan
sabit
Mengintip
celah-celah luka berdarah
Riap lalang dan
kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan
suara serangga
Gigir bukit yang
sunyi
Menanti teka-teki
(1973)
Terapung-apung
Aku di Laut-Mu
Terapung-apung
aku di laut-Mu. Menyelam tak teraba ke dalam
Beginilah karam
Hidup. Bagai Tiram
Menganga dan
mengatup. Sedang cambuk waktu-Mu di pundakku
tak bosan
Melecut!
Siapa dapat
mengambil hara. Dunia atau Tangan-Tangan Raksasa?
Ia kah Peramal
itu. Yang tak kuyup dalam basah hari. Tak lekang
dalam kemarau
panjang. Hei! menghadaplah padaku wahai Seteru!
Mari kita
perpanjang jalan! Mari...
Mari kita menanam
pohon-pohon Khuldi yang Baru!
(1974)
Tentang Korrie
Layun Rampan
Lahir
di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. Selama kuliah di Yogyakarta,
sempat bergabung di Persada Studi Klub. Novelnya Upacara dan Api Awan Asap
meraih hadiah sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1976 dan
1998. Juga menulis cerpen, esai dan kritik sastra, cerita anak, cerita film,
resensi buku, dan karya jurnalistik. Kumpulan puisinya yang lain: Matahari Pingsan di Ubun-ubun, Cermin Sang Waktu, Alibi, Mata, Sawan, Mata Kekasih dan Upacara Bulan
Catatan lain
Di sampul belakang buku ada tertulis seperti ini: SUARA KESUNYIAN ini
merupakan nyanyian jiwa dalam berbagai nuansa kehidupan. Nyanyian tentang sepi,
keterasingan, dambaan kekasih, cinta asrama, lagu alam, lagu derita, lagu
harapan dan spirit keimanan. Semuanya dilantun dalam getaran nyanyian jiwa
lewat lirk-lirik yang memuji Sang Kekasih. Sang Maha Sukma. Yang adalah Dia di
Singgasana Keabadian. Sajak-sajak ini boleh dikata semuanya berangkat dari
keterpesonaan atas eksistensi manusia terhadap Dia Sang Maha Tinggi.
Halaman
persembahan berisi ungkapan berikut: “Kepada wanita yang paling terkasih,
bundaku:/Martha Renihay dan ayahku Paulus Rampan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar