Data buku kumpulan puisi
Judul : Romansa Perjalanan
Penulis : Kirjomulyo
Cetakan : II, 2000 (cet. I, 1979)
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal : 160 halaman (73 puisi)
Gambar jilid : Amrus
Natalsja
ISBN : 979-419-266-X
Romansa Perjalanan terbagi atas tiga bagian, yaitu Romansa Perjalanan I (19 puisi), Romansa Perjalanan II (11 puisi) dan Romansa Perjalanan III (Bali) (43 puisi)
Beberapa pilihan puisi Kirjomulyo dalam Romansa
Perjalanan
Angin
Pagi
I
Yang pertama kuingat
dan terakhir kulupakan
adalah kau Ibu
Berkali kubuat dosa
dan noda
tidak kuterima
selain cinta dan air
mata
Berkali ku menatap
kerut Ibu
berkali jadi ngeri
bertanya dalam diri
Dengan apa menebus
segala itu?
II
Yang pertama kukenal
dan yang terakhir kutinggalkan
adalah kau alam
Tak dapat ku menyebut
dengan kata apa
tentang kau
tapi kaulah temanku
yang terdekat
Seluruh kepunyaanmu,
jiwamu sekali
melahirkan sesuatu
memimpin hati dan
mimpi
Memberi sesuatu
semacam cinta
III
Yang pertama kupunya
dan terakhir
kulepaskan
adalah kemerdekaan
Kemerdekaan yang lahir
semacam alam
bersayap semacam
burung
basah dengan cinta
semacam pagi
Mengatasi segala apa
pun
bagaimana juga
permintaannya
ataupun dibunuhnya aku
Inilah milikku yang
pertama-tama
IV
Yang pertama kucintai
dan akhirnya kukatakan
adalah kebenaran
Kebenaran yang lahir
dari arti
mengalir dan melekat
pada alam
dan hati
Kebenaran yang memberi
sesuatu
dan mencerminkan
alam, cinta dan
manusia
Karena ia adalah
semacam permata
V
Yang pertama kutulis
dan terakhir
kusajakkan
adalah cinta
Cinta yang jauh dan
dalam
kepada diri, kepada
ibu
kepada alam dan
bintang dan semua
Cinta yang panas
seperti api
sekali-sekali membakar
sekali-sekali
menyelimuti
Memandang hati semacam
alam
VI
Yang pertama kucari
dan terakhir kupunyai
adalah keindahan
Keindahan yang
terselip dalam diri
dalam hati, dari alam
dan perbuatan
menempel pada siang
dan malam
Semacam nelayan
mencari bintang tujuh
melupakan segala apa
pun
betapa ombak memecah
sampannya
Dan itu dipertahankan dari
apa pun
VII
Dan segala itu hanya
karena satu
cinta yang lahir dalam
diri
mendesak mencapai arti
Cinta yang lahir
semacam iman
dan merasa ia
satu-satu jalan
mendekati dirinya
Penggali
Batu Kapur
Beginilah ia bernyanyi
dengan irama gugur
batu
gugur bumi gugur hati
Hingga ladang berderak
burung-burung merendah
merasa berat langit
betapa berat hari
angin menggantungi
sayap
kabut meradangi arah
Entah ia melepas dera
entah bertahan dari
terik
atau bertantang keras
batu
nyanyinya sederas
getar derita
langsung mengenai
dasar
darahku memutih
tulang menyusut
– hula hulee hula ho
oo
hula hulee hula ho oo
Begitu, berat melepas
sekejap datang sekejap
hilang
ditiupkan arah angin
matanya pudar hijau
kapur
dahinya hitam hitam
batu
Peluhnya deras putih
letih
jejak makin dalam
lagunya makin
memanjang
hilang lepas-lepas
Ketika satu berhenti
mengayun
ia memandang padaku
bersenyum, senyum
ladang
bertanya dengan suara
bukit
– Tuan heran memandang
kami
kami lahir di tanah
kapur
anakku empat, anakku
putih
mata ayah hidung ibu
gelaknya melepas angin
– Aku terharu Bapa
seluruh umur di tanah
kapur
kulit Bapa hitam batu
mata Bapa jernih kapur
cinta berlebih dari
yang lain
hati Bapa hati
belerang
cinta alam sekeras
bintang
tak pernah kujumpakan
di mana pun
– Begitulah bercinta
umur
tapi jangan Tuan
terlalu lama
memandang kami
sebelah utara ada laut
sebelah selatan ada
pantai
Kalau kami tak
berjanji
pada diri dan kebun
halaman
sudah bukan lagi
penggali kapur
Salam Tuan
marilah turut
menyanyikan
akan Tuan rasa nanti
getar apa tersimpan di
hati
getar di hati kami
– hula hulee hula ho
oo
hula hulee hula ho oo
getar dalam hitam
malam
getar jauh biru laut
Jalan
Sumbawa
Di jalan ini laut
hatiku pasang
berbentur dengan alam
keliling
jangan lengang, putih
dinding
hitam tanah, bingkai
jendela
Di jalan ini aku
bergulat maut
berpaku antara memberi
dan menerima
dengan sekitar
dengan diri sendiri
Di jalan ini lahirnya
peristiwa
pengakuan kelahiran
tubuh
yang bisa hancur oleh
angin dan musim
Tapi soalnya jadi
merembet
berlarat menyusur
jalanan muram
dalam sadar dan
pengakuan
Begitulah di jalan
maut
mati hanya sekali
manis atau pahit hanya
sekali
berani atau ngeri
hanya sekali
Kenapa Tuan tersenyum
laut hati yang tak
pernah kering
akan menemukan alam
bintang
sekalipun bintang
kematian
Karena soalnya hanya
satu
ialah menemui hati
segala itu
menemukan dasar
dan memeluknya
kuat-kuat
Bila melepaskan sudah
mencair
dan terucapkan sekali
lagi
sekali berpeluk
sekali bercinta
sekali berlepas
Itu tidak nampak di
kerut jari
tidak menggaris di urat
nadi
bertempur dalam alam
sendiri
juga di jalan Sumbawa
di jalan lain
sunyi, berselimutkan
daunan malam
tapi apa yang berpecah
di dadanya
segenap peristiwa
kedirian
kelahiran dan kematian
yan tak akan teraba
dari jalan
sekalipun hatinya
menjenguk ke dalam ruang
Bukan maut jadi pusar
soalnya Tuan bertolak
dari mana
dari cinta besar,
cinta perempuan
atau dari cinta
anak-anak
Salamku padamu Her
kalau kau pulang malam
lihat ke dinding kiri
ada tulisan
putih-putih
– manis atau pahit
hanya sekali
karena soalnya hanya
satu
mencari dasar keduanya
menemukan hati seluruh
waktu
Di jalan ini aku
bertemu dan berpisah
antara duka dan mesra
karena telah
kudapatkan
sesuatu yang tak tentu
berbalas
Anak
Sapi dan Pura
Ia bergetar di atas
tanah
memandangi alam
terasa kosong, ada dan
melupakan
Ia melompat di hijau
rumput
menempuh jarak dengan
gerak
gerak dan gerak dan
gerak
Angin ladang menderai
angin pura menyelinap
aku berpaling antara
dua wajah
satu membayang hati
alam
satu membayang hati
bumi
aku rindukan dendam laut
Rindu sebenar rindu
dendam sebenar dendam
Jalan
Ubud
Begitu ia menyimpan
rahasia
hijau memberat
sunyi mendalam
Begitu ia menyimpan
peristiwa
antara hati dan bunga
antara benar dan
dahaga
Dahaga akan kebenaran
lain
dahaga akan darah
dahaga akan dendam
Satu yang meninggal
mengesan di lereng
aku tak mampu
mengenang
Serupa kemboja di
antaranya
telah begitu sunyi
begitu tak berdaun
Dan entah apa lagi
aku pulang dalam derak
tanah
gugur hati
gugur umur
Ku berharap ia bangkit
berderak di hatinya
mengadakan perlawanan
sekali lagi
Dyah Tantri
Padanya ada satu alam
yang mengungkap hati terbenam
dan melupakan dua kehendak
buat tidur dan tidur
Tidur karena melihat diri
membayang dalam ungkapan
menusuk dan menusuk
ia menatap muka sendiri
Begitu sebenarnya puisi
berkata dalam ungkapan
atas alam
atas diri
Pembuat
Nisan
I
Sekali setahun aku
bertanya
begitu dia yakin
kematian akan selalu tiba
begitu dia percaya
kematian selalu berpinta
Dirautnya batu-batu
berhari-hari
dalam ketiadaan ngeri
memandang kematian
seperti angin
Lewat dan tidak
membekas
datang dan tidak
menjejak
II
Dalam kegelisahannya
ia berkata
bulan sangat sunyi
dari orang mati
dan ia mengharap dalam
diamnya
Dalam kegelisahannya
ia berlagu
kupahat batu jadi
nisan
entah siapa akan
memakai
Kupahat batu jadi
nisan
tapi bulan sangat
sunyi dari kematian
III
Mereka berpinta mati
tapi aku berpaling
menanggung getar
kalau sampai waktu itu
Dan belum kucapai diri
Buat
H.B. Jassin
Dalam kemenangan
terselip kekalahan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah
pasir
Dalam kekalahan
terselip kemenangan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah
batu
Kila lahir dan
menerima sekali waktu
alam cinta, tangis dan
harap
Kita hadir dan
menerima sekali saat
kemenangan dan
kekalahannya
Hanya dalam sadar dan
yakin
dari keduanya,
lahirlah mesra
Desa
Satu tak pernah kutahu
apa tersimpan padanya
satu tak pernah
kukenal
apa tersimpan di air
mata
Merumpun di tengah
datar luas
menerima segala
memberi segala
sepucuk seruling
sehelai daun
Sangat indah –
mengalun berlonjakan
melepas sampai ke kali
menghilang di bukit
lain
Satu hari seorang
nenek pulang
menghilang dalam
rumpun
dan seorang anak
menjerit
nenek pulang, nenek
pulang
Seorang ayah
melambaikan tangan
apa kaubawa pulang
– bunga api bunga alam
bunga umur bunga mati
Ramai sejenak, indah
menderai
lalu seorang gadis
menjerit
jangan tinggalkan kami
jangan tinggalkan kami
Dan hilang segala itu
tinggal hijau rumpun
hijau awan
hitam langit
Di pintu desa sehelai
kain putih
lalu terdengar nyanyi
mati
melarut jauh
menghilang dalam
tangis
— kalau umur sudah
sampai
ke mana kan dicari
kalau umur sudah
saatnya
seribu jalan tak
berarti
Ku berpaku di hadapan
diri
ingin menemukan
hatinya
menjumpakan hakekat
ingin mengungkap
rahasia
Tapi seorang nenek
berkata
– kami berpangku di
bumi
lahir dan akan mati
padanya
Kami bermukim di alam
bermukim di hati Tuhan
berpinta mati di
ladang
Dan ia menunjuk
jauh ke tengah ladang
di mana matahari
mencekam
hati masih melekat
tanah
– mereka ada rahasia
sendiri
disimpan selama
umurnya
melekat di getar tanah
menempel di di dahan
kemuning
Ku mau mencintai nenek
tak pernah kutemukan
memiliki cinta tanah
dan menyimpan rahasia
begitu
Ialah berkubur di hati
ladang
betapapun tanah liat
telah mengisap umurnya
tanah batu telah
menjepit
Ku mau menyampaikan
– di desa ada cinta
menyala
sekeras tanah liat
sejauh luas ladang
– Yang wajar ini
lanjut
ambillah seruling
jangan yang lain
cinta kami telah tua
Tak bisa menyelesaikan
soal jawab masa depan
tanah liat tanah kami
sudah padat sudah
kering
Salamku padamu
beritakan rahasia ini
kembalilah, bawa cinta
cinta kuat cinta
lautan
Memori
Bukan soalnya aku
berharap
bukan pula mau
berpinta
Soalnya tak bisa ku
hidup
tanpa keindahan
keindahan wajah,
keindahan maut
keindahan cinta,
keindahan umur
Itulah, maka segala
kupertaruhkan
sampai dasar kematian
Dan sudah waktunya
jadi mengerti
kelahiran bukan lagi
main-main
kehadiran bukan lagi
tanpa sebab
serupa kelahiran puisi
bukan lahir tiada dera
bukan kata tiada arti
Ada satu selalu terasa
pertanyaan kecil selalu
terdengar
– apa itu kematian
apa itu kelahiran
Dan itu sangat cepat
berakhir
lalu mau dihabiskan
untuk apa
kalau tidak mengecap
sampai ke dasar
kalau tak mencapai
kemenangan terakhir
O, hijau ladang, hijau
hati
hitam langit, hitam
wajah
padamulah aku lahir,
tidur dan mati
padamu segala jadi
terasa
umur bukan lagi soal
besar
umur bukan lagi satu
penolakan
Telah kualami
segenap dasar
kejahatan
segenap dasar
keluhuran
keduanya lahir satu
sumber
antara cinta diri dan
cinta waktu
Itulah soalnya aku
bertaruh waktu
juga karena umur
serupa perawan
hitam manis, hitam
madu
Ada orang kata
simpanlah buat esok
esok, esok, dan esok
Esok yang mana
tak ada kematian lain
dari satu itu
tak ada kenikmatan
lain
dari yang sekarang
langsung
Soalnya hanya cinta
ketemu dia,
berjumpalah yang lain
Dan tundalah soal
kematian
serupa alam menunda
laut
ia hanya sekali
lupakanlah
Lihatlah silang-silang
jari
lihatlah silang-silang
hati
dekaplah sampai ke
rongganya
dengar apa ia berkata
Kalau berpisah setelah
bersua
apa itu malam
apa itu fajar, pagi
dan malam
apa itu dendam, cinta
dan umur
Serasa kutemukan waktu
danau
danau yang nampak dasarnya
Ingati sekali lagi
ia datang hanya sekali
kalau datang bagai
fajar
Potret
Tidur
Begitu ujud dalam
tidur
segala jadi sama,
indah-sunyi dan tulus
terpisah rambut dari
mimpi
tangan dari hasrat
mata dari hati
Jadi sebagian dari
alam
yang tak pernah
terletak dera
dan melekat dengan
mesra
seperti anak di
pelukan ibu
lepas dari emas, getar
dan kengerian
Sebelah-sebelah tubuh
dan rambut
jadi satu permainan
dengan cahaya lampu
seperti permainan hati
dengan mimpi
aku tak jadi berbuat
apa pun
bagaimana pernah
melukai
Malah menuliskannya
kedamaian dan keutuhan
dalam selip-selip
keinginan
kalau kucapai
kedamaian sehari-hari
seperti kedamaiannya
Tapi bagaimana bisa?
Pulang
Kampung
Derak yang melonjakkan
langkah
telah letih direnggut
waktu
selangkah makin
pelahan
selangkah makin
pelahan
Tapi hati yang dibawa
membayang dalam wajah
terasa bicara
pada celah-celap redup
– tiba saatnya ku
pulang
pulang ke hati
pulang ke mimpi
Tiba saatku bersua
cinta remaja
cinta dewasa
Dan di jalan simpang
ia berpaling
berpisah
dan terdengar jerit
membersit
– begitu di jalan
pulang
Sindoro
Sumbing
Ada kala, yang jarang
sekali
aku tak bisa lepas
dari alam
tak bisa melupakan
tak bisa mengingkari
kenyataan
yang menggulat
kesadaran
menggulat kecintaan
dan sekali terhempas
dalam pusaran kabut,
hitam menggigil
yang tak pernah
dijumpakan di kota mana pun
Terpaku, menghadapi
sebentuk ujud
kebesaran, keagungan
dan penyerahan
menyerah menengadah
membiarkan segala
lewat
membiarkan segala
terjadi dan memeluk
melipat dataran hijau
siang dipeluk matahari
malam didekap bulan
senja dicengkam laut
pasang
Terasa menghadapi
sebentuk hati bumi
menghadapi kemutlakan
kesewajaran dan
kehadiran yang penuh
menerima segala tiba
dengan segala, seluruh
tubuh
hati dan kekayaannya
bulan, matahari, angin
dan musim
kabut, malam dan
halilintar
bahkan gemuruh laut
tidak dicacinya
Meletakkan kedua
tangannya
menengadah dengan
wajah terbuka
melepas menyanyikan
sebuah nyanyian
Yang tak pernah
dipunyai oleh siapa pun
menerima segala
kejadian
seperti sudah menjadi
kepunyaannya
tidak menolak
tidak membenci
tidak berpaling dari
arah semula
Ia menyimpan rahasia
alam
yang tak akan pernah
diketahui oleh manusia
dan tak akan pernah
dikatakan kepada siapa pun
memeluk sampai tiba
waktunya
tak ada lagi angin
musim
tandus dan kering
segala
pecah berkaparan
lepas dari ikatan
pusar bumi
lepas dari ikatan
cinta malam
Membiarkan segala
bermain di hatinya
anak-anak gembala
lari melingkar
putar-putaran gunduk
padang-padang hijau
dibiarkan melepas
nyanyian alam
nyanyian kelepasan dan
kecintaan alam hari
mengejar kecepatan
hari
sampai letih
sampai lelah
Di hatinya turut indah
berkemandang
sekejap datang
sekejap pergi
sekejap menghilang
Seperti malu kesipuan
mencari sebentuk batu
menyembunyikan diri
dari siang
menyembunyikan diri
dari dera
menahan tangis yang
pernah dipeluk
waktu menghadapi
matinya sendiri
Terasa kehadirannya
mencapai
sesuatu bentuk
keindahan dan kemesraan
sebentuk penerimaan
digulat kegirangan
sebentuk kewajaran
dipeluk gairah
melukis sebentuk
keikhlasan
sekumpulan impian dan
kenangan
sekumpulan kecintaan
dan kengerian
sekumpulan kejadian
manusia, alam dan hari
tersusun dijalin angin
dan musim
Di hatinya, di
keningnya
pecah-pecah memancar
nyanyian bukit
menyelinap di antara
pepohonan
Di antara batu dan
kapur
menyuruk ke
jurang-jurang
membelit,
melingkar-lingkar
mengabarkan hari akan
siang
hari akan malam
hari akan berhenti
Terasalah di
hadapannya
sebentuk batin manusia
yang pernah diimpikan
memiliki segalanya
memiliki alam, laut
dan kebiruan jauh
meletakkan hatinya
pada bulat tanah
di tengah kehijauan
di tengah kengerian
di tengah kecintaan
di tengah apa pun
Yang tak pernah
menolak
ketibaan pagi, siang,
malam dan larut
ketibaan maut, lahir
dan dera
mengalirkan
sungai-sungai jernih
menjangkau laut
membersitkan cahaya
dingin
ke tengah-tengah kota
dan desa
dengan kedua tangan
dengan kedua hati
Membantu tak menolak
kedatangan musim
tak menolak ketibaan
bayang-bayang
seharian membiarkan
segala yang datang
untuk berbuat di
tengah-tengah hatinya
membiarkan anak-anak
mengejar gairah
membiarkan orang-orang
memburu cinta
orang-orang memburu
umur
dan bertahan dari
sepi, dan penyelesaian
dan tak pernah
menghitung waktu
Tidak menanyakan
apakah hari besok
sudah waktunya selesai
tidak menanyakan
apakah hari lusa
tak ada musim gugur di
langit
tidak menanyakan
apakah malam nanti
akan tiba hari
kematian bagi manusia
menanggung di antara
kabut
memandang jauh
memandang dalam
Sehari-hari,
semalam-malaman
meletakkan kedua
tangan
meletakkan kedua hati
mengerjakan rahasia
alam
mengerjakan rahasia
lahir, rahasia batin
mengalirkan
sungai-sungai kecil
melewati batas-batas
kota dan desa
menjangkau laut
sejauh-jauhnya
menjangkau diri
sedalam-dalamnya
Pasar
Malam
Sejenak diriku
berpecah
melekat di tebaran
lampu
ingin menggapai
sekelumit girang
dalam pecahan warna
yang langsung bicara,
bicara
Tapi tak ada bisa
kucapai
masih pula diriku
didesak rindu
rindu wajah rindu
gelak
yang pernah ditemukan
Tak ada arti segenap
penjuru
langsung memancar
langsung menghilang
ingin selekasnya
melempar diri
ke alam jauh, jauh
Hilang diri dari dalam
derai
membungkam dalam
nyanyi
membeku dalam sadar
tak mengerti, kenapa
Seharusnya banyak bisa
dikatakan
pecahan lampu dan hati
pergulatan diri dalam
ujud
perlawanan hati dalam
bentuk
berhambur mencari
penyelesaian
Satu langsung bunuh
diri
membuat permainan di
atas permainan
satu langsung bunuh
arti
mencapai penyelesaian
dalam kelakar
Banyak bisa dikatakan
gerak kegirangan
lonjak anak
langsung menerima dan
tertawa
berderak mengikuti
irama gendang
yang membenam segenap
peristiwa
Tapi makin bertebar
hati
makin mendesak rindu
ingin dibunuhnya semua
itu
segenap jerit dan
gelak
Tapi masih bisa sadar
ia tak bersendiri di
tanah getar
ditariknya kembali
diri
mencari rindu yang
pernah diketemukan
mencari gelak yang
jernih
yang pernah dirabanya
Dan itu hampir jauh
malam
Jalan
Jempiring
Derai daunan tiba
pelahan
beserta keindahan
senja
bersama seujud wajah
wanita
Aku tertegun
antara hati dan puisi
bersilang antara dua
kehendak
Ke mana akan pergi
menuruti hati
atau menuruti hari
Dan langit baru
melupakan
keduanya
Akhir
Bulan Delapan
I
Akhirnya tiba saat
berpisah
terputus sesuatu yang
pernah bertali
antara waktu, jarak
dan peristiwa
Ku berharap atas itu
ia menetap dalam diri
aku menetap pada
hatinya
Waktu saat berkubur
kau bisa mengantar
pagi
Aku tak sempat
mengucap salam
II
Tak pernah ku berpisah
sedalam ini
daunan menderai jauh
berkata
kuantar saat kembali
kuantar saat kembali
Dan langit begitu
manis berwajah
umur begitu lapang di
dada
Pasir
Pantai
Kering pasir terasa
dijejak kaki
membakar darah jadi
beku
Aku melihat diri dalam
laut
aku melihat laut dalam
diri
Jauh langit terasa
pahit
jauh senja menjadi
kaca
Aku takut menghadapi
Tentang Kirjomulyo
Kirjomulyo lahir di Yogyakarta tahun 1930. Seorang penyair dan penulis
drama. Puisinya tersebar di majalah Mimbar
Indonesia, Zenith dan Seni.
Kumpulan puisinya Romance Perjalanan
(1955). Tiga naskah dramanya yang sering dipentaskan adalah Nona Marjan (1955), Pengali Kapur (1956) dan Penggali
Intan (1957), itu belum termasuk 24 naskah drama lagi yang pernah terbit di
majalah maupun buku.
Catatan
Lain
Biodata penyair ada di sampul belakang buku, juga ada keterangan di sana
yang mengatakan bahwa: “Nada puisi Kirjomulyo melodius, menembangkan dan
merenungi alam sebagai ujud ciptaan untuk menemukan inti hakikatnya.” Juga ada
keterangan yang menyebutkan bahwa penyair ini suka hidup berkelana ke berbagai
daerah pedalaman. Pernah pula menetap sebentar di ibukota membantu abangnya,
pemain film dan pelawak Hardjomuljo.
Di bagian lain (depan)
juga ada keterangan bahwa bagian pertama buku ini pernah terbit dengan judul Romance Perjalanan, Yogyakarta, 1955.
Terima kasih untuk sajak-sajak Kirjomulyo yang sungguh punya ciri-ciri tersendiri. Saya ingin tahu kapan tahun penulisan sajak Sindoro Sumbing. Apakah tersebut dalam kumpulan Romansa perjalanan ? Terima kasih atas perhatiannya.
BalasHapusSastra Lukita@gmail.com
Montreal, Kebek, Kanada
Sajak-sajak di kumpulan ini, tak ada disebut kapan penulisannya. Tapi kalo memperhatikan bahwa sajak Sindoro Sumbing ada di bagian pertama Romansa Perjalanan, maka dapat diperkirakan bahwa sajak itu ditulis tahun 1955 ke bawah.
HapusTerima kasih banyak atas jawabannya.
HapusSastra Lukita
Montreal, Qc, Kanada