Data buku
Judul : Tuhan
& Hal-hal yang Tak Selesai
Penulis :
Goenawan Mohamad
Cetakan : I,
2007
Penerbit : Katakita,
Jakarta.
Tebal : 166 halaman (99 tatal)
ISBN : 979-3778-48-2
Desain sampul dan tata letak isi : Cecil Mariani
Foto sampul : Martin
Westlake
Penerjemah ke bahasa
inggris : Laksmi Pamuntjak, On God and
Other Unfinished Things.
“Di tahun 1925 dari tangan Roestam Effendi terbit Pertjikan Permenungan, sejumlah sajak. Buku ini merupakan
ikutannya, meskipun mengambil bentuk lain. … Ke-99 “percikan” ini terkadang
bisa dibaca sebagai bagian yang saling mendukung atau membantah, terkadang bisa
dibaca sebagai tulisan yang berdiri sendiri-sendiri.” (Prakata, Goenawan Mohamad)
Beberapa pilihan esai-puitik Goenawan Mohamad dalam Tuhan
& Hal-hal yang Tak Selesai
2
Karena malam tak
sepenuhnya tertembus, juga
oleh kelelawar yang
mabuk, taufan antah-berantah
dan rembulan yang
gila, harapan jangan-jangan
bermula dari sikap
yang tak mengeluh pada batas.
Makin tahu manusia tentang
luasnya alam semesta,
makin tampak bumi
menyendiri dan manusia
terpencil. Planet ini
hanya setitik noktah yang
cepat hilang. Tapi
pada saat yang sama, dalam
keadaan yang praktis
terabaikan itu, hilang dan
ketiadaan bukanlah
sesuatu yang luar biasa.
Hidup begitu dekat dan
Ketiadaan begitu megah.
Saya teringat sebaris
kalimat Sitor Situmorang
dalam sajak “Cathedral
des Chartres”: “hidup dan
kiamat bersatu padu.”
9
Angkor Wat: saya berdiri di depan Candi Bayon.
Hutan dan kesunyian,
patung dan puing, kabut dan
hujan, dan para biksu
yang berteduh di ruang-ruang
kecil candi seraya
bersemadhi …
Tidakkah mereka
sebenarnya tengah bersatu dengan
Waktu yang tak terduga
dalamnya – bukan waktu
yang dibentangkan ke
khalayak ramai, bukan waktu
yang gampang diukur,
tapi sebuah ekstasis. Saat
yang dahsyat. Saat
ketika sang subyek raib, tak lagi
berdaulat.
Buddha memang
mengajarkan anatman dan anitya:
ia menunjukkan bahwa
tak ada subyek yang sama,
tak ada yang permanen.
Hidup adalah sebuah arus
eksistensi yang selalu
lahir kembali, tapi tiap-tiap
kali berbeda,
tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak
ingat akan kelahiran
sebelumnya, juga tak akan tahu
kelahiran yang kelak.
Agaknya itu sebabnya
kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta,
tak henti-hentinya ditulis
dan diabadikan oleh
para penyair – dan apa yang
menggetarkan dari Mahabharata, yang sayu dari
Shakespeare tak terasa
sebagai hanya replika, tak
cuma mengulang hal
yang itu-itu saja.
Sebab itu, bagi mereka
yang percaya akan dukkha,
anatman, dan anitya, patung adalah
puing, hutan
adalah kesunyian, dan
hujan seperti kabut.
74
Antara alasan dan arah
terbentang garis, tapi tak
selamanya hidup
menempuh garis itu. Mawar
ada tanpa kenapa, ia
mekar karena mekar, kata
Angelus Silesius.
Tak adakah alasan
Tuhan? Sang mistikus
akan menjawab “tidak.”
Hanya Tuhan yang
dibayangkan sebagai
sosok, hanya Tuhan macam
itu yang butuh alasan
dan tujuan – dan dengan
demikian seakan-akan
Ia bergerak dalam-ruang.
Tanpa kejutan. Tanpa
menyebabkan rasa lega.
Mungkin itu sebabnya
Nietzsche hanya mau
percaya kepada Tuhan
yang menari.
63
Tamblingan: Siapa yang pernah menanam pohon
akan tahu bahwa yang
tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam
ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.
Berapa ratus tahun
terhimpun dalam hutan yang
masih utuh di
sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan
muda saling merapat, jalin-
menjalin bersama
perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh
gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan
menyembunyikan jalan setapak.
Senja itu saya berjalan
di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara
itu, menembus semak,
entah berapa
kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh
bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau,
tampak sebuah pura kecil
yang nyaris
terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu,
yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik
seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil
daun damar. Abad seakan-
akan bergetar di ruas
batang trembesi.
Mungkin sebab itu,
ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan
sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan
akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu
pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu –
hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak
lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya
punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak,
menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia.
Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan
damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang
pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.
Hutan, saya kira,
adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih
belum hilang, di mana
Misteri belum
dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-
raja yang uzur
menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk –
seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi
dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri
jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia.
Mereka datang ke rimba
menemui kembali
pohon-pohon.
35
Saya berdiri di bawah
surya pukul 9:00 yang
menyenangkan di sebuah
pagi di tahun 1962.
Pori-pori kulit serasa
bergetar, ultraviolet matahari
meresap. Saya
sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk
bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan,
bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.
Apa gerangan arti
burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang?
Di tahun 1960-an itu saya
telah melupakan
pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang,
dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada
nilai tersendiri dalam hal-
ikhwal yang cuma
melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia
adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,”
“Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” –
semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik,
poster, dan pengeras
suara, semuanya
menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandangi
kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar,
tak pernah saya terkesima
akan hal yang
sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang
menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan
jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata
selama ini saya tak punya
waktu buat
tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar
dunia jadi lebih adil di masa
depan.
Ada yang salah
agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak
bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran
hari ini.
81
Kita hidup dengan
warisan Cervantes. Para
ksatria telah punah.
Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng
yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan
diri seorang Don yang
bersedia berperang
untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah
tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia
meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan
berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia
majenun.
Namun dari tangan
Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang
mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza.
Petani pendek tambun dengan
pikiran sederhana ini
mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan
tidak.
“Ajaibilah aku tanpa
keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya
waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan
kincir angin bukanlah
bertempur melawan
raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak
melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang
dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak
meninggalkan Alonzo
Quixano.
Bagi Sancho, hidup
adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa
yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya
terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata
manusia juga bisa
menghendaki sesuatu
yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan.
Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar
tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia
untuk membuat sejarah.
Justru karena miskin,
Sancho bisa dekat dengan
Don Quixote.
Ia tahu hanya
manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan
perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi.
“Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,”
begitulah ia berkata.
89
Keadilan adalah
sesuatu yang ada justru karena
tak hadir. Ia ibarat
akanan. Kita melihatnya ketika
kita berdiri di tepi
laut dan memandang nun
jauh di sana, tanpa
tahu bagaimana wujudnya.
Ia kosong yang selaik
kolong – kosong yang
dapat diberi nama dan
ditunjuk. Ia absensi yang
menghimbau; tandanya
luka pedih yang terjadi
ketika ketidak-adilan
menguasai ruang.
Mungkin itulah
sebabnya riwayat pergolakan
sosial di Indonesia
adalah riwayat orang-orang
tertindas yang
menantikan yang tak ada: Ratu
Adil. Semakin absen
keadilan, semakin yakin
orang-orang ia akan
muncul secara dramatis di
hari akhir.
Akhirnya sejarah
adalah kisah orang-orang yang
mencicil: dalam
penantian itu, manusia menebus
yang absen dengan
mencoba merawat keadilan
(dengan “K”) tiap
hari, bagaikan merawat lapisan
humus di ladang
kebersamaan.
Keadilan, dengan “K”,
tentus saja tetap disimpan
dalam kamus, meskipun
kamus itu tak dapat
mendefinisikannya dan
mengurungnya.
45
Praha, atau Den Haag,
atau … Kota ini seperti tak
terbiasa juga dengan
dingin, dengan malam,
meskipun berabad-abad
ia berdiri, setengah
lelah. Gedung-gedung
menanggungkan musim
tak putus-putusnya,
tapi juga di ujung Oktober
ini ada yang terasa
mengkeret oleh cuaca; plasa,
taman, boulevard, juga
pasar yang tadi siang
terhampar. Hujan
menjatuhkan ujungnya yang
tajam, kerap, dingin.
Dari beberapa sudut,
lampu jalan –
masing-masing seperti bersendiri
– adalah cahaya yang
kuyup. Angin mengaum.
Kita mendengar derunya
lewat di antara celah
yang terbentuk oleh
bangunan tinggi.
Tak ada orang di
jalanan. Semakin larut malam,
semakin tampak aspal
dan semen bertambah
datar. Mobil melintas
satu-satu, seperti terpaksa.
Trem, bahkan dengan
derak roda pada rel, jadi
bagian dari sunyi yang
tak dikehendaki.
Kota ini seperti tak
terbiasa juga dengan malam
… Tapi benarkah? Tiap
kota mengandung paras
yang pura-pura. Tiap
kota punya wajah yang
hanya kita ingat
ketika gelap, hujan, dingin,
Desember; datang. Tiap
kota adalah ruang scene
dan ob-scene: ada yang dipertontonkan, ada
yang
disingkirkan seperti
najis. Gelandangan yang
merapat ke
pojok-pojok. Para penjaga malam
yang merasa sial.
Pelacur yang terhalau. Bajingan
yang selamanya siap.
Di sebelah lain dari poster
iklan Gucci yang
dipasang di halte-halte, mungkin
ada anak kecil penjual
korek api dari cerita
Andersen, seorang
bocah lapar yang mencoba
melawan beku, di
sebuah hari Natal, dengan
menyalakan batang-batang
geretan satu demi
satu, sampai habis.
Kita tahu ia akan mati, tak
nampak.
67
Laut itu perempuan.
Menurut legenda yang
beredar sejak Mataram,
ia Ratu Kidul dari
samudera Selatan yang
sesekali datang
mendampingi Panembahan
Senapati, pendiri
kerajaan itu, orang
kuat abad ke-16.
Dalam Kitab Wedhatama yang ditulis tiga abad
kemudian, Senapati
bukanlah seorang penakluk,
tapi pertapa
pengembara yang menyapa siapa saja
dengan manis, sabar
dan tulus, mardawa ing budaya
tulus. Demikianlah di pantai selatan itu ia duduk
bersemadi hingga
larut, mengundang datang ke
dalam dirinya sumber
yang dalam dan jauh yang
mengirim ombak tak
putus-putusnya.
Tapi ada ambivalensi
di sini. Dalam semadi itu
laut menjelma jadi
sesuatu yang masuk ke dalam
diri, namun ia
seakan-akan dapat digenggam di
telapak tangan:
Kinemat kamot ing ndriya
Rinegem sagegem dadi
Dengan kata lain, di
satu pihak Senapati
membiarkan dirinya
terbuka kepada yang-lain
yang nun di sana, tapi
di lain pihak ada kehendak
merengkuh dan
berdaulat atasnya, dumadya
angratoni. Dalam dirinya ada sikap menghayati
hidup sebagai
pengembaraan di atas bumi, di
bawah langit, di
antara yang fana, di hadapan
yang “ilahiat” – empat
lipatan yang disebut
Heidegger sebagai das Geviert. Tapi pada saat
yang sama Wedhatama meletakkannya dalam posisi
yang unggul. Kepadanya
sang Ratu Kidul datang
merunduk, sor prabawa lan wong agung ngeksiganda,
bagaikan kalah oleh
aura yang terpancar dari
orang agung Mataram
itu.
Tapi bagaimana pun
sang laut tetap berdaulat.
Ratu Kidul hanya
datang mendampingi sang
pertapa dalam alam
yang tak terlihat, dalam
momen yang hening, djoroning alam palimunan,
ing pasaban saben sepi. Dengan kata lain, dalam
suasana meditatif.
Hanya dengan itu, hanya
dalam keadaan itu, di
mana empati berbicara
nugraha atau berkat Sang Ratu masih berlaku.
56
Yang membedakan
Sherlock Holmes dari tokoh
dalam dongeng Andersen
ialah pipanya. Dengan
itu sang detektif
menutup mulutnya, menghindari
percakapan,
berkonsentrasi penuh untuk berpikir,
dan secara sistematis
menggerakkan nalarnya
setapak demi setapak
sampai akhirnya, bravo, sang
pembunuh terungkap.
Baru setelah itu, Holmes
berbicara dengan
sahabatnya, Watson. Atau lebih
tepat, menjelaskan logikanya
kepada pembaca
melalui Watson.
Dalam dongeng
Andersen, tokoh dan kebenaran
lahir bersama dalam
percakapan. Bahkan
terkadang dalam keramaian.
Tentang maharaja
yang tertipu pakaian
ajaib, misalnya. Kita ingat
saat kebenaran muncul
ketika di sela-sela para
penonton yang tengah
mengelu-elukan maharaja
itu seorang bocah
berteriak, “Hai, baginda
telanjang!” hingga
orang ramai pun sadar bahwa
si anak benar dan
mereka pun berteriak, “Hai,
baginda telanjang!”
Tapi Andersen tak
menutup dongengnya di
sini. Alkisah, Baginda
pun tetap melanjutkan
parade, tetap tegak,
tetap bugil, dan seperti yakin.
Mungkin ia berharap
orang ramai itu akhirnya
akan percaya bahwa ia
sedang mengenakan
pakaian yang tak akan
tampak oleh mata mereka
yang pandir.
Dengan kata lain ia
mempersoalkan: apa
kebenaran, sebenarnya?
Seandainya ia pernah
dengar Goebbels …
Goebbels, menteri
propaganda Nazi itu,
memperkenalkan sebuah
mekanisme: bila
sepotong dusta
diteruskan berulang-ulang, ia akan
berubah jadi
kebenaran. Dengan meneruskan
parade, sang maharaja
tampaknya setuju bahwa
kebenaran adalah hasil
konsensus, dan konsensus
tak bebas dari
kebohongan dan kekuasaan.
Dalam arti tertentu
dongeng ini menertawakan
zaman rasionalisme,
ketika subyek diperlakukan
sebagai sumber nalar
yang kekar dan lurus –
ketika orang menduga
bahwa tak ada kekuasaan
di luar itu dan
percaya bahwa kita bisa mencapai
kebenaran dengan
memasang pipa di mulut, tak
bicara, menyendiri.
28
Agama dimulai dari
hening dan saat yang
dahsyat dan berakhir
dengan konstruksi. Budha
di bawah sebatang
pohon di Bodh Gaya, Musa
di puncak Sinai,
Muhammad di Gua Hira: tiap
situasi hadir sebagai
situasi terpuncak, momen
yang tak lazim, ketika
seseorang mengalami
kehadiran sesuatu yang
Maha Lain, yang numinous,
sebagaimana digambarkan
Rudolf Otto: misterius,
menakutkan, memukau.
Di abad ke-5, atau 500
tahun sebelumnya,
Santo Agustinus mengucapkan
perasaan yang mirip:
“Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”
Agama dimulai dengan
gemetar, ada rasa kasih
dan ngeri, ada amor dan horror – tapi tampaknya
sesuatu dalam sejarah manusia
telah menyebabkan
ia berakhir dengan sesuatu
yang rapi: desain dan
bangunan. Berabad-abad
setelah bertemu dengan
sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu
yang
tak lagi mengungkapkan
senyap. Di hadapan kita
kenisah yang megah,
mesjid yang agung, gereja
yang gigantis, patung
Budha dari emas yang
terbujur 14 meter,
pagoda dengan pucuk yang
berkilau – dan umat
yang makmum, berdesak …
Tampaknya pengalaman
religius akhirnya selalu
dicoba diabadikan
dengan sesuatu yang kukuh
– yang sebenarnya
fantasi tentang yang kekal.
Atau yang menjulang –
yang sebenarnya fantasi
tentang yang luhur.
Atau yang gemerlapan – yang
sebenarnya fantasi
tentang yang indah mempesona.
Akhirnya bukan sepi
yang mengambil alih, tapi
struktur.
Yang umumnya tak
disadari ialah bahwa struktur
itu harus disusun
dengan kekuatan yang terhimpun.
Siasat dan alat harus
dikerahkan seperti ketika
kita membangun
imperium dan mengurus bisnis.
Kalkulasi akan dibuat
atas segalanya, termasuk
waktu – yang tak lagi
sama dengan momen ajaib.
Waktu jadi sesuatu
yang bisa dipetak-petak dan
diukur. Waktu jadi seculum.
Persis di situlah yang
sekuler merasuk di dalam
yang religius.
34
Yang indah memang bisa
menghibur selama-
lamanya, membubuhkan
luka selama-lamanya,
meskipun puisi dan
benda seni bisa lenyap. Ia
seakan-akan roh yang
hadir dan pergi ketika kata
dilupakan dan benda
jadi aus.
Tapi apa arti roh
tanpa tubuh yang buncah dan
terbelah? Keindahan
tak bisa jadi total. Ketika
ia merangkum total, ia
abstrak, dan manusia dan
dunia tak akan saling
menyapa lagi.
91
Dengan menerima
metafor kita tahu, bahwa pada
mulanya bukanlah Kata,
melainkan tafsir. Dunia
menyentuhnya sepanjang
perjalanan, ruang dan
waktu mengubahnya.
Memang mencemaskan
jika Yang Kekal, juga
tanda-tandanya, tak
hadir di antara kita:
masa lalu akan terasa
bodoh dan masa depan
hampa. Tapi kesalahan
kita selama ini ialah
menyimpulkan bahwa
jika Yang Kekal mustahil
bergabung dengan yang
fana, maka ia sebenarnya
tak ada. Atau
sebaliknya: yang fana kita anggap
yang berdosa.
Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad
lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas
Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga
mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin
Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude
(kump. Puisi, 1973), Seks, Sastra, Kita
(kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir.
Menerima hadiah sastra ASEAN (1981). Saat ini menjadi pemimpin redaksi majalah
Tempo.
Catatan
Lain
Buku Goenawan Mohamad ini, disebut-sebut sebagai kumpulan esai
amat pendek. Sejak menemukannya di rak buku penyair Y.S. Agus Suseno, saya
membiarkannya tak tersentuh tapi tetap menyisihkannya ke kumpulan buku-buku
yang “ingin saya pinjam”. Belakangan, ketika buku-buku yang sudah dipinjam
hampir habis saya lahap, saya menengok lagi. Baiklah, saya masukkan saja, dengan alasan, ini
adalah esai bertipografi puisi, yaitu disusun atas bait-bait sebagaimana umumnya
puisi. Dengan alasan itu pula, saya kutipkan puisi GM yang pernah dimuat di
Kompas pada 21 Februari 2010, sebagai perbandingan. Hehe. Kalau menengok asal
buku, sepertinya tulisan di halaman awal bisa jadi petunjuk: “Untuk//sahabat
yb, YS Agus Suseno//rtb-ida//Yogya, Des ‘07” Sepertinya buku ini dikasih sama
Raudal Tanjung Banua.
Dalam Kemah
Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah
potongan-
potongan pendek interupsi – lima menit, tujuh menit, empat … Dan aku
akan
menatapmu dalam tidur.
Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan? Mungkin sebenarnya
kita
terlena oleh suara hujan di terpal kemah. Di ruang yang melindungi kita
untuk
sementara ini aku, optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin
menghibur,
hanya nyala tak ada lagi: kini petromaks seakan-akan terbenam. Jam jadi
terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.
Kemudian kau mimpi. Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap
napasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa
memanggilnya.
Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan
kita.
2010
Di Depan Sancho Panza
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.
Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”
Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.
“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
2009
Teleskop
Ia memandangimu dari jauh: sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan,
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum: pejalan cahaya yang
sebenarnya takut
menyentuhmu.
Itu sebabnya, nak, pada suatu sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang
itu, tempat
kau pada suatu hari duduk. Tak ada jejak di sana. Mungkin tubuhmu
selamanya tak
menginjak bumi: seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap
yang
bergetar berulang kali.
Ia tahu tanganmu menanting jam. Berkeringat. Tapi ia tak akan berani
menghambur
ke depan menawarkan akhir yang lain. Ia hanya akan kembali memandangimu
dari
jarak yang tak tentu. Merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang
yang
memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu
di saku jaketnya. Sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam
di depan
pintu itu, ia sudah ingin berkata: Lihat, aku tak menguntitmu. Tapi ia
tak pernah yakin
kepada siapa ia berkata. Ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan. Hanya
jam itu, di
tanganmu, yang selamanya mengejutkan.
2009
Terima kasih saya KEPADA PUISI.
BalasHapusBlog yang sangat kerreenn. Terima kasih KEPADA PUISI....
BalasHapusTerimakasih min 🙏
BalasHapus