Minggu, 03 November 2013

Ediruslan PE Amanriza: SURAT-SURATKU KEPADA GN


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Surat-suratku Kepada GN
Penulis : Ediruslan PE Amanriza
Cetakan : I, 1983
Penerbit : Mutiara, Jakarta
Tebal : 62 halaman ( 45 puisi)

Beberapa pilihan puisi Ediruslan PE Amanriza dalam Surat-suratku Kepada GN

Riau

Di Riau
Banjir jadi pantun sepanjang sungai
Air menjilat lantai rumah kami
Air padamkan api di tungku kami
Air basahkan tikar
Dan bubung dalam kelambu kami
Banjir menghanyutkan mimpi-mimpi kami

Di Riau
Kami tak sempat lagi bernyanyi



Kabut di Belantara Hutan Itu Berpendaran

I
Kabut di belantara hutan itu berpendaran
Sunyi di belantara hutan itu kedinginan
Ada sungai kecil di bukit hutan itu kehausan
Sebuah danau di belantara hutan itu menyerah ke langit

Tiada bayang-bayang
Dari bulan atau bintang atau kunang-kunang
Semuanya kehilangan jejak di perjalanan
Ketika datang kabut di belantara hutan itu cahaya pun susut
Gelap terkurung dalam waktu di bukit hutan itu

Suatu tempat
Terkepung dalam kabut di belantara hutan itu

II
Ke sana kita menuju kasihku


Surat, 11

(surat seorang yang ingin jadi penyair kepada ibunya)

Ibu,
bacalah sajak-sajakku:

            dua ekor burung
            mati di luar pagar rumahku
            tadi pagi
            setelah saling mematuk sehari suntuk
            berebut dahan
            tempat bersarang

Ibu,
bacalah sajak-sajakku:

            sekawanan babi hutan
            melahap sekandang ayam tadi malam
            setelah tak menemukan
            umbi-umbian

Ibu,
bacalah sajak-sajakku:

            harimau dan gajah
            menyandera seribu desa
            menuntut kulit dan gading kaumnya
            dikembalikan kepada mereka

Ibu,
sajak-sajak itu
memang belum dimuat
koran kota


Sungai

yang hilir itukah surutmu yang sungsang itukah pasangmu
yang hanyut itukah nasibku
yang curam itukah tebingmu yang laju itukah arusmu
buih itukah aku
yang dalam itukah telukmu
semayup panjang tanjungmu
hilang di sana
jejakku


Ratap

(sebuah sajak yang tak pernah selesai)

di laut manakah tenggelam seribu mimpiku
di hutan manakah tersesat seribu hasratku
di gunung manakah gamang segenap dayaku
di ngarai manakah sangsai saudara-saudaraku
yang tenggelam bersamaku di laut
yang tersesat bersamaku di hutan
yang gamang bersamaku di gunung
yang sangsai bersamaku di ngarai
yang bermimpi bersamaku
di sini

di horison manakah terkepung
seribu waktuku tak rampung
di cewang langit manakah badai itu tergantung
sampai resah tak pecah
sampai badai tak sampai
ke malam-malam
di mana kami
tak sedap
duduk diam


Malam di Teluk

bukit-bukit
batu
dan karang
tumpuan angin selatan
ada ladang-ladang cengkeh semakin tua di pinggangnya
bunganya dipatahkan musim tiba

dan jalan setapak, mendaki
yang dulu selalu kau jaga dengan teliti
kini padam
tak lagi dapat kau baca
nyanyian bergema di sana
rindu
ataukah
duka


Hijrah

Telah kusiapkan keletihan
Akan sebuah perjalanan yang panjang

Telah kusiapkan kelaparan
Menghadap hari-hari yang garang

Telah kusediakan kekecewaan
Bila harapan dilumpuhkan

Telah kusiapkan duka
Lagu kita di perjalanan


Allah

Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap hari
dalam diri
Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap hari
di ujung lidah
Allah
Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap hari
rampung sudah
sunyiku
Di mana-mana
Allah
Allah
Allah


?

inikah saatnya
tidurmu sepanjang malam akan menjadi lengang
ladang-ladang mimpimu punah terbakar
tinggal sehelai pelangi berjingkat di langit pagi
ambillah
balut lukamu, Sri


Lampu

Lampu
di bukit sendiri
tikamkan cahayamu
ke kelam laut tak bertepi

Lampu
di laut malam hari
terkatung-katung cahayamu yang sunyi

Lampu sendiri
berkelip dalam diri
padamkan mimpi
sebelum pagi


Sketsa

Tiga kupu-kupu kecil
dengan debu di sayapnya
menuliskan
kerlap-kerlip riwayatnya
ke dalam sajakku

Sekor Tedung mendesis
dengan bisa di lidahnya
menuliskan keragu-raguan dunia
ke dalam koran-koran kota

Semuanya terasa
seperti sembilu yang di tanganmu
menusuk ke dalam jantungku


Surat-suratku Kepada Gusti Nara

Masih ingatkah engkau surat pertama yang kukirim kepadamu. Di
sehelai kertas kumal kutulis dengan pensil, di sana kunyatakan :
Gusti Nara aku cinta kepadamu.
Dan di dalamnya kuselipkan uang 50 sen.
Kau pun berlari ke bawah pokok asam di kaki bukit, dengan hati
berdebar kau membacanya. Tapi seorang kawanmu akhirnya men-
jadi pangkal bala, ia mengadukan hal itu kepada guru. Kau masih
ingat guru merotan telapak tanganku?
Aku menjerit dan melompat dari jendela.
Sejak itu aku tak datang-datang lagi ke madrasah.

Sekarang rumah sekolah di kaki bukit itu sudah rubuh. Tapi
pokok asam - tempat pertama kau membaca suratku dan membe-
lanjakan uang 50 sen kepada pecal mak Siti - masih berdiri dengan
kukuh, dan aku pun masih ingat kepadamu.

Di landai bebukitan itu kini tumbuh pohon dan ilalang. Anak-anak
tidak lagi bermain layang-layang seperti ketika landai itu masih
tanah lapang dan aku di sana termangu menantimu dari ladang.
Nara, mereka semua sudah jadi dewasa - tentu - dan tinggal di
Jakarta.

Terakhir kudengar kau di Waterford-Connecticut menjadi guru.
Dan si bule, senator yang suamimu itu akan mondar-mandir Con-
necticut-New York. Suratkabar selalu memberitakan kecamannya
terhadap perang Indochina ke II, tapi lupa pada kesepianmu. Dan
kau pun tak pernah menulis ke Indonesia, kepadaku. Sedang aku
tahu pasti murid-muridmu tak cukup memberikan keceriaan ke-
padamu. Lantas kau mencoba melerai kesepian itu dengan mem-
baca novel-novel Agatha Christy, Emile Zola, Lady Chatteley's
Lover-DH Lawrence dan Papilon Henri Charriere serta kakek tua
Hemingway tapi kau lupa membaca Profil and Courage JF Ken-
nedy.

Dan tidak kau temui di sana desah cemara di Bulak Sumur, debur
ombak pantai padang tidak seperti di Dover Beach.
Meskipun pasti kau tidak akan membenamkan tangisan ke bantal-
bantalmu yang harum. Kau tidak lagi cukup remaja untuk itu
terlebih-lebih sangat berbahaya bagi penyakit matamu.

Tapi juga aku tak dapat menceritakan kebanggaan kampung kita.
Ladang-ladang di sini sudah tak ada lagi. Tanah-tanahnya sudah di-
beli sebuah maskapai perminyakan.
Highway sepanjang Bukitbarisan itu tak jadi siap. Menteri pem-
bangunannya ditangkap, terlibat korupsi. Setelah itu tak ada lagi
yang berniat meneruskannya.

Meskipun negeri pekan kemis di kaki bukit kawin itu sudah men-
jadi objek pariwisata tapi Mursal Esten dalam pemilihan tahun lalu
ditolak menjadi menteri perdagangan. Ia kini berdagang hasil-hasil
ukiran kawan-kawan yang tak tamat ASRI.

Wisran sudah meninggal, jabatan terakhirnya ketua RT di lapai.
Tapi salah seorang anaknya memimpin tonil keliling.

Leon Agusta penyair yang gondrong itu sekarang di Kuala Lumpur,
ia menjabat rektor pada universiti kebangsaan.

Wunuldhe Syaffinal berhasil menjadi penyair terkenal, ia telah
pun menulis beberapa novel yang sangat laris di negara-negara
ASEAN, tapi gagal menjadi polisi.

Abrar Yusra dan Chairul Haran sudah pindah ke Lubuk Alung
berkedai di pinggir jalan.

Rusli Marzuki Saria dan Hamid Jabbar kini memimpin pesantren
wanita di Kayu Tanam.

Tapi nasib malang menimpa Ibrahim Sattah, ia tenggelam dalam
perjalanan antara Laut Cina Selatan dan Tanjung Pinang tanpa
menyandang salib.

Irsyadi Nurdin Yassan kehilangan satu suku kata namanya kemu-
dian kehilangan nyawa.

AA Navis sekarang memimpin Horison. Majalah sastra dan kebu-
dayaan itu sudah beroplag puluhan juta dan menjadi bacaan wajib
di Universitas Riau.

Seluruh seniman besar yang di Jawa dulu – yang masih hidup –
sudah menjadi pembesar dan kini mereka mengerjakan apa yang
dulu ditentangnya.

Yang lain-lain sebagaimana adanya terlihat pada negeri sedang ber-
kembang : bencana alam
                bencana manusia

Nara, masih ingat kau anak-anak Koes Plus?
pada sebuah bait dari Nusantara, mereka bernyanyi:
                        “tanahnya subur seperti tubuhku”
Dan tubuh mereka yang menyanyikan itu ceking-ceking.

Gusti Nara,
Aku sampai kini belum juga nikah, meskipun dokter bilang aku
tidak impoten tapi orang-orang tua kalau tidak kaya di Indonesia
tidak laku.
Kudengar juga kau tak punya anak, mandul. Tak apa.

Kalau sekali ada kesempatan dalam hidupmu kembali ke kampung
dan umpamanya aku sudah tiada. Lihatlah sebuah rumah di kaki
lembah itu. Di halamannya kutanam sejuta bunga yang belum
kuberi nama, di landai bebukitan itu kutanam cengkeh dan kulit
manis, sebuah kolam di bawahnya hidup bermacam-macam ikan.

Tolong kau uruskan ke penghulu dan camat sertipikatnya agar
tanah ini jangan sempat diambil maskapai perminyakan itu, mes-
kipun lautan minyak di bawahnya berombak dengan dahsyatnya.

Gusti Nara,
Cuma itu pesanku
Aku sudah sangat tua
Kalau umurku masih dalam beberapa tahun ini tentu aku
akan menyurat lagi kepadamu
Barangkali saja kau mau tahu tentang perkembangan musik pop
di kampung kita

Gusti
Kembalilah ke Indonesia

1975/1978


Tentang Ediruslan PE Amanriza
Ediruslan PE Amanriza lahir di Bagan Siapi-api, Riau, 17 Agustus 1947. Mulai menulis sekitar tahun 1967. Sajak-sajaknya yang ditulisnya di masa remaja banyak dimuat di Mingguan Mimbar Demokrasi, Bandung. Selain menulis cerpen, juga menerbitkan novel, diantaranya: Jembatan (kekasih sampai jauh), Nakhoda, Ke Langit, Koyan, Panggil Aku Sakai, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Di Bawah Matahari, dan Istana yang Kosong. Sehari-hari bekerja sebagai wartawan, tercatat pernah bekerja di majalah Tempo, Selecta, Singgalang, dan Majalah Fokus, Jakarta.

Catatan Lain

Surat-suratku kepada GN terdiri dari dua bagian, yaitu sejumlah sajak periode I, 1970-1975 (16 puisi) dan Sejumlah Sajak periode II, 1975-1981 (29 puisi). 

1 komentar:

  1. begitu bermakna sekali puisi di atas
    (Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)

    BalasHapus