Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Surat-suratku Kepada GN
Penulis : Ediruslan
PE Amanriza
Cetakan : I, 1983
Penerbit : Mutiara, Jakarta
Tebal : 62 halaman ( 45 puisi)
Beberapa pilihan puisi Ediruslan PE Amanriza dalam
Surat-suratku Kepada GN
Riau
Di Riau
Banjir jadi pantun sepanjang sungai
Air menjilat lantai rumah kami
Air padamkan api di tungku kami
Air basahkan tikar
Dan bubung dalam kelambu kami
Banjir menghanyutkan mimpi-mimpi kami
Di Riau
Kami tak sempat lagi bernyanyi
Kabut di Belantara Hutan Itu Berpendaran
I
Kabut di belantara hutan itu berpendaran
Sunyi di belantara hutan itu kedinginan
Ada sungai kecil di bukit hutan itu kehausan
Sebuah danau di belantara hutan itu menyerah ke langit
Tiada bayang-bayang
Dari bulan atau bintang atau kunang-kunang
Semuanya kehilangan jejak di perjalanan
Ketika datang kabut di belantara hutan itu cahaya pun
susut
Gelap terkurung dalam waktu di bukit hutan itu
Suatu tempat
Terkepung dalam kabut di belantara hutan itu
II
Ke sana kita menuju kasihku
Surat, 11
(surat seorang yang ingin jadi penyair kepada ibunya)
Ibu,
bacalah sajak-sajakku:
dua ekor
burung
mati di
luar pagar rumahku
tadi
pagi
setelah
saling mematuk sehari suntuk
berebut
dahan
tempat
bersarang
Ibu,
bacalah sajak-sajakku:
sekawanan
babi hutan
melahap
sekandang ayam tadi malam
setelah
tak menemukan
umbi-umbian
Ibu,
bacalah sajak-sajakku:
harimau
dan gajah
menyandera
seribu desa
menuntut
kulit dan gading kaumnya
dikembalikan
kepada mereka
Ibu,
sajak-sajak itu
memang belum dimuat
koran kota
Sungai
yang hilir itukah surutmu yang sungsang itukah pasangmu
yang hanyut itukah nasibku
yang curam itukah tebingmu yang laju itukah arusmu
buih itukah aku
yang dalam itukah telukmu
semayup panjang tanjungmu
hilang di sana
jejakku
Ratap
(sebuah sajak yang tak pernah selesai)
di laut manakah tenggelam seribu mimpiku
di hutan manakah tersesat seribu hasratku
di gunung manakah gamang segenap dayaku
di ngarai manakah sangsai saudara-saudaraku
yang tenggelam bersamaku di laut
yang tersesat bersamaku di hutan
yang gamang bersamaku di gunung
yang sangsai bersamaku di ngarai
yang bermimpi bersamaku
di sini
di horison manakah terkepung
seribu waktuku tak rampung
di cewang langit manakah badai itu tergantung
sampai resah tak pecah
sampai badai tak sampai
ke malam-malam
di mana kami
tak sedap
duduk diam
Malam di Teluk
bukit-bukit
batu
dan karang
tumpuan angin selatan
ada ladang-ladang cengkeh semakin tua di pinggangnya
bunganya dipatahkan musim tiba
dan jalan setapak, mendaki
yang dulu selalu kau jaga dengan teliti
kini padam
tak lagi dapat kau baca
nyanyian bergema di sana
rindu
ataukah
duka
Hijrah
Telah kusiapkan keletihan
Akan sebuah perjalanan yang panjang
Telah kusiapkan kelaparan
Menghadap hari-hari yang garang
Telah kusediakan kekecewaan
Bila harapan dilumpuhkan
Telah kusiapkan duka
Lagu kita di perjalanan
Allah
Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap
hari
dalam diri
Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap
hari
di ujung lidah
Allah
Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap
hari
rampung sudah
sunyiku
Di mana-mana
Allah
Allah
Allah
?
inikah saatnya
tidurmu sepanjang malam akan menjadi lengang
ladang-ladang mimpimu punah terbakar
tinggal sehelai pelangi berjingkat di langit pagi
ambillah
balut lukamu, Sri
Lampu
Lampu
di bukit sendiri
tikamkan cahayamu
ke kelam laut tak bertepi
Lampu
di laut malam hari
terkatung-katung cahayamu yang sunyi
Lampu sendiri
berkelip dalam diri
padamkan mimpi
sebelum pagi
Sketsa
Tiga kupu-kupu kecil
dengan debu di sayapnya
menuliskan
kerlap-kerlip riwayatnya
ke dalam sajakku
Sekor Tedung mendesis
dengan bisa di lidahnya
menuliskan keragu-raguan dunia
ke dalam koran-koran kota
Semuanya terasa
seperti sembilu yang di tanganmu
menusuk ke dalam jantungku
Surat-suratku Kepada Gusti Nara
Masih ingatkah engkau surat pertama yang kukirim
kepadamu. Di
sehelai kertas kumal kutulis dengan pensil, di sana
kunyatakan :
Gusti Nara aku cinta kepadamu.
Dan di dalamnya kuselipkan uang 50 sen.
Kau pun berlari ke bawah pokok asam di kaki bukit, dengan
hati
berdebar kau membacanya. Tapi seorang kawanmu akhirnya
men-
jadi pangkal bala, ia mengadukan hal itu kepada guru. Kau
masih
ingat guru merotan telapak tanganku?
Aku menjerit dan melompat dari jendela.
Sejak itu aku tak datang-datang lagi ke madrasah.
Sekarang rumah sekolah di kaki bukit itu sudah rubuh.
Tapi
pokok asam - tempat pertama kau membaca suratku dan
membe-
lanjakan uang 50 sen kepada pecal mak Siti - masih
berdiri dengan
kukuh, dan aku pun masih ingat kepadamu.
Di landai bebukitan itu kini tumbuh pohon dan ilalang.
Anak-anak
tidak lagi bermain layang-layang seperti ketika landai
itu masih
tanah lapang dan aku di sana termangu menantimu dari
ladang.
Nara, mereka semua sudah jadi dewasa - tentu - dan
tinggal di
Jakarta.
Terakhir kudengar kau di Waterford-Connecticut menjadi
guru.
Dan si bule, senator yang suamimu itu akan mondar-mandir
Con-
necticut-New York. Suratkabar selalu memberitakan
kecamannya
terhadap perang Indochina ke II, tapi lupa pada
kesepianmu. Dan
kau pun tak pernah menulis ke Indonesia, kepadaku. Sedang
aku
tahu pasti murid-muridmu tak cukup memberikan keceriaan
ke-
padamu. Lantas kau mencoba melerai kesepian itu dengan
mem-
baca novel-novel Agatha Christy, Emile Zola, Lady
Chatteley's
Lover-DH Lawrence dan Papilon Henri Charriere serta kakek
tua
Hemingway tapi kau lupa membaca Profil and Courage JF
Ken-
nedy.
Dan tidak kau temui di sana desah cemara di Bulak Sumur,
debur
ombak pantai padang tidak seperti di Dover Beach.
Meskipun pasti kau tidak akan membenamkan tangisan ke
bantal-
bantalmu yang harum. Kau tidak lagi cukup remaja untuk
itu
terlebih-lebih sangat berbahaya bagi penyakit matamu.
Tapi juga aku tak dapat menceritakan kebanggaan kampung
kita.
Ladang-ladang di sini sudah tak ada lagi. Tanah-tanahnya
sudah di-
beli sebuah maskapai perminyakan.
Highway sepanjang Bukitbarisan itu tak jadi siap. Menteri
pem-
bangunannya ditangkap, terlibat korupsi. Setelah itu tak
ada lagi
yang berniat meneruskannya.
Meskipun negeri pekan kemis di kaki bukit kawin itu sudah
men-
jadi objek pariwisata tapi Mursal Esten dalam pemilihan
tahun lalu
ditolak menjadi menteri perdagangan. Ia kini berdagang
hasil-hasil
ukiran kawan-kawan yang tak tamat ASRI.
Wisran sudah meninggal, jabatan terakhirnya ketua RT di
lapai.
Tapi salah seorang anaknya memimpin tonil keliling.
Leon Agusta penyair yang gondrong itu sekarang di Kuala
Lumpur,
ia menjabat rektor pada universiti kebangsaan.
Wunuldhe Syaffinal berhasil menjadi penyair terkenal, ia
telah
pun menulis beberapa novel yang sangat laris di
negara-negara
ASEAN, tapi gagal menjadi polisi.
Abrar Yusra dan Chairul Haran sudah pindah ke Lubuk Alung
berkedai di pinggir jalan.
Rusli Marzuki Saria dan Hamid Jabbar kini memimpin
pesantren
wanita di Kayu Tanam.
Tapi nasib malang menimpa Ibrahim Sattah, ia tenggelam
dalam
perjalanan antara Laut Cina Selatan dan Tanjung Pinang
tanpa
menyandang salib.
Irsyadi Nurdin Yassan kehilangan satu suku kata namanya
kemu-
dian kehilangan nyawa.
AA Navis sekarang memimpin Horison. Majalah sastra dan
kebu-
dayaan itu sudah beroplag puluhan juta dan menjadi bacaan
wajib
di Universitas Riau.
Seluruh seniman besar yang di Jawa dulu – yang masih
hidup –
sudah menjadi pembesar dan kini mereka mengerjakan apa
yang
dulu ditentangnya.
Yang lain-lain sebagaimana adanya terlihat pada negeri
sedang ber-
kembang : bencana alam
bencana manusia
Nara, masih ingat kau anak-anak Koes Plus?
pada sebuah bait dari Nusantara, mereka bernyanyi:
“tanahnya
subur seperti tubuhku”
Dan tubuh mereka yang menyanyikan itu ceking-ceking.
Gusti Nara,
Aku sampai kini belum juga nikah, meskipun dokter bilang
aku
tidak impoten tapi orang-orang tua kalau tidak kaya di
Indonesia
tidak laku.
Kudengar juga kau tak punya anak, mandul. Tak apa.
Kalau sekali ada kesempatan dalam hidupmu kembali ke
kampung
dan umpamanya aku sudah tiada. Lihatlah sebuah rumah di
kaki
lembah itu. Di halamannya kutanam sejuta bunga yang belum
kuberi nama, di landai bebukitan itu kutanam cengkeh dan
kulit
manis, sebuah kolam di bawahnya hidup bermacam-macam
ikan.
Tolong kau uruskan ke penghulu dan camat sertipikatnya
agar
tanah ini jangan sempat diambil maskapai perminyakan itu,
mes-
kipun lautan minyak di bawahnya berombak dengan
dahsyatnya.
Gusti Nara,
Cuma itu pesanku
Aku sudah sangat tua
Kalau umurku masih dalam beberapa tahun ini tentu aku
akan menyurat lagi kepadamu
Barangkali saja kau mau tahu tentang perkembangan musik
pop
di kampung kita
Gusti
Kembalilah ke Indonesia
1975/1978
Tentang Ediruslan PE Amanriza
Ediruslan PE
Amanriza lahir di Bagan Siapi-api, Riau, 17 Agustus 1947. Mulai menulis sekitar
tahun 1967. Sajak-sajaknya yang ditulisnya di masa remaja banyak dimuat di
Mingguan Mimbar Demokrasi, Bandung. Selain menulis cerpen, juga menerbitkan
novel, diantaranya: Jembatan (kekasih
sampai jauh), Nakhoda, Ke Langit, Koyan, Panggil Aku Sakai, Taman, Jakarta di
Manakah Sri, Di Bawah Matahari, dan
Istana yang Kosong. Sehari-hari bekerja sebagai wartawan, tercatat pernah
bekerja di majalah Tempo, Selecta, Singgalang, dan Majalah Fokus, Jakarta.
Catatan Lain
Surat-suratku kepada GN terdiri dari dua bagian, yaitu sejumlah sajak periode I, 1970-1975 (16
puisi) dan Sejumlah Sajak periode II, 1975-1981 (29 puisi).
begitu bermakna sekali puisi di atas
BalasHapus(Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)