Data buku kumpulan puisi
Judul : Sejarah Lari Tergesa
Penulis : M. Fadjroel Rachman
Cetakan : I, Agustus 2004
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : xiv + 63 halaman (31 judul puisi), format landscape
ISBN : 978-979-22-0985-9
Ilustrasi
sampul : Teguh Ostenrik
Tulisan
judul : Mahatma Yudhistira Kusuma Putera
Desain sampul : Pagut Lubis
Prolog :
Joko Pinurbo (Pena Berdarah)
Epilog :
Enin Supriyanto (Antara yang Puitik dan Politik)
Beberapa pilihan puisi M. Fadjroel Rachman dalam Sejarah Lari Tergesa
Menari
di Tepi Waktu
andai aku
bertemu lagi denganmu. aku pasti tersipu menyebut namamu
karena
tanpa ragu, engkau menyebut namaku. dengan keramahan, dan ejaan sempurna
engkau
bertanya, “ke mana saja kamu selama ini?”
“aku menunggumu
sejak perpisahan terakhir,” ujarmu memelukku lembut, matamu basah merindu
airmata
ya, aku
pernah mengenalmu, pada suatu waktu. engkau tiba-tiba hadir, kita bertukar
kartu nama tanpa alamat
aku
meninggalkanmu di simpang jalan, karena harus menempuh nasibku sendiri, tanpa
peta, tanpa penunjuk arah
aku ingat
engkau menitikkan airmata, lalu berucap, “temui aku di tepi waktu, bila cemas
dan rindu memuncak.”
ya, aku
ingat hari itu, magrib bergegas turun. aku elang muda kelaparan, melayang
menembus waktu
andai aku
bertemu lagi denganmu. inilah yang yang akan kukatakan,
“tuhan,
terimakasih, engkau masih menyimpan kartu namaku.”
2003
Kalender
Menulis Dirinya Sendiri
3 juta obor
menari telanjang di tepi mekong, 3 juta ajal berenang telanjang ke muara mekong
airmata mengiris
malam mendanau darahnya. ombak beringsut menyergap tangis
kunang-kunang
mengoyak nadi kabut, beterbangan di rumah ajal yang murung
di saku
baju peta kamboja menetes darah, udara tiba-tiba asin, kristal garam
berhamburan
sungguh,
kegelapan tak lagi menakutkan. kecemasan menari disiram hutan tak berwajah
3 juta
jemari biru terjulur dari kubur mengiris-iris purnama
jam meleleh,
dan kalender menulis dirinya sendiri
2002
Danau
Haiku
terlalu
banyak anggur putih malam ini, gelombang menyeret jejak waktu dan harum tubuhmu
ke langit jauh
bulan
keperakan menggantung di tepian malam, begitu rapuh. gagak liar menjaring
kristal luka, menyayat senja tua
“aku
mencincangnya di lelap pantai, dalam kegelapan samudera, hotchu-san,” teriak
serak garam selat kyushu
“di dasar
luka engkau temukankah belulang musim gugur?” tanyamu sambil menari mengurai
perak cahaya bulan
seribu
perahu berarak, tenggelam menyeret matsuo basho ke danau haiku
the old pond –
a frog jumps in:
the sound of water
“engkau terlalu
ramah untuk dunia ini,” desis garam selat kyushu. “tidakkah segelas anggur
putih, sekecup duka,
menyalakan
menara kehidupan di kuil jiwamu,” ringkik garam sambil menyelam, menjemput
kupu-kupu mati di
lautan
hotchu san,
kita memeluk malam, dengan tubuh remuk, sambil menari letih di hotel-hotel
kematian. sendirian
esok pagi
serpihan perak cahaya bulan berserakan di jalanan, ada jejak waktu dan harum
tubuhmu
di langit
sepi berkelap-kelip kristal luka dan kepedihan kita disisakan garam selat
kyushu,
juga,
setetes tangis kupu-kupu mati
1995
Ketika
Waktu Bukan Milik Kita Lagi
30
kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis
disihir rembulan
kabut
memeluk malam, bintang jatuh menoreh siang di dada langit. memeluk kenangan,
impian lumpuh
“darah
segar masih harum tercium di aspal jalanan,” bisik embun pagi
“ya di
hitam lengan kupeluk tubuh muda itu terhempas,” kenang aspal jalanan mengusap
airmata
malam
begitu dingin bunda, begitu dingin dan begitu rakus lidah matahari mengupas
merah kenangan
30
kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis
disihir rembulan
menarilah,
hingga airmata kering diisap rembulan, darah biarlah memerah mawar di hati
bunda
“siapakah
engkau?” rintih ibu tua memeluk senja, tangisnya menetes darah, menggenang
cemas di kubur anak
sepasang
kunang-kunang hinggap di pangkuan, mendekap bayi merindu. sayapnya manis,
darahnya manis
“aku
pulang, sepasang mata biru buah hatimu.”
2003
Tiga
Peluru Meracuni Malam
aku rindu
tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon
ayahku,
bagai anjing terjungkal bersimbah darah dengan 3 peluru pecah di kepala
kekerasan
adalah iblis dari neraka terpanas, melambai rindu, membakar langit merah chiang
mai
3 peluru di
saku baju meracuni malam, 3 peluru di kepala pembunuh ayahku
hujan daun
pinus merebahkan diri, lelap berselimut embun di ladang cemara
berjuta
bunga mekar di chiang mai, melayang di senja tua menjelma diriku
chiang mai
dipeluk sepi, dendam mengembun bunga liar, menetes diam-diam di abu persembahan
malam ini
yangoon melesak dalam mimpiku, 3 peluru melesak di kepala ayahku
aku ingin
menari, aku ingin menyanyi tentang kehilangan dan rindu gerimis di yangoon
rintik
hujan jatuh melukai daun pinus. Malam likat mewangi mawar, gemuruh di sunyi
belulang
3 peluru
menghitam di abu persembahan, 3 peluru di saku baju meracuni malam
aku rindu
tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon
aku rindu
menangis dalam hujan cemara di yangoon
hingga
sempurna airmata malam menenun kebahagiaan
2002
Bila
Tubuh Hadir Bergegas
ransel
lelah bertanya pada lobby hotel, “ada kamar kosong? yang paling murah saja.”
sebelum kata melepas kantuk
sambil
menendang tempias hujan, lobby hotel terkantuk-kantuk mengangguk, “tulislah
alamat tuan di buku tamu.”
“apakah
setiap orang harus punya alamat?” tanya sepatu tua
“alamatku
di sini, malam ini,” bisik ransel pada buku tamu
“harus
tuan,” ejek kunci kamar, “tiap tubuh punya akar walau berpindah dari hotel ke
hotel,” ujar bunga di jambangan
walau
sementara
walau
sementara
“selamat
datang, wahai tuan tanpa alamat, wahai tuan tanpa tujuan,” ejek lobby hotel,
buku tamu, dan kunci kamar
“apakah
yang kau cari bersama sepatu tua dan ransel lelah?” tanya kabut sambil meludah
ke jambangan bunga
: bila
tubuh hadir bergegas, sebelum waktu menikam tuntas
2003
Senja
Jatuh di Orchard Road
“uap
alkohol dan harum babi panggang tak akan mengantarmu ke neraka,” ujar denting
piano melompat menyambar
meja putih
bersih, meledakkan piring saus merah darah. “kemiskinan dan doa juga tak akan
mengantarmu ke surga,”
desak irama
jazz yang melengking kusut, menyeret tuan raffles melompat ke sungai keruh
singapura, riuh dan letih
“revolusi
tak dijual di orchad road,” desis mimpi tersedak pengemis cina tua, menidurkan
dendam di jembatan
penyeberangan.
“sungguh mudah bukan membeli marx, lenin, mc
donald dan nina ricci di orchad
road,” tergeletak
tiger beer menyembur gitar sember klub jazz tua. “nasib
tak pasti mesti ditata rapi di etalase orchad road,” tangis
melayu dan
india tua. “tapi, di manakah tanah air tanpa airmata?” cekik irama jazz
mematahkan leher singapura
senja jatuh
di orchad road, gucci dan nike bergegas bergandengan tangan,
menyetop bus kota melenggang genit
“tak perlu
gelisah, besok kita kembali shopping, membeli airmata,” hibur gucci menghempaskan tubuh berlemak
2003
Mayat
itu Terapung di Sungai Kata
yohanis
tajoja (60) dan buce (30)
“kepada
siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua
mayat ditemukan tewas terapung si sungai puna, poso pesisir,” desis lirih detik
pukul 14:00
“kepada
siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua
mayat ditemukan tewas tergantung di sungai kata, kompas halaman 11,” desis
lirih detik pukul 7:00
“kepada
siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang
“kedua
mayat ditemukan tewas terapung di sungai mimpi, dilelap bundanya,” desis lirih
detik pukul 24:00
sungai puna
sungai kata
sungai
mimpi
:deras dan
dingin arusnya ke muaramu
2003
Nyanyian
Orang Biasa
siapa tahu
gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang
dan kekuasaan, siapa menyapamu. bahkan teman seperjalanan paling akrab, tanpa
pamit meninggalkanmu
siapa tahu
gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang
dan kekuasaan, siapa mencintaimu. bahkan kekasih paling dicintai, tanpa pamit
meninggalkanmu
siapa tahu
gelombang hati manusia. siapa yang tahu?
tanpa uang
dan kekuasaan, siapa akan setia padamu. bahkan sahabat paling setia, tanpa
pamit meninggalkanmu
bila semua
pergi, tanpa pamit meninggalkanmu,
: siapa
paling tahu gelombang hati manusia
2003
Tarian
Penyaliban Manusia
apa kabar
ikan asin, sayur kangkung, dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
apakah
sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
kesetiaan,
cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?
“udara
berdebu dan oksigen penuh racun!” teriak lelaki mabuk
mengapa
harus mabuk? bayangkan upacara suci ini di suatu pagi musim panas
engkau
bersiul dan hatimu bagai kapas
ada seekor
ikan asin dan semangkuk sayur kangkung di piring berkarat
serta
segelas teh pahir di cangkir berkarat
semua
kenangan pahit telah kau larutkan dalam uap teh kemarin malam
lalat
mendengung, jendela berderit disentuh angin
“bukankah
cinta dan hati yang lapang menerobos dinding pemisah aku dan alam semesta?”
baiknya ada
seorang perempuan, tetapi kurasa tak usah saja
perempuan
selalu mengatur tetek bengek hidup kita
(tetapi
lelaki sama menggelikannya, juga diriku)
“rambutmu
kacau dan warna bajumu tak cocok di badan,” katanya
“duduklah dengan
sopan dan pikirkanlah kebahagiaan kita di masa depan,” katanya
tetapi
hatiku selalu bertanya, “adakah keteraturan di alam semesta dan sejarah
manusia?”
sebaiknya
juta tak ada bentakan dan hentakan sepatu lars (pada lantai dan tubuh kita)
juga tak ada
tangis kehilangan, putus asa dan kesakitan
doa juga
tak penting,
karena
mengingatkan ketakberdayaan dan keputusasaan
bukankah
seekor ikan asin, semangkuk sayur kangkung, dan secangkir teh pahit di cangkir
berkarat
diuapi
cinta dan hati yang lapang, mengingatkan keberadaan dan keterlemparan kita di
bumi ini?
bukankah
ini juga upacara suci seorang lelaki mabuk dan kesepian
derit pintu
sel selalu menghantam gendang telinganya dan menggetarkan seluruh urat sarafnya
jeruji,
sebesar ibu jari kaki, mencekik urat lehernya, menusuk kedua kornea matanya
teriakan
kesakitan, tangis kehilangan, dan jerit keputusasaan menerobos dinding selnya
darah
menyiram jalan raya, hutan, kebun petani miskin, bahu kaum pekerja,
jagat raya,
dan wajah kita
orang-orang
berlari dari kota ke kota
orang-orang
berlari dari penjara ke penjara
orang-orang
berlari dari mimpi ke mimpi
orang-orang
berlari dari kata ke kata
di dungu
kecil dilahirkan penuh rasa syukur
setia patuh
menarikan upacara suci di ruang-waktu berdarah
di altar
penyaliban manusia
lalu, apa
kabar ikan asin, sayur kangkung dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
apakah
sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
kesetiaan,
cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?
1989
(LP Kebon Waru-Sukamiskin)
*
ditulis ulang dari Catatan Bawah Tanah
Tentang M. Fadjroel Rachman
M. Fadjroel Rachman kelahiran
Banjarmasin, 17 Januari 1964. pernah kuliah di Jurusan Kimia, Institut
Teknologi Bandung hingga mengerjakan tugas akhir, tapi tidak selesai karena
terlibat Peristiwa 5 Agustus 1989 dan dipenjarakan 3 tahun (dijalani di Penjara
Bakorstanasda Jawa Barat, Penjara Kebun Waru, Penjara Polwiltabes Bandung,
Penjara Nusakambangan dan Penjara Sukamiskin Bandung). Pernah menjadi presiden
grup apresiasi sastra (GAS) ITB tahun 1985-1986. Antologi puisinya: Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia (penerbit
pikiran rakyat/granesia bekerjasama dengan kelompok sepuluh Bandung, 1985). Kumpulan puisi tunggal pertamanya: Catatan Bawah Tanah (1993)
Catatan Lain
Penyairnya
menyebut dalam Pembuka Kata, bahwa dari 30 puisi dalam buku ini, 28 buah belum
pernah dipublikasikan dan dua puisi adalah ditulis kembali dalam bentuk
penulisan baru dari kumpulan Catatan
Bawah Tanah. Lalu ditambah satu puisi yang disebutnya esai-puisi, berjudul
“Korban yang Dikorbankan”, yang 13 November 2003 pernah terbit di Kompas
sebagai artikel.
Dalam Prolog yang ditulis Joko
Pinurbo, dikatakan: “Seusai membaca seluruh puisi, saya menemukan pena yang
telah berlumur darah: darah musuh maupun darah penyair. Bahkan bisa jadi
puisi-puisi ini sendiri ditulis dengan pena yang sudah berdarah. Dan darah yang
bergelimangan dalam sajak-sajak Fadjroel bukan hanya darah yang menetes atau
mengucur dari luka. Darah dalam puisi Fadjroel seakan telah menjadi warna
kehidupan.”
Tapi bagian yang saya suka dari
tulisan Jokpin adalah bagian ini: “Dalam hal sajak-sajak Fadjroel, saya beroleh
perasaan mual karena menjumpai begitu banyak darah, mayat, dan airmata. Mungkin
karena saya tidak tahan melihat darah, tidak begitu suka melihat airmata, dan
tidak pernah benar-benar siapa menyaksikan kematian. Perasaan seperti itu
muncul di tengah situasi kalang kabut dan tidak menentu di mana kata-kata
berderap dan menyergap bertubi-tubi. Hadirnya banyak tuhan tidak cukup mampu
membebaskan saya.//Teror mental? Siapa takut! Sebagai pembaca, saya masih dapat
mencari dan menemukan celah sunyi di sana sini. Celah sunyi itu memang kecil
dan tersembunyi, tapi bagiku cukuplah.”
Di bagian akhir, Jokpin menulis
bahwa dalam kaitan dengan buku ini maka menulis puisi bukan sekadar kerja
artistik, ia merupakan bagian dari komitmen dan cita-cita politik. Namun
diberinya juga embel: “Tentu saja, ketika sudah berjumpa dengan pembaca, puisi
punya cara tersendiri untuk mewartakan makna.”
Buku koleksi Hajriansyah ini, jika
melihat Barcode-nya, maka agak spesial karena diembeli “Buku Harga Khusus GPU”
yaitu Rp. 10.000,- cuma.
Prolog dari bapak Joko Pinurbo, menunjukkan puisi dalam buku ini layak di acungi jempol. Pemberontakan diri, keputus asaan, dan setitk harapan. Mungkin nuansa yang tertangkap dalam buku ini.( yang terbaca oleh mata awamku, maaf kalau salah hehe ), tapi keren.aku suka
BalasHapusPembaca adalah raja, Mba. Konon ada yang percaya, begitu puisi lahir, penyairnya meninggal dunia. hehe...
Hapus