Data buku kumpulan puisi
Judul : Puisi Mbeling
Penulis : Remy
Sylado
Cetakan : I, Juli 2004
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta.
Dicetak : Percetakan
Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Tebal : xvi + 254 halaman (144 puisi)
ISBN : 979-91-0012-7
Desain sampul : Rully
Susanto
Tata Letak : Wendie
Artwenda
Kumpulan Puisi Mbeling terdiri
atas empat bagian, yaitu Sebelum 1972
(21 puisi), Sepanjang 1972 (79
puisi), Setelah 1972 (27 puisi) dan Cerita-cerita Antara 1970-2003 (17
puisi).
Beberapa pilihan puisi Remy Sylado dalam Puisi
Mbeling
Olahraga
olahraga
orang kota
mengangkat barbel
di fitness centre
olahraga
orang desa
memacul tanah
di sawah ladang
yang satu
mencari sehat
karena anjuran
yang lain
menemukan sehat
karena telanjur
1990
Dua
Jembatan: Mirabeau & Asemka
Mengapa orang mau
dengar Apollinaire
Yang berkisah tentang
kebohongan dunia
- Et Sous le pont
Mirabeau coule la Seine
- Et nous amours
- ?
Mengapa tak mau dengan
Remifasolasido
Yang berkisah tentang
kejujuran dunia
- Ning ngisore kreteg
Asemka iku
- Akeh umbele Cino
- ?
Di
Blok Apa?
Kalau
Chairil Anwar
binatang jalang
Di blok apa
tempatnya
di Ragunan?
Teks
Atas Tao
yang mengerti
malah tidak bicara
yang tak mengerti
malah banyak bicara
Waktu
Doa Ulangtahun
terimakasih tuhan atas
hidangan ini
berhubung botty
tiba-tiba kentut
terpaksa
amin kami ganti dengan
jancuk.
Cinta yang Pakai Reserve
sum
pah
de
mi
cin ta
cinta cin ta
cinta
cinta cinta cinta cinta cin
ta
cinta cinta cinta
cint
a cintacintacintacintac
intacintacintacintaci
ntacintacintacint
acintacintaci
ntacinta
ku
nanti malam
aku pasti datang padamu
walaupun bumi diguncang gempa
walaupun kota dihanguskan api
tapi
asalkan tidak hujan.
Seorang
Prajurit Memulai Korupsi dengan Sumpritan Seharga Rp 200
satu prit
jigo
empat prit
cepek
delapan prit
kembali pokok
Yang
Pernah Terjadi dalam Cerita dan Bisa Sekonyong Menjadi Derita
Sam Pek Eng Tay
menggebu cinta
Sakit pek-tay
terganggu cinta.
Dua
Daya
motivator
berbicara tentang
memberdayakan rakyat
koruptor
berbicara tentang
memperdayakan rakyat
Masalah
Menara Babil
ayam
di Tanjungpinang,
berkokok
ayam
di Magelang, kluruk
ayam
di Sumedang,
kongkorongok
ayam
di Amurang, bakuku
ayam
di Nankin, kukuyu
ayam
di Oxford, crow
ayam
di Nijmegen, kraaien
ayam
di Bonn, krahen
ayam
di Cordoba, cacareo
ayam
di Montpellier, chant
du coq
ayamnya sama
kuping manusia yang
salah urus
Bandung,
1974
Barang-barang
Bekas
Untuk semua barang
bekas di bawah langit
Kita mau memakainya
dengan senang hati
Kita mau memakai baju
bekas
Kita mau memakai
celana bekas
Kita mau memakai
sepatu bekas
Kita mau memakai
isteri bekas
Kecuali satu barang
bekas
Kita tak mau memakai
tusuk-gigi bekas
1973
Anjing
kalau kau memujiku
awet muda
kau menyamakan aku
bagai anjing
sebab anjing dari
kecil sampai tua
wajahnya hanya anjing
dan tetap anjing
Generasi
Penerus
Rumput dimakan sapi
Sapi memberikan susu
Susu diteteki anak
Anak didului bapak.
Sialan
Banget
Sudah jatuh
dihimpit tangga
Hendak berdiri
digonggongi anjing
Begitu lari terbirit
malah menginjak tahi.
Jargon
Kepribadian
Dari Tokyo diberitakan
penemuan baru bidang
otomotif
Dari Berlin
diberitakan
penemuan baru bidang
aerobisnis
Dari Paris diberitakan
penemuan baru bidang
kemistri
Dari London diberitakan
penemuan baru bidang
medical
Dari Washington
diberitakan
penemuan baru bidang
elektronik
Dari Jakarta
diberitakan
penemuan baru bidang
gastronomi:
oncom dalam singkong
namanya comro.
Bandung,
1974
Intimidasi dalam Demokrasi
siapa berani
melebihi kepala
terhadap kepala
pasti
bakal
hilang kepala
1989
Lebih
Baik Mati Muda
Jika usia menua kapan
waktu
dan aku tak berani
menulis puisi
dengan jendela yang
dibuka lebar
melihat kenyataan di
luar rumah
tentang kebusukan yang
memerintah
tentang kesemenaan yang
berkuasa
tentang korupsi yang
memimpin
tentang penindasan hak
asasi
Lebih baik aku mati
muda
Jika puisi berhenti
berpihak
pada keperkasaan hati
nurani
yang lahirkan kemauan
mengasihi
tapi hanya
umpatan-umpatan kesumat
dan
pernyataan-pernyataan benci
dan ungkapan-ungkapan
palsu
dan kalimat-kalimat
marah
dan sumpah-serapah
culas
Lebih baik aku mati
muda
Jika tiada lagi
hakekat cinta
yang mukim dalam hati
manusia
sebagai harta kekayaan
rohani
sebagai rahim dari
sejati puisi
apa guna
memanjang-manjang usia
tanpa memberi warisan
pekerti
kecuali hanya
menggantang asap
berharap yang kemarin
kembali
Lebih baik aku mati
muda
Jika puisi kehilangan
kesungguhan
dan tidak punya
kepercayaan diri
untuk menyatakan cinta
untuk menyatakan
peduli
untuk menyatakan
hormat
untuk menyatakan
syukur
untuk menyatakan maaf
untuk menyatakan iba
Lebih baik aku mati
muda
1971
Resital
Indo Nesos
Di semboyan
globalisasi kau mengaku shock
Orang menjadi highbrow
cuma karena T-shirt
Begitu ceritamu
tentang perjalanan kemarin
Pada flight terakhir
Jakarta-Schiphol
Kau duduk di sebelah
orang Indonesia tulen
Ber-hoofddoek sambil
menguping walkman Sony
HP di tangan kanan
Coca Cola di tangan kiri
Harum menyengat dengan
empat nama parfum
Nina Ricci di telinga
Tocadilly di leher
Yves Saint Laurent di
ketek Gucci di udel
Dan dia adalah tikus
yang jatuh di tepung
Kulitnya legam janggi
bedaknya putih kapur
Lo, apa kokofoni ini
juga diramal Kartini
Menyongsong terang
setelah gelap berlalu?
Musim tentang cermin
keparat telah selesai
Dipecahkan sebab
protes melihat wajah buruk
Orang sekarang adalah
badak pada besok hari
Ramai menukar wajah
lugu menjadi rai gedheg
Lantas mengganti warna
jas dan safari-look
Tanpa diminta
menembang “It’s now or never”
Mengambil alih top hit
para oportunis
Berdiri di atas kaki
orang lain lebih aman
Mungkin rasa malu
sudah tidak punya magi
Sementara harga
kemaluan ABG makin jatuh
Taufiq telah lebih
dulu menyatakan malu
Lantas apakah
partai-partai juga punya malu?
Uthak-athik mathuk
mengikuti tradisi mbah
Telah meninggalkan
aksioma dalam cendra sengkala
Orang yang mengantuk
menemukan ular belang
Barangkali terjawab
setelah kungkum tujuh hari
Mutih sepuluh hari
merapal weda mantra
Toh misteri pada rasa
percaya diri kian kabur
Adalah fulus telah
menuntun ke perzinahan roh jiwa
Duh, siapa dapat
menolong menjadi juru selamat?
Kau bilang yang salah
Wilhelmus van Nassaouwen
Dulu membawa salib
dalam simbol westernisasi
Aku bilang dari dulu
gen kita adalah ulat
Sewaktu-waktu jadi
wereng dan kutu loncat
Kita hanyut sebagai
sampah Spread Eagleism
Anak laki pakai jeans
belel menghayat punk
Rambut dipirangkan
memilih agama rock
Jadi goblog belegug
dalam shabu, ectasy
Tapi saban 17 Agustus
paling Indonesia Raya
Apa yang salah dari
kepala kita, Pertiwi?
Apa ada remedy yang
mujarab, Pertiwi?
Ayo dong, mbok
somebody say something!
Dalam komunikasi
karena perbendaharaan kata
Aku ingat penghayal
Volapuk, Esperanto, Ro, Ido
Merenung, jigana urang
kudu balik deui ke awal
Memulai dari diri kita
melalui diri kita
Kalau butut jangan
pecahkan lagi cermin
Pecahkan saja kepala
lihat isinya satu-satu
Siapa tahu ada di situ
noktah loakan Sam Kok
Sudah berkarat tapi
masih terus dipelihara
Kuingatkan kepadamu
tahayul peninggalan oma
Soal gerhana bulan
terjadi di sanat Zulkaedah
Jika terjadi rusuh, tong
deng tong baku potong
Siapa berani berdiri
tegak bagai D’Artagnan
Pasti belum sempat
mendengar tragedi Erberveld
Aku memilih diam sebab
konon silence is golden
Terlalu sering kita
mencari kambing hitam
Tak tahu yang dicari
ngumpet di diri sendiri
Tidak deh, kataku, ini
bukan waktu marah
Rendra sudah marah
lebih dari 30 tahun
Pengamen di bis-bis
kota marah saban hari
Kalau kekuasaan adalah
jenis pusaka karun
Kalau semua orang
tiba-tiba menjadi Caligula
Dan di tengah orang
terpercaya ada Brutusnya
Carikan perisai yang
dilapisi kasih sayang
Sebab benci dan marah
cepat bikin tua
Celaka orang beruban
yang masih berteriak
Hallo, aku ingin betul
melafazkan confession ayah
Menyesal, yang
menyambut cuma answering machine
Nanti kalau kau
kembali lagi dari Nederland
Aku akan menyuruhmu
melihat tanah ladang
Di tengah padi yang
ditanam dengan kesungguhan
Ada juga di sana
ilalang yang tumbuh sendiri
Begitu bukan penjahat
saja yang berpikir jahat
Tapi juga di akal-okol
jaksa hakim yang curam
Di pengadilan tempat
orang mementaskan keadilan
Atau di rumah sakit,
tempat perizinan, bandar udara
Di semuanya yang
mengatasnamakan kemanusiaan
Jiwamu meradang, ya,
dan aku sesak nafas mendengar
Mauku biar kau
habiskan dulu kembaramu di sana
Aku kenyang di sini
oleh slogan-slogan tempe
Lantas istirahat
sebentar, tidurlah dulu
Senandung ninabobo
tetap menegangkan
Bila nanti terbangun
dari mimpi singkat
Bicaralah lebih baik
kepada limbah busuk
Ia masih bermanfaat
buat tanah perkebunan
1985
Tentang Remy Sylado
(lagi-lagi tanpa biodata). Jadi saya ambil biodatanya dari buku Grafiti di Tembok Istana, yang disunting
oleh Kurnia JR (2014). Ada ditulis begini: Yapi Panda Abdiel Tambayong (atau
Japi Tambajong) lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado, lahir di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945. Nama penanya yang lain: Dova Zila, Alif Danya
Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Nama Remy Sylado sendiri
diambil dari nada pembukaan lagu The Beatles “And I Love Her” yang menampilkan
rangkaian nada “Re Mi Si La Do” atau dalam angka menjadi 23761. Pada usia belia
hijrah ke Semarang. Sejak muda banyak menulis kritik sastra, puisi, cerpen,
novel, esai sajak, roman popular, buku musik, dramaturgi, bahasa, teologi. Juga
melukis. Pada dekade 1980-an produktif di bidang musik dan menghasilkan
setidaknya 13 album. Beberapa karyanya al: Orexas,
Siau Ling, Ca Bau Kan (1999), Kerudung
Merah Kirmizi (2002), Kembang Jepun
(2003), Parijs van Java (2003), Menunggu Matahari Melbourne (2004)
Catatan
Lain
Di sampul belakang buku ini ditulis begini: “Inilah buku pertama yang
memuat puisi-puisi mbeling karya Remy
Sylado, pencetus gerakan puisi mbeling, dari 1971 sampai 2003. Dipilih sendiri
oleh sang penyair, 143 puisi dalam buku ini akan membuat kita tersenyum,
tertawa terbahak-bahak, atau merenung. Namun jangan salah sangka, di dalam
kelakarnya Remy sebenarnya sedang bersikap serius. Dia menelanjangi sikap
feodal dan munafik masyarakat kita, terutama di kalangan pemimpin bangsa.”
Yang jadi masalah saya,
hitungan saya ada 144 puisi. Bukan 143 seperti tersebut itu. Saya dua kali
menghitung puisi lewat daftar isi. Ada 144 puisi. Nah?
Oya, mengawali buku
ini, ada ditulis sekapur sirih. Tak jelas siapa yang menulis. Namun dari sana
bisa digali beberapa informasi. Misalnya ada kalimat seperti ini: “Namun memang
demikianlah ciri-ciri utama puisi mbeling:
berkelakar dan melontarkan kritik sosial”. Atau kalimat ini: “Apa yang hendak
didobrak oleh gerakan puisi mbeling
adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih
sesuai stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum
muda takut berkreasi secara bebas. Bagi gerakan puisi mbeling, yang namanya diambil dari nama rublik ‘Puisi Mbeling’ di
majalah Aktuil, bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari,
bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Yang penting adalah apakah puisi yang
tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi
masyarakat atau tidak.”
Tentang
rubrik ‘Puisi Mbeling’ sendiri ada dijelaskan di catatan kaki bahwa rubrik ini
hadir di Majalah Aktuil dari 1972-1973. Pada tahun 1974 nama rubrik ini berubah
menjadi ‘Puisi Lugu’.
Terima kasih telah berbagi tentang khazanah sastra Indonesia. Blog ini memberi cakrawala yang luas bagi para penikmat sastra, khususnya puisi. Dengan mengakses blog ini, para pembaca juga dapat mengenal para sastrawan dan/atau penyair serta hasil karyanya.
BalasHapusInfo yang membantu sekali :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMasyaAllah. Terimakasih telah membagikan puisi dari Remysilado
BalasHapusketika komentar dikomentari, maka itu disebut perdebatan
BalasHapusmaka saya memilih diam, sesuai perintah sang Nabi