Data buku kumpulan puisi
Judul : Telunjuk Sunan Kalijaga, Puisi-Puisi Maiyah.
Penulis : Mustofa W. Hasyim
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Gress Publising, Yogyakarta.
Tebal : 130 halaman (44 puisi)
ISBN :
978-602-96826-7-0
Desain sampul : S.
Arimba
Tata Letak : Siswanto
Pracetak : Anes Prabu
Beberapa pilihan puisi Mustofa
W. Hasyim dalam Telunjuk Sunan Kalijaga
Mata
Rantai Cinta yang Buntu
Truk angine mati, Kang Gareng uripno
Truk angine mati, Kang Gareng uripno
Orang Yogya mencintai
Yogya
Yogya mencintai
Jakarta
Jakarta mencintai
Washington
Washington mencintai
uang
Uang mencintai dirinya
sendiri
Rakyat mencintai
pemimpin
Pemimpin mencintai
isterinya
Isterinya mencintai
rekening bank
Rekening bank
mencintai uang
Uang mencintai dirinya
sendiri
Buruh mencintai mandor
Mandor mencintai
juragan
Juragan mencintai
juragan besar
Juragan besar
mencintai saham
Saham mencintai uang
Uang mencintai dirinya
sendiri
Pedagang mencintai
pasar
Pasar mencintai mantri
pasar
Mantri pasar mencintai
Dinas pasar
Dinas pasar mencintai
kantor perdagangan
Kantor perdagangan
mencintai menteri perdagangan
Menteri perdagangan
mencintai impor
Impor mencintai komisi
Komisi mencintai uang
Uang mencintai dirinya
sendiri
Petani mencintai
benih, pupuk dan racun hama
Benih, pupuk dan racun
hama mencintai pedagang
Pedagang benih, pupuk
dan racun hama mencintai pabrik
Pabrik mencintai
direkturnya
Direktur mencintai
sekretarisnya
Sekretaris mencintai
atm
Atm mencintai uang
Uang mencintai dirinya
sendiri
Cem cempe cem cempe undangna barat gedhe
Tak upahi duduh tape
Cem cempe cem cempe undangna barat dawa
Tak upahi banyu klapa
2011
Aku
Mencari Pahlawan
Dengarlah dengar nyanyian mulia
bagimu pahlawan kusuma bangsa
Dengarlah dengar nyanyian mulia
seluruh negara memuji dikau
Dengar derap langkah pahlawan
Menuju medan perang
Memanggil setiap putera
Ikut bela bangsa
Dengarlah dengar nyanyian mulia
Bagimu pahlawan kusuma bangsa
Aku mencari pahlawan
di gedung-gedung parlemen, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di kantor-kantor pemerintah, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di pengadilan-pengadilan, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di makam pahlawan, tampak ada
tapi ketika mata kupejamkan hanya satu dua cahaya
Aku mencari pahlawan
di bank-bank, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di mall-mall, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di jalan-jalan tol, tidak ada
Aku mencari di
hotel-hotel, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di hutan-hutan, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di pertambangan, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di halaman koran, di halaman majalah, di layar
televisi dan di
radio-radio, tidak ada
Aku mencari pahlawan
di baliho-baliho, tidak ada
Lantas di manakah
pahlawan-pahlawan itu?
Aku mencoba pulang,
lewat selokan kering, pinggir sungai sampah. Lho
kok ada pahlawan di
sini?
Aku berjalan di pasar-pasar
kuno yang kelelahan, ada pahlawan juga
di sini. Aku lewat
sawah yang petaninya dipukul pingsan oleh impor
kentang, impor wortel,
impor kedele, impor jagung, impor brambang
bawang, di sini juga
banyak pahlawan tergeletak mereka.
Terus aku berjalan
lewat pantai, tambak garam yang dihancurkan oleh
impor garam dari
Menteri Perdagangan, banyak pahlawan kelaparan
di sini.
Lalu, di tengah terik
matahari membakar jiwa, aku mampir ke Pasar
Klitikan. Ternyata
para pahlawan berkumpul di sini,
mereka sedang menjual
berbagai barang loak medali, tanda jasa dari
logam, piagam, buku memoar,
seragam perjuangan dulu.
“Mengapa dijuali Pak,
bukankah ini penanda kalau sampeyan ini pahlawan
negeri ini?” tanyaku
Mereka tertawa lirih.
“Semua ini tidak ada gunanya Nak. Maka kami jual.
Yang penting, kami
tidak menjual hati dan jiwa kami kepada bangsa
asing,” jawabnya.
Lalu ada pahlawan
memakai kaos oblong, dia nyeletuk,
“Mas, mas, sampeyan
iki kurang gawean.
Wong nggoleki awakmu
dhewe we ora iso
Kok ndadak nggoleki
pahlawan bareng.”
Betul kata dia,
mencari diri sendiri saja belum ketemu
Kok mau maunya mencari
pahlawan segala.
Yogyakarta,
2011
Bangsa
yang Suka Libur
Cing cong cicuhung cing cong cicuhung
Kowe bocah kuncung
Wis awan isih njingkrung
Cing cong cicuhung cing cong
cicuhung
Kowe bocah kuncung
Wis awan isih kemul sarung
… Prei
pak, prei, sekolahe prei, kantore ya prei…
Bangsa yang suka libur
dan tidak suka kerja
Bangsa yagng suka
belanja dan tidak suka berproduksi
Bangsa yang suka
menggunjing dan tidak suka membaca
Bangsa yang suka
berhutang dan tidak suka menabung
Bangsa yang suka jalan
pintas dan tidak suka proses yang wajar
Bangsa yang suka
maksiat dan tidak suka menghitung kualitas diri
Bangsa yang malas dan
tidak suka berjuang
Bangsa yang suka
tawuran dan tidak suka bersatu
Itu adalah
bangsa t alias
bangsat.
Bangsa yang dulu
pemberani kini memilih penakut
Bangsa yang dulu
penjelajah kini memilih dijajah
Bangsa yang dulu suka
membagi ilmu kini suka menyontek kebodohan
bangsa lain.
Bangsa yang dulu
dihormati kini memilih mengemis pujian
Bangsa yang dulu
berjiwa besar kini memilih kerdil
Bangsa yang dulu mampu
menaklukan masa depan dan kini memilih
kalah terhadap masa
lalu, kalah terhadap hari ini dan kalah terhadap masa
depan
Itu adalah bangsa t t
t alias bangsat bangets
Cing cong cicuhung cing cong cicuhung
Kowe bocah kuncung
Wis awan isih kemul sarung
… Prei
pak, prei, sekolahe prei, kantore ya prei…
2011
Nasib
Bendera di Dalam Jiwa
Jika kau tanya
di mana letak bendera
apakah di tiang tinggi sana?
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
Lantas bagaimana nasib
bendera di dalam jiwa?
Bendera yang mana?
Merah putih.
Merah putih.
Kalau itu, nasibnya
mirip dalam kisah
Bawang Merah dan Bawang
Putih
Bawang Merah yang
merasa paling merah
Suka menindas Bawang
Putih karena dia putih.
“Kau kan hanya anak
tiri, harus terus di bawahku,” teriak Bawang Merah
ketika ayahnya mencoba
untuk menerapkan kesetaraan warna
“Merah dan putih
sama-sama warna, haknya sama, hanya kebetulan dia
adikmu,”kata sang ayah
sabar.
“Tidak. Bawang Merah
atau yang merah harus senantiasa di atas. Aku si
Bawang Merah harus
selalu dilayani oleh si Bawang Putih. Karena dia
putih, harus ikhlas
melayani kepentinganku,” teriak Bawang Merah lagi.
“Jadi maksudmu apa
wahai Bawang Merah?”
“Kepentinganku harus
didahulukan. Dia harus tunduk pada
kepentinganku. Dia
harus dan wajib memberikan apa saja kepadaku,
sementara aku tidak
wajib memberikan apa pun kepada dia.”
“Mengapa harus begitu
Nak?”
“Karena Bawang Merah
kalau dalam bendera, warnanya kan selalu di atas.
Si Putih selalu di
bawah. Yang di bawah sudah seharusnya mengabdi
kepada yang di atas.”
“Siapa yang menetapkan
semua itu?”
“Aku, si Bawang Merah
yang berhak menetapkan semua aturan.”
“Tidak pakai
musyawarah?”
“Tidak perlu Pak.”
“Kau tidak perlu
mendengarkan apa maunya si Bawang Putih? Apa
keinginannya tidak
perlu kau dengarkan?”
“Tidak. Kewajiban dia
hanyalah mendengarkan. Bukan didengarkan.”
“Lho, ini sungguh
tidak adil, Nak.”
“Lho ini malah sudah
adil Pak. Kalau dia diperlakukan sama malah tidak
adil, Pak. Lantas apa
bedanya aku mendapat karunia merah dan dia hanya
bernasib mendapat
warna putih Pak? Kan warna berbeda harus mendapat
perlakukan berbeda,
itu baru adil.”
“Adil menurut siapa?”
“Adil menurut saya.”
Sang ayah
geleng-geleng kepala. Sang ibu tidak kelihatan, sebab baru
asyik berbelanja di
mall dan setelah berbelanja dia akan arisan sampai
malam. Jadi, sang ayah
kebingungan menghadapi kebandelan anaknya,
Bawang Merah.
Begitulah yang terus
terjadi
Sejak Bawang Merah dan
Bawang Putih ada, dari hari ke hari, dari tahun
ke tahun, bahkan
sampai dengan tahun ke enampuluh enam usia mereka,
Bawang Merah tetap
tidak mau mengalah. Dia selalu memperalat Bawang
Putih. Bawang Merah
memperlakukan Bawang Putih sebagai budaknya.
Jika kau tanya
di mana letak bendera
apakah di tiang tinggi sana?
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
“Wahai Bawang Putih,
bagaimana pendapatmu,” tanya sang ayah.
“Saya mensyukuri
keputihan saya. Saya menyadari putih punya kelebihan
dan juga punya
kekurangan.”
“Apa kira-kira
kelebihanmu?”
“Pertama kami memang
lebih siap mengabdi. Kami juga tahan, liat dan
biasa menderita. Jadi
ditindas oleh Mbakyu Bawang Merah sudah biasa.
Sebagai Bawang Putih,
saya merasa makin kuat justru ketika makin
ditindas oleh Mbakyuku
itu.”
“Benar. Itu semua
kelebihanmu. Lantas apa kelemahanmu Nduk?”
“Kelemahanku hanya
satu Pak.”
“Apa itu?”
“Aku terlalu amat
sabar, itulah kelemahanku. Kalau tidak ingat itu, saya
sudah lama mau marah
lho, Yah.”
“Lantas bagaimana kau
memperlakukan Mbakyumu yang ganas itu?”
“Aku memaafkan dia
Pak. Maklum dia kan anak sulung yang manja.”
“Kau memaafkan dia
sampai kapan Nak?”
“Sampai dia bertindak
melampaui kepantasan. Baru kugampar mulutnya
nanti.”
Sang ayah diam,
menunduk, menangis tersedu-sedu
Merasa gagal mendidik
anaknya yang hanya dua orang itu.
16
Agustus 2011
Matematika
Curang Curangan
Ja curang ya aja curang
Aja curang ya aja curang
Ja curang ya aja curang
Aja curang ya aja curang
Nek
wani curang matine mbrangkang
Agi
mbrangkang banjur didugang
Kena
dugang banjur njengkelang
Mlebu
kandang apa mlebu njurang
Tersebutlah, ada
seekor monyet yang kebingungan
Ia berjalan sendirian
di sebuah ibukota, mencari teman
Di dekat jembatan
layang ia bertemu penyu alias kura-kura
“Wahai kura-kura
maukah engkau jadi temanku?” tanya si monyet
Si kura-kura tersenyum
genit, “Mau dong Nyet, kau kan ganteng.”
Berbesarlah hati si
monyet, “Kalau begitu yuk jalan-jalan.”
“Okey, okey, tapi
untuk apa? Kalau capek aku digendong ya?”
“Ya, deh. Mari
jalan-jalan mencari teman baru lagi,” sahut si monyet.
Mereka berjalan
menyusuri ibukota itu, dan di bawah pohon angsana
mereka berdua ketemu
dengan binatang lincah, bunglon namanya.
“Wahai bunglon yang
bijaksana, maukah kau berteman dengan kami?”
“Mau, mau, aku sudah
lama menunggu ada teman menyapaku,” jawab
bunglon.
Maka berjalanlah tiga
serangkai binatang aneh dan lucu ini, siang amat
panas
Mereka haus. Untung
tak dapat ditolak, mujur tidak dapat diundur,
begitulah
Mereka menemukan
sebuah tas di belakang restoran. Ternyata isinya jeruk
segar.
Mereka membuka tas
itu. Isinya jeruk sebanyak 20 buah.
Bingung juga, 20 jeruk
dibagi tiga. Mereka mengamati buah itu agak lama
Lalu tersenyumlah si
monyet cerdik. Ia membagi dua buah itu. Menjadi 10
10.
Ia membawa 10 jeruk
lalu diletakkan di depan kura-kura, “Wahai temanku
yang baik,
Mari jeruk ini dibagi,
aku mengalah deh. Aku mendapat empat, dan kau
enam, mau?”
“Mau-mau, mau sekali.
Aku sudah haus nih,” sahut kura-kura.
Kura-kura makan 6
jeruk. Si monyet makan 4 jeruk. Lalu yang 10 jeruk
lainnya
Dihadapkan ke bunglon.
“Wahai bunglon yang bijaksana, ini kau kuberi
enam jeruk,
dan aku rela menerima
empat jeruk saja. Okey?”
“Tentu saja okey. Wah
terima kasih ya Nyet. Kau adil sekali.”
Bunglon makan 6 jeruk,
monyet makan lagi 4 jeruk. Setelah puas mereka
berpisah.
Kura-kura dan bunglon
memuji kecerdikan dan kebaikan monyet yang
mau mengalah.
Sedang sang monyet
menertawakan kebodohan mereka berdua sepanjang
hari.
2009
Perselingkuhan
di Dunia Wayang yang Nyata
Ana karo Anto salaman
Petruk
Petruk kurang puas
Salaman Gareng
Gareng kurang marem
Salaman Bagong
Bagong masih ngongso
Salaman Semar
Semar masih nggrangsang
Salaman Limbuk
Limbuk njaluk imbuh
Salaman Cangik
Cangik terus memburu
dahaga jiwa
Salaman Togog
Togog juga tidak marem
Salaman Jaksa
Jaksa masih haus
Salaman Opas
Opas masih nggragas
Salaman boyo
Boyo terus lajel
Salaman Ana
Ana karo Anto salaman Petruk
Petruk ra gelem
manthuk
Salaman glembuk
Glembuk ora kodal
Salaman munyuk
Munyuk malah ngeruk
Salaman celeng
Celeng makin gopleng
Salaman entut
Entut ora mambu
Salaman pete
Pete kurang mandi
Salaman jengkol dan
beton
Beton kurang waton
Salaman luwak
Luwak kurang nekat
Salaman kadal
Kadal kurang nguntal
Salaman biawak
Biawak terus nggragas
Digebuk nganggo
padhas!
Babak bundhas!
2009
Potret Korupsi Eksistensi Diri
Cempo rowa, pakananmu opo rowa?
Pupu gendhing ndhing ndhing ndhing
Rowang rawing wing wing wing
Molang maling ling ling ling
Ini kisah nyata tapi
tampak tak nyata
kisah tak nyata tapi
tampak nyata
lihatlah dan lihatlah
rasakan dan rasakan
ana tuma ngaku singa
ana buto ngaku satrio
ana uwuh ngaku sapu
ana cindhil ngaku tobil
ana bengi ngaku awan
ana peteng ngaku padhang
ana ama ngaku tamba
ana peceren ngaku sumur
ana geni kok ngaku banyu
ana tai kok ngaku roti
ana wong wuda kok ngaku rapet
ana tukang nyiksa kok ngaku dilarani
tho gentho gentho tenan
ya inilah kisah ketika
kepala dijejali kebohongan
ketika kata-kata
menjadi jurus tipuan
dan keindahan
kekuasaan menjadi tidak bermakna
juga keindahan dari
semua selaput-selaput zaman ini!
ana tuma ngaku singa
ana buto ngaku satrio
ana uwuh ngaku sapu
ana cindhil ngaku tobil
ana bengi ngaku awan
ana peteng ngaku padhang
ana ama ngaku tamba
ana peceren ngaku sumur
ana geni kok ngaku banyu
ana tai kok ngaku roti
ana wong wuda kok ngaku rapet
ana tukang nyiksa kok ngaku dilarani
tho gentho gentho tenan
Lha wong kowe we ding marah-marahi
Marahi apa, marahi apa, dik?
Marahi konyo ngene iki lho mas
Marahi mendem kahanan iki lho mas.
Lihat kembali. Rasakan
kembali
Bumi ini diciptakan
untuk dimakmurkan
Bukan untuk
dihancurkan
Tapi yang muncul dari
cakrawala, hanyalah si cempa rowa.
Cempo rowa, pakananmu opo rowa?
Pupu gendhing ndhing ndhing ndhing
Rowang rawing wing wing wing
Molang maling ling ling ling
Ana maling ngaku dudu maling
Ana wong culas ngaku dudu culas
Ana sengit ngaku tresna
Ana musuh rakyat ngaku kancane rakyat.
Ini mungkin berbahaya
tapi juga mungkin
tidak berbahaya
tergantung definisi
kita
tentang apa itu bahaya
dan berbahaya.
17
Desember 2009
Tak
Iki wis jam sepuluh
Ayo dha bubaran
Nganggo maca wal’asri
Kanti bebarengan
Wis dipethuk simbok
Uwis dipethuk bapak
Ini zaman tak namanya:
Pemimpin kok tak
memimpin
Komandan kok tak
ngomandani
Ulama kok tak alim
Wakil rakyat kok tak
mewakili
Partai kok tak
martaini
Kemajuan kok tak
memajukan
Kemakmuran kok tak
memakmurkan
Keadilan kok tak
berkeadilan
Kesejahteraan kok tak
menyejahterakan
Demokrasi kok tak
mendemokrasikan
Kemerdekaan kok tak
memerdekakan
Iki wis jam sewelas
Ayo dha bubaran
Nganggo maca wal’asri
Kanti bebarengan
Wis dipethuk simbok
Uwis dipethuk bapak
Ini zaman tak yang
taknya telah menjadi tak tak juga
Pendidikan kok tak
mendidik
Guru kok tak mengguru
Murid kok tak memurid
Kejujuran kok tak
jujur
Ujian kok tak ujian
Janji kok tak
menjanjikan
Sumpah kok tak sumpah
Kentuk kok tak kentut
Gagah kok tak gagah
Pidato kok tak pidato
Berdiri kok tak
berdiri
Bangun kok tak bangun
Piye piye piye njur kepiye. Piye piye piye njur
kepiye.
Piye piye piye njur kepiye. Piye piye piye
subyung wae.
2011
Peribahasa
yang Retak Makna
Ada gula ada semut
Biasa
Mengharap burung merak
yang masih terbang, burung puyuh di tangan
dilepaskan
Goblok
Macan ompong berhati
musang
Macan aneh
Berat sama dipikul,
ringan sama dilemparkan
Tidak bertanggung jawab
Bagi pungguk
merindukan bulan
Mau merindukan matahari tidak berani
Menang jadi arang
kalah jadi abu
Orang suka main kayu
Apa beda tahu dengan
tempe?
Kalau tahu bisa menghasilkan tempe gembus tapi
tempe tak bisa hasilkan
tahu gembus
Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian
Kerja nelayan
Jauh panggang dari api
Ayam bakarnya tidak mateng-mateng
Tong kosong berbunyi
nyaring
Memukul tongnya keras sekali
Memukul air di dulang
terpercik ke muka sendiri
Seger. Kecuali kalo itu air comberan
Setali tiga uang
sejuta tinggal utang setriliun tinggal korupsi
Brengsek
Habis manis sepah
dibuang
Kalau sepahnya ditelan jelas seret Mas
Bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh
Kalau bersatunya untuk korupsi ya runtuh juga
2011
Telunjuk
Sunan Kalijaga
Setelah shalat jamaah
Ashar, Sunan Kalijaga
dikerumuni para
santri, di sebuah surau yang sejuk
Seperti biasa, ada
santri yang bertanya
dengan gaya yang
diserius-seriuskan.
“Kanjeng Sunan, apakah
kebahagiaan itu, Kanjeng?”
tanya santri itu
dengan suara mantap.
Sunan Kalijaga terdiam
santri lain tegang,
menunggu jawaban
Tiba-tiba Sunan
Kalijaga
mengangkat telunjuk,
lurus menuju satu arah
Mulut Sunan seperti
terkunci
yang menjawab
pertanyaan justru telunjuknya
Para santri mengamati
Sunan Kalijaga
ada yang khusus
mengamati telunjuknya
ada yang mengamati arah tatapan matanya
Lama sekali Sunan
mengangkat telunjuk
para santri terus
mengamati sambil menebak-nebak.
“Wah saya tahu,”
celutuk seorang santri.
“Apanya yang kau
tahu?”
“Pokoknya saya tahu.”
“Lha iya apanya?”
“Coba perhatikan
telunjuk Sunan.
Ia kan begini. Artinya
kebahagiaan itu ada kalau
kalau kita bisa lajel! Wah
maaf saru.”
Sunan Kalijaga tetap
diam,
telunjuknya menegang
ke suatu arah.
Para santri terbagi
dua kelompok
Yang satu membenarkan
pendapat santri tadi
tapi yang lain menolak.
“Jangan ngawur kamu.
Maksud Sunan, kebahagiaan
Itu tidak terletak
pada lajelnya seseorang, tapi lihat
kebahagiaan itu akan muncul
kalau kita punya mata yang bersorot kuat.”
“Jadi kebahagiaan itu
ada di mata? Tidak di telunjuk?”
“Ya. Kita jangan
terkecoh oleh pandangan pertama.”
Mereka ramai, terus
berdebat tentang kebahagiaan
yang ditunjukkan oleh
Sunan Kalijaga.
“Wah, kalian salah
semua. Kebahagiaan itu tidak terletak pada mata
atau pada telunjuk,
tetapi ada pada arah. Dan lihat Sunan
menunjuk ke arah barat. Jadi
kebahagiaan itu ada di barat sana.”
“Barat yang mana?”
“Pokoknya barat. Barat
yang barat.”
“Kau ini santri ngaco
namanya. Lihat kalau Sunan mengacungkan telunjuk
pasti ada maksudnya.
Coba kita lihat ia menunjuk ke arah apa?
Lihat! Sunan menunjuk ke arah
bunga melati. Jadi kebahagiaan itu
artinya
Ya bunga melati.”
“Maksudmu ki piye to
Dab, kok kebahagiaan itu ada pada melati?”
“Maksudku begini ya
Dub. Kebahagiaan itu berbau wangi seperti melati.”
“Jadi kalau seseorang
itu berbau wangi, pakai parfum atau deodorant, itu
tandanya ia bahagia?”
“Saya kira begitu.
Begitu kan Kanjeng Sunan?”
Sunan Kalijaga tetap
tidak mengeluarkan suara dan tidak mengeluarkan
gerakan.
Para santri bingung.
Tebakan mereka tidak ada yang dibenarkan
atau disalahkan oleh
Sunan Kalijaga.
“Saya kira maksud
Sunan tidak begitu,” Kata santri lain,
“Saya kira yang
dimaksud dengan kebahagiaan adalah ketika kita
punya akhlak mulia sehingga
jiwa kita akan wangi di depan malaikat.”
“Ketoke iki mau rada
cerdas. Ketoke rada bener. Tapi Kanjeng Sunan
kok tetap diam ya?”
“Saya tahu, sepertinya
pendapat saya ini paling benar di antara yang tadi.”
“Apa pendapatmu wahai
santri sombong?”
“Saya, setelah mengamati, mempelajari dan menghayati gerakan
“Saya, setelah mengamati, mempelajari dan menghayati gerakan
dan tata cara Kanjeng
Sunan menggerakkan telunjuk jadi punya
pendapat.”
“Pendapatmu piye,
jangan berbelit-belit kayak politisi!”
“Begini, ya begini.”
“Mbok dijelaske sing
rada cetha to Dul!”
“Baiklah akan saya
jelaskan.”
Santri itu
mengelilingi Sunan Kalijaga, mengamati Sunan dari berbagai
sudut,
lalu tertawa
terbahak-bahak.
“Jangan kenthir Dul.
Cepat katakan pendapatmu.”
“Ya, cepat katakan.”
“Begini, ternyata
kebahagiaan itu tidak terletak pada telunjuk, tidak pada
mata,
tidak pada arah, tidak
pada melati, tidak pada wangi. Akan tetapi…”
“Akan tetapi apa
Nyuk!”
“Akan tetapi
kebahagiaan itu justru terletak pada proses. Proses dari itu
semua. Kalau tadi
ujungnya ada yang berpendapat bahwa Kanjeng Sunan
itu sedang menunjuk
bunga melati, maka yang dimaksud
adalah bagaimana bunga
melati itu diproses, diciptakan oleh Tuhan. Jadi
kebahagiaan itu akan
muncul manakala kita mampu memproses kesadaran
kita sehingga kita
sampai pada kesadaran berketuhanan.”
“Wah terlalu
filosofis!”
“Terlalu akademis!”
“Tidak alami!”
“Tidak natural!”
“Ya, kebahagiaan itu
harus alami, harus natural
kalau tidak percaya
mari kita tanyakan kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.”
:”Wahai Kanjeng Sunan,
lho kok ora ana?”
Ketika mereka menoleh,
Sunan Kalijaga telah menghilang
dari tempat duduknya.
“Wah, apa ini artinya
kebahagiaan itu tidak ada?”
“Bukan begitu. Kalau
Kanjeng Sunan tidak ada berarti beliau harus kita
cari
itu artinya kebahagiaan
itu harus terus kita cari, begitu lho Blok!”
Mereka terus
bertengkar, tiada henti-hentinya
sampai ketika
menjelang Maghrib Sunan Kalijaga muncul.
Wajahnya merah padam.
Ia seperti marah sekali
para santri berhenti
bertengkar. Takut. Gemetar.
“Masih ingin tahu dan
ingin mencari kebahagiaan apa nggak?” tanya
Sunan.
“Ya Kanjeng Sunan.”
“Kalau begitu, kalian
harus ke sana. Carilah kolam.
Semua harus masuk
kolam. Cari, kebahagiaan itu di dalam kolam.”
“Setelah kami masuk
kolam dan seandainya bisa ketemu kebahagiaan
lalu apa yang harus
kami lakukan?”
“Kalian harus ke sini.
Jamaah Maghrib. Baik ketemu si bahagia atau tidak
kalian tetap kembali
ke surau ini. Saya tunggu. Cepat laksanakan!”
Para santri berlomba
berlari ke barat, di balik deretan pohon melati
ternyata ada kolam
luas. Mereka semua nyemplung ke kolam.
Semua santri berusaha
mencari kebahagiaan, sampai mereka kedinginan
dan Maghrib datang
tidak ada satupun santri yang mendapatkannya.
“Bagaimana? Ada yang
mendapat kebahagiaan nggak?”
“Tidak ada, Kanjeng
Sunan,” semua menjawab apa adanya.
“Ya, sudah. Kalian
sudah berwudlu kan? Ayo shalat jamaah semua.
Dul, kau adzan lalu
iqomat sekalian.”
Mereka pun shalat
dengan khusyuk. Kanjeng Sunan Kalijaga
membaca surat Al
Mukminun dan An Nur.
Tak terasa semua mata
santri basah, air mata menetes satu-satu
mereka merasa bahagia,
justru ketika mereka tidak berusaha memburunya.
Pada saat tahiyat
akhir, ketika telunjuk Sunan Kalijaga menegang
dan telunjuk mereka
juga menegang sambil membaca syahadat,
“KEBAHAGIAAN ITU SAMPAI PADA PUNCAKNYA!”
Yogyakarta,
2009
Ki
Ageng Gedebuk Krincing
Ngendi to papane kebegjan
Nanging tanpa pungkasan
Kang dijaga malaikat Ridwan
Yaiku papane wong Islam
Putra wayah Nabi Adam
Kang kasebut ing kitab Qur’an
Kaampil Nabi panutan
Ayo kabeh para kanca
Padha marani kabegjan!
Tersebutlah kisah di
zaman gelap yang paling gelap di tanah Jawa
Ketika seorang raja
membiarkan nafsunya bertahta ketimbang jiwanya
Ketika ia menjadi
hamba burung syahwatnya
Dan para sentana dalem
dan sanak saudara ketakutan
Takut, suatu saat
isteri atau anak perawannya bisa-bisa disambar raja!
Bahkan isteri Dalang
yang jujur dan sakti saja
Juga disambar raja,
dan para ulama yang protes diminta pepe
di Alun-alun
Lalu dibunuhi satu
persatu
Darah pun memanggil
darah, langit memanggil petir paling menggeledek
Cakrawala memanggil
perahu dan senjata satria
Pemberontakan pun
terjadi. Satria dari sabrang wetan menerobos masuk
Kedaton ditaklukkan
Raja lari pontang
panting sambil terus melindungi burungnya.
Pada zaman seperti
itulah
Ki Ageng Gedebuk
Krincing
muncul ke permukaan
“Ini semua memang
telah diwartakan,” katanya.
“Lihat,” teriak Ki
Ageng Gedebuk Krincing
“Tuhan telah memberi
kita banyak kunci bahagia bagi rakyat
tetapi raja malah
menjuali kunci-kunci bahagia rakyatnya itu, demi nafsu
burungnya.
Sebentar lagi kita
tidak bakalan punya pantai dan pelabuhan,
Semua akan dijual pada
si kebo bule yang siwer matane.
Raja itu menjual kunci
untuk ditukar dengan belenggu.
Maka akan
terbelenggulah rakyat negeri ini.
Berpuluh-puluh abad
lamanya!”
Ngendi to papane kebegjan
Nanging tanpa pungkasan
Kang dijaga malaikat Ridwan
Begitulah, untuk
menaklukkan pemberontakan
raja pun bersekutu
dengan sebuah kongsi dagang tapi punya serdadu
rakyat hilang, tanah
air hilang tapi tahta kembali didapat
negara menjadi sekepal
nasi tiwul
yang seret ketika ditelan
oleh rakyat yang tersisa
sejak itu, zaman di
negeri ini, menjadi, byar-pet-byar-pet
bahkan setelah dengan
gagah berani para pemimpinnya menyatakan
merdeka
“Kita telah merdeka!”
“Tapi byar pet byar
pet.”
“Merdeka.”
“Byar.”
“Merdeka.”
“Pet.”
“Merdeka.”
“Byar.”
“Pet.”
“Merdeka.”
“Pet.”
“Merdeka.”
“Pet.”
“Merdepet.”
“Pet.”
Ki Ageng Gedebuk
Krincing pun bernyanyi sambil menangis.
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk
Sana krincing sini gedebuk
Sana krincing sini gedebuk
Sana krincing sana krincing
Sana krincing sini dapat gedebuk
Pada akhirnya Ki Ageng
Gedebuk Krincing memilih tidak ada
Tetapi tetap menjaga
warta agar tetap ada
Ia melepas nama dan
kedudukan, ia lempar ke sungai Opak dan Oya
Lalu menjadi petani di
dusun Pundong
Tempat ia menjaga
gempa, yang sewaktu-waktu mendatanginya.
Ngendi ta papane kebegjan, ngendi ta papane
kebegjan, keluhnya.
Yogyakarta,
2010
Kodhok
Lorek
Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung
Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan
Muhammadiyah,
hendaknya
jangan meniru negara
cenderung goblok petok
cenderung wagu tur ora
mutu
Muhammadiyah, perlu memikirkan
jalannya sendiri
Tajdid itu artinya ora
melu-melu
Ora melu-melu kemplu
Ora melu-melu gemblung
Jaman kemplu jaman
kemplu
jaman jaman kemplu
jaman gemblung jaman
gemblung
jaman jaman gemblung
Muhammadiyah itu, dulu
sakti tenan
Hanya dengan membaca
Al Ma’un
berdirilah rumah
sakit, panti asuhan
rumah singgah orang
miskin
Hanya dengan membaca
Wal ‘Asri
Berdirilah sekolah-sekolah
Kursus-kursus ngetik
dan steno
Kursus teknik ndandani
radio dan gramapun
Hanya dengan membaca
Wadl Dluha
berdirilah pabrik
tekstil, jaringan pasar antar kota
berdirilah perusahaan
ekspedisi, percetakan
dan perpustakaan
sampai di pelosok desa
Muhammadiyah, ndandani
masyarakat
Ngedekke bongso
nganggo Hizbul Wathon
dadi anane
Muhammadiyah karo bongso lan negoro
Isih dhisik Muhammadiyah,
itu kata sejarah
Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung
Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan
Lha kok saiki, kok
akeh wong Muhammadiyah
kelangan keblat,
mbingungi, nubras-nubras?
Kok akeh wong
Muhammadiyah nyremimih, nylekethe
ndremimis, nylekuthis,
tak berdaya dan tak mandiri
Keadaan kayak gitu kok
ingin memperbaiki masyarakat,
bangsa dan Negara.
Ngilo, dab, ngilo!
Muhammadiyah itu
gerakan pembaharu
coba dengarkan apa
yang dilakukan oleh Mbah Dahlan dulu.
Mbah Dahlan pantas
disebut Mbahe pembaharu karena
Ia memperbarui dirinya
setiap hari, membaca-mendengar-berdialog-
bekerja
Ia memandang hidup dan
dirinya secara baru
Ia memandang agama dan
masyarakatnya secara baru.
Tidak ada ceritanya
pembaharu kok kerjanya tidur melulu, ngiler sisan
Tidak ada ceritanya
pembaharu kok kerjanya menggerutu, bergunjing
Tidak ada ceritanya
pembaharu kok kerjanya metani salahe
liyan
“Ini liberal,lho. Itu
konservatif, lho. Itu setengah kader, lho. Kalau itu
lho, lho!
Akhire malah dadi menungso cap lho”
Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung
Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan
Saatnya Muhammadiyah
cancut tali wanda
Jangan kalah dengan
landa lorek dari negeri Wongsohito
Pemilik burung raksasa
Bango Danio, gedung Ing Ming Fu
Dan mafia Waton
Thengil Obahe
Muhammadiyah dan wong
Muhammadiyah
Jangan mau jadi hamba
landa lorek dari Wongsohito
Jadi makanan burung
raksasa Bango Danio, dan rela disihir Ing Ming Fu
Dan jangan mau diperas
oleh mafia Waton Thengil Obahe
Muhammadiyah maju
karena jalan pilihannya sendiri
Islam berkemajuan,
ramah, terbuka, cerdas, ora mutungan
Muhammadiyah maju
karena lakukan pembaharuan tanpa henti
Justru ketika negara
lumer jadi agar-agar dan kemudian membeku jadi
batu.
Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung
Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan
Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung
Hampir
Muktamar di Yogya, 2010
Surat Untuk Nabi Muhammad
Ya Nabi,kutulis surat ini,sebagai tanda rasa
malu yang besarnya meliputi
bumi dan langit seisinya.Kenapa harus kutulis
surat ini
sebagai tanda rasa malu? Karena aku sungguh
merasa malu
malu semalu-malunya.
Mengapa aku tidak malu ya Nabi,
Kalau setiap hari kusaksikan umatmu
dan para pemimpin umatmu
kerjanya hanya menjadi peminta-minta
Mereka tidak meminta-minta kepada Tuhan,ya
Nabi
tetapi meminta-minta kepada sesama manusia
mereka mengemis uang receh maupun uang besar
mereka mengemis kata-kata kepada yang lebih
miskin
Mereka mengemis kekuasaan, mengemis suara
dengan cara yang amat hina,mengungkit-ungkit
jasa
dan memamerkan jasa yang secuil
agar mendapat mandat yang penuh
Mereka seperti mengharap syafaat,
tetapi arahnya salah ya Nabi
Minta syafaat kok kepada sesama manusia,
bukan kepadamu ya Nabi
Mereka mengecer-ecerkan wajah dan senyum di
jalan-jalan
bukan untuk memancarkan cinta
tetapi untuk memeras rasa haru dan balas jasa
atas kerja yang sesungguhnya menjadi kewajiban
mereka
Mereka menjual diri dan jiwa
dengan mengibar-kibarkan janji-janji baru
padahal janji-janji lama
belum pernah mereka tunaikan
Mereka berjanji membuat sejahtera rakyat dan
umat
tetapi kerjanya merancang dan menciptakan
bencana-demi bencana
Mereka berjanji ingin melindungi rakyat dan
umat
tetapi kerjanya menjual perlindungan itu
kepada pihak asing
Sungguh aku merasa malu
menyaksikan semua ini
mengapa untuk menjadi pengemis zaman saja
mereka rela memenuhi tiga syarat menjadi
manusia munafik,ya Nabi
Coba saksikan,kalau mereka bicara
mereka berbohong
kalau mereka dipercaya,mereka mengkhianati
kepercayaan itu
kalau mereka berjanji, mereka langgar sendiri
perjanjian itu
Tetapi ingat, ketika mereka merasa mampu
menipu Allah
sesungguhnya Allahlah yang menipu mereka
dengan menciptakan fatamorgana kekuasaan
yang memabukkan mereka,yang membuat mereka
merasa haus
ketika mereka menghilangkan
dahaga dengan air laut yang asin
Kutulis surat ini ya Nabi
sebagai tanda rasa malu
sebab kami sungguh tidak mampu
mencontoh segala tindakanmu
Ketika kau,ya Nabi, dikenal sebagai pedagang
kaya
kami malah membiarkan atau mempersilakan orang
asing
hadir sebagai pedagang, sampai di depan
pintu-pintu rumah kami
sementara itu dengan rakusnya kami bangga
menjadi umat dan bangsa
pembeli
Ketika ayat-ayat suci yang kau sampaikan
banyak menganjurkan kami agar beramal saleh, yaitu berbuat produktif
kami bahkan berlomba-lomba menjadi umat dan
bangsa konsumtif
sampai apa saja yang datang dari luar kami
konsumsi ya Nabi,
termasuk impian, ilmu dan cita-cita kami
Ketika kau ya Nabi, mampu menghimpun kekuatan
jiwa
lewat hidup yang sederhana
kami justru menjadi pemuja kemewahan
kalau perlu, menjadi peminta-minta
Hidup ini telah salah karena tidak kami beri
nilai-nilai
tetapi hanya kami beri harga, harga
semurah-murahnya
kalau sudah demikian, bagaimana kami bisa
menang ya Nabi
menang terhadap diri sendiri, maupun menang
terhadap pihak lain
Kutulis surat ini ya Nabi, sebagai rasa tanda
malu, karena kami telah
dipermalukan oleh zaman, itu sungguh tidak
kami kehendaki ya Nabi
tapi paling tidak, dengan sadar malu kami
masih punya sedikit iman ya
Nabi
dan dengan itu, mudah-mudahan kami masih bisa
menyelamatkan diri.
Amin.
2009
Setelah Hilangnya Mata Angin
Papat
kiblat limo pancer
Papat bangsat
limo gangster
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Aku melihat, timur ada di barat
Aku melihat, barat ada di utara
Aku melihat, utara ada di atas
Aku melihat, atas ada di bawah
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Aku melihat, bawah ada di selatan
Aku melihat, selatan ada di timur
Tidak ada lagi kordinat
Tempat meletakkan posisi
Tak ada lagi mencari arah
Karena mencari tidak ada lagi
Apalagi arah
Tak ada lagi cakrawala.
Sekarang ini, sudah tidak ada lagi teori
konspirasi
Sungguh tidak ada lagi teori itu
Siapa bilang ada teori konspirasi, itu omong
kosong
Sebab yang ada, hanyalah praktik konspirasi, bukan
lagi teori.
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Apa yang harus dilakukan?
Kosongkan dirimu sekosong-kosongnya
Sehingga kosong itu sendiri tidak lagi dapat
menjajahmu
Apa lagi isi.
Pejamkan matamu sepejam-pejamnya
Sehingga tidak ada lagi cahaya menjajahmu
Apa lagi kegelapan
Berhentilah, pada titik paling hening dalam
sukmamu.
Pembebasan demi pembebasan
Akan menanti
Tapi jangan biarkan
Pembebasan menjadi kelelahan di pelukanmu
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Papat
kiblat limo pancer
Papat
bangsat limo gangster
Sekarang ini, mata angin boleh dirampas
Tetapi cinta di dalam diri tidak, Tuhan
Sekarang ini cakrawala boleh dirampas
Tetapi cinta di dalam jiwa tidak,Tuhan
Dengarlah
dengar seruan hatiku
Aku
cinta padaMu
2010
Tentang Mustofa W Hasyim
Mustofa W Hasyim lahir di Yogyakarta, 17 Nopember 1954. Dari TK hingga PGA di Kotagede, sebelum
menyelesaikan pendidikan di FIAD UMY Yogyakarta (1975). Pernah bergabung pula
di Persada Studi Klub. Pengalaman kerja sebagai penulis freelance cerita anak
untuk Kawanku, Wartawan, Redaktur sejumlah penerbitan, dan editor. Buku
kumpulan puisinya: Reportase yang
Menakutkan, Ki Ageng Miskin, Musim Hujan Datang di Hari Jum’at, Telunjuk Sunan
Kalijaga, Legenda Asal-Usul Ketawa (dalam proses penerbitan). Kumpulan
cerpen: Bayi-bayi Bersayap, Api Meliuk di
Atas Batu Apung. Menulis 4 kumpulan esai, beragama sekaligus berhati nurani, luka politik dan luka budaya,
ranting itu penting, dan Membela
Tekstil Tradisional. Menulis 15 novel, antara lain Sepanjang Garis Mimpi, Arus Bersilangan, Kali Code: Pesan-pesan Api,
Memburu Aura Ken Dedes, Hanum, Kepak Sayap Jiwa.
Catatan
Lain
Di bagian depan buku ini, penulis menulis “Semacam Pengantar”. Di sana
dijelaskan pengertian puisi Ma’iyah yang sering disebutnya sebagai
rusak-rusakan: “Kalau boleh disebut, tradisi atau kebiasaan menulis puisi
seperti ini sudah saya mulai tahun 1970-an, bersamaan dengan ketiksa saya
menulis puisi serius. Dulu puisi yang seperti ini, disebut puisi humor atau
puisi slengekan, saya bacakan di depan orang-orang serius yang belum mengenal
puisi serius. ….. Karena asyik, saya jadi keterusan menulis puisi seperti ini.
semoga banyak penikmatnya, sambil memandang dan merasakan Indonesia yang kacau
secara nilai tetapi Yogya dan sekitarnya aman-aman saja.” Di sampul belakang
buku bertengger nama Muhammad Ainun Nadjib, menulis: “Di pengajian Ma’iyah apa
saja dapat menjadi ilmu. Termasuk puisi rusak-rusakan yang setiap tanggal 17
dibacakan di pengajian Mocopat Syafaat, dan kadang dibacakan di Gambang
Syafa’at Semarang dan Padhang Bulan Jombang ini.”
Ada yang unik dengan
penyair ini, saya baru nyadar belakangan. Di satu sisi, ia terlibat dan
mewakili suara Muhammadiyah, di antaranya dengan terlibat sebagai redaktur
Pelaksana di Suara Muhammadiyah dan Majalah Pelajar Kuntum. Juga sebagai ketua
majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin. Tapi nama belakang penyair ini, yaitu
Hasyim, mengingatkan pada NU. Setidaknya ada 2 puisi di buku ini yang terkait
Gus Dur, yaitu Keluhan Keluhan Gus Dur
dan Aku Melihat Gus Dur Tersenyum.
Ni puisinya…
Aku Melihat Gus Dur Tersenyum
Aku melihat Gus Dur tersenyum
saat kita bingung menebak arah zaman
“Salah sendiri, arah zaman kok ditebak
Mbok menebak itu hasil akhir pertandingan sepakbola, kan
lebih mudah.”
Mendengar kegaduhan di negeri ini, Gus Dur tersenyum.
“Walah walah, orang berebut nasi kok diperdebatkan
piringnya, pancinya, karungnya, lha sampai kapan
hakikat nasi diketahui dan nasinya dapat dimakan ramai-
ramai.”
Ketika ada Pemilu dan lainnya yang membuat pilu hati rakyat,
dia meledek kita, “Lha wong kalian hanya memilih gincu,
bukan manusia. Ya sekarang rasakan akibatnya.
Gincu nggak enak dimakan kan?”
Sebagian koruptor ditangkap, sebagian selamat, sebagian lagi
pura-pura jadi orang baik dan berkampanye bahwa korupsi itu baik. Gus
Dur tahu semua itu, lagi-lagi ia tersenyum,
“Ada korupsi yang lebih gawat kok nggak dilihat, itu
korupsi hati nurani.”
“Piye iki Gus, kok semua malah pada gemblung? Ikut gemblung ora
komanan tidak nggemblung makin tidak komanan. Piye apike Gus?”
“Apike slawatan wae, slawat Badar, slawat perang melawan
kegelapan hati dan jiwa.:
Solatullah salamullah ‘ala Toha
rosulillah
Solatulah salamullah ‘alal Hadi
habibillah…
Genre puisi buku ini apa ya kak?? apa masuk sastra mbeling?
BalasHapus