Data buku kumpulan puisi
Judul : Kesiur dari Timur
Penulis : Timur
Sinar Suprabana
Cetakan : I, Januari 2012
Penerbit : Katakita, Yogyakarta.
Tebal : 144 halaman (84 puisi)
ISBN : 978-979-3778-67-9
Editor & desain
artistik : Sitok Srengenge
Penata letak &
aplikasi desain : Cyprianus Jaya Napiun
Lukisan cover :
Markaban
Beberapa pilihan puisi Timur Sinar Suprabana dalam
Kesiur dari Timur
kata
kata Datang kepadaku. bertanya
: tahukah kau. o. Siapa menghuni tanda baca
justru ketika kau mengembarai huruf-huruf
yang kekal
yang selalu gagal melupa Cinta
tahukah kau
o, Siapa?
tanpa rasa Pedih
telah kuhapus kau dari mengapa aku mencintaimu
barangkali dengan perasaan seperti bagaimana
guru
membusak soal-soal uraian di papan tulis dalam
kelas
menjelang berganti jam pelajaran dari sastra
ke matematika
telah kuseka dengan telapak tangan gemetar
menggenggam penghapus dengan sisa tenaga
penghabisan
yang memucat lunglai di lengan yang tiba-tiba
tak bertulang
kerna betapapun jauh kutempuh tiada yang bakal
tergayuh
telah kuhapus
telah kuhapus
sebelum benar-benar pupus
kerna terhadapmu aku ini Cinta yang tak
sanggup jika mesti layu
seperti selada di piring gado-gadomu yang Dulu
cinta
ia Bukan jika kerna mata
sebab mata gampang terpedaya
ia Bukan jika masih bisa terutara
sebab kata hanya gema yang fana
ia Bukan
kecuali terhadapnya kau hanya bisa Ya
meski mungkin Tidak selamanya
baca
telah kubaca
bahkan hingga yang Bukan kata
o, semua kau Ternyata
: kekasih
: Kekasih
Bahkan beta Juga
o, dikau Pula
: kekasih
: Kekasih
telah kubaca
telah kubaca
makin kubaca
: betapa tiada yang Bisa tiada
betapa tiada
yang bahkan kita sempat sangka Telah tiada
kini kucoba baca
yang kau Belum hendak menuliskannya
melaluimu
wahai, kekasih
wahai, Kekasih
wahai!
surga
di angin yang entah bagaimana mulanya
senantiasa mengekas santer ke tenggara
mungkin terpeta, bernoktah-noktah, di mana
sorga
menyembunyi di sebalik kabut cahya
“ayo,” bisikmu. “kita ke Sana”
“tidak, kekasih,” gumamku. “aku Letih
terpedaya.”
dan, sembari tersedu, ia pun melukar usianya
sampai bola lampu-bola lampu pecah Semua.
ketika keretamu melaju
ketika keretamu melaju, barangkali menembus
hujan yang
menderas di sepanjang empat ratusan kilometer
dari timur ke
barat itu, sungguh hatimu telah lebih dulu
mengapung dan
melayang sekaligus melayang dan mengapung di
sela degap
jantung
tinggal kutunggu dirimu
sembari sesekali berulang tersipu
: digoda Rindu
di dalam Hujan
kota seperti keluh
: juga Cinta. luruh
malam berhujan
hijau dedaun kelabu kehitaman
lalu angin yang tak berarti apa-apa
mendesau fana. dari tenggara
di langit
: sunyi berderit
entah siapa
menghilang di tikungan sana
ah, betapa kurindu tiktak jam
lerai dari pertengkaran
kupilih senyap
: doa-doa yang tak terucap
kubiarkan hujan
menderas di dalam Hujan
seperti kubiarkan Bunga
menghapusi warna kelopaknya
“mengapa tak kaucegah?” tanyamu
“ketika kujauhkan diri dari rindu.”
aku, pucat dan basah dan kedinginan,
berkata, “Tidak!”, terhadap kenangan
membiarkan kau Tidur
melupa umur
sendiri
hingga Kini!
jalanan
-mengapa aku berlinang air mata
saat
kutulis sajak ini?
jalanan Bukan jalan, kekasih
seka pupurmu
hapus gincu itu
kelupas cat kuku
luruh gelang dan kalung itu
duduklah sebentar di hadapanku
tatap mataku
: tidakkah kau bisa lihat anak-anakmu
membayang lelap di bola mataku
meski padahal mereka bukan anak-anakku
mengapa tapi tiap mereka merindukanmu
selalu bertanya mengenaimu padaku
dan tidak memanggili namamu
atau apalagi meneleponmu
jalanan Bukan jalan, kekasih
sajak dari ketika Tadi ke
luar Sebentar
aku Seperti menyaksikan bagaimana tiba-tiba
diriku Tidak bertemu manusia
dan bersua melulu dengan debu yang menggebalau
sia-sia.
menggelapi udara kota seolah bulir-bulir entah
apa
yang bersidesak mencari jalan masuk meracun
rongga dada.
aku Seperti menyaksikan
bagaimana tiba-tiba diriku Tidak bertemu
ingatan
yang memautkanku dengan tuhan
atau sekedar penghiburan. begitu jauh dari
harapan
ketika orang-orang miskin tak bosan-bosan
berdoa
dan tiada satu pun yang terkabulkan.
aku tertawa dan gema tawaku menertawaiku.
aku Seperti tiba-tiba Tidak berdaya
bukan kerna oleh rindu atau lantaran jatuh
cinta,
melainkan kerna mendadak segala menjadi tua
dan dengan susah payah saling mencoba bertegur
sapa
seperti kanak-kanak belajar bersepeda.
“mengapa kau tak Segera pulang saja?”
tanyaku pada saya yang melangkah sembari
menunduk
seolah dengan begitu dia pikir tak seorang pun
tahu
kalau sedang tersipu
karena perasaan teraduk.
“bagaimana saya berhak pulang
kalau saya tak pernah pergi?”
jawab saya sebelum jatuh terduduk.
barangkali akan makin sunyi dan kian lenyi
kalau saja engkau, o, kekasih, tidak tiba-tiba
menyelinap dalam ingatan dan ngebut main bombom car
dalam benak yang mendadak memerah tua
kemudian meluncur ke rongga dada
menabraki degap jantung yang senantiasa meremaja
sembari tertawa-tawa!
sampun Dalu
dengan Cinta terhadap
:darmanto
jatman
sampun
dalu
bisikku padamu
yang belakangan selalu kurindu
padahal engkau lenggah di hatiku
sungguh sampun
dalu
bahkan tiktak jam telah pula membisu
semua lukisan markaban membiru
dan sajak-sajak mulai rebahan di dadaku
dari kamarku
ialah jantung yang sungguh ungu
kulihat dunia luar di sana mencari mripatmu
dan ketika ketemu ia klotok segala sendu
dari ruang tamu rumah kontrakku
ialah ilat
sewarna kembang sepatu
percakapan-percakapan kami tentangmu
sewajah sorga yang dicrita kitab suciku
aku
kami dan kamu
bukan bunga paru
yang gampang layu
ah, sakmenika
sampun Dalu
aku memilih ikut menjadi bersamamu
: Eling,
Pracaya,
Mituhu
mring Gusti
kutukan ini
: abadi
-aku Masih selalu merindukanmu
apakah yang kau masih hendak ceritakan padaku
jika
bahkan dukacita atau setidaknya semacam
kesedihan yang
sangat itu selalu saja tiba-tiba kau saksikan
membayang
bergayut di tiap kata sebelum engkau rampung
mengucapkannya seolah tiap benih yang kau
tebar
senantiasa langsung mengering sebelum sempat
bersentuh
dengan tanah dan berapa tahun pun engkau
tersedu
tiada bisa air matamu sanggup sekadar
membikinnya jadi
lembab atau apa lagi hingga membikinnya
bertunas meski
sedetik sesudahnya segala yang kausangka hijau
mendadak
menjelma kelabu yang tapi bukan debu dan bukan
pula
cuaca yang terhadapmu tiada pernah tidak
memperdaya?
kini seperti gagak atau malah mungkin mainan
berbentuk
burung yang terbuat dari plastik dan sayapnya
mengepak
patah-patah digerakkan oleh batere yang soak
engkau
mengangan mengitari benua demi benua yang
kausangka
telah kaumukimkan di rongga dada walau padahal
betapa
bahkan sekadar debar pun sudah lama tak
menggeletar atau
apa lagi sampai terdenyar di ruang
kosong-ruang kosong
yang selalu saja kausangka hutan padahal hanya
belukar
dari rumpun-rumpun entah apa yang tiap
setidaknya
tiga menit sekali selalu mengasah duri-durinya
dan
mematahkan ranting-rantingnya sendiri demi
agar bisa
menusuk debar degap jantungmu yang memucat dan
tak henti melingsut sejak kaukatakan,
“tidak!”, sembari
lantas meludah sedetik sesudah kukatakan
kepadamu,
“bersediakah engkau menjadi kekasihku?”, yang
padahal
betapa engkau bahkan ingin aku ini meminang
tidak saja
dirimu tetapi sampai ke bayang badanmu
kutukan ini
: abadi
sajak pendek yang kutulis
ketika sore berhujan
sungguh inilah sore berhujan
: melengkapkan penantian
semacam rindu
: membayang jauh dan sendu
kabut, udara dan langit
: mengusaikan pingit
di sore berhujan kuharap kau datang
: berkendara kunang-kunang
apakah kita akan berpeluk
sampai nafas pun takluk?
ataukah kita akan bercakap
sampai degap pun senyap?
kukenakan jaketku saat menunggu
: biru
kubiarkan kancing-kancingnya terbuka
: kerna kuharap engkaulah yang mengatupkannya
barangkali dengan jari-jari gemetar
: tapi aku tahu betapa hatimu tak kenal gentar
barangkali sembari memandang ke mataku
: menyelinap dan menyelidik kalbu
aku ingin bisa meragukan cinta kita
: tapi rasa percaya ini terlalu perkasa
dan sekarang sore makin berhujan
: dan sekarang hujan menderas pula di garis
tangan
kutunggu kamu tepat diperpotongan itu
: hangat dan Ungu
menghidupkan urat dan ototku
kubisikkan
selalu
kubisikkan pada tiap huruf
dan tanda baca, “aku mencintaimu.”
itulah sebab mereka menjelma kasih
tiap kuhadirkan jadi kata
selalu kubisikkan
pada hati atau benak, “aku
mencintaimu.”
maka mereka pun melangit-langit
tak sayang beri cuaca cerah
pada jiwa bahkan di saat sayah
selalu kubisikkan
selalu kubisikkan
selalu kubisikkan pada bisik, “aku
mencintaimu.”
maka seluruh bisik berdesik
merisik
jadi ucap
mengusap senyap
engkau, wahai,
sungguh Juga senantiasa bisa
mendengarnya, bukan?
percakapan
keheningan
jauh dan rata
seperti warna malam tanpa bulan
seperti kenangan terhadap mata
seperti ingatan tanpa pautan
: tiada yang masih terpeta
tinggal senyap
berdekap
pucat
memalam diam-diam
di beranda
sisa percakapan masih menggema
mungkin dikekalkan angin
atau barangkali diperam udara dingin
aku tak tahu
dan di langit mega-mega serupa perahu
apakah tadi kami bercakap tentang laut?
ataukah lebih mengenai maut?
oh, tentang atau mengenai apa saja
percakapan mengusir muram durja
kerna sepasang matamu selalu ikut bicara
mengerjap, berkilau, bebas segala penjara
“aku
mencintaimu,”
katamu tiba-tiba
aku tertawa, tak percaya dan merasa dituba.
“engkau tak percaya?” katamu mendesak dalam
tanya
nafas pun lengkap. menjauh dari cahaya.
“engkau lihat burung itu?” tanyaku
“ia terbang menempuh malam yang sungguh mulai
beku.”
ia tersedu. menjadi jauh dan sendiri.
menjadi kota dan sia-sia.
menjadi hujan dan kehampaan.
menjadi belukar dan hilang debar.
menjadi luh dan terus luruh.
menjadi dekap yang abadi senyap.
hingga kini sisa percakapan masih menggema
mungkin dikekalkan angin
angin di Dahan
ada yang lalu menjadi Lebih berdenyut di entah
mana
pada bagian tubuhku
tiap kuingat percakapan-percakapan pendek kita
yang kapan persisnya sudah kulupa.
percakapan-percakapan mengenai
dan tentang yang barangkali saja akan bikin
kau ataupun aku
bisa lebih tetap makin bahagia
kalau saja tak pernah sempat terutara.
ah, sandaran lengan dari kursi
yang dulu pernah kaududuki itu mungkin telah
berkarat
kerna tak tahan oleh cuaca hari berhujan,
atau lantaran terlalu rindu pada malam
yang tak henti memandangmu ketika kau datang,
berlenggang, bergaun hitam
yang potretnya gagal kutahu
: kini terselip di sela riwayat yang mana.
hai, perempuan
pernahkah kau eja ke mana arah gurat garis
telapak tangan
dan siapa pula yang bikin banyak jejak
berserak di tiap tindak?
pernahkah kau coba hentikan tiktak
yang meletik-letik menandai perputaran jarum
jam
seperti pernah terhadapmu kukatakan,
“baiklah.
tapi jangan kita saling melupakan.”
Semua mengenai yang menghubungkan aku ke kau
ataupun menautkan kau ke aku
menjadi semacam dukalara yang tapi mengapa
bisa bikin kita tersenyum bahagia?
semua mengenai yang mengingatkanku padamu
ataupun memantulkan kilaumu ke aku
menjadi semacam warni-warna bunga
yang tapi mengapa tak menggarami makna pandang
mata?
aku ini hanya angin di Dahan
sebentar seperti singgah, seperti melindap
pelahan,
seperti mencegahmu disentuh sedu-sedan,
seperti memang sebaiknya mesti buru-buru kaulupakan
kerna aku hanya angin di Dahan
mungkin
tak sepadan
pintu
adakah yang Sungguh merindumu
melebihi kangen Pintu terhadap datangmu?
adakah yang sungguh menahan Sedu
melebihi isak Pintu pada pergimu?
adakah yang selalu menyambutmu
sekaligus menghantarmu Selain pintu?
bahkan hati pun tak tentu.
Tentang Timur Sinar Suprabana
Timur Sinar Suprabana lahir di Solo, 4 Mei 1963. Sajaknya terhimpun dalam
buku sihir Cinta, Gobang Semarang dan
menyelam Dalam (bersama Beno Siang
Pamungkas). Mengelola rumah budaya Gubug
Penceng dan penerbitan kecil Huruf
Hidup. Tinggal di kawasan Mijen, Semarang, Jawa Tengah.
Catatan
Lain
“Judulnya saja sudah sangat puitis, Kesiur
dari Timur. Kesiur berarti desing atau suara lintasan angin. Tapi tak
sembarang angin. Timur bisa berarti arah atau salah satu mata angin; bisa
bermakna bukan Barat, bisa pula menunjuk sang penyairnya: Timur Sinar Suprabana
yang sajak-sajaknya terus berkesiur. Kadang lembut bagai desis rayuan kekasih.
Kadang menggelitik seperti hembusan percumbuan. Tapi kadang juga menyentak
laksana desing peluru menuju hunjam.” Kira-kira begitu komentar A. Mustofa
Bisri di sampul belakang buku. Komentar Triyanto Triwikromo lain lagi:
“Bangunan estetika puisinya sederhana dan terkesan menghindari improvisasi dan
eksperimen, tapi kokoh untuk menampung pikiran-pikiran liris penyairnya.”
Selain dua nama itu, juga ada nama
Goenawan Mohamad.
Nama penyair ini, bagiku,
barangkali telah muncul puluhan tahun lewat, semasa aktif kuliah, antara tahun
1998-2003. Di sela-sela jam kuliah yang nanggung, aku kerap pergi ke
Perpustakaan I atau suka disebut anak-anak Perpustakaan Paska Sarjana. Letaknya
diapit gedung Graha Sabha Pramana dan Gedung Pusat UGM. Di Gedung yang lumayan
teduh (dan juga ada kantinnya: menjual nasi pecel yang enak) itu ada Koran
dinding, terbitan Semarang. Kalau tak salah ‘Suara Merdeka’. Nah, di Koran
itulah puisi penyair ini sesekali muncul, lengkap dengan fotonya yang berambut
dowo.
Oya, karena kesibukan,
isterikulah yang mengetikkan ini puisi. Saya cuma menunjukkan halaman berapa
yang diketik, kemudian mengeditnya. Lumayan bagus juga. Cukup teliti. Saya cuma
menemukan 2 kesalahan ketik. Terima kasih, honey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar