Data buku
kumpulan puisi
Judul :
Nyanyi Sunyi
Penulis :
Amir Hamzah
Cetakan :
XV, 2008 (XIV, 2004; terbit pertama 1941)
Penerbit :
Dian Rakyat, Jakarta
Tebal :
30 halaman (24
judul puisi)
ISBN :
978-979-523-047-6
Hiasan Isi : Koespriyadi
Beberapa
pilihan puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi
Taman
Dunia
Kau
masukkan aku kedalam taman-dunia, kekasihku!
Kaupimpin jariku,
kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kau tundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang
aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
"Taman
swarga, taman swarga mutiara rupa".
Engkaupun
lenyap.
Termanggu
aku gilakan rupa.
Padamu
Jua
Habis
kikis
Segala
cintaku hilang terbang
Pulang
kembali aku padamu
Seperti
dahulu
Kaulah
kandil kemerlap
Pelita
jendela di malam gelap
Melambai
pulang perlahan
Sabar,
setia, selalu
Satu
kekasihku
Aku
manusia
Rindu
rasa
Rindu
rupa
Dimana
engkau
Rupa
tiada
Suara
sayup
Hanya
kata merangkai hati
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa
aku dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Nanar
aku, gila sasar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau
pelik menarik ingin
Serupa
dara dibalik tirai
Kasihmu
sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu
waktu - bukan giliranku
Mati hari
- bukan kawanku...
Hanya
Satu
Timbul
niat dalam kalbumu:
Terban
hujan, ungkai badai
Terendam
karam
Runtuh
ripuk tamanmu rampak
Manusia
kecil lintang pukang
Lari
terbang jatuh duduk
Air naik
tetap terus
Tumbang
bungkar pokok purba
Teriak
riuh redam terbelam
Dalam
gagap gempita guruh
Kilau
kilat membelah gelap
Lidah api
menjulang tinggi
Terapung
naik jung bertudung
Tempat
berteduh nuh kekasihmu
Bebas
lepas lelang lapang
Ditengah
gelisah, swara sentosa
Bersemayam
sempana di jemala gembala
Juriat
jelita bapaku iberahim
Keturunan
intan dua cahaya
Pancaran
putera berlainan bonda.
Kini kami
bertikai pangkai
Diantara
dua, mana mutiara
Jauhari
ahli lalai menilai
Lengah
langsung melewat abad
Aduh
kekasihku
Padaku
semua tiada berguna
Hanya
satu kutunggu hasrat
Merasa
dikau dekat rapat
Serupa
musa dipuncak tursina.
Batu
Belah
(kabaran)
Dalam
rimba rumah sebuah
Teratak
bambu terlampau tua
Angin
menyusup di lubang tepas
Bergulung
naik di sudut sunyi.
Kayu tua
membetul tinggi
Membukak
puncak jauh diatas
Bagai
perarakan melintas negeri
Payung
menaung jemala raja
Ibu bapa
beranak seorang
Manja
bena terada-ada
Lagu lagak tiada
disangkak
Mana
tempat ibu meminta
Telur
kemahang minta carikan
Untuk
lauk di nasi sejuk
Tiada
sayang;
Dalam
rimba telur kemahang
Mana daya
ibu mencari
Mana
tempat ibu meminta
Anak
lasak mengisak panjang
Menyabak
merunta mengguling diri
Kasihan
ibu berhancur hati
Lemah
jiwa karena cinta
Dengar.........dengar
!
Dari jauh
suara sayup
Mengalun
sampai memecah sepi
Menyata
rupa mengasing kata
Rang...
rang... rangkup
Rang...
rang... rangkup
Batu
belah batu bertangkup
Ngeri
berbunyi berganda kali.
Diam ibu
berpikir panjang
Lupa anak
menangis hampir
Kalau
begini susahnya hidup
Biar
ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai
ombak datang menampar
Macam
sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyahut
ibu sambil tersedu
Melagu
langsing suara susah:
Batu
belah batu bertangkup
Batu
tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah
demikian kuperbuat janji
Bangkit
bonda berjalan pelan
Tangis
anak bertambah kuat
Rasa
risau bermaharajalela
Mengangkat
kaki melangkah cepat
Jauh ibu
lenyap di mata
Timbul
takut di hati kecil
Gelombang
bimbang mengharu fikir
Berkata
jiwa menanya bonda
Lekas
pantas memburu ibu
Sambil
tersedu rindu berseru
Dari sisi
suara sampai
Suara
raya batu bertangkup
Lompat
ibu ke mulut batu
Besar
terbuka menunggu mangsa
Tutup
terkatup mulut ternganga
Berderak-derik
tulang-belulang
Terbuka
pula, merah basah
Mulut
maut menunggu mangsa
Lapar
lebar tercingah pangah
Meraung
riang mengecap sedap…
Tiba dara
kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat
cerah darah merah
Mengerti
hati bonda tiada
Melompat
dara kecil sendu
Menurut
hati menaruh rindu...
Batu
belah, batu bertangkup
Batu
tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah
demikian kuperbuat janji.
Doa
Dengan
apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar
sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas terik.
Angin malam mengembus
lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menayang
pikir, membawa angan kebawah
kursimu.
Hatiku
terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku
terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam
menyirak
kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan
cahayamu, biar bersinar mataku sendu,
biar berbinar gelakku
rayu!
Tetapi Aku
Tersapu sutera pigura
Dengan nilam hitam kelam
Berpadaman lentera alit
Beratus ribu diatas
langit
Seketika sekejap mata
Segala ada menekan dada
Napas nipis berlindung
guring
Mati suara dunia cahaya
Gugur badanku lemah
Mati api didalam hati
Terhenti dawai pesawat
diriku
Tersungkum sujud mencium
tanah
Cahaya suci riwarna
pelangi
Harum sekuntum bunga
rahsia
Menyinggung daku
terhantar sunyi
Seperti hauri dengan
kepaknya
Rupanya ia
mutiara-jiwa-ku
Yang kuselami di lautan
masa
Gewang canggainya
menyentuh rindu
Tatapi aku tiada merasa
….
Insaf
Segala
kupinta tiada kauberi
Segala
kutanya tiada kausahuti
Butalah
aku terdiri sendiri
Penuntun
tiada memimpin jari
Maju
mundur tiada terdaya
Sempit
bumi dunia raya
Runtuh
ripuk astana cuaca
Kureka
gembira di lapangan dada
Buta tuli
bisu kelu
Tertahan
aku dimuka dewala
Tertegun
aku di jalan buntu
Tertebas
putus sutera sempana
Besar
benar salah arahku
Hampir
tertahan tumpah berkahmu
Hampir
tertutup pintu restu
Gapura
rahsia jalan bertemu
Insaf
diriku dera durhaka
Gugur
tersungkur merenang mata:
Samar
terdengar suwara suwarni
Sapur
melipur merindu temu
Hari Menuai
Lamanya sudah tiada bertemu
Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan beberita
Lipu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senak terhentak raga kecewa
Hibuk mengamuk hati tergari
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua
Tiada percaya pada siapa
Insaf aku
Bukan ini
perbuatan kekasihku
Tiada
mungkin reka tangannya
Karena cinta tiada mendera
Kutilik diriku kuselam tahunku
Timbul terasa terpancar terang
Istimewa lama merekah terang
Merona rawan membuang sedan
Tahu aku
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku
Sebab
Dikau
Kasihkan
hidup sebab dikau
Segala
kuntum mengoyak kepak
Membunga
cinta dalam hatiku
Mewangi
sari dalam jantungku
Hidup
seperti mimpi
Laku lakon
di layar terkelar
Aku
pemimpi lagi penari
Sedar
siuman bertukar-tukar
Maka
merupa di datar layar
Wayang
warna menayang rasa
Kalbu
rindu turut mengikut
Dua sukma
esa - mesra
Aku
boneka engkau boneka
Penghibur
dalang mengatur tembang
Di layar
kembang bertukar pandang
Hanya
selagu, sepanjang dendang
Golek
gemilang ditukarnya pula
Aku
engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau
boneka
Penyenang
dalang mengarak sajak.
Hanyut Aku
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong
aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada
angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan
bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air
berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
Air diatas mendidih keras.
Bumi dibawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati
aku!
Tentang Amir
Hamzah
Nama lengkapnya, Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera, lahir
dalam lingkungan bangsawan Kesultanan Langkat, Sumatera Timur, pada 28 Februari
1911. Meninggal di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946 dalam umur 35 tahun dalam sebuah revolusi sosial Sumatera
Timur. Dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia
bersekolah menengah dan tinggal di jawa saat pergerakan kemerdekaan. Tahun 1933
mendirikan majalah Pujangga baru bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Kumpulan puisinya adalah Nyanyi Sunyi
(1941) dan Buah Rindu (1937). Ia juga
menerjemahkan Stanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933) dan Syirul Asyar (tanpa tahun). Ada yang
mencatat ia meninggalkan 160 karya, terdiri dari 50 sajak asli, 77 sajak
terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1
prosa terjemahan
Catatan
Lain
Buku
ini kubeli hari Jumat, 24 Mei 2013, di
tempat Zian di Jl. Belakang Mesjid Jami, Gg. Syukuri, Banjarmasin, tepat
sebelum Jum’atan. Dan untuk pertama kalinya saya pergi Jum’atan di Mesjid Jami.
Buku ini, rasa dulu, sewaktu SMP pernah kupinjam dari perpustakaan sekolah dan
kufotocopy di monita, Banjarbaru. Tapi tak tahu di mana copy-annya sekarang.
Dan salah satu puisi yang aku suka dan mendekap dalam diriku bertahun-tahun
lamanya adalah Batu Belah .
Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah demikian kuperbuat janji
Bait itu selalu menghantui saya.
Oya, buku ini tak memiliki daftar isi, tak ada biodata
penyairnya. Diapit oleh ungkapan puitis:
Bagian awal:
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Dan diakhiri:
Sunting sanggul melayah rendah
Sekaki sajak seni sedih
Jakarta Raya 1937
hehe.. makasih sdh berkunjung ke rumah pak. :)
BalasHapusbtw, kenapa puisi itu jd terus mendekap pak?
Ya, jangan kapok Zian. Kenapa? Ga tau juga, mungkin takjud aja karena ada puisi yang berkisah tentang ibu yang masuk ke dalam batu dan berdarah-darah. Itu imajinasi yang luar biasa bagi saya yang (waktu itu) masih polos. Hehe...
Hapusitu cerita batu belah batu bertangkup.
Hapusada ditulis sebagai sastera rakyat.
apa pun terima kasih atas puisinya.
Terima kasih
BalasHapusPuisi dalam buku itu yg paling tua yg mana? Judulnya apa dan ditulis kapan?
BalasHapusTerima kasih
Kumpulan puisi yang begitu indah
BalasHapus(Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)