Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Nostalgi = Transendensi
Penulis : Toeti Heraty
Cetakan : I, 1995
Penerbit : PT. Grasindo, Jakarta.
Percetakan
: PT. Gramedia Jakarta
Perwajahan
: Albertus Swandaru
Sampul
depan : Kunta Rahardjo
Tebal : xiv + 123 halaman (78 judul
puisi)
ISBN
: 979-553-483-1
Kata
pengantar : Budi Darma
Beberapa pilihan puisi Toeti
Heraty dalam Nostalgi
= Transendensi
Cocktail
Party
meluruskan
kain-baju dahulu
meletakkan
lekat sanggul rapi
lembut
ikal rambut di dahi
pertarungan dapat dimulai
berlomba
dengan waktu
dengan
kebosanan, apa lagi
pertaruhan ilusi
seutas
benang dalam taufan
amuk
badai antara insan
taufan?
ah, siapa
yang
masih peduli
tertawa
kecil, menggigit jari adalah
perasaan yang dikebiri
kedahsyatan
hanya untuk dewa-dewa
tapi
deru api unggun atas
tanah tandus kering
angin
liar, cambukan halilintar
mengiringi
perempuan
seram yang kuhadapi, dengan
garis
alis dan cemooh tajam
tertawa lantang –
aku
terjebak, gelas anggur di tangan
tersenyum
sabar pengecut menyamar –
ruang menggema
dengan
gumam hormat, sapa-menyapa
dengan
mengibas pelangi perempuan
itu
pergi, hadirin mengagumi
mengapa
tergoncang oleh cemas
dalam-dalam
menghela napas, lemas
hadapi saingan dalam arena?
kata
orang hanya maut pisahkan cinta
tapi
hidup merenggut, malahan maut
harapan semu tempat bertemu
itu
pun hanya kalau kau setuju
keasingan
yang mempesona, segala
tersayang
yang telah hilang –
penenggelaman
dalam
akrab dan lelap
kepanjangan
mimpi tanpa derita
dan
amuk badai antara insan?
gumam,
senyum dan berjabatan tangan
Nostalgi
= Transendensi
Nostalagi
sama dengan transendensi
betul,
ini permainan kata
lagi-lagi
kata asing
tapi
apa sih yang tidak asing
tapi
itu hanya ilusi
kembali
pada nostalgi
berarti
kehilangan
yang
dulu-dulu dibayangkan
hanya
tidak mencekam lagi, karena
lembut
dengan ironi
saat
kini yang berkilas balik
siapa
tahu nanti …
kini
– dulu – nanti, teratasi
bukankah
itu transendensi?
Siapa
yang Mengatakan
Siapa*
yang mengatakan:
“bagai kuncup terkulai di tangan”
yang menyanjungnya
dasar
perempuan,
berterima kasih dalam-dalam
karena takdir telah menyentuhnya
takdir?
bahwa dunia merekah dan
dupa keramat melingkari dengan mantra
mantra abadi?
dengan
senyum pada pandang karena
sendiri
tidak berdaya, pada pergelangan tangan
mesra menghelanya ke taman hakiki
hati
padat-penuh kekaguman akan
manusia
jantan, semacam dewa!
siapa
pula yang mengatakan:
“ikatan restu antara dua
insan dewata”
lazim,
sebagai
halnya tanda rahasia ditimbulkan
pretensi-pretensi
sewajarnya
kuncup
berduri, geli dan kesal
taman
hakiki
---------------------
* Dalam mitos phallus menurut D.H.
Lawrence dalam Lady Chatterley’s Lover
Doa
Jalanlah
dalam terang
jalanlah
dengan lapang
jangan
terusik oleh sesal
terlambat
dilepas oleh
mereka
yang tertinggal
tanggalkan
relung-relung kenangan
kisah
yang setengah ingat
harapan
yang setengah dapat
maafkan,
bila telah lalai, kita
mendampingi,
membisikkan
bekal
untuk perjalanan
yang
sangat jauh
jalanlah
dalam terang
jalanlah
dengan lapang
ke
istana mimpi dalam kekal
ketiduran
dengan
cita rasa harapan
dengan
cinta sempurna
dalam
renungan
yang
paling dalam
satu
tetes air mata
menutup
sejarah
yang
tidak terungkap lagi
kedalamannya
– penjabarannya
yang
terpadu, jadi terurai
yang
terikat cerai-berai
yang
mantap berserakan
yang
tangguh tak dapat lagi
diharapkan
lupakan
saja
tali-temali
melekat
yang
tidak ikhlas melepas
hanya
membiarkan
simpul-simpul
semakin menjerat
hiruk-pikuk
huru-hara
kehidupan –
semakin
sesat dalam lengang
sepi
dan hampa
yang
belum kentara, belum bermakna
tapi
akhirnya
merangkul
pergi
relakan
kita-kita ini
yang
kurang setia, kurang mesra
kurang
peduli mencinta
hanya
mampu menata
kenangan
semakin indah
menutup
sejarah
yang
tidak terungkap lagi
yang
telah gagal kita rengkuh
telah
sampai pada
kelengkapan
yang paling utuh
jalanlah
dalam terang,
jalanlah
dengan lapang,
dalam
kelengkapan
tujuan
Perempuan
Kesurupan
untuk
Betsi
rambut
terurai bergelombang mencuat
mencumbu
lekuk pinggang yang
lembut
melengkungi pangku, tapi
ia,
membelakangi
aku
bersandar
ringan
terhempas
memanjang
ia,
menengadah
dunia
tiba-tiba
berpaling
matanya
hampa!
bibir
terkatup melemas
melepaskan
kutukannya
matanya
hampa
hampir-hampir
tak percaya
kulepaskan
harap
kulepaskan
kewarasannya
matanya
hampa
matanya
hampa
aku
terpaku menatapnya
Surat
dari Oslo
Sudah
kuterima surat undangan
Terima
kasih, jadi anakmu akan menikah?
Baru
ini kali terima berita, ah, ternyata
anak-anak
kita telah merasa cukup dewasa.
Katakan
saja sebagian tugasmu selesai sudah
dan
tentu selamat saya ucapkan, terbayang, kalian
mendampingi
penganten “jejer-jejer ngagem sinjang”
tak
sempat terharu barangkali, terlalu sibuk
semua
harus berlangsung sesuai rancangan.
Pasti
kalian juga merasa sangat dekat, – saat itu
terikat
lagi oleh peristiwa khidmat, – lebih dari biasa –
Bagaimana,
apakah memang jadi
menikah
dengan yang dulu itu pacarnya?
Sayang,
aku tidak dapat hadir apalagi membantu
meringankan
dalam kesibukan yang meriah
sekaligus
mengukuhkan suatu keberhasilan.
Bukankah
orang tua ikut mencetak nasib anaknya
meski
Khalil Gibran agak berbeda pendapatnya.
Aku
ingat sekali waktu masih kecil,
ia
berbaju biru kotak-kotak, dengan rambut tebal
dikepang
dua, sehat, bulat dan manja –
ikut
bertamu dengan ibunya, menarik-narik baju
berbisik
merengek: “mama pulang!” –
Apa
masih tetap manja, apa mereka dengar nasehat,
bahkan
masih mau menurutinya
Lalu
kini, siraman air kembang dahulu, midodareni
sebelum
esok menghadap penghulu –
Tarub, janur,
gamelan
dan gending kebo giro
penganten bertemu,
berlempar sirih, wijidadi,
sindur ibu,
pangkon ayah, dulangan, kucar-kucur
sesuai
adat upacara Jawa.
Aku
mohon pada yang Maha Kuasa supaya
terkabul
semua keinginan mereka, dan …
Aku
sendiri, dahulu sesudahnya merasa sangat kehilangan
Waktu
anak gadisku menikah, kemudian diboyong pergi
Di
rumah lengang, kamarnya kosong tak tega kujenguk
di
meja makan setiap kali, setahun lamanya
piring-gelas
tetap tersedia
Lalu
apa kerja kita selain tenang menjadi tua
sedangkan
tenang itu soal kepuasan, tetapi
merasa
waswas dituntut terus, entah oleh siapa –
Sementara
itu hidup sehari-hari berlangsung terus
di
Norwegia cuaca mulai dingin, dan kesibukan biasa
untuk
membuat manisan frambos, arbei, tak berhenti
memburu
waktu mengejar musim dingin dengan cuaca keruh
beda
jauh dengan kesibukan kita di Indonesia
Lalu,
aku akan melukis pandangan alam salju
tapi
dengan pancaran terang aneka kembang tropika
teriring
hampa mendambakan kehangatan khatulistiwa…
Kami
telah terima undangan, terima kasih, sedangkan
lukisan
hadiah untuk penganten akan dikirim segera
dengan
doa selamat bahagia, serta maaf, tak dapat
mengunjungi
pernikahannya.
Iowa,
1985
Geneva
Bulan Juli
untuk
J.H.
akhirnya
pasrah
kepada musim
dan
hidup jadinya seperti buku
(yang
tidak terlalu tebal tentu)
dengan
halaman berurut
untuk
dibalikkan satu per satu
bila tidak
tiba-tiba
gadis di Ganeva itu
menyeberang
jalan begitu saja
sambil
berlari tidak peduli tapi
hati-hati
membawa bunga di tangannya
memang kuingat
perempuan
tua berkerudung hitam
dengan
keranjang mawar melewati meja
dan
kau bertanya sederhana:
“apakah
suka bunga-bunga?”
seperti biasa
kujawab
dengan kebimbangan panjang
dengan jari
pada
daguku kau palingkan mukaku penuh
kepadamu
janji pun
terkalahkan
oleh musim yang
rebah-rebah
pada hari tanpa angin
mawar pun
tinggalkan
debu, malam Geneva hangat nafsu
akan
tinggalkann kantuk dan terlalu penat nanti
sedangkan
gelisah,
terganggu risau tak pasti lagi
siapa
engkau siapa aku ini
mungkin sekali
engkau
dalam kereta antara Paris
dan
Geneva menutup jendela, janganlah
angin
mengganggu rambutku
atau waktu
pernah
suatu kelancangan telah terjadi
turun
dari kereta api, sekali lagi kau
rayu
singgah di kota tanpa nama
untuk
menikmatinya bersama-sama
mengembara
adalah
menanggalkan nama, melepaskan bumi
benda-benda
kemilau dipermainkan angin
dan sangsi
mana
pula yang lebih nyata, berjalan
merunduk
karena angin kencang, atau
gemerlapan
lampu di Amsterdam
bunga, malam, dan kota-kota
tersisip
antara yang sengaja dikenang
merata,
seperti kata-kata di hari senja
meski
semakin
menjurang ruang antara
ucapan
yang bertumbukan
bila tidak
tiba-tiba
kelepak sayap angsa putih
berlima
perlahan terbang menyongsong bulan
tinggalkan
danau menggenang sunyi
kita terdiam
sejak
dahulu memang, yang
tidak
terucapkan, lebih berarti
1968
Terbangun
nah,
mimpi itu telah selesai
telah
kujelajahi:
– ruang kosong itu –
ternyata di situ saja
mencari-cari
atau
pilih saja karena lebih suka
ragu
berjalan meraba-raba:
– dalam lengang-padat
rumah jenazah – beribu keong
akan terjaga
lebih
baik bangun, bangkit dan segera dekati
anjing
baru tergilas mobil tetangga
masih
sempat lari ke rumah, di depan
tangga robohnya
anak-anak
berdiri mengelilinginya sepi
mudah-mudahan
saja ada yang ingat membelai
dan
menyebut namanya
Bayangan
Wungu
bayangan
wungu di sana-sini
pada tubuhnya
adalah
tanda-tanda bahwa ia
hidup karena derita
tertunduk karena dewasa
pilu
meluapkan cinta
mengecup
dengan bibir
bayangan-bayangan wungu
adalah
menghirup dupa rahasia
yang
menggetarkan kelepak burung-burung malam
dan
budak memanggil binatang kesayangan
dengan nada-nada panjang
merayu
pilu
meluapkan cinta, ia
adalah
kekasih dan ibu
Saat-Saat
Gelap
saat-saat
gelap pertemuan
– yang keramat –
membenam
dalam pangkuan
senyap
sunyi, titian yang harus dilewati
curam
sunyi, semesta yang menjadi saksi
hari
cipta terulangi
bukan,
ini bukannya pertemuan lagi
tetapi
iba
tergetar menyingkirkan diri
– dari kesaksian
–
manusia
yang menyerah pada keangkuhan tunggal
tetapi
diam-diam menikmati
jari
membelai, meneguk
dari
sumber kehidupan
Nb.
Sajak ini pernah terbit/dipublikasikan di bawah judul “Post-coitum”
Cintaku
Tiga
cintaku
tiga, secara kanak-kanak
menghitung jari
kusebut
satu per satu kini
yang
pertama serius dan dalam hatinya
tidak terduga
bertahun-tahun
ku jadi idaman
mesraku
membuat pandangnya sayu mungkin
ia merasa iba padaku
ingin
aku membenam diri, melebur
dalam mesra rayu, iba dan sayu
pandangnya
yang begitu sepi, tapi
ia
paling mudah untuk dikelabui –
yang
lain, berfilsafat ringan dan kesabaran
tak
pernah kulepas ia dari pandangan
petuah
orang, – lidah tidak bertulang –
tak kupedulilkan karena ia
kata-katanya
tepat untuk setiap peristiwa
sesudah
akhirnya mengecap bibirnya
ia tinggalkan aku dan sesudah itu?
ah,
biasa saja, tak ada sesuatu terjadi
memang
ia tidak begitu peduli –
perlu
kusebut yang ketiga, bukannya
lebih baik dirahasiakan saja, karena
ia
datang hanya malam hari, engsel pintu pun
telah diminyaki
suaranya
tegang, berat, menghela
ke sorga tirai-ranjang
pandang
pesona tajam memaksa, akhirnya
menghitung hari setiap bulan
meskipun
itu urusan nanti
ketiga
cinta yang aku miliki
kapan kujumpai pada satu orang?
Siklus
sejenak
pun tak akan kubiarkan
hiruk-pikuk
pikir dan getir
merasuki hati
hutan
belalang yang tak terseberangi lagi
karena
kau telah resmi minta diri
resmi
bersikap menunggu memberi waktu
untuk berkemas
melemparkan
diri dalam api, ah janda
setia
dan perawan suci
tidak diharapkan
hanya
ketulusan untuk berjabat tangan
tersenyum
ringan
harapan-dahulu,
penyesalan kini
merupakan
larangan, hanya menghela napas
karena berlomba dengan waktiu
menghitung
bulan dan hari, pula
membuang
kesempatan, karena terlalu segera
sudah
sampai di sini saja
menghilang
dari hidupku, melepaskan
dekapan
bersyarat di atas pulau
terdampar
oleh gerak harapan akhir
bertumpu erat
dengan
pertimbangan-pertimbangan getir
di
perbatasan, lambaian tangan dan
diam-diam
mulai menanggapi tanda-tanda
penuh arti, suatu bukti
bahwa
telah kau redakan pencarian peran
yang
enggan menambatkan diri pada usia
antara
manusia
karena
kau belai dengan kata, hangati
dengan berahi, membuahi
hati
dengan nikmat madu dan pelangi
lembut
jari mencari, menjelajahi
bukankah
segala ingin kau ketahui?
segala ingin kau ketahui
karena
asing, mungkin tersayang
seperti
maut tampak demikian, tidur
membawa mimpi di peraduan
paduan,
dengan yang mesra, dengan kedahsyatan
yang
masih asing, yang baru lampau,
yang
telah hilang
Ke
Pelabuhan
benarkah
setiap senja
matahari
masih terbenam juga
kasihku?
pernah
kupelajari, sudah sekian waktu
yang
lalu, bahwa bulan mengitari
dunia,
dan dunia mengitari matahari –
bulan,
yang bagai mangga kemuning
menyandarkan
diri pada awan-awan
yang
bergerigi
dan
matahari terbakar merajai hati
sewaktu
mobil menyusur kali dan kali
mengalir
ke laut, lautan luas –
benarkan
setiap senja?
karena
sebelah kiri hanya tampak
nyala
jingga langit merenggut-renggut lambaian
bendera
dan cakrawala dirembeti gubuk-gubuk,
rapuh dan kelabu –
benarkah
begitu, bahwa
suatu
saat matahari dan lautan
akan
bersentuhan, dan berjanji
bagai
kedahsyatan yang menghilang
dan
akan kembali lagi
Dua
Wanita
untuk
Dewi Rais
silakan-silakan
masuk
senyum
ringan dan berat isyarat
– ada topeng di dinding belakang
rumah
ini rumah terbuka, terbuka hatiku
lihatlah
segala kembang-kembang di meja
– telpon berdering, putuskan saja –
luas
nyaman, kita dapat berdamai di sini
dekat
anak-anak yang bermain di lantai
tanggalkan
senjata perlengkapan hidup
– keriuhan kota di luar pagar –
di
sini luas, nyaman dengan hidangan di meja
dan
saling terbuka dimulai pertaruhan kata
hidupmu,
hidupku, warna meriah dalam
corak kelabu dan endapan-endapan
lambayung-hitam
dikibaskan dari baju
dan
kabut wangi meliputi adegan
lingkaran
berwarna meluncur, berputar antara
cetusan, ungkapan, renungan
terpapar
di meja, antara cangkir, kunci mobil
dan
rencana yang tak jadi dilaksanakan
– keriuhan kota di luar pagar –
rencana-rencana
yang harus dikejar
sejam,
sehari, nukilan hidup
yang diperas sebentar …
ah,
sandiwara ini pun
sudah
terlalu lama, bila
dua
wanita bicara
Catatan
1956
untuk
Frans
pasar
malam terang, keriuhannya!
balon
aneka warna, lepas satu meluncur
ke langit
manusia
mencari, menjulurkan leher
berdesakan di
atas tumit
gelisah
mimpi, hidup ibarat pelita
nyamuk
pun enggan menyentuhnya
pagar
rotan berpindah tangan, selendang leher
yang ketinggalan
beberapa
buku berjejer di papan, salah satu
ajarkan manusia
bagaimana
seharusnya ia hadapi mautnya
keriuahan
pasar di malam hari, tersesat hati
bagaimana
temukan cinta kembali
perahu
layar bergetar meriah, arah tujuan
belum pasti
angin
pun tak sabar, (di karang mana terdampar nanti)
terbangun
dari mimpi, – esok tak dapat dielakkan lagi –
kuseka air mata
dari pipi
Sajak-Sajak
sambil
erat-erat berpegang
menjenguk
dalam kelam
hidup remang-remang
merenggut
merjan atau bintang
diusap,
ditimang, dironce, ditebarkan
pulang-pulang
ada yang menyusup
dalam
degup, deras menggetar
sampai ke puncak-puncak
sekilas
tertahan jadi kemilau
yang
rebah-rebah dalam dekapan
Manifesto
aku
tuntut kalian
ke
pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi
siapa
tahu, suap-menyuap telah meluas
menjulang
sampai ke Hakim Tertinggi
siapa
jamin, ia tak berpihak sejak semula
karena
dunia, semesta, pria yang punya
sejak
saat itu – sejak Hawa jadi Bunda
ah,
sudah lama sebelumnya
kecut
hatimu menyaksikan kebesarannya
Induk
Agung, yang melejitkan turunan
makhluk-makhluk
kecil, buta, telanjang –
putus
digigitnya tali pusar, dijilat bersih
disusukan
saksama, kemudian
dijajarkan
di seantero jagad raya
begitulah
mamalia dipersiapkan
bagi
Darwin dengan pertarungan hidupnya
perkara
kecil membelenggu wanita dengan
tetek
bengek yang malah disyukuri olehnya
secara serius, dungu dan syahdu –
sementara
itu – karena memang kerdil, takabur
dalam
kelicikan – kau menggigil kekhawatiran
lalu
tanda
jasa – status ayah – kau sematkan di dada
tanpa
ditunjang fakta biologis barangkali
tidak
apa, demi warisan, ego dan
kelangsungan evolusi
kemudian
kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa
sebungkah
daging, segumpal emosi
sekaligus
imbesil dan bidadari
dilipat
jari kaki, dikunci pangkal paha
dicadari,
gerak-gerik dibebani menjadi
tali lemah gemulai
ia
tertunduk karena salah, gentar, patuh
mengecam diri
dan
akhirnya boleh juga, ia dimanja
sekali-kali
lalu
seperti anak-anak keranjingan, bukankah
bahaya dan pengganggu telah disingkirkan
kau
sibukkan diri dengan permainan:
sepak
bola, biliar, gulat dan perang jihad
ilmu,
teknologi karena bebas kreatif
perang, polusi, proton, neutron
pingping
antara Moskow, Peking dan Washington
gemetar
tak sabar, ingin perang-perangan
sementara
menunggu saat saling memusnahkan
laut
dikuras, sungai-danau diracuni
lapisan
ozon digerogoti, sampah konsumen
ke
mana dibuang – percuma,
itu urusan para antariksawan
bumi
ini kue enersi yang halal dibagi-bagi
pada
pesta ulang tahun, dengan lilin yang nyala
– sumbu bencana –
lalu
menyanyi panjang usianya
memang,
upacara memberi khidmat, seperti
diplomasi,
jadi sandi-sandi
yang
semakin sulut untuk dipahami
kepada
anak-anak ini
berbaju
seragam, bertanda bintang, berjubah hitam
dengan wejangan, retorik, agitasi
telah
kita percayakan nasib bumi
makhluk-makhluk
kerdil, diburu kecemasan kastrasi
hanya
kenal satu bencana riil: impotensi
membusungkan
dada lewat psikoanalisa, karena
solidaritas mafia dengan Bapa di Sorga
akhirnya
merestui emansipasi wanita
aku
tuntut kalian
sekali
lagi, – saatnya mungkin terlambat sudah
perang
telah berkecamuk, ekosistem telah buyar
pengungsi
di mana-mana, menipu, lapar, terkapar
dan
diplomasi jadi lawakan, yang sungguh
tak lucu lagi
sementara
kami
telah diam cukup lama, berkorban demi
egomu dan sekian banyak abstraksi
apa
wanita kini harus selamatkan dunia
tiba-tiba
pembangunan jadi urusan kami juga!
kalian
telah kehilangan gengsi
seperti
badut yang tunggang langgang lari
dalam
bencana akhirnya panggil ibu juga
tapi
– demi anakku laki-laki,
tuntutan aku aku tarik kembali
dan
jadi pengkhianat – atau –
memang karena sudah terlambat
September
‘80
Tentang Toeti Heraty
Toeti Heraty lahir di Bandung 27 November
1933. Meraih sarjana muda kedokteran dari Universitas Indonesia (1955), sarjana
psikologi dari Universitas Indonesia (1962), sarjana filsafat dari Rijks
Universiteit, Leiden (Belanda) dan doctor filsafat dari Universitas Indonesia
(1979). Pernah menjabat sebagai Ketua Jurursan Filsafaat UI, Ketua Program
Paskasrjana UI bidang studi filsafat, Rektor Institut Kesenian Jakarta. Tahun
1994 dikukuhkan menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra UI.
Karyanya: Sajak-sajak 33 (1971), Mimpi dan Pretensi (1982), Aku dalam Budaya (disertasi, 1984), Wanita Multidimensional (1990).
Catatan
Lain
Budi
Darma menulis di bagian pengantar, diantaranya seperti ini: “Sementara itu,
sajak bukan dunia praktis. Sajak bukan gontokan pendapat sekian banyak pihak,
namun antara penyair dengan dirinya sendiri. Monolog atau solilokui, itulah
hakikat sajak.// .. Justru karena sajak adalah arena pertempuran antara penyair
dengan dirinya sendiri, kita bisa melihat apakah seorang penyair benar-benar
punya tulang punggung, bukan hanya seonggokan daging. Sekali lagi, di bawah
langit tidak ada apa pun yang benar-benar murni. Shakespeare berutang budi
kepada Christopher Marlowe, sementara T.S. Eliot berutang budi kepada
Shakespeare.//Memang sastra adalah sejarah, sastra adalah tradisi. Penyair hari
ini tidak mungkin lepas dari penyair masa lampau. Karena di bawah langit tidak
ada apa pun yang benar-benar baru, kepribadian penyairlah yang akan memberi
ciri khas kepenyairan seseorang.//Toeti Heraty sanggup menjadikan sajak-sasjak
dia benar-benar menjadi miliknya sendiri. Sebagai penyair dia merupakan sosok
tersendiri.”
Tentang
kenapa sajak yang ditampilkan pertama adalah sajak “Cocktail Party”, ya karena
sajak itu yang menjadi pokok bahasan Prof. Dr. A. Teeuw dalam buku Tergantung pada Kata. Ringkasnya, itulah
sajak pilihan A. Teeuw.
saya menyukai puisi-puisi yang anda posting di sini. Terimakasih sudah berbagi. Salam kenal :)
BalasHapusMakasih juga karena dah mampir dan ngasih komen... Tetapkan hati tuk terus nulis, meski pun jalannya sunyi sekali. Salam kenal :)
Hapus