Data buku kumpulan puisi
Judul : Aku Mengunyah Cahaya Bulan, 56 Puisi Pilihan (1974-2004)
Penulis : Dharmadi
Penerbit : bukulaela, Yogyakarta.
Cetakan : I, November
2004
Tebal : 103 halaman (56 puisi)
ISBN : 979-96590-26-4
Editor : Abdul Wachid
B.S. (sekaligus menulis Epilog)
Prolog : Yudiono KS
Lukisan Sampul : Hadi
Wijaya
Rancang sampul : Hief
Beberapa pilihan puisi Dharmadi dalam Aku
Mengunyah Cahaya Bulan
Di
Sisi Jenazah di Bibir Liang Kubur
diukur-ukur,
direntang-rentang
dipotong-potong,
selembar kain kafan
aku bayangkan;
membungkus ragaku
dimandikan dengan
ramuan wewangian
masihkan bisa
menghapus dosa-dosa?
ruh telah pergi tak
mau berpaling lagi
sendiri, tak lagi mau
kembali
aku bayangkan; tentang
jarak perjalanan
jauhnya, tak lagi
terduga
di pundak pelayat
jasad ditinggikan sesaat
di liang kubur jasad
dikembalikan ke asal-usul
sepotong kayu atau
selempeng batu
sebagai nisan hanya
pertanda
di sini ada yang
dikembalikan
ke balik bumi
aku pun kembali ke
jalan sendiri
mencari hakekat hidup
sehari-hari
sebelum mati
1995
Diri
Kembali ke Asal
masihkan perlu
percakapan
kalau hanya celoteh
dan
keinginan-keinginan
saatnya kembali pada
diam
sambil belajar membaca
gerak alam
sujud ilalang pada
tiupan angin
hijau dan kering
rumput setia pada
irama cuaca
tak ada rasa sakit dan
direndahkan
wajah tuhan di kanvas
kehidupan
wajah tuhan di kanvas
jiwa yang
putih pualam
tak perlu lagi
menyusun anak tangga
demi meniti puncak dan
berbahak
menatap diri kembali
ke asal
1995
Aku
Mengunyah Cahaya Bulan
kukekalkan sebutir
embun kehidupan
pada selembar daun
hatiku kurambatkan
fantasi lewat rentang
kawat telepon
dan pucuk
tiang-tiangnya mengantarkan
ke langit dalam
malamku
bulan memainkan cahaya
lewat serpihan kabut
menggugurkan suara
gaduh
perjalananku
ada yang menimang
resah hatiku di sana
betapa nikmat meneguk
kedamaian meski sesaat
biarkan aku diam dalam
mengunyah cahaya bulan
yang terlempar di sana
1995
Sujud
dari surat ke surat
meniti ayat-ayat
kalbu mengeja abjad-abjad,
tanda-tanda-mu bercahaya
kemudian hadir
bayangan sungai-sungai dalam sujud
membasahi sajadah-mu
menjadi telaga merendam kalbu
ada desir sabit
memagas rumputan dalam hening sunyi
siur angin dari kepak
merpati menyibak permukaan
telaga
ada riak-riak kecil
langit pun mencipta pelangi
jiwa diam dalam samadi
1997
Mencari
Bintang di Langit Tersedu
seperti takut pada
jejak sendiri
begitu menapak menatap
sesaat
kembali ke malam dalam
kabut
seperti burung hantu
liar mata
mematuk-matuk sunyi
serasa sebatangkara
mencari bintang di
langit tersedu
berlari lewat abad
bergerak terburu
semakin kehilangan
nafas panjang
kupatah-patah waktu
ke dalam
terminal-terminal
terlepas dari abad
yang lalu
aku semakin banyak
kehilangan
telah jauh dari awal
dihadapkan pada
berjenis jalan
dan sering kita
bertemu
aku gelisah;
tanpa sepatah kata pun
engkau selalu menunggu
di ujung
patahan waktu
dalam malam berkabut
aku berkeringat
terus-menerus
meminum asinnya
mencari bintang di
langit tersedu
aku hilang dalam
semesta
2003
Bulan
Bulat di Ranjang
bulan bulat di ranjang
ke kamar lewat lubang
angin
jatuh di tengah
ranjang
sprei berbunga-bunga
yang tidur menggeliat
pelan
sorot biru mata kucing
di atas lemari pakaian
menghunjam memeta
wilayah
terkaman
1994
Cahaya
Hari
hari, taburkan di sini
di pilar-pilar cuaca
cahaya hari
yang serbuk-serbuknya
di kantung langit
1974
Sajak
Jarum Jam
dalam gerak jarum jam
di tembok
aku melihat-mu
ingin menangkap
mendekap
dalam gigil tubuhku
kautegakkan tubuh
seperti menghindar
dalam rinduku
jarum jam mengejekku
jarum jam menyindirku
jarum jam menyimpan
waktuku
jarum jam meloncati
sukmaku
jarum jam meluruskan
sukmaku
jarum jam menyimpan-mu
kapan sepenuh-penuh
menjadi milikku
1993
Di
Hati Perempuan
ada yang ingin
kubangun dan kemudian kurengkuh
dalam keabadian di
kota ini meski bukan kota kelahiran,
tetapi masih luput
dari kesetiaan;
ada yang selalu
berbisik lewat pori dada menyusup dalam
rasa,
mengajak mengembara,
selalu aku tak berdaya menolak.
pergi mengembara
dengan segudang impian,
kota-kota kenangan
mengeram di kepala
: kalau sudah seperti
itu ingin istirah sambil
menggambar
daun waru di hati
perempuanmu.
tetapi aku bukan
lelaki jantan yang berani berlama
memainkan
kuas khayalan
kembali cepat angkat
kaki menghapus cat kenangan
mengembara dengan luka
demi luka yang tersisa.
2001
Di
Dalam Sepetak Kamar
ia pun masih
membiarkan daun jendela terbuka;
malam makin merapat.
memandang jauh hanya
bayang pepohonan
sesekali bergoyang
di bawah sisa-sisa
cahaya bulan
luput dari perangkap
awan yang mencoba
mengurung dalam laut
kelam.
sambil mendulang waktu
ia pun merasakan
beda rasa udara;
“malam menua,” gumamnya.
angin terus mengalir
membuka tabir riwayat
tersimpan pada dingin
dinding kamar
bau udara masa lalu
tak bisa juga terhapus
dengan warna cat baru
yang secerah apa pun.
kolong ranjang
perkawinan menjelma lautan
kelambu mewujud layar
kafan
kapuk kasur tak pernah
lagi muai dalam jemuran
mengeras membatu
menjadi perahu
dan terdampar pada
suatu pantai tak bernama
: ia pun sadar benar
tentang waktu yang
terus menggiring ke ajal
ia lupakan keperkasaan
2001
Akhirnya
Kini Kita Tinggal Berdua
akhirnya kini kita
tinggal berdua;
anak-anak sepertinya
baru kemarin
menjadi bagian diri
kita
satu persatu pergi
menyusuri jaman
mencari nasibnya
kita sendiri terus di
jalan
usia menuju tua
dan akhirnya kita
tinggal berdua;
mengurangi dialog
dalam bahasa kata
dengan cahaya hati dan
bahasa rasa
menuliskan huruf-abjad
pada syaraf
menjelma bahasa
belaian
sesekali terucapkan;
siapa yang pergi duluan
di antara kita, saling
berebut merasa
paling banyak salah
dan dosa
: kalau sudah begitu
sesaat berpandangan
kemudian berangkulan
seolah tak ingin perpisahan
sambil saling menyeka
airmata
2001-2002
Aku
Mencari Kata dalam Sajak Kehidupanku
apalagi yang bisa
ditafsirkan
dari beribu kata yang
berhamburan
dari busa mulut tanpa
pekarasa
apalagi yang bisa
dimaknakan
dari beribu kata yang
berletusan
bagai mercon yang
disulut di bulan puasa
menjelang lebaran
beribu kata
bersilangan di udara
bagai kembang api
warna-warna cahaya
membentuk berbagai
rupa
kita pun dibikin
terlena
oleh pesona
aku semakin rindu
untuk kembali pada
kata dalam sajak
kehidupanku;
tanpa suara, hening
dari bunyian,
tanpa gerak yang
sia-sia
diam batu dalam olah
rasa
menyimpan daya
1995
Dalam
Kemarau
demi hujan langit
setia menjerat awan yang digiring angin
sambil mengingat bumi
2000
Sehabis
Hujan
sehabis hujan
dideraskan badai
tinggal engahan
daun-daun
urat pohon meregang
dalam dingin
tinggal riwis di teritis
sungai wajahnya dalam
muram
langit masih diam
aku dalam diam
ada yang memandangku
diam-diam
1998
Sajak
Dua Belasku
(1)
jejakku berkabut;
mencari arah
ke sebuah benua lain
yang tak mengenal
pengkhianatan
(2)
di sebuah rawa;
terjerat akar bakau
sebuah biduk seperti
titik terapung-apung dalam
gelora gelombang
aku dalam kosong;
siapa yang membawaku jauh ke sana?
(3)
aku-kau bagai
pengantin ratu
jangan dipisahkan oleh
ruang dan waktu
(4)
jadikan aku
kakitangan-mu
dalam gerak
kehendak-mu
(5)
kenapa mesti harus
berpisah
kalau hanya disebabkan
sesuatu yang tak tentu
(6)
kalau ini memang
kepastianmu
terimalah garis
keberadaanku
(7)
dengan apa adanya
aku ingin cintamu yang
sebenarnya
(8)
bacalah isi hatiku
betapa merindukanmu
di mana kau
bersembunyi, kucari-cari hatimu
untuk kucium dan
kuajak bercumbu
dalam percintaan
sejati
(9)
aku tak lagi peduli
dengan basah tubuhku
dalam hujan yang
bertubi-tubi diruntuhkan langit
sebab hangat hatimu
telah menyelimuti dingin hatiku
(10)
apakah masih perlu
menyebut dengan kata kekasih
kalau ternyata tanpa sebutan
itu kau tetap mengasihiku
lalu, cukupkah dengan
selalu merindukanmu
(11)
jangan lepas pada
dunia ketidakpastian
jemput aku pasangan
hatiku
kembalikan ke bumi
bunda
(12)
dan suatu ketika
sampai juga ke titik akhir
jarum jam jantungku
menunjuk waktu
tak lagi ada detak itu
kurapatkan ke dada
telepon genggamku
khawatir tak mendengar
suaramu
siapa tahu tiba-tiba
engkau memanggil
sewaktu-waktu
aku tak ingin
kehilangan suaramu
sampai detak terakhir
jam di jantungku
2002
Tentang Dharmadi
Dharmadi
lahir di Semarang, 30 September 1948. Sejak 1968 menetap di Purwokerto, menjalani profesi
sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pernah tercatat sebagai pengurus Dewan Kesenian
Daerah Banyumas. Menulis puisi sejak 1970, puisinya tersebar di berbagai media
massa dan antologi puisi bersama. Antologi puisi tunggalnya: Kembali ke Asal (1999), Dalam Kemarau (2000).
Catatan
Lain
Ada beberapa penulis yang ikut berkomentar di
dalam buku ini, al. Badruddin Emce, Gunoto Sapari, Medy Loekito, Eka Budianta,
Piek Ardijanto Soeprijadi, dll. Nah, di bagian ini saya ingin mengutip komentar
Mas’ut SH, seorang budayawan Banyumas: “Ada
yang bergeser pada puisi Dharmadi. Pada dekade tujuh puluhan sampai delapan
puluhan, puisi sosialnya begitu menggelitik. Namun, seiring dengan bergulirnya
waktu, usia dan pengembaraan sprituralnya, mulai dekade sembilan puluhan, puisi
Dharmadi sarat dengan perenungan yang mendalam tentang alam dan Sang Maha
Penyair.”
Ada yang menarik saat
membolak-balik buku ini, yaitu saat mata terhenti di halaman persembahan.
Lengkapnya halaman persembahan sebagai berikut: kupersembahkan kumpulan sajakku ini buat: yani (istriku yang telah mendahului sowan sang gusti)/anakku pembarep,
dini puspitasari/anakku lanang, fajar sasongko/anakku wuragil, dianita
pandansari/yang mau mengerti tentang jiwa bapaknya yang mengembara. Awalnya
shock, karena sebelum ke halaman persembahan ini, baru saja membaca puisi
“Akhirnya Kini Kita Tinggal Berdua”. Ibarat kata, baru saja menghayati sesuatu
yang romantik, tiba-tiba saja dibekap oleh bayangan sang maut. Sejenak
terhenti. Sebelum kemudian tertumbuk pada satu nama. Sebuah nama yang
sepertinya kukenal. Berusaha mengingat. Sebuah sosok samar perlahan menjadi
jelas. Mungkinkah dia? Atau hanya kesamaan nama? Si wuragil, Dianita Pandansari
itu seperti nama adik angkatanku di psikologi. Dia di bawah setingkat, angkatan
99. Iseng membuka buku wisuda, siapa tahu ada. Wah ternyata dugaanku benar,
ada. Kami barengan wisuda, pada November 2003. (Barangkali tak perlu
kurahasiakan bahwa aku baru lulus setelah 5 tahun. Jadi pada dibalap sama
angkatan-angkatan bawah. Hehe). Yang memastikan, karena di buku Wisuda itu juga
ditulis nama orangtua dan alamat. Dan nama orangtuanya adalah nama penyair ini:
Dharmadi. Tinggalpun sama, di Purwokerto. Dan tahu kalian apa judul skripsinya
dan nama pembimbingnya? Hubungan antara lama mendalami Tari Jawa dengan
Kestabilan Emosi, dan pembimbingnya Prof. Dr. JE. Prawitasari.
Lalu ini tentang Abdul
Wachid B.S., yang menyumbang tulisan di buku ini. barangkali sudah kuceritakan
dulu sekali. Suatu sore ada orang kesasar mencari sebuah alamat, hingga sampai
di alamat kosku di karangmalang D.29, di ujung, dekat lembah UGM. Ya, dia tentu
bertanya dengan santai. Yang kaget tentu saya, karena wajahnya familiar. Dia
sering nongol dalam acara-acara sastra. Dia Abdul Wahid B.S. Tapi kusimpan saja
dalam hati. Setelah kutunjukkan alamat yang dicari, dia pergi. Setelah pergi,
aku ngomong sama Amri: “Ri, tahu gak, dia itu penyair?” Gitu doang. Hehe.
seniman itu unik, seperti karya2nya yang kadang tak semua orang memahami maknanya :)
BalasHapusAda juga kok seniman yang rapi jali... :)
Hapus