Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Kubur Terhormat bagi Pelaut
Penulis: J.J. Slauerhoff
Penerjemah: Hartojo Andangdjaja
Diterjemahkan dari Een Eerlijk Zeemansgraf dan sebagian
dari Verzamelde Gedichten
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya,
Bandung.
Hasil usaha penterjemahan sastra
dunia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Bank Naskah Dewan
Kesenian Jakarta, 1976
Cetakan: I, 1977
Edisi elektronik: 2020
Tebal: 98 halaman (38 puisi)
Gambar jilid: A. Wakidjan
ISBN: 978-623-221-728-7
Sepilihan puisi J.J. Slauerhoff dalam Kubur Terhormat bagi Pelaut
KESELATAN
Tanah-tanah lama tinggal di belakang.
Gugusan-gugusan bintang
Timbul dari tepi laut dan malam:
Bunga-bunga perak, kemewahan yang luas bercabang-cabang
Yang menyemarakkan lazuardi kelewat lembut mengesan
Seperti belum pernah alam berbagi keindahan sedemikian rupa
Dengan kami yang fana, dari keturunan yang dina,
Tercipta ketika dewa-dewa bosan,
Tetapi kini buat pertama kali berbahagia – ini malam.
KAPAL TERKUTUK
Esok, sebelum fajar, aku akan pelan terbenam.
Kini, di awal malam, kunyanyikan ratap kematian
Atas mereka yang hidup, yang kini kubawa dalam pelayaran,
Yang dalam tidur kini, mereka pun tak mengira akan tenggelam.
Betapa jauh pun mereka pergi dari pantai semula,
Hidup mereka ada di darat, di mana di bawah pohonan,
Depan rumah, seorang isteri tinggal berdiri memimpikannya.
Pelayaran yang jauh membayang indah bagai dongengan.
Ruh mereka nanti akan timbul dari dalam gelombang,
Di mana dulu tubuh mereka yang berat meluncur turun,
Dan bagai burung tersesat, sebentar tertegun,
Kemudian ke kota-kota semula, mereka pun kembali pulang.
Di sana, tak terlihat, lewat rindang taman,
Mereka akan melayang-layang, dan kadang hampir terdengar mengerang
Malam-malam, bila topan membangkitkan debu tertua dan
Membuat dasar-dasar bangunan yang kokoh bergegar terguncang.
Pada diriku, nasib yang lebih besar berlaku:
Terlucut dari ombak-ombak kecil, angin lepas,
Laut akan memeluk dan merembesi tubuhku,
Mabuk mendesak daku hingga ke tubir-tubirnya yang luas.
Bila jasad mereka naik meninggalkan tubuhku,
Kurasa diriku ringan dan akhirnya bersih suci,
Ruangku yang kosong, temaliku yang tak bertuju mengigil selalu;
Kemudian kurasa haru dari sunyi yang abadi,
Yang hanya bertahta di tubir lautan,
Di mana tak ada gelombang dengan lekuk lengkungnya
Maupun cahaya dengan remang-samarnya mampu menembus ke sana;
Dunia tinggal kelam seperti di Awal Penciptaan.