Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Sinama (buku puisi ketiga dari trilogi merantau)
Penulis: Iyut Fitra
Penerbit: Kabarita, Kota Padang.
Cetakan: I, 2020
Tebal: xiv + 62 halaman (39 puisi)
Penata letak: Yonox
Foto dan disain sampul: Ijot
Goblin
ISBN: 978-602-51957-9-2
Prolog: Fariq Alfaruqi (Mengayuh
ke Hulu Sinama)
Sepilihan puisi Iyut Fitra dalam Sinama
jalan air
air meninggalkan hulu. kini terhempas di kelok-kelok
menyusur lembah, lekuk serta lurah
adakah rindu tersimpan. adakah ingatan terpulang
setelah jauh mengalir tujuan tak lebih dari muara
sebuah tempat berjanji
entah damai entah luka
bila tak sampai pada jalan terakhir
pesan-pesan dititipkan biar menjadi suara sayup saja
bahwa sepanjang batang angin saling setia dengan desir
kian jauh pergi semakin terasa dekat
tempat pulang
apa lagi akan dijemput?
di atas sampan orang-orang mengulang dendang
menitip gelisah pada batu-batu,
pasir juga air
sudah petang harilah senja. anak gembala
menghapus peluh. jalan terbentang
bila kan tiba. malam datang hatilah rusuh
hulu, muara, hanya cinta tak sudah
pergi lalu kembali
siapa mencatat entah
dari kampung orang-orang terus pergi
kendati tak lagi berpedati
dari rantau satu-satu kembali pada janji tak pasti
ke mana akan pulang
apakah pada mitos, legenda, atau sejarah?
dari hulu air terus mengalir
patahkan ranting cucukkan ke tanah
entah sejak bila cerita-cerita dimula
terbentang di lembah sempit
sepanjang batang sumpur. akar menjulai landai
ilalang terendam muncul tenggelam
alir dari unggan, silantai ke sisawah
membelah bukit barisan
anjalai tumbuh di munggu. sugi-sugi di rumpun padi
supaya pandai rajin berguru
supaya tinggi naikkan budi
begitu pepatah
selalu berpetuah
menimba-nimba ingatan
bila singgah
patahlah ranting tanam ke tanah
matahari kan terlihat. arah setiap menuju
tanam kehidupan
tumbuhkan pohon-pohon. pagar nagari
jauh longsor hindari bandang
berucap sebatas kata. berbuat sesampai niat
biarkan angan-angan
tersimpan saja di buntalan rasian
cucukkan sembarang kayu sebelum berjalan
di malam suluh menyala. simpang-simpang pelita bertaburan
maka apa pun tak akan tuba termakan
entah bila. entah sejak tombak gumbalo para hulubalang
menancap pada perjalanan disamun
merisaukan rimba, burung-burung serta anak sungai
atau sejak puti pinang masak menyerah saat dipinang
malam berlantun
siul mesra raja dari pagaruyung
sebelum jalan-jalan bercabang. pikiran bersimpang
tak ada tempat kembali
selain gila sasau dan lupa diri
maka di sumpur kudus telah sejak lama
patahkan ranting cucukkan ke tanah
sebelum masuk ke dalam kehidupan
luka sungai luka batang
sesudah banjir besar itu. samudera diarungi
perahu leluhur melaut sampai jauh
sampai daratan sebesar telur itik
bermukim serta berketurunanlah!
dari mana asal titik pelita, dari telong tali-bertali
dari mana asal nenek moyang kita, dari lereng gunung merapi
selain gunung juga laut. sungai tak disebut
liuk batang-batang. datang serta pulang
tambo hanya untuk orang-orang berkapal
tapi ia tak menangis. kendati segala hanya laut
dari hulu ia alirkan beragam keberangkatan
ada beberapa menemu tuju. ada sebagian diam setengah jalan
bermukim dan berketurunanlah!
telah ia antarkan banyak orang
ke rumah-rumah
telah ia sampaikan mereka ke ladang
pula sawah-sawah
sungai atau batang terus mengalir. dalam sejarah tertulis getir
telah lama banjir besar itu reda
tapi ia
tetap tak ada
pertemuan di padang jopang
mauna tertegun sendirian. di tepi sinama
hari tersungkup kabut. bukit-bukit serupa lengkung kubah
mengurung ladang-ladang sampai batas korong
di tanjuang ongik. di surau godang
dua orang bercakap-cakap. seorang menatap
tiada peragu. seorang lagi semburat bagai limbubu
satu tetap jadikan satu
kendati sesama sila, tak sepadan bertukar tempat angka lima
maha esa, bung. maha esa!
syekh itu merapal kaji
di darul funun. tempat tumpah banyak kisah
abbas abdullah berpeci tinggi
menyerahkan sebagai kopiah beka
sebelum laki-laki gagah itu
melangkah pasti
demikian. belanda pergi jepang pun mengganti
sendi-sendi telah dipancang
dari pituah segala angin datang
diletak batu pertama. diayun langkah bermula
mulai dari titik kecil
hingga ke ibukota
ditekan-tekan percakapan
berkumandang tanpa ada debar bimbang
maha esa, bung. maha esa!
kabut kian tebal. bukit-bukit tak lagi di mata
berganti-ganti orang datang. beragam peta serta peristiwa
seruput kopi juga kadang meminang
mauna menulis pada lembar-lembar pandan
lapik sirah
dengan bahasa air menghempas tebing-tebing
di tepi. azan mengiang menggulung petang
sebelum berpisahan
mauna tahu juga dua orang bercakap-cakap itu
lalu ia melarikan percakapan
sepanjang sinama
sepanjang sejarah kelak bisa saja dilupakan
pamasihan
hutan bukit-bukit
jalan bebatuan. antara pohon karet, orang memanggul dingin
berjalan satu-satu
mauna melihat sinama kesepian
ada anak sendirian berlari bermain lecah
mengusir bangau di punggung kerbau
satu dua anak lain meraut ketapel
membidik lembah. lidah air menjilat tepi rumah
atau cerita-cerita tentang si bigau
anak-anak lahir dari gelap. sebab bidan sangat jauh
menurun mendaki bahkan berhari
sampai berdarah pangkal kaki
anak-anak beraroma getah
membangun harapan dalam kegelapan
barisan cita-cita tak berdaya
keinginan hanya sebatas igau
di balik ilalang dan pohon-pohon
pasar sangat jauh. apakah rantau akan ditempuh?
bila malam
hanya suara air. menidurkan segala lengang
di pamasihan. orang-orang jauh dari mimpi
dongeng kelahiran
adalah seorang raja
bermalam di pondok perempuan dusun
udara tipis sumringah. pelan-pelan kelambu tersimbah
berapa jengkal hitungan waktu. lahirlah seorang putri
tangis menggoyang ranting-ranting
keladi serta pakis bertumbuhan
mata seindah dusun. rambut berundak-undak
saat tersenyum angin pun berdesir
burung riang berkicau
entah karena ragu atau tabu
tak terdengar dendang timang-timang
selain lapik disiapkan. dibungkus segala duka
hanyutlah bersama sinama. raja tak menangis
berdiri gagah menatap bukit-bukit
satu tangan tersilang di dada
darah dari dingin. keturunan tak diharapkan
berlayarlah!
bila kelak takdir mempertemukan usia dengan dewasa
tak perlu dikaji silsilah
sebab hidup adalah menempuh atau meluka
mendapat atau kehilangan
ranji hanya ungguk duri
bersilangan setiap kaki melangkah
mengantarkan ragam pertemuan sebelum berpisah
tapi perempuan dusun telah berlari
mengisai setiap sungai
mencari-cari suara sang putri
tepat tiga hari sebelum lebaran
pokok beringin. seutas tali
perempuan dusun itu mati gantung diri
iakah mauna?
entah di dusun mana
tapi tersebut di sepanjang sinama
sampan tiris
beginilah lagu orang penggalas. berjaja kaba tengah malam
tentang sampan tiris. dikayuh lelaki penggali
siang melintang sungsang. matahari pongah tegak gagah
disusurlah batang itu
galah pengayuh basah berpeluh. gayung untuk penimba
betapa jauh tujuan baru kan sampai. sekadar hidup lepas dari
sangsai
semakin ke dalam sampan kian rasa tenggelam
diulang-ulang mimpi ditimba. selalu diulang-ulang
sebab rantau terasa jauh. pergi hanya merusuh hati
di rumah istri menunggu. anak-anak tak lagi sekolah
sampan tiris. pasir tiada terbawa
para lelaki menua di pelabuhan. tapi rantau bukanlah jelangan
sumur onggang
kawanan onggang berkoak-koak
terbang dari nagari ke nagari. memulangkan siang
kepada petang. dari puncak bungsu
menuju gunung sago. turun mereka ke dusun
turun pula mereka ke lembah-lembah
sebagaimana lima puluh nenek moyang turun dari merapi
mencari mata air
melintasi koto pudiang
tepi rawang lubuak sikaladi kekuasaan datuk simarajo
tempat reno elok bertenun
di sumur itu kain suto dibasuh. kehidupan ditempuh
tapi onggang-onggang datang mengeruh
sekali ketika akar menjerat kaki
di tepi sumur onggang bersumpah
janji kelak ditepati. mereka akan jatuh bila disergah
maka di simalonggang
bila kawanan melintasi angkasa. anak-anak berteriak
onggang! onggang!
satu-satu akan berjatuhan. tergeletak
di tepi sumur
melunasi janji pada legenda
rambun kasian
di tanah ibu. selalu kisah kepergian berkumandang
sebab, tiada kan harum kampung ini bila para lelaki
tak segera pergi!
demikian lagu kanak-kanak dinyanyikan
dari lecah lunau pematang. hingga gurau di surau-surau
mereka bersiap tanpa gagap. menjahit sebuah buntalan
tapi siapa tahu, dada gadis-gadis berdebar ditinggalkan
begitu pula rambun kasian. pergi ke dalam randai
menemui mamak. minta restu ke ibu kandung
berjuang menuju puti
nyanyikanlah tentang perjalanan. tentang rimba penyamun
serta hari-hari akan terasa sepi.
lapik masa kecil melusuh. kalang berkepinding sendirian
sepanjang jalan
terbayang-bayang wajah putri idaman
diingat pesan ibu. tengadahkan tangan jika meragu
terkenang pituah ayah. jangan berbalik dalam melangkah
lelaki kelak akan jadi matahari
di tanah ibu
kepergian berkumandang berkali-kali
dalam luka diulang-ulang
kita pulang
sudah selesai jalan-jalan ditempuh
segala terbelintang telah patah. semua terbujur sudah lalu
kita melambai pada rantau. sebuah cinta keturunan
hulu terbelenggu tunggu. pergi terpanggil-panggil rindu
kelak, ke tepian kita saling mencari
gagap membaca peta dusun sendiri
marilah. bangau penat mengukur jarak
kubangan menjadi danau. kita kehilangan kerbau
ondeh,
sejak tangkai sapu dilangkahi
ruang, waktu, beragam kota tersinggahi
berapa gulung batas benang dengan kumpalan
berapa kepergian terbayar sudah oleh tujuan
kita pulang. pada kanak-kanak
pada kisah dilantunkan ibu malam-malam
tentang bandar
sekali waktu ia datang. pada malam-malam terang bulan
rambut sedang terurai
baju silau bermanik-manik
sepanjang sungai ia bernyanyi. serupa tukang rebab
di tengah pekan
ia sampaikan kisah-kisah lama
pada suatu ketika. mungkin masih tersebut dalam legenda
batang ini menampung kapal-kapal. dari pantai timur
atau barangkali selat karimata
menuju bandar. saling bertukar dan bersandar
rombongan mencari arah
ada pula sekadar menjual dalam membeli
tak lama saling berlambaian
saling meninggalkan
berulang-ulang
malam-malam terang bulan hari ini. ia tak lagi datang
hanya suara selalu bernyanyi
sungai terbengkalai. bandar hanya cerita silam
Tentang Iyut Fitra
Lahir dan menetap di Payakumbuh, Sumatera Barat. Kumpulan puisinya: Musim Retak (2006), Dongeng-dongeng Tua (2009), Beri Aku Malam (2012), Baromban (2016), Lelaki dan Tangkai Sapu (2017), Mencari Jalan Mendaki (2018). Kumpulan cerpen Orang-orang Berpayung Hitam (2014). Aktif di Komunitas Seni INTRO Payakumbuh.
Catatan Lain
Kata Faruq Alfaruqi dalam pembuka pengantarnya: “Dalam dua bukunya yang terbit sebelum ini, kita telah bisa membaca suatu kecenderungan baru dalam puisi Iyut Fitra. Tidak ada lagi kalimat yang meledak ke berbagai arah, tidak ada lagi lapisan metafora yang mengambang, menukik atau membubung sekaligus, dan bahkan tidak ada lagi aku-lirik yang berhujah dan berseru pada kita. Sebagai gantinya, kita berjumpa dengan pelbagai peristiwa yang bisa dirujuk secara langsung pada realitas sosial, sejarah, mitos, atau hikayat; kita berjumpa sejumlah karakter, mendengar suara mereka, menatap rupa-rupa aktivitas mereka; meskipun elemen-elemen tersebut tampak terpiyuh sedemikian cara dalam kalimat-kalimat yang lebih padat lagi ringkas.//Dalam pada itulah Sinama, buku puisi yang sekarang ada di tangan khalayak pembaca, kemudian melengkapi atau menutup, apa yang disebut oleh penyairnya sendiri, sebuah trilogi. Jika sebelumnya, pada Lelaki dan Tangkai Sapu yang hadir adalah anasir-anasir tentang keberangkatan, Mencari Jalan Mendaki mengenai lika-liku perjalanan, maka Sinama bersoal dengan kepulangan (hlm. vii).
Iyut Fitra sendiri menulis 4 paragraf dalam 2 halaman, yang dijuduli Sedikit Pembuka. Tulisan itu ditutup dengan jargon yang selalu didengung-dengungkannya dalam berbagai interaksi tulis dan lisan: Salam puisi tak henti-henti. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar