Data buku kumpulan puisi
Judul : Telepon Genggam
Penulis : Joko Pinurbo
Cetakan : I, Mei 2003
Penerbit : PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Percetakan
: Grafika Mardi Yuana, Bogor
Tebal : xii + 80 halaman (32 judul
puisi)
ISBN : 978-979-709-074-4
Editor
: P. Cahanar
Desain
sampul & ilustrasi : Rully Susanto
Penata
teks : Irwan Suhanda
Kata
pembaca : Nirwan Ahmad Arsuka
Beberapa pilihan puisi Joko
Pinurbo dalam Telepon Genggam
Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi
sebab kata-kata
sudah besar, sudah selesai studi, dan
mereka harus
pergi cari kerja sendiri.
Selamat Ulang Tahun, Buku
Selamat ulang
tahun, buku. Makin lama kau makin kaya
saja. Tambah
cerdas pula. Aku saja yang tambah parah
dan sekarang
mulai pelupa.
Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain
Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain
sejumlah ralat
dan catatan kaki yang aku tak tahu akan
kutaruh atau
kusisipkan di mana. Sebab kau sudah
pintar membaca
dan meralat dirimu sendiri.
Kau bahkan sudah tidak seperti dulu ketika aku
Kau bahkan sudah tidak seperti dulu ketika aku
berdarah-darah
menuliskanmu. Dan aku agak curiga
jangan-jangan
kau (pura-pura) pangling dengan saya.
Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih
Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih
atau pacar
naasmu. Panjang umur, cetak-ulang selalu!
Lupa
Pekerjaan yang
paling mudah dilakukan adalah lupa.
Tidak butuh
kecerdasan. Tidak perlu pendidikan. Hanya
perlu sedikit
berpikir. Itulah sebabnya, banyak orang
tidak suka
kalender, jam, dan tulisan. Menghambat
lupa. Padahal
lupa itu enak. Membebaskan. Sementara.
***
Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa
***
Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa
ialah
kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata
sering kompak
juga.
***
Ia sudah selesai berdandan. Keren sekali. Pakai jas baru.
***
Ia sudah selesai berdandan. Keren sekali. Pakai jas baru.
Dasi
warna-warni. Sepatu mengkilat. Minyak rambut.
Deodoran.
Parfum. Wangi.
Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa. Sebenarnya mau
Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa. Sebenarnya mau
pergi ke mana?
Berpikir sebentar. Memejamkan mata.
Oh iya. Tadi
itu rencananya kan mau ke kamar mandi!
Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan
Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan
segala
pernik-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk?
Memasuki rumah
sakit jiwa.
***
Mandi lupa membawa handuk atau celana untuk ganti
***
Mandi lupa membawa handuk atau celana untuk ganti
itu biasa.
Mandi lupa telanjang mungkin saja terjadi.
Tapi mandi lupa
membawa topeng? Bisa berabe. Untuk
apa topeng
diajak mandi? Untuk menakut-nakuti sepi.
Untuk menemani
wajah sendiri.
***
Aku sedang melamun di ruang tamu. Memperhatikan
***
Aku sedang melamun di ruang tamu. Memperhatikan
daun-daun dipetik
hujan, disebarkan ke halaman.
Hampir petang.
Kring kring. Ada becak datang.
Becak diparkir di depan pintu. Bang becak nyelonong
Becak diparkir di depan pintu. Bang becak nyelonong
masuk ke ruang
tamu. Duduk santai. Merokok. Hap!
Aku tergagap. Siapa dia? Aku merasa tidak
pesan becak.
“Lupa ya?” Ia senyum-senyum. Aku bingung. Terpana.
“Lupa ya?” Ia senyum-senyum. Aku bingung. Terpana.
“Lupa ya?” Ia
bertanya lagi. Tersenyum lagi. Tiba-tiba
aku ingat bahwa
aku memang pernah bertemu orang
yang mirip dia
di rumah sakit, tapi bukan dia.
“Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya?
“Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya?
Mengapa harus
mengingat-ingat?”
“Ikut saya yuk! Gratis.” Ia mengajakku ke kota dengan
“Ikut saya yuk! Gratis.” Ia mengajakku ke kota dengan
becaknya. Aku
menolak. Kapan-kapan saja.
Ketika aku sibuk mengamati daun-daun dipetik hujan, ia
Ketika aku sibuk mengamati daun-daun dipetik hujan, ia
ngeloyor begitu
saja dengan becaknya tanpa sempat
kuperhatikan
arahnya.
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas
di jalan atau
diparkir di halaman karena suatu saat
nanti, jika aku
hendak pergi ke kota, akan ada bang
becak yang
menjemput dan mengantarku. Lumayan.
Nyaman.
Sederhana. Tidak tergesa-gesa.
***
Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa?
***
Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa?
Lupa: matawaktu
yang tidur sementara.
Kecantikan Belum Selesai
Sudah selesai.
Sudah kucoba semua warna.
Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana.
Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir
pada rambut, mata dan bibir agar melihatku
adalah melihat kecantikan yang belum selesai.
Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu
yang skeptis agar semua yang mendamba kau
sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai?
Ditemani dua orang perias wajah, penyanyi itu
tercenung lama di depan kaca, memandang senja
di ufuk mata: melihat elang mengitari mambang.
Ia berjalan pelan ke arah panggung.
Petugas kecantikan segera mengatur tubuhnya
sebagaimana mereka mengatur ruang dan cahaya.
Konser dimulai. Hadirin bersorak-sorai.
Selamat malam. Dua jam bersama kecantikan.
Menjelang lagu terakhir penyanyi itu terkulai.
Ambruk sebelum usai. Sudah selesai, ia menangis.
Belum! mereka histeris. Kecantikan belum selesai!
Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana.
Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir
pada rambut, mata dan bibir agar melihatku
adalah melihat kecantikan yang belum selesai.
Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu
yang skeptis agar semua yang mendamba kau
sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai?
Ditemani dua orang perias wajah, penyanyi itu
tercenung lama di depan kaca, memandang senja
di ufuk mata: melihat elang mengitari mambang.
Ia berjalan pelan ke arah panggung.
Petugas kecantikan segera mengatur tubuhnya
sebagaimana mereka mengatur ruang dan cahaya.
Konser dimulai. Hadirin bersorak-sorai.
Selamat malam. Dua jam bersama kecantikan.
Menjelang lagu terakhir penyanyi itu terkulai.
Ambruk sebelum usai. Sudah selesai, ia menangis.
Belum! mereka histeris. Kecantikan belum selesai!
Telepon Genggam
Di pesta
pernikahan temannya ia berkenalan dengan
perempuan yang
kebetulan menghampirinya. Mata
mengincar mata,
merangkum ruang. Rasanya kita
pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal
waktu
yang tembus
pandang.
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar,
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar,
bertukar nama
dan nomor, menyimpannya ke telepon
genggam, lalu
saling janji: Nanti kontak saya ya.
Sungguh lho. Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda
sakit jiwa. Jas
yang seharusnya dilepas malah dirapikan.
Celana yang
seharusnya dicopot malah dikencangkan.
Ingin ke kamar
tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi.
Mau bilang jauh
di mata, eh keliru dekat di hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano
Masih terngiang denting gelas, lenting piano
dan lengking
lagu di pesta itu. Semuanya tinggal
gemerincing
rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan
diri ke dalam
telepon genggamnya, menjadi sistem sepi
yang tak akan
pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik
antara toilet
dan ruang tamu, menunggu kabar dari
seberang,
sambil tetap digenggamnya benda mungil
yang sangat
disayang: surga kecil yang tak ingin
ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul
hanya tulalit
yang membuat sakitnya makin berdenyit.
Sesekali
tersambung juga, namun setiap ia bilang halo
jawabnya selalu
Halo halo Bandung. Ia pukulkan
telepon
genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
ke ranjang:
tidur barangkali akan membuatnya
sedikit tenang.
Ia terbaring terlentang, masih dengan
kaos kaki dan
jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon
genggam tak
pernah lepas dari cengkeram. Telepon
genggam: surga
kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar
membayangkan
perempuan itu mengucap salam:
Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak
akan pernah
kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang
yang tak ia
kenal: Gile, tidur aja pake jas segala.
Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak
pernah ada
balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu
pun cuma iseng:
Selamat, Anda mendapat hadiah
undian mobil kodok. Segera kirimkan
foto Anda untuk
dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa,
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa,
telepon
genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia
tempelkan benda
ajaib itu ke telinganya dan ia dengar
suara burung
berkicau tak henti-hentinya. Suara burung
yang dulu
sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di
halaman
rumahnya, rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda
meninggalkan
gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa
tak ada lagi
yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir
kali ia mencoba
menghubungi nomor perempuan itu, ia
terkesiap
takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam
mimpi yang ia
tahu tak pernah pasti. Emangnya gue
pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat
butuh. Ia
betulkan
jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu
terpejam,
terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang
ingin tetap
tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
menolongnya, telepon
genggamnya tiba-tiba
memanggil. Ia
dengar suara anak kecil menangis tak
putus-putusnya.
Nyaring, lengking, lebih lengking dari
hening. Namun
ia terpejam saja, terpejam sebisanya,
sementara
telepon genggamnya meronta-ronta dalam
cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
seorang anak
lelaki kecil pulang dari main layang-layang
di padang
lapang dan mendapatkan rumahnya sudah
kosong dan
lengang. Hanya terdengar suara burung
berkicau
bersahutan di rerindang ranting dan dahan.
Hanya ada
seorang anak perempuan kecil, dengan raut
rindu dan binar
bisu, sedang risau menunggu. Seperti
saudara kembar
yang ingin benar memeluknya dalam
haru,
mengajaknya bermain di bawah pohon sawo:
pohon hayat
yang tak terlihat waktu.
Sudah Saatnya
Sudah saatnya
jam yang rusak diperbaiki. Kita pergi ke
bengkel jam dan
kepada pak tua penggemar jam kita
meminta,
“Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya
sering
maju-mundur, bunyinya sering ngawur”. Semoga
tukang bikin
betul jam tahu bahwa ia sedang berurusan
dengan
penggemar waktu.
***
Sudah saatnya
kita periksa mata. Kepada dokter mata
kita bertanya,
“Ada apa ya dengan mata saya, kok sering
terbalik: tidak
melihat yang kelihatan, malah melihat
yang tak
kelihatan?” Mudah-mudahan dokter mata
paham: ya
memang begitulah jika mata kita pejamkan.
***
Sudah saatnya
celana yang koyak direparasi, pantat yang
congkak
didisiplinkan lagi. Kita temui ahli filsafat
celana, kita
tanyakan, “Mengapa celana dan pantat
sering tidak
dapat bekerja sama; ada kalanya celana
bikin eksis
pantat, ada kalanya pantat benci celana?”
Dapat diduga
bahwa jawabannya tidak terduga,
misalnya: “Kita
perlu menciptakan situasi nircelana.”
***
Sudah saatnya
jiwa yang janggal diselidiki. Kita
konsultasi ke
pakar psikologi: “Saya bingung. Saya
sering
mengalami situasi di mana saya tidak tahu pasti
apakah sedang
berada di masa lalu, masa depan atau
masa kini. Tapi
saya masih waras. Sungguh. Awas kalau
berani
menganggap saya gila.” Jika ia memang ahli,
seharusnya ia
mengerti: ya begitulah jika tubuh kena
teluh puisi.”
***
Sudah saatnya
kata-kata yang mandul kita hamili; yang
pesolek ngapain
dicolek, toh lama-lama kehabisan
molek. Sudah
saatnya kata-kata yang lapuk diberi
birahi. Supaya
sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan
berbuah lagi.
Ibu yang Tabah
Ibu itu
mengasuh anak-anaknya sendirian sejak
suaminya
dipinjam negara untuk dijadikan kelinci
dalam percobaan
sistem keamanan. Sampai sekarang
belum
dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya
cuma pemberani
yang lugu dan kadang-kadang nekat.
Toh ibu itu tak
pernah berhenti menunggu, meskipun
menunggu adalah
luka. Dan ia memang perkasa.
Menghadapi
anak-anaknya yang nakal dan sering
menyusahkan, ia
tak pernah kehilangan kesabaran.
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun,
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun,
menampungnya
dalam gelas, dan menghidangkannya
kepada anak-anaknya
sebelum mereka berangkat
sekolah. Malam
hari diam-diam ia memeras airmata,
menyimpannya
dalam botol, dan meminumkannya
kepada
anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia
paling tidak
suka melihat orang mudah menangis. Bila
anak-anaknya
bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah
menangis?",
jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat
hari tua. Bila
kelak aku meninggal, kalian bisa
memandikan
jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber-
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber-
di sekolah
partikelir yang hidup enggan mati tak mau.
Sebagian besar
muridnya bodoh dan berandal, tapi ya
bagaimana lagi,
mereka tetap harus dicintai. Ia rajin
menasihati
mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi
menangis,
menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu
penting,"
pesannya berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah
dan pekerjaan
sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya
hiburan adalah
menonton televisi yang sudah agak pucat
gambarnya. Dan
ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa
sangat terharu
menyaksikan kisah yang menyayat hati,
misalnya kisah
tentang pejuang yang digugurkan negara
dan jenazahnya
diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut
trenyuh dan
tersedu melihat ibu mereka diam-diam
mengusap
airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang
tabah itu
tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk
menyenang-nyenangkan
televisi. Mengerti?”
Foto
Ia bangga
sekali bisa memasang fotonya yang lumayan
keren di
dinding ruang kerjanya, persis di bawah jam.
Berhubung ia
sering melaksanakan tugas-tugas negara
di luar kantor,
foto itu dianggapnya dapat mewakili
cintanya yang
resmi kepada instansi yang dipimpinnya
serta
pegawai-pegawainya yang patuh-setia.
Tiap hari ada saja pegawai yang datang terlambat.
Tiap hari ada saja pegawai yang datang terlambat.
Tanpa
sungkan-sungkan pegawai langsung menuju ke
ruang kerjanya
dan menghormat fotonya: “Maaf bos,
saya telat.
Kena macet.” Pegawai yang suka ngacir lebih
dulu juga tidak
malu-malu minta pamit kepada fotonya:
“Saya ijin
membolos ya bos. Mau buang sebel di kafe.”
Setelah beberapa hari tidak menjenguk kantor, siang itu
Setelah beberapa hari tidak menjenguk kantor, siang itu
ngapain bos
nongol. Pura-pura tampak berwibawa, ia
meluncur ke
ruang kerjanya untuk menghadap fotonya:
“Selamat siang
bos. Apa kabar? Lama tidak kelihatan.”
Para pegawai
berpandang-pandangan penuh keheranan.
“Foto itu sudah
gila!” seru salah seorang dari mereka.
Laut
Sekali-sekali
telepon genggam perlu juga diajak piknik
atau
jalan-jalan. Ke pantai, misalnya. Supaya makin luas
pandangannya.
Makin lepas jangkauannya.
Di pantai ia jatuh cinta pada laut. Ia memanggil-manggil
Di pantai ia jatuh cinta pada laut. Ia memanggil-manggil
nama laut, tapi
suaranya lenyap ditelan laut.
Aku tiduran di atas pasir, sementara telepon genggam
Aku tiduran di atas pasir, sementara telepon genggam
sibuk memotret
awan dan air, merekam derai dan desir.
“Silakan kau
latihan mati,” katanya. “Aku ingin
begadang,
mendengarkan bisikan-bisikan laut.”
Sekarang, bila aku sakit, telepon genggam suka
Sekarang, bila aku sakit, telepon genggam suka
menggodaku
dengan suara angin dan ombak. Lalu ia
perlihatkan
profil bulan yang malu-malu. Profil ajal
yang diutus
waktu. “Ingat, kau sudah latihan mati di
pantai,”
bisiknya. Tiba-tiba aku mendengar
gemuruh laut.
Masa Kecil
Masa kecil
seperti penjaga malam yang setia. Ia yang
membuka dan
menutup pintu setiap kau masuk dan
keluar kamar
mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia
duduk manis di
sudut sepi, membaca cerita bergambar
sambil
ketawa-ketawa sendiri. Jangan suka lihat
orang
mandi, nanti sakit mata! Ia langsung
menutup
wajahnya dengan
buku, seakan geli atau malu melihat
tokoh komiknya
yang (tidak) lucu.
Anjing
Rumahku dijaga
dua anjing cerdas: anjing sungguhan
dan
anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet
dan sok polisi:
sepi berkelebat sedikit saja ia sudah
panik lalu
menyalak keras sekali. Anjing-anjingan
sungguh kalem
lagi pemalu: maklum, tubuhnya terbuat
dari waktu, eh
batu.
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan
ketimbang pada
anjing sungguhan sehingga anjing
sungguhan jadi
cemburu. “Aku yang sibuk menjaga
rumah ini, kau
yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata
anjing
sungguhan kepada anjing-anjingan.
Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor
Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor
anjing
bertengkar hebat di depan pintu. Dari suaranya
aku bisa tahu
bahwa anjing sungguhan makin lama
makin
frustrasi. Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan
bisa lebih
anjing dari anjing sungguhan. Tapi kalau
tidak ada
anjing sungguhan, anjing-anjingan pasti akan
sangat
kesepian. Bisakah kalian berdamai, hai anjing-
anjingku?
Pelajaran Puisi
Ia sering
bingung: apa yang harus ia lakukan untuk
murid-muridnya
saat ia memberikan pelajaran puisi.
Susah-susah
amat. Ia bentangkan saja puisi di papan
tulis atau di
dinding kelas.
“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian
“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian
mau jadi anak
rimba?” Meskipun sebagian besar
muridnya
anak-anak kota, mereka ternyata mau
mencoba menjadi
anak-anak rimba. “Kota juga rimba,”
cetus pak guru
yang pandang matanya seluas rimba.
Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk
Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk
rimba, ditambah
sedikit penjelasan tentang peta rimba,
ia meminta
murid-muridnya segera menjelajahi rimba.
Semula ada yang
takut-takut, namun setelah dilecut-
lecut akhirnya
berani juga. Ada pula yang belum-belum
sudah bergidik:
“Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru
merasa geli:
“Jangankan di hutan, di kamar mandi pun
kadang ada
ular.”
Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba
Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba
sambil
bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk
hutan….”
Kemudian ada yang menimpal: “Curang!
Memangnya hanya
rusa jantan yang bisa berlari masuk
hutan? Rusa
betina juga bisa. Ayo balapan!”
Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada.
Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada.
Ia sudah sangat
sering masuk hutan dan tahu rahasia
rimba. Ia sibuk
berjaga-jaga, siap memberikan
pertolongan
darurat bila, misalnya, ada muridnya yang
linglung atau
tersesat.
Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi
Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi
derai tawa dan
suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai
panik.
Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat.
Jangan-jangan
ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang
masuk jurang.
Jangan-jangan ada yang digigit ular. Ia
ingin sekali
mencari dan menemukan mereka, tapi sama
sekali tak ada
sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba
takut tersesat.
Takut pada yang tak terlihat.
Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu
Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu
persatu muncul
dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya
kusut dan
kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah.
Ada yang
lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat
celananya
jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera.
Ada yang
pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.
Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada
Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada
murung ia
berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma
menunjukkan
jalan masuk rimba, tapi tidak memberi
tahu jalan
keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian
sebenarnya,
tapi khawatir kalian merasa dikira anak
manja.” Seorang
murid yang rambutnya jadi mirip
rimba menukas:
“Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak.
Kami baik-baik
saja. Lihat nih, kami masih utuh.”
Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak
Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak
kewalahan
mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi
saya hampir
terperosok ke jurang lho Pak. Saya
berpapasan
dengan ular. Saya malah sempat mandi di
pancuran. Saya
ketemu pelangi di sungai. Tadi ada
monyet naksir
saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab.
Saya terguling
di tebing. Saya anak rimba!
Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara)
Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara)
selesai.
“Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima
kasih kepada
saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia
baru sadar
bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga
perutnya
kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan
ruang kelas.
Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya
kelihatan
ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan
dan acungkan
tangannya: “Hidup puisi!”
Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-
Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-
perakan.
Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji
berhamburan
dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi.
Seperti ribuan
morfem dan fonem bertaburan dari
pohon waktu
yang tak pernah mati. Dan ia berjalan
tergesa dengan
perut lapar dan kembung. Nun di
belakang sana
murid-muridnya berdiri dan bernyanyi:
“Rusa jantan
berlari masuk kantin ….”
Justru
Salahnya sendiri, suka usil bermain
kata, merakitnya
menjadi boneka yang seringainya
justru membuat ia
takut setengah mati, kemudian
bersembunyi di kamar
mandi, padahal di kamar mandi ada
dedengkot boneka
yang lebih rumit seringainya, yaitu
tubuhnya sendiri.
Tentang
Joko Pinurbo
Joko Pinurbo lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, 11 Mei 1962. Menyelesaikan
pendidikan di SMA Seminari Mertoyudan Magelang dan melanjutkan studi pada
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (tamat tahun
1987). Sejak tahun 1992 bergabung dengan kelompok Gramedia. Kumpulan Puisinya: Celana (1999) memperoleh Hadiah Sastra
Lontar 2001, Di Bawah Kibaran Sarung
(2001) mendapat penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
tahun 2002, Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku
(2004) menerima penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2005, Pacar Senja – seratus puisi pilihan
(2005).
Catatan
Lain
Ini kata Nirwan
Dewanto di bagian depan buku: “Penyair kelahiran 1962 ini adalah antipoda puisi
lirik sekaligus puisi protes. Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari
dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair
hanya mendedahkan keruwetan [dan bukan kompleksitas] dengan kalimat patah-patah
yang sering mengabaikan logika.”
Di
bagian belakang, Nirwan Ahmad Arsuka ambil bagian, dalam tulisan yang
bertanda Jakarta, Mei 2003 itu ia ada
menulis: “Yang memang terasa berubah dan mengganggu pada Jokpin di kumpulan
puisi ini adalah semangat bermainnya yang agak kelewatan. Penyair kita menjadi
agak terlalu tekun mengembangbiakkan kata. Kata-kata pun melimpah, membuat
sesak ruang teks sehingga tak banyak lagi tersisa ruang kosong dan lapang yang
bisa menampung dan melepaskan imajinasi pembaca. Kata-kata yang membanjir,
membuat becek dataran puitik yang hendak dijelajahi, dan kita terpaksa
berjinjit, mencari tumpuan frase dan diksi menonjol di antara genangan kata
yang banyak muncul. Mungkin kita tak lagi bisa menari dengan bebas, tapi kita
tetap bisa melangkah sampai akhir tanpa terjatuh dalam kubangan kata-kata.//…
Namun demikian, kumpulan puisi ini jelas masih memungkinkan kita mengenang
banyak serpihan imaji yang berharga.”
Penyairnya
sendiri turut menyumbang Kata Penyair. Ia mengaku bahwa puisi-puisi dalam buku
ini ditulis tahun 2003, kecuali “Rendezvous”, “Tikus”, “Mataair”, “Ibu yang
Tabah”, “Anak Seorang Perempuan”, yang ditulis tahun 2002. Dan “Telepon
Genggam” dan “Laki-laki tanpa Celana”, yang ditulis 2002/2003.
Dan
yang menjadi penutup tulisan penyair bertanda Yogyakarta, Mei 2003 ini, adalah
paragraf berikut: “Damba saya sebagai penyair sederhana saja: ingin terus
menulis selagi bisa menulis. Menulis dalam suasana sebagaimana terlukiskan
dalam bait sajak ini: Apa salahnya,
sesekali kita berlupa/sesekali kita kembali jadi bocah manja/tidak tahu bencana
yang bakal tiba/tidak sempat berpikir tentang dosa [Hartojo Andangdjaja,
“Kwatrin Tidak Bernama”, dalam Buku Puisi].
Menulis dengan spirit – meminjam judul lagu U2
– I still haven’t found what I’m looking for.”
Di
bagian yang menjadi halaman persembahan atau apalah namanya, ada kutipan lagu
U2 kembali, yaitu “Stay”: “Three o’clock in the morning/It’s quiet and there’s
no one around/Just the bang and the clatter/As an angel runs to ground”
Nah,
sekarang bagian saya berkomentar tentang buku ini. Saya senang jokpin karena ia
tidak pelit menyedekahkan puisi-puisinya. [Saya berpendapat, bahwa penyair
perlu juga menyedekahkan puisinya ke publik untuk dinikmati dan Jokpin termasuk
yang royal dalam hal ini: ia menyedekahkan semua!]. Saya kira, semua puisi di
buku ini tertulis semua di blognya, saya tinggal copy paste dan memeriksa
bukunya. Tak ada ralat terkait kesalahan penulisan, tinggal menyesuaikan
pemenggalan baris dan beberapa cetak miring. Dan puisi yang muncul di blog ini
kali ini, juga tak mengalami perkembangan (yang memungkinkannya muncul dalam
beberapa versi), ia masih orisinil seperti di bukunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar