Data
buku kumpulan puisi
Judul : Jalan
Menuju Jalan
Penulis : Rahman
Arge
Penerbit : Rumah
Karya Arge, Jakarta Timur
Cetakan : I, 2007
ISBN : 978-979-16179-1-8
Tebal : xxvi + 324 halaman (213 judul puisi)
Isi dan ilustrasi : Zulfikar Yunus, Al Ilham Rahman, Agoesth
Sampul : Lukman, Agoest
Pra cetak : Kadri Ansyari
Prolog : Prof. DR Sapardi Djoko Damono
Epilog : Agus R. Sarjono
Jalan Menuju Jalan terdiri atas tiga bagian, yaitu Jalan Menuju Jalan (158 Puisi), Tentang Jepang (27 puisi) dan Tentang Bosnia (28 puisi).
Beberapa pilihan puisi Rahman Arge dalam Jalan
Menuju Jalan
Mati Bersantan
Bila
kelak engkau melayari nasibmu, anakku
Ingatlah,
Kelilingi
tujuh kali dapurmu
Agar
cahaya memancar dari hidupmu
Keagungan
lelaki merengkuhmu
-
Lelaki dari segala lelaki
-
Peziarah tanah Makassar
Lelaki…
Lelaki
dari tiga ujung:
-
Merendah tapi tajam kata-kata
-
Berdiri di kemuliaan perempuan
-
Yang mencabut badik jika tak ada lagi jalan
Maka
jika kelak kematian hadir, anakku
Pilih
mati,
Kematian
bersantan*
----------
* Kematian bersantan =
kematian yang mulia
Puisi ini merupakan terjemahan dari puisi berbahasa
Makassar yang dibuat oleh penyair pada 7 Desember 1964. Berikut puisi itu:
Mate Nisantangi
Punna Sallang banusomballami sarennu, anakku
Urangi
Inroirong pintuju pallunnu
Sollanna nasingara tallasaknu
Appaenteng kaburakneang
-
Buraknena buraknea
-
Pasollekna butta Mangkasara
Appasiama Tallasaka na – Matea!
Inakke!
Burakne…
Burakne cappa tallua:
-
Alusuk na tarang kana-kananna
-
Ammentenga rikalakbiranna bainea
-
Ammukbuka badik punna tenamo takammana
Napunna battumi kamateanga, anakku
Allei matea, mate nisantangi
Makassar, 7 Desember 1964
Nyanyian Anak Gunung
Dari pucuk Lebong anak bukit Malino
Senja mengapung
Dapat kulihat punggung-punggung bangau
Terbang pulang dari sawah-sawah
Lihat, anak-anak sedang menari
Bersama halimun; dijemputnya
Para sahabat alam
Hinggap di sarang-sarang bambu
Berjingkrak-jingkrak anak-anak bernyanyi:
Kondo buleng, kondo buleng
Pangngekeanga bulaeng
Arrappopi asengku
Nakusareko sisikko…*
Ketika tamak orang-orang kota
Menusuk ke bukit-bukit
Punahlah hati bertaut
Bangau-bangau dan anak-anak
Malam turun di bukit Lebong
Halimun berarak arah ke timur
Menyisakan nyanyian
Yang berangsur menjadi
Isak tangis…
Bukit Lebong, Malino, 2007
*
Nyanyian rakyat Gowa, terjemahan: “Bangau
putih, bangau putih/Galikan buatku emas/Kelak padiku berbuah/Kuberi engkau
seikat”
Berlayar ke Buton
Di antara buih
Karang berburu gelombang
Tak henti-henti aku memburumu
Hari esok!
Ketika jejak-jejak kemarinku
Membayang bagai monster
Terkulailah hari ini,
Hariku satu-satunya!
Di haluan dan pinggiran perahu
Ikan-ikan cucut berloncatan
menadah
Cahaya pagi
Dari dalam diri kudengar suara
itu:
.... “Hari ini nyawa hidupku;
bertahan!”
Seburuk apapun parasnya
Setinggi itu cintaku padamu
Bertahan
Dalam luka
Buton, 2006
Semakin Memberi Semakin
Penuh
Kenangan kepada Ibu di masa
susah Jepang
Ketika kesengsaraan bagai semut hitam beriringan di
malam kelam, memasuki gubuk kami anak-beranak.
Ketika semua kami terlelap dalam tidur; padahal kami
terbaring lantaran hangatnya pelukan rasa tak berdaya
dalam lapar. Ibu kami menatap misteri malam tak memejam
mata, tak membaring tubuh; ibu bak singa yang
waspada… Ketika pagi tiba, seutas cincin emas
peninggalan ayah ibu lepas buat mengisi gentong beras
yang menganga bagai perut-perut kami yang kosong. Saat
beras ditanak; aneh terasa bangkit bulan di tengah
kelamnya gubuk. Dengan cerah pagi merayap
di bubungan…
Siang. Bau beras yang beranjak matang di dapur
ditingkah bau asap ikan-ikan terbang sekeras kayu
buangan dari gudang-gudang ransum serdadu Jepang
kami santap lahap bagai ular-ular menerkam tikus.
Seakan kami sedang menyantap daging dan hati ibu yang
tak lagi berair mata namun berdarah. Ibu belum juga
mengunyah apa-apa di saat seorang laki-laki tua menatap
kami lewat pintu gubuk. Ia jelas juga lapar tak
meminta lewat tangan tapi dari sisa-sisa sinar mata tua.
Ibu menghampirinya dan menyerahkan nasi dan ikan
jatahnya siang itu.
Semua kami menatap ibu dan ibu tahu kami sedang
bertanya: “Kenapa memberi di saat kita kekurangan?
Berapa malam lagi gentong beras bakal kosong dan
semua kita lapar lagi?” Ibu singa yang waspada itu
merapatkan hangat tubuhnya di antara kami, merangkul
pundak-pundak dan meraba ubun-ubun kami.
Diucapkannya kata: “Karena kalian bukan gentong
beras, anak-anakku, maka memberilah! Semakin kalian
memberi semakin kalian penuh…”
Telah lama ibu memenuhi panggilan Tuhan tapi ia masih
di sini; merapatkan hangat tubuhnya di usia-usia tua
nasib kami; memancing bulan ke dalam gubuk-gubuk
sederhana anak-cucu.
Di perkampungan buruh KPM,
di mana kami dilahirkan dan dibesarkan, Makassar, 1975.
Pertama Kali Jatuh Cinta
Aku jatuh cinta pertama kali
Pada gadis seusia embun yang bergetar
di dahan-dahan pagi
Kijang keperakan dari tuah tanah Luwu
Setiap pagi kutatap ia berlari-lari
kecil dengan rasa malu yang ditahan
ke sumur pekaranganku yang luas
Dengan cekatan ia kepit sarung Bugisnya,
Labba Corak setinggi dada; berani ia begitu
padahal aku mati kuatir sarung itu bakal lepas
Dibiarkannya kelam rambutnya yang sebatas pinggul
disibak angin bagai tanganku yang kepingin nakal
Tapi yang kudapatkan selalu kerling sekejapnya
yang saya tahu, ia menawarkan hangat cintanya
yang malu-malu
O, semesta alam, engkau sendiri enggan
menyentuh
pesona kulitnya yang membuat
rabun
mata matahari
Sampai datang saat itu
Aku bagai ditanam ke dalam bumi
Ada kabar dari Luwu dengan undangan yang
menyertai
Aku tahu, aku coba memahami itu
Indah sekali
kesakitan ini
Jln. Seram, Rumahku, 1957
Kita Tak Pernah Berhenti
Pergi
Selangkah, dua langkah, tiga, lalu tujuh
Aku menoleh ke bubungan rumahku
Ada angin, mengusap
Hatiku susut
Akankah aku harus berangkat meninggalkan
selimut kasihmu, ibu
Engkau berkata, lelaki harganya dalam pergi
Bila patah, patahlah!
Di perih garamnya samudera
Matahari tak kan pernah lengah
mengusir burung-burung nazar
mendekat pada nyawamu yang meregang
Karena engkau lelaki yang mati dalam pergi
Bila mati!
Tapi kita tak pernah berhenti pergi
Karena kita
Tak dipersiapkan untuk mati
Kita hidup!
Maka satukan
hidup pada mati dan mati pada hidup
Satukan nafas bumi
dengan panasnya darah
dengan dinginnya kesabaran
dan masa bodohnya keberanian
Bacakan:
“Baginda Ali di depanku!
Abubakar di kananku!
Sayidina Umar di kiriku!
Usman di belakangku!
Langit-bumi, dunia luar dunia dalam
Menghentak arasy
Barakka Lailahaa Illallah!
Barakka Kunfayakuun!
Haaaahhhhhh!!!”*
Bubungan rumah menjauh
Di cakrawala aku menangkap
lintasan wajahku
Yang remuk bentuk
Karena telah aku iyakan
mencarinya dalam pergi
Tak berhenti…
Makassar, 10 Juni 2000
* Orang Bugis membaca mantra
Pinisi Berlayar ke Laut Diri
Ketika Gandrang
Pakanjara sedang ditabuh
pantai Bulukumba beringsut
menjauh dari
tubuh pinisi
para ibu, anak-anak sepenggal alam yang ditinggal
melayangkan mantera dan doa-doa
nyanyian dan tari mendayu
menghentak!
angin pun mulai bercumbu dengan
layar
lihat ke depan! menoleh cumalah pertautan
sesat dengan posi bola dan doa-doa
yang mengantar
kekuatan kita
di sini!
pusat laut
yang
mengabarkan keluasan
dituju
jangan menoleh
tatap ke
depan!
Kita kini menyusur Selat Makassar
meraih cakrawala
busur panah kehormatan Bugis
yang melontar anak-anak panah kebaikan
dan kesiapan
untuk mati
di laut
tak ada lelaki
yang hidupnya
di ubun
kata pasti
yang hatinya
tak bercuka
oleh khianat
yang nadi dan
urat-uratnya
tak berulat
oleh rasa
kecut seorang banci
yang tak bisa
menghentak kata:
Bajikangngangi tallanga
Natowalia
Masuk, menusuk
di keluasan tak bertepi kelam laut
hoi! ada yang bergerak di depan!
itu tak hanya tanda datangnya angin barubu
itu anaknya topan; segera membesar!
rasakan hentaknya di oleng perahu
menghempas!
membanting!
mematikan!
jangan panik, jangan menambah
gemuruhnya
rasa takut! pasang kesabaran
sambil menyimak!
para lelaki
turunkan layar, jangan ulur
jangkarmu
kita sedang menusuk ke depan
dengan mantera Aggaragaji
topan adalah
sahabat
hati terbelah
untuk
diterobos!
aggaragaji
hidup mati!
bagi para lelaki, inilah saat
mencipta pelayaran panjang
ke laut diri!
Bulukumba, 1990
Keterangan:
Gandrang Pakanjara: Gendang khas Sulawesi
Selatan
Posi bola: Pusat rumah
Bajikangngangi tallanga
natowalia: Lebih
baik mati tenggelam daripada balik ke pantai
Barubu: Angin sepoi
Anggaragaji: Metode terobosan;
breakthrought
Bawakaraeng
Telah kusapa malam sejak senja
Menelan matahari rindumu
Serumpun camar kebaikan
Menyapu gelombang menjadi sayap-sayap
keperakan
Dan kita dituntunnya ke puncak
Bawakaraeng
Di sini masih tersisa semerbak
kebaikan
Bertahan di tiang tengah
Rumah purba
Nenek moyang
Dari pucuk-pucuk awan
Kenangan lama itu tak henti bernyanyi
Di tengah debur hari
Berlari memanjat tebing-tebing waktu
dan berkata:
Selamat tinggal rumah purba
Nenek moyang adalah sebongkah
Batu gunung
Yang tak lagi bisa bicara
Ah, Bawakaraeng
Gerakkan sunyi punggungmu
pada anak cucu
yang terkepung bingung
mencari
jalannya
Bukit Lebong, Gowa, 1979
Bawakaraeng: salah satu
gunung tertinggi di Sulawesi Selatan
Sungai Tallo
Nelayan melepas jala
menjadi ikan
Pabrik melepas ampas
menjadi air mata
Bulan tak lagi
purnama
Sungai yang membelah kota
Makassar, 1958
Ibukota
Jakarta, ibukota, ibu yang kembali
terluka
Jalan-jalan berasap, toko-toko terbakar
baru saja sebuah orde berlalu
tapi adakah yang berlalu?
nampaknya beginilah percaturan kuasa
setiap kali hadir terluka
dan melukai
Jakarta, ibukota, ibu
kita kembali cuma bisa berkata-kata
dalam bisik yang panjang
di bawah bayang-bayang bedil
Jakarta-Malari, 1974
Kursi
Karena kursi cuma satu
Maka saya duduk di kursi
Kamu di tiang gantungan
Semakin Tinggi Monyet
Semakin tinggi
Monyet memanjat
Semakin jelas
Belang pantatnya
Culas
hati-hati, hidup ini
cuma selembar daun
dengan satu gerak culas
ia robek
Khotbah Mafioso
Kita dengarkan percakapan itu
Di kursi-kursi atas orang-orang atas
Tak ada beda nonton film
Ketika Don Artobello, cukong para gangster
Sisilia
Meminta Don Luchessi, politisi hitam dengan
Doktrin-doktrin licik
Memberikan khotbah suci:
“Uang adalah senjata,”
“Politik menuntun kapan menarik
picunya!”
Hari ini, katanya dengan air mata
Sekian dulu khotbah suci
Yang ditimba dari hidup yang tulus
Untuk pegangan awal
Bagi anak-anak domba kesucian
Azimat
Untuk hidup selamat
Amin
Jakarta, 2002
Hidup Tai!
Membayangkan diriku ada dalam periuk
ketika dalam gempa waktu,
pengarang Kurt Vonnegut menuliskan kata:
“Hidup adalah seperiuk tai!”
Salahkah bahkan gilakah aku
jika aku tertawa
dalam periuk
mengajakmu menari bersama
Sambil meneriakkan
himne tanah air:
“Hidup tai?!”
Ketika berada di pesta Kaum
Atas ibukota, 2007
Di Depan Patung Tolstoy
Mata tajam di lekuk dalam
Rimba janggut putihmu
menatapku
Seakan engkau menyeruku
Sudah baca War and
Peace?
Supaya kau tahu
Di sini tak ada yang damba perang
Rusia semata damai
Seperti juga tanah air
Di mana-mana
Rusia, 1995
Pasomppe
Mengantar M. T. Gega ke
Pelabuhan
telah bunting
layar
badik terhunus segala
arah
tembok-tembok
karang
mengantar cemasku
ke rongga
kelam
laut
menoleh ke buritan
rindu pantai asal
adalah pantang
di manakah gelombang
mengubur
jejak
passompe*?
Pelabuhan Makassar, 1958
*
Passompe : Pengembara
Perempuan di Pantai Paotere
angin pantai ujung tanah
menari bersama
gelepar kerudungmu
pucuk-pucuk gelombang
pecah
di buritan pinisi
usia bertahan pada musim
menabur jejak panrita*
dalam waktu
tak kulihat lagi
tepi pulau Barranglompo
ketika
kerudungmu melintas laut
dan angin menjelma diriku
saling gapai dengan
bayangmu
di riak ombak
Teluk Makassar
biar hanya bayang, bayangmu
usia bertahan
di gugur setiap
musim
Makassar, 1976
*Panrita
: Guru Nakhoda Pinisi
Beberapa pilihan puisi Rahman Arge dalam Tentang
Jepang
Dinihari di Penginapan Shiraume
Sungai
kecil
Di
tepi penginapan Shiraume
Mengalir
dalam tidurku
Kudengar
ada langkah
Menuju
jendelaku
-----
Engkaukah
itu?
Kyoto, 1981
Kupu-kupu
Senja
menuntunku ke puncak bukit
Seekor
kupu-kupu hinggap
di
bunga bakung
Sama-sama
kami mencari jalan
Menuju
kaki langit
Nikko, 1981
Lorong
Di
lorong yang basah
Di
antara rumah-rumah tua
Bunyi
langkahku nyaring sekali
Kyoto, 1981
Danau Chyuzenji
Gunung-gunung
mengepung rapat danau Chyuzenji
Siapakah
yang meletakkannya di sini?
Perahu membawaku ke seberang
Dan kurasa ada yang menggeliat di
bawah sana
Nikko, 1981
Wanita-wanita Berkimono
Lewat
di jalan setapak
batu-batu
padas yang basah
Wanita-wanita
berkimono di bawah payung
Bagai
menari bersama hujan
Nara, 1981
Beberapa pilihan puisi Rahman Arge dalam Tentang
Bosnia
Kakek Omerovoc
Di bawah langit bertabur pijar api
Pak tua Omerovoc
dari Donya Roiska
membasuh letih batinnya
di sungai Drina
Menggigil lengan-lengannya tengadah
Ya, Allah kapan lagi keheningan
itu
kembali
seperti bertautnya sungai-sungai
Drina, Vrbas, Bosna, Una,
di bumi Bosnia
dengan sungai Sava di tanah Serbia
dalam hening
Udara bergetar di bawah langit
berpijar api
Ketika Omerovoc
memandang malaikat-malaikat putih
yang mengajaknya menyeberang
ke daerah tak bertepi
keheningan abadi
Makassar, 1992
Ulat Bosnia
Seorang gadis kecil
muncul di antara mayat
kembang anyelir liar
diulurkannya
kepada seorang tentara PBB
Ketika mata mereka bertemu
angin sejuk bertiup
seekor ular daging tiba-tiba
meloncat dari kelopak kembang
gadis kecil merintih;
“ibu, ibu!”
Dikecupnya
sebelum menguburnya
Nopember, 1992
Inakke*
Kutunggu apalagi
“Tenamo Takammana”
(yang mau jadi, jadilah)
Bikin jalan sendiri
Dan tempuh!
Jika laut bertaring,
menganga
“Pasiamaki tallasaka
ra Matea”
(satukan hidup dgn mati)
Ini jalan, semata
menuju
Allah
2007
Inakke
: saya
Tentang Rahman Arge
Rahman Arge, lahir 17 Juli 1935
di Makassar. Wartawan, politisi, menulis 11 naskah teater, terlibat sebagai
pemain dan sutradara, pernah meraih Piala Citra sebagai aktor. Sebagai
politisi, pernah satu periode sebagai anggota legislatif, mewakili NU di DPRD
Sulawesi Selatan. Tiga periode (1977-1992) mewakili Golkar, dan lewat Golkar
juga duduk satu periode di kursi DPR-MPR RI. Pernah diundang keliling Jepang
oleh Japan Foundation, atas jasanya
menulis kritik dan ulasan dari belasan film pilihan Jepang seperti karya Akira
Kurosawa, Joji Yamada, dll.
Catatan Lain
Mungkin benar apa yang dikatakan
Agus R. Sarjono di dalam epilog, bahwa Rahman Arge merambah hampir semua bentuk
dan gaya. Ia menulis sajak-sajak alit yang apik tapi juga menulis sajak-sajak
panjang berhalaman-halaman. Ia menggali kedalaman budaya dan tradisi tanah
kelahirannya, tapi juga mengembara dan berdialog dengan budaya berbagai belahan
dunia. Ia mengolah tema cinta dan keharuan, tapi juga protes sosial, alam, dan
ketuhanan. (hlm. 306). Agus juga
mencatat bahwa sajak Rahman Arge cenderung menjadi balada atau elegi yang
panjang manakala ia menulis sajak berdasarkan atau mengenai sejarah/persoalan
tanah kelahiran dan saat menulis derita-derita besar sebagaimana yang dialami
oleh Bosnia. Misalnya sajak “Perang Somba Opu” dan “Welhelmina Kade” dan banyak
sajak dalam kumpulan Tentang Bosnia
(hlm. 318). Disebutkan Agus R. Sarjono juga bahwa karena Rahman Arge bukanlah
seorang pemberang, ia menggubah kritik-kritik sosialnya dengan permainan puitik
di satu sisi dengan ironi-ironi di sisi lain. Ia cenderung tidak menghujat
tetapi menyentil. Ia tidak memprovokasi pembaca untuk memancing keberangan,
melainkan menggugah keprihatinan pembaca (hlm. 311).
Oya,
meskipun jumlah puisinya adalah terhitung 213 puisi, namun sebenarnya 211 puisi
saja. Karena sebenarnya ada satu puisi yang menjelma tiga, karena penerjemahan.
Awalnya adalah Mate Nisantangi, yang
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Mati
Bersantan dan ke dalam bahasa Inggris menjadi Death Creamed in Coconut Milk. Puisi terakhir di buku ini, yaitu Inakke, ditulis tangan dan bersamanya
ada pula sketsa oleh D. Zawawi Imron. Sepertinya penyair kita yang satu ini,
selain aktif menulis puisi, juga aktif membuat sketsa penyair/sastrawan
Indonesia di berbagai daerah, dan sesekali muncul dalam buku-buku yang diterbitkan
penulis yang wajahnya disketsa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar