Data buku kumpulan puisi
Judul : Refrein di Sudut Dam
Penulis :
D. Zawawi Imron
Cetakan : I, Juni 2003
Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta.
Tebal : xiv + 104 halaman (100 judul puisi)
ISBN : 979-3062-88-6
Perancang sampul : Buldanul Khuri
Gambar sampul : Alfi
Pemeriksa aksara : Trie Hartini
Penata aksara: Ari Y.A.
“Kenyang memang sekejap/Tapi lapar yang
lain/hadir tak kenal musim//Tuhan, mohon ijinkan/lapar hakiki ini kubawa ke
mana-mana”
(Sajak Makan, D. Zawawi Imron)
Beberapa pilihan puisi D. Zawawi Imron dalam Refrein
di Sudut Dam
Sebuah Syal
Pada syal yang baru
kubeli
kutitipkan leherku
Bayangkan, kalau
tiba-tiba
syal itu menjelma
ular
Ah, musim dingin!
Musim yang dingin,
Bukan sekadar rindu
di hati pohon poplar
Pada ujung jarum yang
bisik
tersimpan segumpal
gelegar
Refrein Den
Haag Sore
Seorang anak kecil
menyemburkan udara
kabut
dari mulutnya yang
mungil
ke arah seorang kakek
Sang kakek
membalasnya
dari bawah kumisnya
yang tebal
Kabut-kabut itu
menyatu
di udara dingin
pusat kota Den Haag
Kabut itu tiba-tiba
menjelma
seorang bidadari
yang menyanyi tentang
cinta yang fitrah
tentang kesinambungan
denyut darah
Bahwa yang selain
bunga pun harus mekar
tanpa menunggu musim
panas yang segar
Meeting
Point
untuk Linde Voute
Aku menunggu, kami
menunggu
di tengah Amsterdam
yang gatal
Mantel-mantel wol
memantapkan
langkah-langkah gontai
Mengusir rasa entah
Aku menunggu, kami
tetap menunggu
Detak jantung terus
berpacu
Antara jenuh dan
alunan sebuah lagu
Ada janji yang hampir
beku
Yang kami tunggu pun
datang
Menyebut nama
dengan senyum yang
dipersiapkan
sejak dari kandungan
ibu
Amsterdam yang agak
gatal
tiba-tiba menjadi
ramah
Tak penting
Antara kami dan dia
tak pernah bertemu
Yang penting kopi
traktiran itu
telah mengingatkanku
pada samudra di dada
ibu
Sujud
di Tepi Amstel
Di tepi tikungan
Sungai Amstel
ada tiga buah bangku
untuk duduk memandang
senja
Tiga temanku duduk
menatap bayang-bayang
gedung
yang bergerak di
permukaan sungai
Mereka seperti hendak
menebak teka teki
kapan tertuai sekian
janji
Di belakang ada
transaksi
Mulai dari barang
loak
sampai gadis cantik
yang disimpan dalam keranda
Merasa terjaga dari
mimpi dan nyanyi
hatiku menyala
merindukan ujung
menara
Kuhampar sajadah
cinta
Alangkah sulit
menyentuhkan dahi
ke tanah yang sering
diinjak kaki
Orang-orang
berhamburan mengejar senja
Diam-diam kupeluk
bunga leli berputik cahaya
Orang yang jatuh
cinta tak pantas menyerah kalah
Sinom
Belanda
Bila matahari
menempuh rute selatan
Daun-daun tak bisa
bertahan
pada reranting
Tanah ini seperti
tersingkir ke utara
ke dingin kata-kata
yang menetas dari salju
Ada angin sonder
angin sama saja
Sama tak tertebak
nasib esok dan lusa
Daun-daun rontok tak
sia-sia
Mereka akan
menyisakan kisah
tentang letih, dan
kasih bunga yang megah
Jarum jam sebentar
membelah
tanah kering dan
tanah basah
Tapi mengapa hanya
pohon-pohon yang terburu
atau berkemas untuk
bisu
Padahal langit tak
tampak bergegas
Meskipun telah raib
daunan yang lepas
Pada langit yang
kertas, bumi yang kertas
Terukir cinta,
kata-kata yang tak terbatas
Ranting-ranting akan
berbisik kepada angin
Tentang bahana
bersiut dua bulan lagi
Namun angin adalah
bisik-bisik itu sendiri
Di Woerden, Tuhan
menjawab dengan bulu biri-biri
Di
Museum Penyiksaan
Di museum ini kau bisa
membayangkan
seluruh tubuhmu penuh
sayatan pedang
Seluruh lukamu
menganga bagai kembang sepatu
Dari jeritmu akan
lahir kearifan
bahwa hukum memang
bukan keadilan
Perhatikan tali
gantungan, tong berduri
dan kursi listrik itu
Atau bayangkan sebuah
kepala lepas dari lehernya
Matanya menyala
menatap ke arah istana
yang dibangun dari
tengkorak manusia
Tengkorak-tengkorak
yang menyimpan aroma sorga
Bagi penegak
kebenaran
Tuhan dan nurani
sering bertemu di
penyiksaan
Racun yang diminum
Socrates
sumurnya selalu ada
di mana-mana
Sebagai pelengkap
palu kekuasaan
Refrein di
Sudut Dam
Amsterdam bagiku
memang sebuah
terminal
dengan detik-detik
yang terasa mahal
Masa silam dan masa
depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik
gagal
Matahari yang juga
mata waktu
mendesakku menjadi
kaca menggala
Untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari
kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan
sejenis debu
Menyanyi buku-buku,
kertas arsip
hendak turut memutar
tasbihku
Jangan dulu! Di sini
Amsterdam
Akan kukubur dendam
sejarah
Sia-sia memberhalakan
derita
Ibu dan kampungku
selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas
tabir saja
Segenap keasingan
akan lebur
dengan menyemai cinta
ke hati salju
Terbayang pohon
pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan
sembunyi
Olle ollang
darahku makin
gelombang
Semoga
Di sudut jantungku
kubangun kincir salju. Gilakah aku? Dalam
darahku berlayar
kapal salju. Lautkah aku? Januari yang beku.
Bunga tulip di meja
berwarna kaku. Benda-benda kamar jadi
kepalan tinju
mengarahkan kutuk ke alamatku. Masih ingin
kubangun kincir salju
seperti yang kulihat dalam mimpiku.
Langit megah dalam
biru. Begitu terbayang sebuah titik zarrah
di padang salju, aku
berdoa: Semoga dalam titik itu masih
terselip sisa
nafasku!
Makan
Gado-Gado
Buat BS dan BMS
Di restoran itu
kupesan sepiring gado-gado. Harganya lima
euro, lima belas kali
harga gado-gado buatan Ning, Balai
Pemuda, Surabaya. Aku
telah bosan melangkah dari roti ke
roti sampai
angan-angan seperti basi.
Sendok dan garpu
menari, kuserahkan mulutku pada irisan
kentang, lontong,
tauge, kerupuk udang, dan bumbu pedas
yang makin
memantapkan keindonesiaanku. Detak jantungku
menabuh gamelan,
nafasku menjadi angin yang melambaikan
daun-daun nyiur, dan
rohku menjelma pencalang yang
menciumi ombak demi
ombak Kepulauan Seribu.
Saat kubayar
gado-gado itu, aku berbisik ke arah yang jauh:
“Ning, aku di sini
masih merasakan ramah gado-gadomu,
tapi uangnya
kubayarkan kepada orang lain di kota Den Haag.”
Dalam langkah pulang
ke hotel, masih kujilat sisa bumbu yang
melekat di langit.
Peristiwa di tanah air tak semuanya enak
dikenang. Tak
semuanya selincah lenggang layang-layang.
Di
Simpang Jalan
Simpang jalan
Aku tegak
tapi tak mampu
setinggi gedung sejarah
yang konon sekian
abad tak pernah tua
Mungkin yang kumiliki
sejenis trauma
yang diwariskan
narasi hati yang luka
Mengingat Daendels
jadi teringat kakek
moyangku
yang mati kerja rodi
membuat jalan dari
Anyer ke Panarukan
Masih di simpang
jalan
Aku tegak
tapi tak mampu
menghitung lada dan pala
yang dulu diangkut ke
mari
Kemegahan ini
mungkin hanya
kekosongan
Saat seorang
professor berteori
yang kudengar hanya
kebohongan
Dengan cepat kujelma
burung merpati
di udara kunyanyikan
puisi
untuk melupakan
wajah-wajah gagah yang bengis hati
Antara
Dia dan Aku
Warna tulip ini
seperti menyayat
Paling tidak bagiku
Tapi si empunya
alamat
sangat bahagia
menerimanya
Ada persamaan
ada perbedaan
antara dia dan aku
Awan perak dan
mendung kelabu itu
selalu mengaku
berlangit satu
Refrein
Lain dari Sebuah Lagu Cinta
Cinta tak bisa
ditawar seperti ciuman
Makanya tak kucoba
bergandeng tangan
di atas salju
Peram dan tahan!
Sesuatu yang mekar
dan baru
mencabut akar ujung
beludru
Kota ini akan bisu
Ngilu akan sampai ke
hati buku
Kenapa zaman kesusu
Mengapa bahasa
terburu-buru?
Harapan hancur tapi
tidak bercerai
Masih ada kenangan
buat kaki bertumpu
Hanya di laut
buih-buih fasih menderai
Hanya di hati
kesungguhan bisa disemai
Refrein di
Sebuah Café
Buat Henk Maier
Nyala lilin bangkit
bukan untuk seremoni
Orang-orang melepas
topeng
dan mengganti topeng
baru
Aku duduk menghadapi
secangkir teh
tanpa gula
karena rasa amis
terus berceloteh
menafsirkan zaman
yang gila
Café ini telah
berumur seratus tahun
dan langganan datang
silih berganti
Anehnya orang-orang
selalu santun
pada lengkung
sesempit ini
Barangkali jawabnya
ada pada anggur
yang makin tua makin
mahal harganya
Kulihat bintang di
luar hendak bertabur
tapi dicegah mendung
dengan rintiknya
“Siapa yang
menciptakan
resep sop ikan tuna
yang lezat ini?”
Penjual berambut
jagung hanya geleng
Wajahnya berkerut
tanpa topeng
Sialan, pikirku.
Inikah keadilan?
Topengkah yang
membuat aku
hanya tabik pada Van
Gogh dan Rembrant?
Bintang-bintang
tersedan di balik awan
Airmatanya saja yang
sampai di Amsterdam
Narasi
Tulang Rusuk
Tulang rusukku
menjadi bulan
di Amsterdam, bagai
selengkung daun gandum
Tak peduli di rantau
seseorang bisa merasa
mempelai
Dengan gairah yang
makin gatal
Tulang rusuk yang
lain telah menjadi iklan
dalam kotak
berdinding kaca
Menghitung
detik-detik hampa
memetik gitar seikat
pohon mawar
Ada bisik tak
diucapkan
Senyum melesat
melebihi kodrat
Di sini, cinta dan
kesetiaan bisa dijual
di dalam di luar
pagar
Langit terbelah dan
bendera makin berdebar
Jangankan untuk
mendapatkan sorga
Masuk neraka pun
orang harus membayar mahal
Pulang
untuk Neno Warisman
Di atas kota Qum
angka menunjukkan
6666 kilometer
ke Singapura
Di atas pesawat
hati menjadi gelas
tak berisi dendam
atau senapan
Pesawat meluncur
disangga takdir
Nyawa seringan kapas
dan semakin jelas
bukan milik sendiri
Pesawat ini
tiba-tiba menjadi
mesjid
Tahlil dan istighfar
jauh lebih bergetar
daripada di atas
langgar
Di
Atas Angkasa
Siapa yang perkasa di
sini?
Bahkan laut dan
langit tak jelas batasnya
“Mungkin Tuhan
menggantung nasib
kita
pada sebutir sekrup,”
kuingat omongan teman
bernama Agus
Tapi kami terlanjur
naik
Begitu pintu ditutup
tak mungkin turun
balik
Kami jadi doa di hati
setiap sekrup
Terbang di atas
Persia yang subuh
seperti memeluk kitab
tasawuf
kalau pesawat jatuh
pintu sorga belum
terkatup
Di angkasa ini
ruh seperti cuma
separuh
Ke timur sedikit
Afganistan
yang bermain antara
cinta dan angkuh
“Selamat pagi,
Afganistan!”
“Selamat pagi,”
sebuah sekrup menyahut
Jawaban yang bukan
basa-basi
Senyum pramugari yang
menyajikan kopi itu
Tak mampu
mencerminkan kedalaman laut
E, sorri, kedalaman
Maut
Tentang D. Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa
Batang-batang, Kabupaten Sumenep, ujung timur pulau Madura. Setamat Sekolah
Dasar ia nyantri di pesantren. Mulai terkenal sejak Temu Penyair 10 Kota di
Taman Ismail Marzuki tahun 1982. Kumpulan puisinya: Semerbak Mayang (1977), Madura,
Akulah Lautmu (1978), Derap-derap
Tasbih (1993), Bulan Tertusuk Lalang
(1982), Nenekmoyangku Airmata
(mendapat hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura, Akulah Darahmu, Kujilat Manis Empedu, Refrein di Sudut Dam (2003), Celurit Emas (1986). Sajak-sajaknya
ada yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria.
Catatan
Lain
Penyair D. Zawawi
Imron menulis pengantar di buku ini: “Pada bulan Januari 2002 saya diundang
membaca puisi dalam festival Winternachten,
festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag,
sedangkan acaranya selain dilaksanakan di Den Haag, juga di berbagai kota
lainnya di Negeri Belanda seperti di Tilburg, Leiden, dan Amsterdam” Kira-kira
demikian pembuka dari penyair.
Saat itu, penyair datang bersama
Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany dan Ayu Utami. Dan selama 13 hari di sana,
penyair ini berhasil menulis sekitar 30 sajak dan setelah pulang disusul
sajak-sajak lain yang lahir dari kehangatan angan-angan yang didapatkan di
Negeri itu.
Kata penyair di satu paragraf: “Saya
telah melihat peninggalan-peninggalan sejarah. Saya menangkap keperkasaan masa
lalu. Tapi saya tidak bisa melupakan penderitaan orang-orang yang terjajah.
Peristiwa itu memang sudah berlalu, tetapi penghinaan kepada kemanusiaan selalu
muncul di dunia ini dengan bentuknya yang baru. Saya tidak akan memberhalakan
kekecewaan dan kesengsaraan, tetapi saya akan tetap mengutuk setiap penindasan,
baik yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang.”
Paragraf lain berbunyi: “Saya kagum
pada etos keilmuan, perfeksionime, profesionalisme, dan disiplin manusia
Belanda. Gedung-gedung yang dibangun kokoh sampai akhir zaman, kebersihan yang
menjadi bahasa hati mereka, sampai dengan kegemaran bersepeda yang tidak
dianggap mengurangi gengsi dan harkat hidup. Akal sehat saya tidak bisa tidak,
harus menghormatinya.”
Tulisan
pengantar oleh penyair memiliki kode tempat dan waktu: Batang-batang, Madura,
17 Januari 2003.
Saya suka puisi Refrein Den Haag Sore, membaca puisi ini rasanya saya berada disana....
BalasHapus