Data
buku kumpulan puisi
Judul : Catatan
Subversif (Catatan harian selama dalam tahanan rezim orde lama)
Penulis : Mochtar
Lubis
Penerbit : PT.
Gramedia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : 1987 (cet. I oleh Penerbit Sinar Harapan, 1980)
ISBN : 979-461-006-2
Tebal : viii + 408 halaman
Disain grafis : Umbu L.P. Tanggela
Tata letak : E. Y. Harry Gah
Beberapa gubahan puisi Mochtar Lubis dalam buku Catatan
Subversif
Senyum
matahari
di dinihari
mencium bukit
Rindu
api bakar nyala
ditiup angin
cakrawala
Tangis
anak burung
jatuh
diterkam kucing
di basah
embun
Di Kuburan
tanah
merah
lembab
melati
putih
sedu
tangis
istri
seru
si kecil
mana
bapa?
Tembak Mati
gemuruh
tembakan
merah
darah
berdetik
jam tangan
hidup
hanyut
Hujan
daun kering
deras lari
dilomba air
aiih, apes,
rungut bang beca
Terik
genteng kering
dibakar matahari
air es
sejuk segar
di kerongkongan
aduh, nikmatnya
(nb. Tujuh puisi di atas dibuat di Penjara
Madiun, 2 Februari 1963)
Tak Ada Kau
En la madrigada
me desperto
estory desamparado
dondes estas tu
Hally querida?
Dekat fajar
Aku terbangun
kurasa sepi
tak ada kau
Hally sayang
(nb.
Sajak tanpa judul, 20 April 1965)
Sebuah Sajak untuk Hally
La luna alta
en el cielo
muy linda
en mi espejo
de chacra negra
en tus Oyos
querida Hally
(nb.
Sajak tanpa judul, 28 April 1965)
Meledak Hati
dalam malam
kelam ini
meledak hati
aduh, kapan
datang pagi?
(nb.
Sajak tanpa judul, 8 Mei 1965)
Dalam Kamar Penjara seperti
di Tungku Panasnya
matahari bergeser
bola merah
di kaki langit
tergantung
rendah
membakar kepala
(nb.
Sajak tanpa judul, 11 Mei 1965)
Sajak untuk Hari Tahun ke-20
Pernikahan
di kelam angkasa
menyala terang
sebuah bintang
kasihmu
lebih cemerlang
dari semua bintang
(nb.
Sajak tanpa judul, 1 Juli 1965)
Malam 30 September – 1
Oktober 1965
Gelap malam membelenggu kita
Kelompok-kelompok hitam bergerak dari jalan ke jalan
Pekik mesin truk dan jip
kerincing senjata dan topi besi
bisik-bisik perintah maut
setan-setan gelap dari perut bumi
lapar darah orang-orang tak berdosa
derap sepatu nafas harimau
kezaliman, keharaman, kebengisan
berkeliaran dalam kota
dentum senapan kilat pisau
jerit istri, tangis anak-anak
Yani, Parman, Pandjaitan
Soeprapto, Soetoyo, Tendean
Prajurit yang dibunuh dalam gelap malam
Dan Irma kecil, gadis manis tak tersenyum lagi
Ya, Tuhan, tak Engkau lindungi kami?
Engkau biarkan sentan-setan
dan binatang liar merajalela?
Mengapa Irma kecil tak boleh tertawa lagi?
Tersenyumlah gadis kecil
dalam sorga
Tidurlah prajurit-prajurit di surga,
di sana tak ada kezaliman dan pengkhianatan
di sana kalian tidur tak terganggu
oleh kelompok hitam dalam gelap malam
membawa perintah maut
dan kezaliman yang haus darah
manusia tak berdosa
Tidurlah di sorga prajurit-prajurit bangsa
Tersenyumlah di sorga, Irma kecil.
(8 Oktober
1965; Mochtar Lubis menulis di buku hariannya, terjadi rapat raksasa 500 ribu
orang di Jakarta menuntut pembubaran PKI, penyingkiran PKI dari MPRS, dan
departemen-departemen)
Seratus Hari Pembunuhan oleh
Gestapu
Kini cahaya malam lembut perak
Dan bisikan angin dari gunung-gunung
Ciuman bintang berkeliaran di cakrawala
Putih perak batu-batu nisan
Dan doa ayah, ibu, anak, istri dan kawan
Tidurlah, tidur, ayah, suami, dan kawan
Senyumlah di pangkuan Tuhan mereka yang mati
Bahagialah arwah sunting melati Illahi
Seratus hari kami kalian tinggalkan
Dengarlah kini derap langkah pemuda
Sorak-sorai perjuangan rakyat
Mahasiswa, prajurit, buruh dan tani,
Kami tak lupa kan darah kalian
Darah merah.
Membasuh takut gelap
Dengar, dengarlah rakyat berteriak,
Menuntut hak dan Keadilan
Janji dan mimpi harapan
menebus darah dan korban
Janji dan mimpi harapan
menebus darah dan korban
Janji kami seratus hari yang lalu,
Dalam darah yang sudah mati
Kini cahaya malam lembut perak
bisikan angin dari gunung-gunung
Ciuman bintang berkelipan di cakrawala
Putih perak batu-batu nisan
Dan ayah, ibu, anak, istri dan kawan, berdoa
Bahagialah arwah di hadirat Illahi
pembunuh-pembunuh di malam gelap
(16 Januari
1966; keterangan di bawah sajak: Sajakku untuk korban-korban Lobang Buaya dan
Ade Irma Nasution)
Cerita dari Luar Tembok
Dari balik tembok
datang berdentam
bunyi tembakan
masuk ke dalam
kamarku yang kecil
dalam penjara kecil ini
di jalan bernama palsu Keagungan
Siapa
menembak siapa
baru
kemudian kami tahu
ada
seorang anak perempuan
bernama
Zubaedah
ada
seorang pemuda
bernama
Arif Hakim
dibunuh
pengawal istana
ketika
menyampaikan
tangis
rakyat
yang
menderita sengsara
bertahun-tahun
di bawah
sepatu
kaum tirani
dalam
penjara lebih besar
di
luar tembok penjara kecil ini
di
jalan bernama palsu Keagungan
(28 Maret 1966)
Bunga-bunga Jatuh Bertaburan
Dalam kamarku yang kecil ini
Dalam penjara kecil
di jalan bernama palsu Keagungan
datang angin dari Makassar
datang angin dari Banjarmasin
datang angin dari Yogyakarta
datang angin dari Jakarta
kamarku jadi panas dan sesak
angin datang tak berhembus membawa dingin
Tapi membawa bau darah dan
pekik perjuangan, ratap tangis,
dan orang tindasan
di bawah kaki kezaliman dan kepalsuan
berkata angin: mengapa engkau tak menangis,
menangisi bunga-bunga jatuh
bertaburan
bunga-bunga hati nurani bangsa
yang bangkit melawan kezaliman,
Bukannya aku tak berduka, kataku,
suaraku gemetar menahan kemarahan.
Tapi mereka tak minta ditangisi
Bukan air mata, tapi gumpalan tinju,
Bukan sedu-sedan, tapi pekik peperangan,
Yang mesti kita berikan
agar penjara besar di luar tembok
penjara yang kecil ini
di jalan palsu bernama Keagungan
runtuhlah, tembok kezaliman
Agar bunga-bunga tak jatuh bertaburan
dibunuh di pangkuan kemerdekaan.
(28 Maret 1966)
Laporan Kota
Kami dengar gaung suara pengeras suara,
Bercampur besi dan daya listrik
Kami lihat dari kejauhan lalu lintas
di jalan Gajah Mada menetes kering
Datanglah pick-up Kejaksaan Agung
Sopir Toha membawa ransum
Terkadang nasi basi dan daging busuk
Penuh coretan Kami dan Kappi
Gantung Subandrio, Bubarkan PKI
Ban-ban dikempesi di Harmoni
Mahasiswa di mana-mana beraksi
Lapor sopir Toha
Alangkah merdunya laporan kota
Obat hati menghadapi nasi basi
Dan daging busuk hidangan kami
dalam penjara kecil
di jalan bernama palsu Keagungan
(28 Maret 1966)
Bukan Mimpi?
Sekumpulan sajak oleh Nur Fadjar
Membawa cerita seram dan duka
Mendukung semangat berapi-api
Tekad baja melawan tirani
datang terbang dari luar tembok
dibacakan istriku dengan suara terharu
dan air mata berlinangan.
sebuah jaket berlumur darah… di sinilah penembakan ….
kepengecutan…
ditembuskan… ke punggung… anak-anak sendiri… anakmu yang
berani…
telah tersungkur ke bumi… ketika melawan tirani… dua puluh
dua
tahun kemudian… Tuhan kami ampunilah kami – Amin!...
Panji-panji kebenaran berkibar lagi
di luar tembok penjara
Pekik perjuangan kemerdekaan dari
ketakutan mengoyak udara
Langkah-langkah tegap berderap-derap
pemuda, ibu, prajurit dan rakyat
Memekikkan Kebenaran, Keadilan
dan Kemerdekaan.
Bukan mimpikah aku? tanyaku
Delapan tahun lebih aku hanya
mendengar pekikan serupa ini dalam
kepala dan hatiku sendiri
Tapi benar, ini bukan mimpi
Darah mereka memerah debu di belakang
Istana, di Jalan Malioboro, tanah
Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi
Ini bukan mimpi
Ini Kami
Ini Kappi
Kupeluk kau adikku, anakku
Angin datang membawa cerita
Burung-burung berkicauan di udara
Membawa kisah kepahlawanan
Bunga-bunga berkicauan di udara
Membawa kisah kepahlawanan
Bunga-bunga yang bangkit
melawan tirani
Tetapi bapa-bapa yang berada di luar penjara ini
Mengapa berdiam diri?
(28 Maret 1966;
nb. baris 35 menjadi catatan saya, metafor yang agak janggal: Bunga-bunga
berkicauan di udara)
Gas Air Mata
Anakku, Ade, kelas dua SMP
Ikut dengan Kappi ke Deplu
mereka diserang dengan gas air mata
tapi lalu mengamuk menghantam
Dan kemudian pulang, mata merah
tapi hati bangga, membawa
secabik kain pintu Deplu
perlihatkan pada adiknya, Ira,
nah, ini tanda mata dari Bandrio,
katanya bangga
(28 Maret 1966)
1945 - 1960
Teriak dan pekik peperangan
Bunga-bunga bertaburan
Pesing, Semarang, Surabaya
Bandung, Bekasi dan Krawang
Merdeka atau mati!
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Mengguntur tekad cita-cita
pemuda dan rakyat di tahun
empat puluh limaan
janji kemerdekaan manusia
Indonesia ditebus dengan
darah dan mayat berhamburan
di seluruh Nusantara
dari pantai ke pantai, lembah ke lembah,
gunung ke gunung, sungai ke sungai,
di jalan-jalan dalam kota
dengan darah angkatan empat lima menulis
rakyat kami mesti merdeka dari
kezaliman dan penindasan.
Tapi kemudian setelah merdeka
banyak mereka lupa sumpah empat lima
kembalilah kezaliman dan penindasan
Teror bertualang di kota dan desa
Ketakutan masuk memeras hati
Kini di tahun enam puluh enam
Terdengar di luar tembok rumah penjara
Gegap gempita teriak perang
Dentuman bedil dan gemuruh panzer
Arif Rachman, Zubaedah
(29 Maret 1966; nb. Baris 3
menjadi perhatian saya, mungkinkah “Pesing” nama sebuah tempat atau apa?)
Sejumlah Terus
Hai, mengapa hari jadi suram
Sedang matahari bersinar terik?
Orang pada bermuka pilu
Mata merah karena menangis
Bung Sjahrir, Bung Sjahrir tak ada lagi
Bapa kami, tangis dua anak kecil
Suamiku, tangis seorang istri
Bapa kami tangis berjuta rakyat
Bapa kami tangis berjuta pemuda
kawan dan saudara kami tangis yang sebaya
yang sama berjuang dengan dia
di zaman tirani Belanda, Jepang dan Indonesia
Aduh, dia wafat jauh dari Jalan Jawa
Dia wafat dalam sakit selagi tahanan politik
Dikirim berobat ke luar negeri
Sehabis tersiksa bertahunan di dalam negeri
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Seorang pendekar kemerdekaan manusia Indonesia
Seorang pahlawan revolusi empat lima
dapat ditangkap dan tersiksa dalam tahanan
Difitnah penghalang revolusi, pengkhianat bangsa?
Sedang dia selama hidupnya
sejak mulai dari bangku sekolah
memberi jiwa raganya untuk
kemerdekaan bangsa?
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Mengapa banyak orang yang tahu menutup mata?
Menutup telinga, mulut dan hati nurani?
Pura-pura tak tahu kezaliman menindas
pendekar kemerdekaan yang jujur dan berani?
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Dan kini setelah dia tak ada lagi
Mengapa tiba-tiba diproklamirkan resmi
jadi Mahaputra Bangsa yang mesti dihormati,
Dikawal hormat ke Taman Pahlawan
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Oh, pemuda angkatan enam puluh enam
Engkau mengerti, engkau mengerti
Tanamlah di atas kuburnya bunga
Kemerdekaan dan kemuliaan manusia,
bunga kebenaran dan keadilan
Bung Sjahrir, Bung Sjahrir
Senyumlah, senyumlah terus di haribaan Illahi
Difitnah penghalang revolusi, pengkhianat bangsa?
Sedang dia selama hidupnya
sejak mulai dari bangku sekolah
memberi jiwa raganya untuk
kemerdekaan bangsa?
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Mengapa banyak orang yang tahu menutup mata?
Menutup telinga, mulut dan hati nurani?
Pura-pura tak tahu kezaliman menindas pendekar
kemerdekaan yang jujur dan berani?
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Dan kini setelah dia tak ada lagi
Mengapa tiba-tiba diproklamirkan resmi
jadi Mahaputra Bangsa yang mesti dihormati,
Dikawal hormat ke Taman Pahlawan
Mengapa begitu? Mengapa begitu?
Oh, pemuda angkatan enam puluh enam
Engkau mengerti, engkau mengerti
Tanamlah di atas kuburnya bunga
kemerdekaan dan kemuliaan manusia,
bunga kebenaran dan keadilan
Bung Sjahrir, Bung Sjahrir
Senyumlah, senyumlah terus di haribaan Illahi
(11 April 1966)
Nb. Berikut
secuplik buku harian Mochtar Lubis sekitar tanggal itu; 10 April 1966: “Kemarin
sore Soleh Iskandar bercerita dia mendengar radio luar negeri mengumumkan Bung
Sjahrir telah meninggal dunia di Zurich.//Dia adalah salah seorang korban kezaliman
penahanan politik yang dilakukan rezim Soekarno.//Hatiku sedih bukan kepalang.
Bung Sjahrir tak ada lagi. Dia begitu besar cita-citanya untuk bangsa kita. Dan
popi hanya sendiri di Zurich”; 19 April 1966: “Pergi menghadiri upacara
pemberangkatan jenazah Bung Sjahrir di Jalan Jawa 61.//Anak-anak KAMI dan KAPPI
pagi-pagi telah datang membawa bis, dan sebuah membawa pengeras suara yang
menyiarkan selamat datang pada kami, dan menceritakan nasib kami kepada
khalayak ramai.//…Dari pagi pengeras suara sudah menceritakan soal penahanan
kami di tengah jalan. Lalu lintas terhenti sama sekali. Rombongan yang membawa
kami bukan main banyaknya.//… Di jalan Jawa sudah amat ramai. Kain-kain
terbentang di jalan-jalan menuntut pembebasan kami. Sambutan amat meriah. Tangan
sakit bersalaman.//…Bung Sjahrir di balik kaca. Mukanya tenang mengandung
rawan. Lily duduk menangis di kepala peti. Poppy, istrinya berhati berani dan
tabah. Tuhan melindungi dan menguatkan terus hatinya.//..Kami pinjam sebuah
pesawat televisi dari seorang keluarga Tionghoa dekat Wisma Keagungan untuk
dapat mengikuti penguburan Bung Sjahrir, karena izin kami hanya ke rumahnya
saja. Dan kami tak ikut ke kuburan.//Agung dapat izin ke Taman Pahlawan.
Sebagian bekas anggota PSI ternyata tak dapat tembus, karena banyak rakyat yang
memenuhi jalan.//… Seorang Letnan CPM komandan peleton yang menjaga kami malam
ini jam 21.00 datang memeriksa kebenaran laporan bahwa kami sudah dibebaskan
oleh KAMI dan KKPI dan dibawa ke rumah masing-masing. Lucu juga!//Memang anak-anak
KAMI dan KAPPI sudah mendesak agar jangan pulang lagi ke Wisma Keagungan. Tapi
kami menolak, karena kita tak perlu menambah kesukaran bagi Jenderal Soeharto
dan kawan-kawan yang telah berniat akan membebaskan kami.”
Tentang Mochtar Lubis
Mochtar Lubis lahir 7 Maret 1922.
Setelah menamatkan HIS , ia melanjutkan ke Sekolah Ekonomi di Kayu Tanam,
Sumatera Barat. Menjelang pecah Perang Dunia II, ia telah berada di Jakarta dan
selama pendudukan Jepang ia bekerja dengan kesatuan pemantauan radio militer
Jepang. Setelah itu, sempat bergabung dengan kantor berita Antara. Menjelang
akhir tahun 1949 bersama kawan-kawannya mendirikan harian Indonesia Raya, yang dalam tahun-tahun kemudian jatuh bangun
dibreidel pemerintah Orde Lama dan menjadi pintu masuk untuk penahanannya
selama hampir 9 tahun (Mulai ditahan 22 Desember 1956; Tahanan Rumah: 5 Januari
1957 – 29 April 1961; ditahan kembali tanggal 14 Juli 1961 - 16 Mei 1966).
Bukunya al. Tak Ada Esok (roman), Jalan Tak Ada Ujung (roman), Senja di Jakarta (roman), Tanah Gersang, Maut dan Cinta, Si Jamal
(kumpulan cerpen), Perempuan
(cerpen), Kuli Kontrak (cerpen), Bromocorah (cerpen), Harimau! Harimau (novel), Perang Korea (laporan perang), Berkelana dalam Rimba (catatan
lingkungan dan ekologi), dll.
Catatan Lain
Buku ini sebenarnya buku harian,
yang format penulisannya pun kronologis berdasarkan tanggal, bulan dan tahun.
Mulai tanggal 22 Desember 1956 dan diakhiri tanggal 17 Mei 1966. Namun seperti
dikatakan di Kata Pengantar bahwa tidak semua catatan harian dalam penjara orde
lama itu masuk dalam buku ini, karena pelaku-pelaku masih ada yang hidup dan
menurut ML, catatan dia itu tidak memberikan citra yang bagus tentang mereka.
Di Epilog, disebutkan bahwa saya (Mochtar Lubis) mengharapkan agar para penanggung
jawab rumah-rumah tahanan, penjara, para jaksa, hakim, polisi dan CPM, kiranya
dapat memetik gambaran keadaan-keadaan yang amat memilukan hati dan menimbulkan
penderitaan yang tak ada gunanya terhadap para tawanan di dalam tahanan mereka,
dan mengadakan perubahan-perubahan yang lebih sesuai dengan tuntutan hati
nurani manusia Indonesia di masa kini (hlm. 402). Harapan lain yang dikemukakan
agar tak ada lagi orang yang ditahan tanpa proses pengadilan dan tentunya
tercapai tujuan membina tertib hukum dan meneguhkan kemuliaan dan kemerdekan
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar