Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Tempuling
Penulis : Rida K Liamsi
Cetakan : II, Maret 2005 (cet. I: Juni, 2002)
Penerbit : Yayasan Sagang, Pekanbaru.
Tebal : xxiii + 94 halaman (29 judul
puisi)
Ilustrasi
dan kulit : Asnawi KH
Kata
pengantar : Hasan Junus
Laman
: www.erdeka.com
Sumber
puisi : http://bukusagang.com/?mod=buku&id=573
Beberapa pilihan puisi Rida
K Liamsi dalam Tempuling
Ode
X
Ada seribu mawar
seribu merah
seribu pagi
basah
Tapi
aku mau pergi
dari satu ke lain malam
Luluhkan
sukma dalam gaung gaib
gua resahku
Karena
seribu bunga layu
dalam genggam ku
Karena
aku tak bisa berikan selamat pagi ku
pada kupu-kupu
Mawar
merah
pagi yang basah
Jangan
berikan selama pagi mu
: Pada bumi
yang cemburu kupu-kupu
berikan bau peluh mu
1975
Tempuling
Sebatang
tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang
bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah menyerah!
Tak
terlihat tanda-tanda
Tak
tercium anyir nasib
Tak
tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
yang jauh dan
ngilu
di antara cuaca
dan gemuruh
karang
Sebatang
tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang
bocah menatapnya
penuh
gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah menyerah?
telah kalah?
: Tuhan
Dia memang telah
berbisik
Pindahkan
pancang
sebelum pasang
Hatiku
memang telah terusik
ketika sehelai
waru
guru
lesap
lewat tingkap
tersuruk
di antara tungku
menunggu gelap
Sebatang
tempuling tersadai di bibir pantai
sehabis badai
Seorang
bocah merasakan pelupuk nya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang menemukan nya
menguburkan
nya di antara pantai
memberikan nya
satu tanda
dan jangan
biarkan arus
membawanya jauh
ke lubuk dalam
yang akupun tak
tahu
di mana akan
kutuliskan
rinduku
[1982/1996/2000]
Biarkan
Dukacita Itu
Telah
adam salibkan ia di kaki gunung percintaan
Telah
adam logamkan ia pada karat sebilah pedang
Dan
kita pun menerima nya sesempurnanya
:Sayang
ku
Biarkan
bulan di situ mencurahkan rindu
Biarkan
mentari di sana mendedahkan luka
Biarkan kita di sini
di cermin kacau
di jurang waktu
:Sayang
ku
Biarkan
dukacita itu jadi seteru
[1974-2001]
Di
Stockholm
kepada
: DI
Dari
sebuah taman di Stockholm, suatu petang
kita
menyaksikan monumen sebuah jangkar
di
antara pelabuhan dan tiang-tiang perahu
dan
kau berkata :
Seberapa jauh kita berlayar
kita harus sampai
harus melabuh sauh
dan turun ke pelabuhan
tapi jangan menoleh ke belakang
sebab di belakang adalah laut
sebab laut adalah misteri
yang menyimpan rindu
yang mengeram takut
yang menulis cinta
yang memendam benci
Dari
sebuah taman di Stockholm, suatu petang
kita
memandang cuaca dan gemerisik angin
dan
kau berkata :
Seberapa jauh kita berlayar
kita harus menyimak cuaca
kita harus menghitung angin
tapi jangan menoleh ke belakang
sebab di belakang adalah sepi
sebab sepi adalah misteri
yang menyimpang dendam
yang membunuh mimpi
[2000]
Laut
Seperti mereka sediakala
akupun berdiri di tebing mu
dengan sebatang tempuling
Tikam!
Maka ku tikam jejak riak mu
yang kutahu tak siapapun tahu
di mana tubir mu
Sentak!
Maka kusentak tancap harap ku
Yang kutahu tak siapapun tahu
di mana palung mu
Seperti mereka sediakala
akupun tak pernah menyerah
pada keluasan
pada kebiruan
pada untung nasib
yang hanyut dari teluk ke teluk
yang terombang ambing di pundak
ombakmu
Seperti
mereka sediakala
Akupun
senantiasa
Tikam!
Sentak!
Tikam!
Sentak!
Tikaaaaaammm!
Sentaaaakkkk!
!
!
!
!
Tempuling ku
Asin mu
Hanya musim
yang bermain
[1982/2000]
Kemejan
Ke
lubuk paling ceruk manakah kau
akan menyuruk
ke
palung paling ujung manakah kau
akan
berselindung
Akan
sampai juga jejak tempuling
menghentak
punggung
membiarkan
engkau
melepas dendam
zaman
ke puncak laut
Apa
lagi rahasia mu memenangkan pertarungan ini?
Ada pada mu ombak
tapi tak
berbadai
Ada pada mu arus
tapi tak
berangin
Ada pada mu taring
tapi tak bergeming
Apalagi
rahasiamu...
Kecuali
lubuk
ke mana sebelum menyerah
kau akan kembali
Kecuali
nasib
kepada siapa kau
akan berdamai
Kecuali
dendam
ketika kau mengibaskan
ekor mu
ketika
kau hitung detak detik
jejak langkah mu
di antara amis musim
di antara ngilu waktu
di antara tikam
dan kilat tempuling
Kecuali
pekik pedihmu
:
Tuhan
Inikah nasib ku
Inikah cinta Mu
[1982/1996/2000]
Bulang
Cahaya
Elang putih
berekor panjang
mengigal berahi
di ujung tanjung
mengirim isyarat
ke semua pintu :
Terimalah cintaku
cinta tak
berkeris
cinta tak
bersuku
cinta yang tak
tersurat
dalam lagu-lagu
Angin berkisar
perahu berlayar
kudengar sendumu
di ujung sitar :
layang-layang
bertali benang
putus benang
tali belati
cinta ku lepas,
cinta ku kenang
cinta sejati, ku
biar pergi
hati ku kusut
rindu ku hanyut
berahi ku luput
Ombak gemuruh
mengobar dendam
membakar hari
mengubur mimpi
mengirim rindu
ke semua pintu :
Inilah cintaku
ku dulang jadi
timah
ku pahat jadi
patung
ku rendam jadi
rempah
ku gulai bagai
rebung
ku simpan duka
ku
sampai ke ujung
Kemarau
menderau
padang
kerontang
sedih
pedih
dendam
rindu
sangkak
pantang
sumpah
seranah
jadi
barah
jadi
luka
sejarah
Elang putih
berekor panjang
mengigal sendiri
di ujung petang
mengirim rindu
ke semua pintu :
Kini cintaku
jadi sembilu
[1975/2001]
Ombak
Sekanak
O, ombak sekanak
Angin barat
gelombang barat
Laut Sekanak
ombak Sekanak
Kemana kita akan pergi
Pergi
Seperti sepotong sabut
terombang ambing
terkapung kapung
di pucuk ombak
di pucuk buih
di pucuk angin
di rasa ingin
di rasa dingin
di rasa sansai
di rasa lepai
Dimana kita akan sampai
Sampai
seperti sepotong sabut
yang hanyut
yang tersangkut
yang terlempar
yang terdampar
di bibir pantai
di celah karang
di tiang jermal
di kaki tebing
di peluk teluk
Kita
seperti sebuah perahu
berlayar
berlayar kertas
berlayar kain
berlayar mimpi
berlayar
di angin barat
di gelombang
barat
di laut sekanak
di ombak sekanak
Kita
seperti sebuah laut
laut
yang tak semua surut
ombak
yang tak semua reda
badai
yang tak semua
Kita
seperti sebuah gapai
yang
harus sampai
sampai
ke pantai
melepas
sansai
melabuh sauh
menambat sungguh
O,
ombak sekanak
Jebat
Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki
tetapi, siapakah yang telah mengalahkan
mu
Kami
hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang hari mu
Kami
hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu
Kami
semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki
meruntuhkan tirani
Tapi
siapa yang telah mengalahkan kami
Menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara
Kami
hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
dan kita hanya membangun sebuah arca
[2002]
Rembang
Petang
Adakah kita memang telah siap
ketika sebuah rembang datang
rembang petang
dan kita harus menyapanya
dengan sukma yang tenang?
Kita
ternyata masih sering terkesiap
ketika menangkap gemersik dedaunan
ketika bunyi
tokek mengusik
ketika sebuah
iring-iringan lewat
meski hanya
sebuah arakan pengantin
sebuah sunatan
kanak-kanak
sebuah unjuk
rasa para tunawisma
Kita
memang masih sering renyah
ketika
sukma bersentuh dengan remah-remah
ketika
harus berkemas di pekarangan
menyisihkan sisa dedaunan yang luruh
sesudah hujan
sesudah panas
menggali lubang
membakar
dan menatap asap
layap
menuju lanskap
Kita
memang masih sering resah
ketika melewatkan saat rehat
saat meneguk
kopi
menyetel kasset
atau membelai
pundak Blacky
saat tiba-tiba
merasa
: hidup seperti
sebatang akasia
di sudut jalan
membangun
bayang-bayang
panjang dan
lengang
ketika tiba
rembang
rembang petang
Kita
memang masih sering terkesiap
ketika menatap kalender
mengingat hari
menyetel
televisi
dan bergumam
: kematian
seperti
sehelai daun
luruh ketika
rembang
terpuruk di
sudut jalan
dikubur
bayang-bayang
Apakah
kita memang telah siap
ketika tiba sebuah rembang
rembang petang
Dan
menyapanya dengan sukma
yang tenang?
[1988/2000]
Pancang
Nibung (I)
Pancang
nibung
di sudut berdengung
teritip
ngelembung
di musim
bersambung
sudah
beribu perahu
tambat
beribu kail
redam
beribu
umpan
lesap
beribu pagut
luput
beribu
harap
lepas
beribu tunggu
lalu
Tapi
cuma ombak
cabar arus
cuma arus
gempur perahu
cuma perahu
goyang pancang
cuma
pancang
koyak jejak
cuma jejak
menjejak redam
tapi
cuma bisu
bila kemejan akan
di mana kemejan akan
ke mana kemejan
akan
tapi
cuma cari
beribu tahan
menunggu kemejan
beribu tangan
mengedan kemejan
beribu bisik
membujuk kemejan
Pancang
nibung
di surut berdengung
teritip ngelembung
di musim
bersabung
Cuma
waktu
mencabut mu
dari terumbu
[1998/1990/2000]
Pancang
Nibung (II)
Pancang nibung
di laut berdengung
Entah berapa camar
yang
pernah
hinggap
Tinggalkan jejak
di puncak
tunggu mu
[1988/2002]
Tentang Rida K Liamsi
Rida K Liamsi jika dibaca dari belakang (kanak
ke kiri) maka akan muncul nama Ismail Kadir. Itulah nama sebenarnya dari
penyair ini. Juga pernah menggunakan nama pena Iskandar Leo. Lahir di Dabosingkep, Provinsi Kepulauan
Riau, 17 Juli 1943. Pernah menjadi guru Sekolah Dasar, sebelum terjun menjadi
Jurnalis. Delapan tahun jadi wartawan Tempo, lima tahun di harian Suara karya,
kemudian ke Riau Pos, hingga menjadi CEO Riau Pos Group (RPG). Kumpulan
puisinya: Ode X (1971) dalam bentuk
stensilan, Tempuling (2003). Novelnya
Bulang Cahaya (2007). Kumpulan
puisinya yang terbaru Rose. Mendirikan Yayasan Sagang, di mana sejak 1997 telah menerbitkan
Majalah Budaya Sagang. Dan setiap tahunnya, sejak 1996, memberikan penghargaan
kepada Seniman dan budayawan, karya-karya budaya, institusi budaya, penelitian
budaya serta jurnalisme budaya yang bernafaskan budaya Melayu, yang diberi nama
Anugerah Sagang.
Catatan
Lain
Barangkali
dua paragraf ini menggambarkan betapa sulitnya memberi judul sebuah buku puisi.
Maka inilah pergulatan penyair yang ditulis dalam pengantar buku ini: “Semula,
beberapa tahun lalu, kumpulan ini akan diberi Ombak Sekanak , salah satu
judul puisi dalam kumpulan ini, sebagai simbol dalam perjalanan hidup, pengembaraan
dan percikan-percikan mimpi. Tetapi kemudian saya memutuskan mengambil nama itu
untuk buku otobiografi saya, yang mungkin lebih pas. Pilihan selanjutnya
seperti yang sudah sempat diceritakan pada teman-teman adalah Kemejan (juga
dari salah satu puisi dalam kumpulan puisi ini), sebagai lambang dari
perjalanan nasib dan pergulatan hidup, namun terasa sangat pasrah, dan bertentangan
dengan filosofi hidup saya yang sejak lama memahami arti sikap optimisme dalam hidup.
Memahami arti kerja keras dan kesungguhan dalam membangun jati diri. Membangkitkan
etos untuk mengatakan,”Menjadi apa dan menjadi apa dan menjadi siapa aku ini?”//Lalu
saya memilih Tempuling (juga judul salah sajak dalam kumpulan ini),
karena pada nama itu, pada kilatan dan tajamnya mata tempuling itu, tersimpan
kekuatan makna kehidupan. Ada semacam energi dari dalam diri yang bangkit dan
memancang visinya. Di tangan hati yang arif, di lengan pikiran yang jernih dan
di sukma yang tawadduk, sebatang tempuling adalah semangat, adalah tekad,
adalah roh akan menentukan ke mana hidup ini akan pergi, memberi makna, dan
meninggalkan jejak. Tempuling adalah sebuah pilihan sikap.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar