Data buku kumpulan puisi
Judul : Ziarah Malam, sajak-sajak
1952-1967
Penulis :
Iwan Simatupang
Cetakan : I, 1993
Penerbit :
PT. Grasindo, Jakarta.
Tebal : vi
+ 66 halaman (30 puisi)
ISBN : 979-553-269-3
Penyunting : Oyon
Sofyan dan S. Samsoerizal Dar
Catatan penutup : Dami N. Toda
Beberapa
pilihan puisi Iwan Simatupang dalam Ziarah
Malam
Potret
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.
Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.
Kini dara sudah lama dalam biara.
Ballade Kucing dan Otolet
Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet
Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru
Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan
Bangke makin rata
Di aspal panas
Penumpang gigimas
Bercanda
Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan
Gemercik Gerimis di Retak
Nisan
Pada satu kemarau berkepanjangan
Di kerajaan padang hanya padang
Bersabda baginda satu hari:
Dari semua degup dan warna berlalu
Satu harus utuh selalu:
Lembut dan putih dari domba
Rakyat gembala segera gali sumur
Peras air dari lumpur
Penyiram hijau padang-padang
Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Domba kian kurus kian haus
Pada suatu hari gembala terakhir meninggal
Di sumur-sumur tak setitik air pun tinggal
Baginda dan domba hanya di padang tandus kering
Kini baginda tukar singgasana dengan seruling
Domba demi domba beliau iring
Cari hijau cari penjuru
Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Akhirnya hanya baginda yang tinggal
Di satu subuh bercuaca sangsai
Sampai baginda di satu pantai
Tanpa domba tanpa mahkota
Berakhir kini kasih dari singgasana kekeringan
Pada mula dari satu kebasahan
Sedang kemarau kian gerah, kian gerah
Di pantai ada kini nisan dari gembala bangsawan
Yang dalam menunggui kemarau berkepanjangan
- Kian retak kian retak
Akhirnya mengguntur guruh satu senja
Bawa berita dari kemarau mencerah
- gerimis sehembus hanya jatuh
Di jauhan, segumpal mendung iseng berlalu...
Apa Kata Bintang di Laut
Cerita buat Bayu Suseno,
bayi Bu Tono
Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut
Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian dan kegemuruhan
bersipongah dalam suatu kisah
tak berawal tak berakhir
Siap dekat siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala dan janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam
Ia panglima dari suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dari segala hantu
datu badai pengasuh pelangi
Ia berasal dari pegunungan
dari puncak mengabut selalu
- di mana jurang, tebing dan bukit
berkisah seharian dalam sepi menggelepar
tentang bayang mengejar sinar
tentang redup memagut cuaca
- di mana air terjun dari tinggi menjulang
menghempas diri dalam suatu hisak
tentang titik yang demi titik
tiada jemu cari butir perhentian
- di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari
Ah, ini semua ia telah tinggalkan
ketika ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:
“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia telah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis dan janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”
Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
- yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya
Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu
Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
- menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan
Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak
Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian
Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di
Surabaya
Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang
Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu
Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh
Darah beku
Melati layu
Tapal sayu
Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri
Sunyi sunyi
Pengakuan
Aku ingin memberi pengakuan:
Bulan yang gerhana esok malam
telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok
Kulecut hari berbusa merah
Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:
esok adalah bulan purnama
Sungai Batanghari, 13
Agustus 1961
Requiem
Mengenang manusia perang
I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!
Aku
tiada dapat katakan
apakah
pergimu pada fajar atau senja
aku
hanya tahu
kau
pergi berlangit merah mencerah
Sejak
kau pergi, prajurit-kematian,
kami
berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin
berhinggapan di lembah kami
dan
berseru seharian dalam suatu lagu
yang
bikin kami pada bergelisahan
Langit
kami kini bertambah mendung
bukan
oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi
oleh kawanan gagak
yang
kian tutupi celah-celah terakhir
dari
kebiruan langit jernih
dan
kecuacaan mentari
Kawan
kami
kini memikirkan
pengerahan
gadis-gadis dan orang tua kami
untuk
menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang
berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak
kau pergi
pemuda-pemuda
gembala dan petani kami
berlomba-lomba
meninggalkan lembah
dan
pergi lari ke kota
jadi
penunggu taman-taman pahlawan
atau
pembongkar mayat-mayat
Saksikanlah
di
sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di
sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang
ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam
deretan detik demi detik
Tidak
kawan
kami
tiada akan mencari pelarian kami
ke
dunia tempat mantera berserakan
walau
kami tahu
bahwa
mantera ditakuti gagak-gagak
dan
akan buat langit kami
kembali
cerlang
Kami
benci mantera-mantera
kami
benci semua yang bukan datang
dari
kelenjar dan darah kami
sebab
kami tahu
kekuatan
yang dalam tanggapan
adalah
jua kelemahan
Tidak
kawan
kami
akan tantang pertarungan ini
tanpa
sikap dan gita kepahlawanan
sebab
kami tahu
pahlawan
berkehunian
bukan
di bumi ini.
Kami
tiada berani ramalkan
kesudahan
dari pertarungan ini
kebenaran
bukan lagi dalam
ramal,
tenung ataupun renung
Tapi
andaikata
lembah kami
menjadi
lembah dari gagak-gagak
dan
belulang kami mereka jadikan
bagian
dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di
sini telah rebah
manusia-manusia
yang tiada akan
memikul
tanda-tanda tanya lagi
Tapi
andaikata
gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan
haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o,
kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan
sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil
menatap kerinduan ke udara kosong
dan
membacakan mantera-mantera ...
Pun
tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda
kami yang lari ke kota
mencari
kegemuruhan dalam menunggui kelengangan
sebab
kami
mengibai semua mereka
yang
tiada tahu dengan diri
pada
kesampaian di tiap perbatasan
Inilah
langkah pertama kami
kepenginjakan
suatu bumi baru
di
mana kami bukan lagi tapal
dari
kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah
kelampauan dan keakanan!
Inilah
tarikan-nafas kami yang pertama
dalam
penghirupan udara di suatu jagat baru
di
mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan
lagi terletak dalam
ramal,
tenung ataupun renung
tapi:
dalam
kesegaran dan keserta-mertaan!
Aku
tiada dapat katakan
apakah
pergimu pada fajar atau senja
aku
hanya tahu
kau
pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!
Surabaya, 29 Januari 1953
Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany
Jasodiningrat)
Bertengger
atas risau lembayung
Bintang
tak tahu
Ke
mana pijar hendak dipenjar
(Siang
telah reguk segala warna
Bahkan
kelam
Tak
lagi bagi malam)
Dan
pada pelangi
(Yang
hanya di siang)
Tak
ada berwakil
Warna bintang jatuh
Tentang Iwan Simatupang
Iwan Simatupang lahir di Sibolga,
Sumatera Utara pada 18 Januari 1928 dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun
1949 pernah menjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara, tahun 1950-1953
bekerja sebagai guru di Surabaya. Tahun 1977 Iwan Simatupang menerima Hadiah
Sastra ASEAN. Dramanya: Bulan Bujur
Sangkar (1957), Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang di Taman (1966) dan Cactus dan Kemerdekaan (1969). Novelnya:
Merahnya merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Cerpen-cerpennya dibukukan oleh Dami N. Toda dengan
judul Tegak Lurus denga Langit
(1982).
Catatan Lain
Menurut catatan Dami N. Toda, 30 sajak dalam
kumpulan pusi ini dibagi dalam 3 masa penulisan: Pertama, masa di Surabaya,
1952-1954, sebanyak 20 sajak yang terpublikasikan, Kedua, Masa di Belanda,
(1955-1957), ada 4 sajak yang tak terpublikasikan namun tersimpan di PDS H.B.
Jassin, dan Ketiga, masa di Jakarta yaitu setelah penulisan novel pertama
Ziarah (1960), terdiri dari 3 sajak tak terpublikasikan dan 3 sajak yang pernah
dipublikasikan di harian gotong royong.
Tulis
Dami, “Bayang-bayang pilihan kata penyair besar Chairil Anwar memang sangat
terasa dalam usaha jumpalitan sajak-sajak iwan...”. Dami juga mencatat bahwa
puluhan sajak Iwan menerjang diksi yang
terkadang tak ada di kamus persajakan kecuali dengan perkosaaan. Contoh
yang agak unik bisa dilihat dari kata: kepenginjakan,
berkehunian, tak berkelengangan, dst.
Oya, buku ini minjamnya di perpustakaan Provinsi Kalsel.
Oya, buku ini minjamnya di perpustakaan Provinsi Kalsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar