Jumat, 09 Maret 2012

Iwan Simatupang: ZIARAH MALAM


Data buku kumpulan puisi

Judul : Ziarah Malam, sajak-sajak 1952-1967
Penulis : Iwan Simatupang
Cetakan : I, 1993
Penerbit : PT. Grasindo, Jakarta.
Tebal : vi + 66 halaman (30 puisi)
ISBN : 979-553-269-3
Penyunting : Oyon Sofyan dan S. Samsoerizal Dar
Catatan penutup : Dami N. Toda

Beberapa pilihan puisi Iwan Simatupang dalam Ziarah Malam

Potret

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.

Kini dara sudah lama dalam biara.



Ballade Kucing dan Otolet

Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet

Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru

Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan

Bangke makin rata
Di aspal panas

Penumpang gigimas
Bercanda

Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan


Gemercik Gerimis di Retak Nisan

Pada satu kemarau berkepanjangan
Di kerajaan padang hanya padang
Bersabda baginda satu hari:

Dari semua degup dan warna berlalu
Satu harus utuh selalu:
Lembut dan putih dari domba

Rakyat gembala segera gali sumur
Peras air dari lumpur
Penyiram hijau padang-padang

Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Domba kian kurus kian haus

Pada suatu hari gembala terakhir meninggal
Di sumur-sumur tak setitik air pun tinggal
Baginda dan domba hanya di padang tandus kering

Kini baginda tukar singgasana dengan seruling
Domba demi domba beliau iring
Cari hijau cari penjuru

Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Akhirnya hanya baginda yang tinggal

Di satu subuh bercuaca sangsai
Sampai baginda di satu pantai
Tanpa domba tanpa mahkota

Berakhir kini kasih dari singgasana kekeringan
Pada mula dari satu kebasahan
Sedang kemarau kian gerah, kian gerah

Di pantai ada kini nisan dari gembala bangsawan
Yang dalam menunggui kemarau berkepanjangan
- Kian retak kian retak

Akhirnya mengguntur guruh satu senja
Bawa berita dari kemarau mencerah
- gerimis sehembus hanya jatuh

Di jauhan, segumpal mendung iseng berlalu...


Apa Kata Bintang di Laut
Cerita buat Bayu Suseno, bayi Bu Tono

Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut

Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian dan kegemuruhan
bersipongah dalam suatu kisah
tak berawal tak berakhir

Siap dekat siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala dan janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam

Ia panglima dari suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dari segala hantu
datu badai pengasuh pelangi

Ia berasal dari pegunungan
dari puncak mengabut selalu
- di mana jurang, tebing dan bukit
berkisah seharian dalam sepi menggelepar
tentang bayang mengejar sinar
tentang redup memagut cuaca

- di mana air terjun dari tinggi menjulang
menghempas diri dalam suatu hisak
tentang titik yang demi titik
tiada jemu cari butir perhentian

- di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari

Ah, ini semua ia telah tinggalkan
ketika ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:
“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia telah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis dan janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”

Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
- yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya

Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu

Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
- menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan

Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak

Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian


Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya

Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?

Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...

Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah

Dengan senyum –
Seribu-kiamat


Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang

Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu

Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh

Darah beku
Melati layu
Tapal sayu

Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri

Sunyi sunyi


Pengakuan

Aku ingin memberi pengakuan:

Bulan yang gerhana esok malam
telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:

esok adalah bulan purnama

Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961


Requiem
Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kami tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera ...

Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggui kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepenginjakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953


Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas risau lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar

(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh


Tentang Iwan Simatupang
Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari 1928 dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun 1949 pernah menjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara, tahun 1950-1953 bekerja sebagai guru di Surabaya. Tahun 1977 Iwan Simatupang menerima Hadiah Sastra ASEAN. Dramanya: Bulan Bujur Sangkar (1957), Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang di Taman (1966) dan Cactus dan Kemerdekaan (1969). Novelnya: Merahnya merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Cerpen-cerpennya dibukukan oleh Dami N. Toda dengan judul Tegak Lurus denga Langit (1982).

Catatan Lain
 Menurut catatan Dami N. Toda, 30 sajak dalam kumpulan pusi ini dibagi dalam 3 masa penulisan: Pertama, masa di Surabaya, 1952-1954, sebanyak 20 sajak yang terpublikasikan, Kedua, Masa di Belanda, (1955-1957), ada 4 sajak yang tak terpublikasikan namun tersimpan di PDS H.B. Jassin, dan Ketiga, masa di Jakarta yaitu setelah penulisan novel pertama Ziarah (1960), terdiri dari 3 sajak tak terpublikasikan dan 3 sajak yang pernah dipublikasikan di harian gotong royong.
            Tulis Dami, “Bayang-bayang pilihan kata penyair besar Chairil Anwar memang sangat terasa dalam usaha jumpalitan sajak-sajak iwan...”. Dami juga mencatat bahwa puluhan sajak Iwan menerjang diksi yang terkadang tak ada di kamus persajakan kecuali dengan perkosaaan. Contoh yang agak unik bisa dilihat dari kata: kepenginjakan, berkehunian, tak berkelengangan, dst.
              Oya, buku ini minjamnya di perpustakaan Provinsi Kalsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar