Data buku kumpulan puisi
Judul : Coret yang tidak Perlu
Penulis : Hans Magnus Enzensberger
Cetakan :
I, 2010
Penerbit :
Horison, Jakarta.
Dukungan dana : Goethe-Institut Jakarta dan
Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta.
Hak cipta terjemahan : Agus R. Sarjono dan
Berthold Damshauser
Tebal :
x + 164 halaman (40 puisi dwi-bahasa, Jerman-Indonesia)
ISBN :
978-979-19813-1-6
Rancang sampul
dan isi : Tugas Suprianto
Sumber foto sampul: www.aphelis.net
Beberapa pilihan puisi Hans Magnus Enzensberger dalam Coret yang tidak Perlu
Rondeau
Bicara itu gampang
Tapi kata-kata tak bisa dimakan
Maka buatlah roti
Membuat roti itu sulit
Maka jadilah tukang roti
Tapi roti tak bisa dihuni
Maka bangunlah rumah
Membangun rumah itu sulit
Maka jadilah tukang bangunan
Tapi di atas gunung tak bisa dibangun rumah
Maka pindahkanlah gunung
Memindahkan gunung itu sulit
Maka jadilah nabi
Tapi pikiran tak bisa didengar
Maka bicaralah
Bicara itu sulit
Maka jadilah engkau seperti kau adanya
dan teruslah bergumam sendirian,
wahai makhluk tak berguna.
Rondeau: bentuk puisi abad
pertengahan, di mana larik tertentu diulang-ulang pada masing-masing bait.
Kelebihan Istriku
Kelebihan istriku kelewat banyak
untuk selembar kertas A 4
Ia adalah makhluk multisel dengan rambut
gemerisik,
yang malam hari, bila ia tidur, berbiak dengan
anggun.
Tiap helai rambutnya kugemari. Ia dikaruniai
bagian-bagian empuk. Bila cuping hidungnya
sedikit bergetar, aku tahu: ia sedang
berpikir.
Betapa sering ia berpikir, dan betapa tak
semena-mena ia hidup!
Aku tahu, ia pandai meleletkan lidah,
pandai main kaki. Bila tertawa atau marah,
pada mulutnya tampak kerutan baru
yang kusukai. Ia tak seluruhnya putih,
ia memiliki beberapa warna. Tarikan nafasnya
pun banyak jumlahnya, belum lagi
aneka jiwa di dadanya.
Aku heran, bahwa di sini,
tempat kebetulan aku berada, kerap ia ada.
Riset tentang Motivasi
Sayang aku tak punya pilihan lain selain
membunuh kalian,
karena kalian menolak bicara bahasa Bask
karena bank memblokir kartu kredit saya
karena Papa
karena tak tahan memandang perempuan tak bercadar
karena keki sama orang kaya
demi
menyenangkan Tuhan Maha Pengasih
karena kalian tak memberiku uang untuk suntikan berikutnya
karena kalian tak cukup Katolik/terlalu Katolik
karena tersinggung
karena Mama
karena kalian selalu menatapku dengan aneh
karena dalam ujian aku salah conteng dan tidak lulus
karena mendapat bisikan-bisikan gaib
karena sudah begitu. Begitu saja.
Terima kasih atas pengertian kalian.
(Conteng pilihan anda sebelum berbuat!)
Kunjungan
Ketika kumendongak dari kertasku yang kosong
sang malaikat telah hadir di kamar
Sesosok malaikat yang serba biasa,
kemungkinan besar dari kasta sudra.
Anda tak bisa bayangkan,
ucapnya, betapa Anda tak ada pentingnya.
Satu saja dari lima belas ribu nuansa
warna biru, katanya,
lebih masuk hitungan bagi dunia
dari segala yang Anda perbuat atau tak
perbuat,
belum lagi kita bicara tentang belerang
atau galaksi Magellan
Bahkan cocor bebek, betapapun sederhananya
meninggalkan rumpang, sedang Anda tidak.
Pada cerlang matanya kulihat, ia mengharap
sanggahan, pergulatan panjang.
Aku diam saja. Aku menunggu,
hingga ia menghilang, bisu.
Tentang Sulitnya Penataran
Ulang
Sungguh menakjubkan
segala agenda raksasa ini:
Zaman keemasan
Kerajaan Tuhan di bumi
sirnanya negara.
Meyakinkan memang.
Andai saja orang-orang itu tak ada!
Senantiasa dan di mana saja mereka pengganggu.
Bikin kacau semua rencana.
Ketika manusia akan dimerdekakan
mereka tergesa ke salon
Bukannya berbaris mengekor sang perintis
mereka malah bilang: Duh enaknya kalau ada bir
Bukannya berjuang demi cita luhur mulia
mereka giat mengurus encok dan jerawat
Saat-saat kritis dan menentukan
mereka justru cari tempat jajan atau warung
rokok
Tepat menjelang Seribu Tahun Yang Jaya
mereka sibuk mengurus popok
Orang-orang itu selalu bikin gagal semuanya.
Mereka tak bisa dipegang dan diandalkan
Sekarung kutu jauh lebih mudah ditata.
Keplinplanan borjuis kecil!
Konsumtif dungu!
Sisa produk lama!
Tak gampang membunuh mereka semua!
Tak gampang pula menatarnya siang malam!
Coba kalau orang-orang itu tak ada
semua pasti berbeda.
Coba kalau orang-orang itu tak ada
semua bakal beres segera
Coba kalau orang-orang itu tak ada
Coba
(Maka di sini aku pun tak perlu bikin repot
lagi.)
Middle Class Blues
Kami baik-baik saja.
Kami sibuk.
Kami kenyang.
Kami makan.
Rumput tumbuh,
Produk sosial,
Kuku jari,
Masa lalu.
Jalanan kosong
Kontrak-kontrak sudah beres.
Sirene-sirene membisu.
Semua bakal berlalu.
Kaum almarhum sudah siapkan surat wasiat.
Hujan sudah berkurang
Perang belum dinyatakan
Itu tak perlu buru-buru.
Kami lahap rumput.
Kami lahap produk sosial.
Kami lahap kuku jari.
Kami lahap masa lalu.
Kami punya tiada yang perlu dirahasiakan
Kami punya tiada yang perlu dianggap
kehilangan.
Kami punya tiada yang perlu dikatakan.
Kami punya.
Jam sudah diputar.
Semuanya sduah tertata.
Piring-piring sudah dicuci.
Bis terakhir sudah lewat.
Kosong pula.
Kami baik-baik saja.
Apa lagi yang kami nantikan?
Si Malang Kassandra
Cuma dia yang tahu apa yang bakal terjadi,
dia cuma: semua itu, katanya,
bakal berakhir dengan buruk. Tentu saja
tak seorang pun yang percaya.
Memang kejadiannya sudah sangat lama. Tapi
sejak itu
semuanya bilang begitu. Lihat saja
kurs saham, kemacetan,
dan warta berita malam. Masalahnya adalah
apakah arti “semua itu”, dan kapan?
Sampai saatnya tiba tentu tak ada yang percaya
apa yang dicemaskan semua orang.
Lihat saja mobil-mobil baru,
tempat-tempat hiburan, dan iklan jodoh.
Kassandra: tokoh perempuan
dalam mitologi Yunani. Kassandra peramal yang tidak dipercayai siapa pun.
Sedangkan ramalannya selalu menjadi kenyataan.
Creditur
Ketiadaan mutlak saja
sudah gawat rasanya.
Membuat mulas
kaum metafisikawan.
Menemukan nol
tak seperti memetik bunga.
Apalagi ketika
seorang India sembarangan
kejatuhan ide
bahwa sesuatu bisa kurang dari tiada.
Kontan orang Yunani mogok.
Para pakar ketuhanan pun
merasa canggung dengan ide itu.
Tipuan setan, ucap mereka,
bisikan iblis.
Inikah angka-angka alami,
pekik skeptiswan-skeptiswati,
minus satu, minus satu milyar?
Hanya dia yang berduit,
dan jumlahnya segelintir saja,
yang sama sekali tak pernah gentar:
Hutang dan potongan pajak,
pembukuan ganda.
Dunia binasa oleh bunga.
Aritmetika – lumbung mereka.
Kita semua berkredit,
kata para banker.
Cuma soal kepercayaan
Sejak itu, ia makin membesar saja
yakni ia yang kurang dari tiada.
Creditur, bahasa latin;
bentuk pasif dari kata kerja credere yang artinya percaya. Istilah kredit
(pinjaman) berasal dari kata latin itu.
Perkabungan atas Apel
Di sini dulu apel terbaring
Di sini dulu meja
Itu dulu rumah
Itu dulu kota
Di sini tanah istirah
Apel itu
adalah bumi
sebuah planet elok
tempat apel-apel dulu ada
juga para pemakannya.
Tentang Hans Magnus
Enzensberger
Hans Magnus
Enzensberger lahir di Kaufbeuren, kota kecil di Jerman Selatan pada 11 November
1929. ketika Magnus berumur 9 tahun, perang dunia II meletus, kota Nurnberg
yang ditinggalinya sejak 1931 mulai dibom sekutu tahun 1942. selesai perang
Jerman hancur total. Paska perang ia pernah menjadi pedagang di pasar gelap dan
penerjemah bagi tentara Inggris yang sedang menduduki Jerman. Pada tahun 1955
ia meraih gelar doktor dengan menulis disertasi bertemakan puitika penyair
romantis Jerman Clemen Brentano (1778-1842). Sejak awal tahun enampuluhan
Enzenberger mulai aktif di bidang politik. Kumpulan puisinya al: Verteidigung der wolfe (Pembelaan Serigala; 1957), Landessprache (Bahasa Nasional; 1960),
yang mengukuhnya nama harumnya sebagai “penyair politis” dan “penyair kiri”, Blindenschrift (Huruf Braille; 1964), Mausoleum. 37 Balladen aus der Geschichte
des Fortschritts (Mausoleum. 37 Balada dari Sejarah Kemajuan; 1975), Die Furie des Verschwindes (Dewa Sang
Kehilangan;1980), Zukunftsmusik
(Cita-cita Masa Depan; 1991), Kiosk. Neue
Gedichte (Kios. Sajak-sajak baru;
1995), Leichter als Luft. Moralische
Gedichte (Lebih Ringan daripada Udara. Sajak-sajak Moral; 1999), Die Geschichte der Wolken. 99 Meditationen
(Sejarah Awan. 99 Meditasi; 2003) dan kira-kira 30 buku non-puisi (novel,
cerpen, esai, dan sebagainya).
Catatan
Lain
Buku yang saya
pinjam dari Hajri ini diantarkan oleh penerjemahnya, masing-masing satu
tulisan. Berthold Damshauser menulis Enzensberger:
Penyair dan Cendekiawan, sedang Agus R. Sarjono menulis Setan Ironi antara Kanan dan Kiri.
Dikatakan Agus R. Sarjono, dengan melalui perdebatan tentunya, Enzensberger
dapat dianggap sebagai penyair terbesar Jerman saat ini. Tulisnya lagi: “Selain
kiprahnya alam dunia sastra dapat dibilang unik, ia juga menunjukkan minat yang
beragam dan pergulatan intelektual yang cukup habis-habisan mulai dari sisi
kiri hingga kecewa dan meragukan pandangan-pandangan kiri sampai bergeser ke
kanan dan tetap senantiasa kritis pada segala yang kanan.
Agus juga menjuluki Enzensberger
sebagai “si setan ironi” karena hampir seluruh karyanya dicahayai nada ironi
bahkan bernada sarkastik. Julukan setan ironi sebenarnya plesetan dari buku
anak yang ditulis Enzensberger, yang populer dan juga telah beredar di
Indonesia dengan judul Setan Angka.
Sebuah buku yang mencoba mengakrabkan anak dengan 2 hal yang menakutkan mereka
yaitu setan dan matematika.
Di
akhir tulisannya, Agus sebagai pribadi mengucapkan terima kasih kepada rekan
editor dan penerjemah seri puisi Jerman, Berthold Damshauser, yang dikatakan
memiliki dedikasi tinggi sehingga
menerjemahkan puisi-puisi Jerman yang hebat itu sering kali hingga menjelang
pagi. Pujian sebaliknya juga dilakukan Berthold Damshauser terhadap Agus.
Katanya, “Penerjemahan puisi Enzensberger ternyata tidak sesulit penerjemahan
Goethe atau Celan, tetapi merupakan tantangan juga, khususnya mengenai upaya
menjelmakan humor subtil perpuisian Enzensberger pada terjemahan Indonesia.
Tantangan itu dapat diatasi berkat kongenialitas Agus R. Sarjono yang - seperti Enzensberger – mahir berhumor dan
berironi, seperti telah dibuktikan dalam karya-karyanya sendiri. Dapat dikatakan
bahwa pada proses penerjemahan itu telah terjadi pertemuan dua maestro humor:
Enzensberger dan Agus R. Sarjono.”
Maka
demikianlah, saya pun mengamini apa ujaran penerbit Horison, bahwa apa yang
diupayakan dengan tekun oleh editor dan penerjemah tidak saja memperkaya
apresiasi tapi juga sekaligus membuka dialog seluas-luasnya dengan budaya
Jerman khususnya, dan Barat umumnya. Karena, kata penerbit lagi, untuk mengenal
suatu bangsa, cara terbaik adalah membaca dunia batin dan renungannya, yakni
karya-karya sastranya. Entahlah.
anda kok keren yaa.. hehe
BalasHapus