Data buku kumpulan puisi
Judul : Perahu Berlayar Sampai Bintang
Penulis : Cecep Syamsul Hari
Cetakan :
I, 2009
Penerbit : Kiblat Buku Utama, Bandung.
Tebal :
87 halaman (50 puisi)
Gambar kulit muka : lukisan karya Salim,
“Dongeng Timur” (1996) dari buku Salim Pelukis Indonesia di Paris (Ajip Rosidi,
Pustaka Jaya, Jakarta 2003)
Beberapa pilihan puisi Cecep Syamsul Hari dalam Perahu Berlayar Sampai Bintang
Nawang Wulan
Dua puluh tahun kemudian
Nawang Wulan terlihat keluar dari keriuhan
Carrefour, mendorong kereta belanjaan
dan menuntun seorang anak umur sepuluh tahunan
Di depan kasa
dikeluarkannya kartu Visa
Rambutnya pendek sekali sekarang
dicat warna biru, hijau dan pirang
Tubuh yang dulu berhias sayap sepasang
telah berubah menjadi pertunjukan lemak 90
kilogram
Ia terlihat sangat riang dan dewasa
tambun dan mempesona
Seperti lukisan Lady Cajica
dalam kanvas Fernando Botero
Dulu aku Jaka Tarub lajang
si pencuri selendang
yang didera cinta
tak terampunkan
Nawang, kebahagiaan macam apa yang telah
mengubahmu
dari dewi pencinta menjadi dewi kesuburan?
2005
Sandal Jerami
Seseorang menimang sepi kesedihanku
Seseorang bermata cerah tidur di hatiku
Luka melahirkan luka,
diam dan angin tumpah di tudung meja.
Mengapa pertemuan singkat
selalu mengandung kutukan?
Aku menahan nafas,
melihat masa lalu dari pusat jendela.
Busa kopi seperti kapas, tali sepatu terlepas.
Berhentilah memandangku:
kau sedang membunuhku.
Sepasang cangkir dan lengan kursi
menulis puisi
Bercakaplah sesuatu yang bersahaja.
Tentang wajahmu yang bercahaya
setiap kali teringat rumah dan udara senja.
Selamat tinggal. Sandal jerami di beranda yang
jauh
telah menyihirku menjadi kupu-kupu.
Kau memungut sapu tangan,
lembab dan ungu. Di seberang impian.
Selamat tinggal. Akan kukirim kisah-kisah
genji
dan lampion redup dalam amplop tertutup.
Seseorang bermata cerah melambaikan tangan
sehabis menyentuh daguku.
2000-2003
La Noche de la Muerte
-- dari kanvas Herry
Dim
Dengan tubuh tua yang liat
Di batas pintu dan usia
Dia mengenalkan diri
Mencari nama dan alamat
Pada malam yang linang
Di bawah degup hujan
Dia duduk berteduh
Secangkir kopi usai kuseduh
Minumlah,
Tuan yang menggigil
wajah Anda
sepucat Yesus
Tetapi bagai ajal yang bimbang
Waktu cuma menangguh keluh
Seperti roti basi atau bisul di paha kiri
Seperti tahun dengan satu musim
Akan kuselesaikan baris terakhir
Puisi yang mengancamku bertahun-tahun
Aku lupa isi kepalaku
Talah lama menukarnya dengan sebutir melon
Ngomong-ngomong,
apa Tuan
kenal Kerberus?
Tentu saja tidak
Anjing dengan tiga sungut
Dan buntut seekor naga
Kita percaya hanya jika kita pernah melihatnya
Di masa remaja, seorang dara berdada kencang
Sering memberiku sirup dan kecupan
Kudengar ada yang melihatnya pergi
Bersama pria berkulit pasi
Tuan,
apakah Anda yang menculiknya?
dia tak
pernah kembali
Di malam yang matang
Di bawah ricik hujan
Kopi menjadi dingin
Seperti perawan enggan disentuh
Aku pernah mendengar kisah
Lelaki berjanggut yang menolak maut
Senang sekali jika di seberang impian
Dapat bercakap-cakap dengannya
Tuan,
nama dan alamat yang Anda cari,
namaku dan
rumah ini
2000-2003
Di Pasar Seni
Pada sebuah siang yang membara
Sekelompok pekerja pulang ke bahasa Jawa
Mereka mengeluhkan rupiah yang melemah
Patroli polisi dan tanah rantau yang mesti diakali
Paspor yang ditahan dan sisa ringgit di pundi-pundi
Kenapa bis murah ke Kajang
tak kunjung datang?
Jangan bicara cinta dengan kami
Itu cuma milik puisi
Jangan suruh kami pergi ke kedutaan Indonesia
Mereka bukan milik kaum pekerja
Jangan ingatkan kami akan larangan-larangan
Di negeri yang melarang berlaku sumbang
Kenapa bis murah ke Kajang
tak kunjung datang?
Tetapi hidup tidak hanya kisah kekerasan
Atau pameran lukisan kesedihan
Hidup juga janji kemakmuran di garis Utopia
Dan kami datang untuk mengejarnya
Pada sebuah siang yang membara
Sekelompok pekerja pulang ke bahasa Jawa
Di dalam bis tiga ringgit ke Kajang
Aku pun pulang entah kepada apa
Entah kepada siapa
Selangor, 2008
Daun Mersawa
Di tepi pagi
Hujan beranjak pergi
Pohon bungor ditimang sepi
Ikan-ikan koi di sudut kolam
Seperti sekumpulan pertapa
Masih kudengar suara serangga
Kutemukan silam wajahmu
Pada sehelai daun mersawa
Jauh di dasar jiwa
Selangor, 2007
Di Studio Husin
Husin menafsirkan muasal manusia pada abstraksi lingkaran
Digelapkannya langit dengan warna dosa pertama
Di sebuah pantai Adam pun terdampar
Dalam redup senja
Ada telah menjadi tiada
Kekal telah menjadi fana
Setelah seratus tahun taubatan nasuha
Di Jabal Rahmah Adam menemukan Hawa
Air mata sepasang pencinta
Mengubah butiran-butiran pasir menjadi lautan permata
Bagaimana mungkin satu gigitan khuldi
Menentukan nasib seluruh umat manusia?
Husin menafsirkan suratan manusia pada abstraksi lingkaran
Kini dibiarkannya sebuah bidang putih hilang
dalam sinaran
Selangor, 2008
Jeju
Ribuan lampu di jauh senja
Seperti kota cahaya
Di pantai Iho
Lelaki-lelaki tua dalam temaram senja
Melempar pancing ke laut dangkal
Buih ombak disergap bebatuan
Duduk di kafe Fantasia
Dengan secangkir teh hitam
Pagar kayu seperti usia tua
Para kekasih datang dan pergi
Bersama angin dan percakapan
Denting nampan menyergap kenangan
Jam berhenti
Suara tiada
Kau entah di mana
Di pantai Iho
Ribuan lampu di jauh senja
Seperti kota cahaya
Jeju-do, 2006
Sagan-dong
Di depan stasiun Anguk, exit nomor satu
Aku menunggu
Aku ingin menyerahkan seluruh siangku
Pada hari Sabtu itu kepadamu
Kau terlambat setengah jam
Dari waktu yang kita berdua rencanakan
Dan aku yang biasanya benci menunggu
Mengalah pada tekanan kesabaranku.
Di depan stasiun anguk, exit nomor satu
Pada pukul sebelas tiga puluh
Kau muncul seperti seorang model
Dari sebuah edisi majalah musim panas.
“Maaf terlambat. Aku terlalu banyak minum.
Seusai latihan tadi malam,” katamu.
Kita pun berjalan menuju Les Trejours
Mencari sandwich dan sepotong roti.
“Aku yakin kau tak sempat sarapan.
Di kafe itu, hanya ada minuman ringan,”
kataku.
Ketika sampai di Sagan-dong
Wajahmu terlihat cerah.
Berhadapan dengan istana Gyeongbok-gung
Sebuah kafe dibangun di bawah tanah
Trotoar panas dan menyala
Dan sepi sebuah pintu menunggu tamu.
Aku ingin menyerahkan seluruh siangku
Pada hari Sabtu itu kepadamu
Seperti kau menyerahkan dirimu
Pada peran yang akan kau mainkan
Di sebuah teater kecil di Hyewa
Dalam sebuah drama berbahasa Korea.
Dalam perjalanan pulang
Kita lewati mulut Insa-dong begitu saja.
Di sebuah sudut, sejumlah seniman jalanan
Menyebarkan aroma bawang dan shoju.
Jalan itu selalu mengingatkanku pada riuh
Malioboro, ketika malam tiba.
Di depan stasiun Anguk, exit nomor enam
Tentu, senja belum lagi tiba.
Ketika kau melambaikan tangan
Dan memberiku senyum perpisahan.
Telah kuserahkan seluruh siangku
Pada hari Sabtu itu kepadamu.
Seoul, 2006
Mengantar Sarawut Pulang
Ia pendiam seperti dua kawanku asal Thailand
Di Korea Selatan dua tahun silam
Di depan laptop Mac hampir setiap malam
Ia duduk di ruang depan rumah tamu Rimbun Dahan
Ia pantang alkohol dan seorang vegetarian
Sering aku seduhkan untuknya
Secangkir kopi atau teh pahit saja
Sebab ia menjauhi gula
Sebagaimana ia menghindari wanita
Ia pengikut setia jalan Budha
Sehari sebelum pulang kami bicara tiga jam lamanya
Berkali-kali ia mengeluh soal imigrasi dan visa
“I’m unhappy in this country,” ia berkata
Ke Pudu Raya hari itu kami mengantarnya pulang
Mencari bis jurusan Penang
Selangor, 2008
Di Makam Amir Hamzah
Di bawah kubah masjid Azizi
Perawan berhijab elok sekali
Masa silam kawan abadi
Kau setia menimang sunyi
Senyum perawan cantik rupawan
Langit Langkat mengandung awan
Di lengkung pusara para sultan
Pujangga besar dikurung rumputan
Langit Langkat ditikai gerimis
Burung gereja mencari sarang
Di ujung utara nisan gerigis
Aku tenggelam mengenang Tuan
Burung gereja basah sayapnya
Pedagang keliling khusuk shalatnya
Mencinta mendendam tiada usainya
Kudengar suaramu duka seluruhnya
Si pedagang membaca doa
Penjaga kubur menunggu derma
Pohon kamboja di ujung sana
Jadilah batas sorga dan dunia
Penjaga kubur kerabat sultan
Modin masjid sepanjang zaman
Lembut kau ulurkan tangan
Hatiku semesta kemurungan
Modin ramah mengantar pulang
Daun sehelai dalam sepatu
Pertemuan ini selalu akan kukenang
Kekasih yang rindu direnggut waktu
Daun sehelai fatihah setangkai
Cahaya senja menuju laut
Dua penyair di hujan rinai
Akan bertemu di seberang maut
2000
Tentang Cecep Syamsul Hari
Cecep
Syamsul Hari (CSH) lahir di Bandung, Jawa
Barat, pada 1 Mei, 1967. Buku-buku puisinya yang telah dipulikasikan: Kenang-kenangan/Remembrance
(1996), Efrosina/Euphrosyne (2002, 2005), 21 Love Poems: Bilingual
Edition (2006), Two Seasons: Korea in Poems Bilingual Edition (2007).
Ia juga menulis novel Soska (..),
cerita pendek, dan esai. Karya-karya dipublikasikan pula pada sejumlah jurnal
dan antologi, antara lain: Heat Literary International (Sydney, Australia,
1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with
Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need
Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press,
2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn,
Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, di antaranya: Para Pemabuk
dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja
(selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation
of Bukhari’s hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected
short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia menyunting Kisah-kisah
Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison
Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq
Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A
Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes,
2004). Saat ini, ia adalah redaktur majalah sastra Horison yang berdiri di
Jakarta, Indonesia, sejak 1966.
Catatan
Lain
Buku puisi Perahu Berlayar Sampai Bintang terbagi atas 3 bagian, yaitu Perahu Berlayar Sampai Bintang (18
puisi), Dua Musim (14 puisi), dan Rimbun Dahan (18 puisi). Rimbun Dahan berisi sepilihan puisi yang
ia tulis selama masa dua bulan tinggal sebagai poet in residence (8
Desember 2007 - Januari 27, 2008) di Rimbun Dahan Arts Residency, Selangor,
Malaysia. Dua Musim pun sepertinya
begitu juga, yang ini sewaktu tinggal Korea Selatan tahun 2006. CSH antara
Maret-Juni 2009 juga menetap di Hongaria, sebagai writer in residence (dibuku itu ditulis masih sebagai rencana).
Buku
ini saya beli lewat Indrian Koto, pada 23 Juni 2011, harganya Rp. 20.000,-
.
Oya, saya pernah
berkesempatan ketemu dengan penyair ini sewaktu di Purnabudaya, Yogyakarta.
Saya lupa kapan itu, yang jelas saat itu saya masih mahasiswa, jadi sekitar
1999 sd 2003 rentang waktunya. Waktu itu ada seorang yang berpakaian necis,
baju masuk ke dalam, bersepatu, yang duduk paling belakang, tepat di samping
saya. Rasanya ia bertanya sepatah, dan saya jawab juga sepatah, atau ia tak
berkata apapun, hanya ingatan saya saja yang buruk. Ternyata ia menjadi
pembicara kedua, yang agak telat datangnya. Pembicara pertama bicara cerpen,
nah yang baru datang ini membicarakan puisi. Saya tak kenal orang ini dan agak
kaget ketika namanya diperkenalkan dan ia dipanggil ke depan. Oh. Belum pernah
sekalipun saya mendengar nama Cecep Syamsul Hari sampai saat itu. Bahkan saya
pun belum juga membaca puisinya, sampai bukunya saya beli Juni 2011. Bertahun-tahun
saya hanya kenal nama tanpa puisi. Hehehe.
Oya, saat di Purnabudaya itu ia
menulis dan membicarakan ini: Surealisme
dan Puisi yang Bersahaja: Pengalaman Membaca Puisi Joko Pinurno dan Landung
Simatupang. Tulis CSH: “Saya selalu tersiksa sekaligus tercucikan ketika
membaca puisi siapa pun yang membetot saya masuk ke dalam dirinya, rahasianya,
dunia maknanya, wacana estetiknya, tanpa ampun. Sudah sejak lama saya berusaha
membebaskan diri saya dari pengalaman furgatoris itu, dan hasilnya saya bahkan tidak
dapat membebaskan diri saya sama sekali. Begitupun ketika saya membaca
(kembali) karya-karya dua penyair Indonesia, Joko Pinurbo dan Landung
Simatupang, di sebuah kamar kerja di Cimahi, kota tentara dengan banyak tangsi
dan sedikit puisi....” Nah begitulah.
buatin puisi yg berjudul perahu donk
BalasHapuskayaknya ga ada yang judulnya perahu. Dah bolak-balik daftar isi.
Hapus