Data buku kumpulan puisi
Judul : Dalam Sajak
Penulis : Sitor Situmorang
Cetakan :
II, 1982 (Cet. I, Bandung, 1955)
Penerbit :
PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal :
69 halaman (47 puisi)
Gambar muka : Yus Rusamsi
Beberapa pilihan puisi Sitor Situmorang dalam Dalam Sajak
Lagu Gadis Itali
Buat Silvana Maccari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
Senja di Desa
Buat Bakri + Banda
Senja di desa-desa
Antara kampung-kampung
dan matahari dijunjung
gadis-gadis remaja:
Periuk bundar-bundar
tanah liat terbakar
tempaan tukang tua
matahari senja.
Antara sumber air
dan gerbang perkampungan
terlena jalan pasir
pulang dari pancuran ...
gadis-gadis remaja
Bulan di kepalanya.
Jalan Batu ke Danau
Lewat Tarutung dan Siantar
ada dua jalan baru
menuju danau
Aku tahu
Lewat Tarutung dan Siantar
ada dua jalan batu
menuju kau
Aku tahu
Dari Taruntung dan Siantar
ada dua jalan rantau
ke pangkuanmu
Aku lalu
Dari Taruntung dan Siantar
ada dua jalan rindu
Teringat kau
Aku tak
tahu
Si Anak Hilang
Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu
Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu
Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
- Laki-laki layak menahan hati -
Anak duduk disuruh bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya?
Sudah beristri sudah beranak?
Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya?
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapa sudah lama mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
Paul Eluard
- Besar penyair karena duka -
Hatinya pemberontakan
Senyumnya kedamaian
Saudara bersaudara
Manusia serat kasih
Singgah sehari putih
Merpati terbang lalu
Sesudah itu salju
Paris-La-Nuit
Malaikatku, malaikatku
Turun menyelimuti senja
kebosanan
Menggeliat dalam beribu lampu
lusuh
Duka yang melapuk pada dinding hati
menjadi ragi
anggur nafsu
hingga darah bening
dan berlagu
Malaikatku, malaikatku
Dari asap pembiusan iseng
Menguap ia di malam tipis
Melepas dari kelabu rumah-rumah kota mati
musim rontok
Warna musim mengalun dalam angin jatuh
berbisik: Anak dulu sudah jadi gadis.
Angin, menyapu daun serta meluluh
bayang ingin jalan,
Lincah menggigil dalam tangis.
Kabut iseng kotaku
Terbalut dalam duka perawan keputihan salju,
kala bangun: hanya malaikat tak kenal dosa
Malaikatku
terbalut tilam sutera malam dosa
pada hati binatang kota belantara.
Harimau piaraan di buah dada,
isengku mendendam pada genitmu,
Menatap dalam hutan malam candu
Khayal serigala ingin yang kulepas
berbiak dan meraung dalam mulut godamu
Memuntahkan benih keisengan baru
pada mulut yang mengutuk puas.
Tawa jahanam di buas bibirnya menyelinap
Malaikatku
Lalu jejak di ambang malam berderap
Tanda hari baru bangkit: telanjang subur
Dari jurang pelaminan kubur
Cahaya dari awan kelesuan mati:
di wajah paginya rambut terurai kubelai
Lalu bangun di tengah hari perutnya
Memuntahkan dan menjilat lagi benih
keisenganku
Condition
Kami telah berharap dengan kehangatan tunas di musim
hujan, dan bila kami kecewa seperti anak, tidak pun karena kebohongan lagi,
hanya karena ketiadakamanan kata, perumus ingin berhubungan dalam balutan
pengertian. Juga perpisahan tiada lagi menyedihkan sejak mati sendiri tak
mematikan rindu, ya, rindulah nafas yang menguap dari segala yang kami belai
atau hancurkan, sejak kami melepaskan hak merasa asing di pembuangan,sejak
pembuangan itu saja Yang merasakan raut senja dan fajar benda yang dilupakan
dan memberati diri....
Jakarta
Buat Sumantri
Diriku rawa
Panas membatu di putih dinding
Semua punya arti, manusia dan malaria
Pantai
Pada F.P. Thomassen
Ibu, telah kulihat pantai
Telah kulihat laut pandai berkata-kata
Telah kulihat kapal enggan berlayar
Serta matahari bersinar
Ibu, telah kulihat tubuh gadis mandi
Jangan kau lagi berkata
Kau mau beranak
Telah kulihat pantai pasir
Membujur dalam diri
Putih sekali
Mimpinya
I
Pada segala surat menanti nama
Pada segala surat dinanti nama
II
Pada segala air terpasang layar
Pada segala air terkulai layar
III
Pada segala mata menanti cahaya
Pada segala mata dinanti cahaya
Matinya Juara Tinju
Telah berlaku pula
Hukum dewata
Janganlah beri nama
Ia mati apa
Dengarlah ceritanya
Cerita orang tua-tua
Kusampaikan pada pembaca
Di seluruh negeri terkenal ia juara
Juara yang selalu menang
Dan orang mengalah saja
Mendengar segala ceritanya
Tiada yang berani
Tiada yang mau
Membantah kata-katanya
Di kedai-kedai
Ketika minum tuak garang
Selain juara ia pemburu pula
Kalau bukan rusa, babi hutanlah mangsanya
Mana juara, pula pemburu
Pandai menari
Membuat ukiran indah sekali
Serta memetik kecapi...
Ia suka mabuk
Dan bila ia mengutuk
Tak ada yang tak kena
Tapi dari segala mangsa
Istrinya yang paling menderita
Dua anak dilahirkannya
Satu laki, satu perempuan
Satu pun tak ada kesukaan bapaknya
Berkata orang: “Mana ‘kan pula
Anak lahir, bapak di penjudian.”
Tiba saat anak laki dikawinkan
Hal itu dirundingkan
Si anak: Aku terlalu muda.
Si bapak: Kawin sesukamu, asal jangan yang
buta
Si ibu: Kawinlah, Nak, baik ada teman
Si gadis diam
Tak sepatah pun keluar
Hatinya terbelah antara ibu penyabar
Dan si bapak yang kejam.
Akhirnya jadi juga
Dengan gadis pilihan ibunya
Dan si bapak mendongkol sejak mula
Hanya karena bukan pilihannya
Tahun berganti tahun, juara semakin tua,
Anak gadis dewasa, tapi tak juga kawin.
Pula menantu tak memenuhi ingin
Cucu ditunggu tak datang-datang juga.
“Mana hanya satu anak laki
Menantu pilihan ladang mati
Mampus kau semua.”
Demikian kutuk juara
Di hari-hari kalah judi
Si anak laki tak peduli
Putuskan pergi merantau
Berkata pada ibu tersedu:
“Tak akan aku pulang, jangan ditunggu
Atau bapak harus mati.”
Tinggallah ibu
Bersama anak gadis
Tak ada yang meminang, takut bapak bengis
Yang kini hanya berburu
Lupakan judi
Dan ingat anak yang pergi
Lama ditunggu
Datang kabar dari jauh
Menantu mati di rantau
Dari kerongkongan ibu lepas keluh:
“Demikianlah nasib
Kelahiran yang kasip
Ditinggalkan yang hidup
Ditinggalkan yang mati.”
Lalu ia menanti
Di bayang-bayang bulan redup
Mereka hidup berdua kini
Juara lama telah pergi
Kawin lagi
Harapkan anak lelaki
Sebelum mati
Tak ada yang kembali
Juara dapat anak tiga
Tak ada laki-laki
Dan pada suatu hari
Ia merasa tua
Datu berkata:
“Adakan pesta
Doakan rahmat dewata
Undang istri pertama
Tapi anak terutama.”
Juara dengan hati berat
Kirimkan surat
Minta datang anak dan istri
Lalu ia menanti
Pesuruh pulang
Bawa berita bertentangan
Anak datang, anak tak datang
Hati juara dirundung kesangsian
Mungkin datang, mungkin tidak
Dan supaya lupa
Ia pergi berburu
Di hari anak ditunggu
Mungkin datang, mungkin tidak
Ia berburu di lereng gunung
Di luar kampung
Sepanjang hari
Ia menanti
Menjelang malam hari
Di kampung tiba anak-istri
Juara tak tahu
Asyik berburu
Di malam hari ia digotong
Dada berlumur darah
Berkata orang: “Tak dapat lagi ditolong
Ajal menuntut sudah.”
Lalu dibaringkan di tengah rumah
Dekat anak dan istri
Lama dinanti
Lalu mati
Kembali sudah, kembali juara
Juara pulang dari berburu rusa...
Tentang Sitor Situmorang
Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Tapanuli, tanggal 21 Oktober 1924. Bekerja sebagai
wartawan, menulis esai, kritik, sajak dan cerita pendek. Namanya makin mahsyur
fsebagai penyair setelah pulang dari Eropa tahun 1953. Kumpulan puisinya: Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah tak Bernama (1956), Zaman
Baru (1962), Dinding Waktu
(1976), Peta perjalanan (1977).
Kumpulan cerpen: Pertempuran dan Salju di
Paris (1956), Pangeran (1963),
dan Danau Toba (1981). Kumpulan
drama: Jalan Mutiara (1954).
Catatan
Lain
Dalam Sajak terbagi dalam empat
bagian, yaitu Angin Danau (10 sajak),
Dari Benua Lain dan Persahabatan (4
sajak), Bunga Sepi (29 sajak), dan Kemarau Hijau (4 sajak). Di buku-buku
sekolahan zaman saya dulu, Sitor hanya sekali dua muncul terutama lewat puisi Lagu Gadis Itali. Bertahun-tahun hanya
puisi itu saja yang menjadi penanda dari Sitor Situmorang di kepala saya. Saya
teringat beberapa waktu lalu, Saut Situmorang sempat mencak-mencak karena ada
yang mengelirukan dia sebagai Sitor Situmorang. Whaha...entah ini lucu atau
tidak. Dalam Sajak, merupakan koleksi
perpustarda Prov. Kalsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar