Data buku kumpulan puisi
Judul : Keroncong Motinggo
Penulis : Subagio Sastrowardojo
Cetakan :
I, 1975
Penerbit :
PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Tebal :
116 halaman (58 puisi)
Gambar muka : Popo Iskandar
“sebab aku suka kepada cahaya/yang mekar sebagai bunga/dan membakar
seluruh kota//api, bikin aku muda”
(Sajak Ilham, Subagio Sastrowardojo)
Beberapa pilihan puisi Subagio
Sastrowardojo dalam Keroncong
Motinggo
Kejatuhan
Di daerah mimpi
nyawaku berdiri sebagai pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya
Perempuan yang telah kehilangan selera:
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangun aku tersentak
menyaksikan diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?
Nuh
Kadang-kadang
di tengah keramaian pesta
atau waktu sendiri berjalan di gurun
terdengar debur laut
menghempas karang
Aku tahu pasti
sehabis mengembara
dan bercengkerama di kota
aku akan kembali ke pantai
memenuhi janji
Sekali ini tidak akan ada pelarian
atau perlawanan
Kapal terakhir terdampar di pasir
Aku akan menyerah diam
waktu air membenam
Menara
Setiap pagi
membuka sorga
dan anak-anak mengulang lagi bahasa
yang terlupa malam hari
Itu sebelum tiba kutuk
yang memisah arti
dari kata
dan percakapan tak mungkin lagi
Sebelum musnah menara kesadaran
terbakar api senja
Menyusul kemudian penantian
semalaman
kepada pagi
Sayap Patah
sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
--
meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
Jika Hari Rembang Petang
Jika hari rembang petang
tidak berarti permainan bakal selesai
dan boleh tinggalkan gelanggang
hanya peranan bertukar
dari pemain di dalam
menjadi penonton di luar
kita lantas memasuki ruang penuh cahaya
dan melihat bayang
terlempar di layar
kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk
hari sudah tinggi
kau tak berbenah?
di bawah bayang senja
setiap barang nampak indah
muka-muka yang lelah
berbinar di redup sinar
di antara kita berdua, kekasih
siapa dulu akan terkapar?
Proklamasi
Ketapang yang bercumbuan dengan musim
menjatuhkan daunnya di halaman candi
Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh
di muka gerbang berukiran huruf lam
yang dijaga orang kidal
L’education
Sentimentale
untuk mempelajari
warna
aku kembali kepada
bunga
di musim tumbuh –
merah, kuning, ungu –
dan hijau
dari rumput
di sela hitam tanah
untuk kilau cahaya aku
belajar
dari sinar mata dan
perang rambut
seperti emas, dan
putih
ah, dari langit yang
telanjang
atau dari tubuhmu yang
kukasih
atau dari maut
semua putih
aku kumbang yang
melayang
demi gairah menuntut
dan sanggup hidup
sehari
Kayon
pohon purba
- di tengah hutan merah tua -
tahu akan makna dunia
maka diam
tak bicara
Belukar
terlepas dari napas
pertama
aku terlempar ke
padang sepi
anjing liar tersekat
di belukar
bernasib mengembara
tiada henti
dirundung rindu
kugoreskan napsu ke
perut bumi
– aku sungguh tak
nyeleweng dari janji –
berkubang dalam lumpur
dan tahi
masih maukah kau
menerimaku kembali
apa sempat kau
memberiku mimpi
Pertiwi
ia rebah di lembah pagi:
paha putih menjulurkan ketela
lengan manis beruas tebu
dan jari tangan mengalirkan bulir padi
pemburu, apa yang kautunggu!
rambut rindang melindungi kelapa
gading – buah dadanya
tanpa ayal kutempuh semak belukar
menyambut daging ilahi
di belah gapura kuhirup madu abadi
Pasrah
Demi malam yang ramah
aku berjanji akan menyerah
kepada angin
yang menyisir tepi hari
Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring
Yang membuat aku takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening
Genesis
pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak
jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan
dan kaki dua
ketika dihembusnya
napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
– aku cinta – kata
pembuat boneka
baru itu ia
mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan
itu abadi
ketika habis terbakar
lilin
lihat, api itu terus
menyala
Pagi
tepat pukul lima
pagi
jagat mengental
malam yang menyeruak
menumpahkan noda di sutera langit
diriku yang terbakar dekat dinding
kehabisan arus berahi
dan kau juga
rambutmu yang terkait di sela jari
tidak lagi membersitkan selera
nasibmu terhela di ranjang tua
siapa sempat bicara tentang dosa:
telah terhenti suara lantang di taman firdausi
suara lelaki yang tak mungkin berulang lagi
Adam
Karena terkutuk
manusia pertama yang
terdampar di pantai
matanya buta
Dinding mega memagari
cakrawala
Dunianya adalah
kekosongan tanpa makna
Waktu ditanya dari
mana ia berasal
dan mengapa bintang
berlayangan di langit
ia hanya menggeleng
tak mengerti
Wawancara
I
Di balik cinta yang hilang, Tuhan
terus menusuk duri kenangan
sehingga terkelupas kulit nyawaku
dan darahku telanjang
menjerit
dari rongga rindu paling kelam
II
Apatah yang lebih hitam
dari bayanganmu
yang tercapak di sudut tembok
di mana tumbang jembangan bunga
Atau di papan pintu tua
yang kuketuk tapi tak ada yang membuka
Hatimu terlalu baik, Tuhan
dan membiarkan bayangan hitam
mengikut langkahku sendirian
lalu mencekikku di lorong lengang
III
Mataku rabun
(karena terlalu banyak membaca)
sulit lagi percaya
di mana kau berada
Di hari hampa
masihkah kau di situ, berjaga?
Telah kututup buku di meja
dan dadaku sudah penuh dengan napasmu
Tuhan, akan kembali kau bersabda?
IV
Sebelum mereka bangun
aku telah selesai mendirikan rumah
dari pasir di pantai
O, betapa indahnya berbaring
membayangkan kuda putih
dan kapal layar di mega
Parak siang menurut rencana
aku akan berlomba di lapang bola
dan main perang dengan kayu dan api
pura-pura tertembak dan menangkup mati
Terpelanting ke alam kanak
aku sering berpaling ke dini hari
saat sebelum mimpi siang ini terjadi
Sebab aku sebenarnya tidak berbeda
dengan kau, Tuhan:
Hadirku di sini lebih dulu dari bapa
dan nyawaku purba tidak pernah jadi tua
V
Hatiku putih kini
karena kalis dari dosa
Dapatkah kau kubujuk
dan minta kau bicara?
Telah kulecut tubuhku
dengan siksa penyesalan
sehingga remuk dagingku
dan tinggal hanya rindu kepada suaramu
Tetapi mukamu tetap diam
seperti kertas kosong
tak beraksara
Haruskan aku mabuk lagi oleh kata
dan berceloteh tanpa makna?
Tuhan, aku tak sabar menanti berita kalam
langsung terbit dari sumber ilham
VI
Di bagian musim ini
mendung di pantai
mendatangkan resah
di hati dan dinding rumah
Dan kau, Tuhan, berlaku sebagai tamu asing
gelisah keluar-masuk
melintasi lantai pintu
Mengapa tidak singgah di laut batinku
dan memancarkan rahmatmu dari sana
dari hening lubuk
yang tak pernah goncang oleh badai
di mana kau bisa betah
Ilham
di bukit siguntang
– di puncaknya pernah kuciptakan bulan –
bintang berburuan
angin yang kucinta
mengucup pelupuk mata
– dinginnya menusuk,
tajam
seperti duri embun –
apa tidak baik
mendirikan dinding
dari puing mega
dan menjaga
supaya api menyala
sebab aku suka kepada
cahaya
yang mekar sebagai
bunga
dan membakar seluruh
kota
api, bikin aku muda
sebentar lagi bakal
pagi
terasa pada selera
lidah
dan gelitik kaki
segera ke lembah aku
lari
Dalang
Pulang dari seberang
pantai
lidahnya seperti kelu
dan ia tidak sedia
memainkan lagi
bonekanya
Pondoknya tertutup
buat tamu
Rakyat yang
kebingungan
mendobrak pintunya dan
berteriak:
– Kisahkan lakon hidup
ini
dan terangkan apa
artinya!
Terbangun dari
keheningan
ia menulis sajak satu
kata
yang paling bagus
berbunyi: “Hong”
Tentang Subagio
Sastrowardojo
Subagio
Sastrowardojo lahir di Madiun, pada 1 Februari 1924. Karirnya di dunia seni
dimulai pada zaman revolusi dengan menyanyi dan melukis. Baru tahun limapuluhan
mulai menulis cerpen, sajak dan esai. Ia sempat memperdalam pengetahuannya
dalam bidang sastra dan teater di Yale University. Dan saat ini (maksudnya
sekitar tahun terbit buku ini, 1975), ia tinggal di Adelaide, Australia,
mengajar bahasa dan sastra Indonesia di sana. Kumpulan puisinya, Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Hari
dan Hara (...). Kumpulan cerpennya Kejantanan
di Sumbing (1965). Esainya Bakat Alam
dan Intelektualisme (1972).
Catatan
Lain
Keroncong Motinggo,
yang merupakan koleksi Perpustarda Prov. Kalsel ini, terdiri dari dua kumpulan
sajak, yaitu Keroncong Motinggo (15 sajak) dan Genesis (44 sajak), ditutup
dengan sebuah esai panjang dari penulisnya Mengapa
Saya Menulis Sajak. Antara lain Subagio menulis begini: Waktu muda saya
ingin menempuh jalan musik, tetapi kemudian saya merasa bahwa bunyi begitu
lemah menghadapi landa waktu. Bunyi begitu mudah menguap tanpa meninggalkan
kumandang di udara dan yang tinggal hanya lambang-lambang mati di atas kertas
musik. ... Kemudian saya berkecimpung selama beberapa waktu di dalam bidang
seni lukis. Tetapi saya rasakan seni ini sebagai seni bisu. Ia adalah seni
manusia tanpa lidah dan saya tidak puas dengan seni lukis, menurut perasaan
saya sarana lukisan tidak cukup lembut untuk mengucapkan gerak perasaan dan
pikiran. Di dalam lukisan, nyawa masih terus bergulat hendak mengucapkan diri
seakan-akan terkungkung dalam tubuh yang tak dianugrahi bahasa.
Kata Subagio lagi, tentang kenapa ia
memilih sastra, lebih khusus puisi karena ... “Di dalam kesusastraan pengalaman
estetik tidak hanya melibat saat-saat jasmaniah, penginderaan dan perasaan dari
kehidupan sebagai insan, tetapi bersangkutan juga dengan masalah-masalah,
pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan yang menjadi ciri khas
kehidupan manusiawi. Di dalam sastra kita mengucap dan terbayang sebagai
manusia yang penuh.” ...... Di dalam penulisan sajak keterpukauan saya pada
nilai-nilai keindahan yang kekal tidak saja merupakan desakan untuk menulis,
tetapi juga mempengaruhi pemilihan pokok karangan. Bermacam-macam tema yang mendasari
sajak-sajak saya, seperti tema kesepian, cinta jasmaniah atau nasib yang tak
menentu.
Lebih jauh Subagio berujar begini,
setelah mengutip sajak Kejatuhan dan Genesis: Seperti kentara pada
sajak-sajak ini, saya telah meminjam drama sajak dari Kitab Injil. Saya bukan
seorang Kristen, tetapi soalnya saya selalu merasa tertarik pada kisah-kisah
dari zaman-zaman kuno, dongeng dan hikayat lama, kitab-kitab suci. ... Mereka
berbicara dan berlaku sesuai dengan desakan yang sejati yang lurus datang dari
perasaan serta bayangan batinnya. Penyair menemukan pada tokoh-tokoh purba itu
jenis sesamanya yang lebih mula dan tua, yang seperti dia hendak menyaksikan
dunia dalam keperawanannya, sebelum diwarnai pandangannya oleh kategori dan
metode berpikir yang kini ada. Tokoh-tokoh purba itu dengan langsung menyentuh
hakikat yang ada.
Saya berkenalan dengan pertama kali
dengan Subagio Sastrowardojo sejak SMP (sekitar umur 13-15) lewat buku Daerah Perbatasan. Dan lebih dari yang
dapat saya sadari, puisi-puisinya membius dan mempengaruhi saya. Puluhan tahun
berlalu dan saya jarang lagi mendengar namanya atau puisinya
muncul/dibicarakan. Maka hari ini, saya menghadirkan lagi penyair kuat ini
dengan penuh perasaan nostagia.
Oya, di buku ini juga ada cap toko,
yaitu Toko Buku M. Joenoes, Kotak Pos No. 166, Bandjarmasin. Beberapa penyair
lama di Banjarmasin sering mengenang toko buku ini dengan nostagia.
It was very interesting for me to read that blog. Thanks the author for it. I like such topics and everything that is connected to them. I would like to read more soon.
BalasHapus1982 Pontiac 6000 AC Compressor
Thank you
BalasHapusTrimakasih, sangat membantu
BalasHapus