Data buku kumpulan puisi
Judul : Air Kata Kata
Penulis : Sindhunata
Cetakan :
II, Maret 2004 (Cet. I, Desember 2003)
Penerbit :
Galang Press dan Bayu Media, Yogyakarta.
Tebal :
xii + 196 halaman (71 puisi); 160 x 210 mm
ISBN :
979-9341-90-x
Ilustrasi cover : Agus Suwage
Desain grafis :
Ong Hari Wahyu
Beberapa pilihan puisi Sindhunata dalam Air Kata Kata
Wak
Duljangkep
Niatku mau nggendhong
menggendong rumahnya
Semar Boyong
Aku menabur dengan
dukacita
aku menuai dengan
sukacita
Niatku mau lelaku
Wak Duljangkep ngelmu-ku
Dul itu si Dul
artinya: jumendhul, lahir, muncul
Jangkep itu wejangan ganep
artinya jangkep: pas, tiada kurang, lengkap.
Aku tua, maka aku
dipanggil Wak Duljangkep
Duljangkep, artinya
lahirku, adaku, munculku
hanya untuk jangkep-jangkep
untuk melengkapi
dan pelengkap, agar semuanya pas.
Meski hanya hamba, tua, miskin tak berguna
tanpa aku hidup tidak akan pas, karena tidak
lengkap
Tanpa kau, hidup ini seperti
sambel tanpa terasi
sayur
tanpa garam
kopi tanpa gula
obor tanpa sumbu
pintu tanpa engsel
tumbu tanpa tutup
tuan tanpa hamba
pimpinan tanpa
rakyat
cinta tanpa nafsu
rahmat
tanpa dosa
Tuhan tanpa manusia
Aku hanyalah miskin dan hina
tapi tanpa
aku, semuanya takkan ada.
Aku
ini nyaris tiada, tapi ketiadaanku membuat ada.
Itulah aku, Wak Duljangkep.
Aku ini tiada yang membuat ada
maka aku ini tiada nyata yang membuat ada nyata
Akulah kesamaran yang ada di
balik semua kenyataan.
Kenyataan akan hilang tanpa
kesamarannya.
Maka sesungguhnya
nyata itu samar:
Samar itulah
kekurangan, kehinaan, kemiskinan
yang melengkapi
kesempurnaan, kemuliaan, kekayaan:
Samar
itulah Semar.
Wak
Duljangkep itulah Samar yang Semar.
Ilmuku Wak Duljangkep, artinya
Samarlah yang ingin kuajarkan
Semarlah yang ingin kunyatakan.
Langkahku Semar
yang tertawa
jalanku samar tiada
habisnya.
Semar kuning yang
menggiring
menggiring siapa?
menggiring badanku,
agar dilepaskan
dari kenyataanku,
jadi
samar dalam
kerohanianku.
Semar hitam yang
mengejar
mengejar siapa?
mengejar nafsuku,
agar disucikan
dari lumpur
keserakahanku, jadi
samar dalam rasa
pasrahku.
Semar merah yang
marah
marah terhadap
siapa?
terhadap budiku,
agar dibebaskan
dari pengetahuan
palsu, jadi
samar dalam
ketidaktahuanku.
Semar putih yang
membersihkan.
membersihkan apa?
membersihkan tinggihatiku,
agar direndahkan
aku dari
serbabisaku, jadi
samar dalam
keterbatasanku.
Ke utara, rupaku
kuning samar
Ke selatan, rupaku
hitam samar
Ke timur, rupakau
merah samar
Ke barat, rupaku
putih samar.
Ke mana-mana aku
tak dilihat orang
aku selamat karena
Semar
yang membuatku tak
dikenal.
Aku terlepas dari
keangkuhan:
Adaku hanyalah
untuk pas-pasan.
Hatiku tentram,
karena aku bisa pasrah
diriku hanya untuk
imbuh-imbuhan
njedhul-ku hanya untuk jangkep-jangkepan
Ternyata duljangkep adalah misteri
kerendahanhati yang
membuat hatiku tenang.
Kutemui Wak
Duljangkep
aku duduk dengannya
jagongan dan wedangan
dan aku disuruh
makan gula kacang
Saking asyiknya
omong-omongan
tak terasa hari
sudah malam
tiba-tiba Wak
Duljangkep menghilang
dan aku menjadi
kenyataan.
1999
Mata Air Ikan 3
Dari utara si nenek miskin
datang ikut memasang kicir
kicir anyaman benang angin
Nek, lama sudah kau pasang kicir
ikan-ikanmu lari terjerat cacing
Nak, kenapa kau terpancing
mencuri ikan dengan cacing
padahal kau pandai menyuling
telah lari ikan-ikanku
di bambu serulingmu.
Pergi ke pasar anak gembala
semua orang heran di sana
dia tawarkan ikan sambil menyuling
meski tak punya ikan hasil memancing
1982
Senja Kuning Pantai Ikan
Senja kuning pantai ikan
Terapung sampan anak nelayan
Didayung luka lautan
Sulingnya sedih merintih-rintih
Lengking gelepar napas-napas ikan
Senja kuning memanggil-manggil
Perempuan tua bergegas menggigil-gigil
Turun dari bukit berlubang
Dengan tenang rambut uban
Jala dilempar tanpa amarah lautan
Gemetar hati anak nelayan:
Sudah kaulempar jalamu berulang-ulang
Kenapa tak kaudapatkan ikan-ikan?
Ikanku mati jadi tangis sulingmu
Ibu, kuberikan ikanku padamu
Aku bukan ibumu
Ibumu dalam sulingmu
Terjerat dalam jalamu
Sampan anak nelayan
Jadi permadani wangi
Terbang bersayapkan angin harapan
Mengheningkan gemuruh
Pasar nelayan yang menawarkan
Hidup dengan ikan:
Nak, kenapa kaujual jalamu
Dan bukan ikan-ikanmu
Jalaku
dan bukan ikan-ikanku
adalah hatiku
kujual kegembiraanku
kujual kesedihanku
kujual kerinduanku
pada lautan
pada ikan-ikan
pada-Mu Tuhan
sebelum senjaku ditelan malam-Mu
sebelum pantaiku dihempas amarah pasang
gelombang-Mu
1994
Malam Katak-katak
Dari mana malam dibuat
dari anak
k a t a k - k a t a k
Suara
katak berhati hijau
di batu hati k a t a k – k a t a k parau.
Kena pelipis sayap belibis
perut tertawa dengan menangis
Menyanyilah hai kali
dengan air mata
berudu,
hati kami gembira
dengan rindu
burung tuhu.
Cenggaretnong mengerik-erik
berlubang awan mata cengkerik
Dari utara datang
angin kunang-kunang
Pucuk
belimbing pohon beringin
datang angin
membawa dingin
Dingin tak terasa di sungai-sungai
udara berenang-renang
damai.
Dari mana malam dibuat
dari hati anak-anak.
Bermain di hatiku malam anak-anak
kenapa fajar kau melompat-lompat
girang mrekah
dengan lembut k a t a k – k a t a k merah?
1995
Susu Semar
Semar itu bukan lelaki bukan wanita
namun seperti lelaki seperti wanita
Tersimpan dalam buah dadanya
susu penderitaan para wanita
Tak pernah Semar memikat wanita dengan senyum,
karena dalam dirinya penderitaan wanita
terkandung.
Sekarang Semar suka mesem,
Karena ia adalah Semar mendem.
1996
Mbah Merapi
Malam
gelap, malam yang hijau
hijau bulan, hijau dedaunan
hijau kuda-kuda
menderap turun ke
Alas Patuk
Mbah Merapi berpesta raja
sedang
hijau padang gembalaannya
angin
hijau dari dahan-dahan
menyingkap
kain Nyai Gandhung Mlati
kegelapan
di Alas Tutupan
terbangun
oleh birahi
hijau
di mana-mana
hijau
di hatiku juga.
1995
Rumah Pohon
Sekarang Kotir sudah senang
selesai sudah pengembaraan
ia pulang kandang
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.
Bersayapkan burung sriti
harum dengan minyak serimpi
Kotir pulang ke rumah pohon
pule hijau daunnya segar
Paro petang bulan purnama
teman-temannya datang
mandi di Sendang Bagong
meraba-raba paha tak kelihatan
paha-paha putih
anak-anak Nyai Gadhung Mlati
Kotir naik sapi gumarang
melihat seribu bintang
menelan penderitaannya
istana langit terbuka pintunya
merintik turun gerimis kemenyan
jatuh jadi mutiara-mutiara doa
di atap rumah pohonnya
Harum dengan wangi bidadari
teman-teman Kotir telanjang di sendang
mereka melihat senang
Kotir sudah pulang kandang
dan rumahnya sudah tenang.
Di malam seribu bulan
katak duka katak harapan
menabuh gamelan di Jalakan.
Kotir mendengar senang
di rumah pohon dukanya menghilang
mengerjap dalam harapan
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.
Rumah pohon di tepi Kali Boyong
batunya megah berantai emas
kalung lahar Eyang Merapi
Tiap hari Kotir mengais rezeki
pasir dihitungnya bagai butiran nasi.
Dari Pemancingan Seh Belu mampir
diberinya Kotir ilmu zikir pasir
Kali Boyong terus mengalir
nasi dari pasir tertanak dalam zikir Kotir
Kotir memandang pasir dengan mata Nabi Khidir:
samudera raya dengan segala aslinya
ternyata terkandung dalam sebutir pasir
Sebutir pasir adalah nasi
dalam sebutir pasir terkandung samudera
dalam sebutir pasir terkandung hidupnya
Kini dengan zikir pasir Kotir mengerti
apa arti: perahu yang memuat samudera raya.
Kotir menyesal, kenapa demikian lama
ia mesti mengembara mencari hidupnya
jika kekayaan hidupnya ada dan berada
dalam pasir yang tiap hari diinjak-injaknya?
Kotir tak lagi mencari hidupnya
ia sudah pulang ke rumah pohon
dan mendapati rumahnya sudah tenang
2003
Anak Bajang Menggiring Angin
Anak bajang
menggiring angin
naik kuda sapi liar
ke padang bunga
menggembalakan kerbau raksasa
lidi jantan sebatang
disapukan ke jagat raya
dikurasnya samudera
dengan tempurung bocor
di tangannya
di gelaran sayap garudayaksa
naik anak bajang
ke bukit hardacandra
janur gebang berayun-ayunan
anak bajang berarak-arakan
dalam iring-iringan panjang
para pencagakan dan kemamang
di belakang riang memanjang
barisan warudhoyong dan singabarong
dhenokongkrong dan dhadhungwinong
berkebit-kebit di ekor
anak-anak carubawor
paro petang bulan purnama
lelap tertidur anak bajang
dekat perapian kundakencana
dibelai gading gajahmeta
dan bisa permata nagaraja
dengan tikar daun runya
dari negeri atas angin
berhembus nafas
naga giyani dan mintuna
meniupkan samirana dukula
anak bajang terbang
hingga ke puncak mandira
menari-nari bersama kukila
di bawah perempuan menangis
melahirkan pedang
dari luka-luka kedukaan
sedih anak bajang bertanya
bunda kenapa
kaurobek kainmu dengan darah
sedang hendak merayap aku
di antara dua bukit-bukitmu?
gelap pun gulita
dengan empat nafsu cahaya
anak bajang menyalakan dian
teja darpasura
bumi bergoncang
dahana menyala
jaladri pecah
prahara melimbah-limbah
anak bajang dikejar dua manusia
senjatanya pedang emas
payung kencana
menghadang di sana raksasa
mulutnya berlumuran darah
ikan berbisa
anak bajang meronta-ronta
menolak susu wanita
yang menutup payung hitamnya
gemuruh malam kumbang
ular jantan di kiblatan
dipeluk petang jalanan catur denda
anak bajang lari menubruk sunya
langit mendung hujan bintang
matahari padam senyum bulan muram
kusuma terbang merebut singgasana awan
bidadari turun telanjang
di madu-madu buah dadanya
menyusu anak bajang
sekeras duka-dukanya
tangis dan sorak gambiralaya
lahir di saptapratala
dunia tua berusia bayi muda
1983
Suara Mesin Jahit
Sampai kini
mesin
jahit itu masih berbunyi
di
dalamnya tangis kita berdua tersembunyi
Kesedihan kita sudah lewat
mestinya hanya kegembiraan kita dapat
tapi
kenapa masih belum juga lunas
bayang-bayang hidup kita yang kandas
Tinuk, kenapa masih juga
suara mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
duka malam kita tiada lagi ada?
Bukan kesedihan dan
kepedihan
namun suka cita dan
kegembiraan
memaksa kita
kembali mendengar
derita kita yang
telah silam
Pulang dari penjara
tak ada yang kita
punya
hanya mesin jahit
itulah harta
dengannya kita
mencari nafkah
Kuteringat, malam
telah larut
tak jauh dariku
kaududuk
mengitik lubang
kancing
baju dan celana
jahitanku
Sementara anak-anak
tidur
kutanya kepada
malam
masihkah akan
kudapat nasi
buat anak-anakku
yang lapar?
Malam sedang terang
tak
juga bulan dan bintang
memberiku jawaban kapan berakhir
kegelisahanku setiap malam
jari-jarimulah, Tinuk, yang menjawabku
jari-jarimu tak lelah merapikan jahitan
hidupku
tanpa kautahu bagaimana mestinya
mengikat lagi benang-benangnya
Melihat jari-jarimu, Tinuk
tak kupeduli lagi berapa kali
jarum menusuk perih jari-jariku
makin kuat kakiku menjejak
memacu mesih jahitku memenuhi
nafkah kita bila esok tiba
Nasib memaksaku meninggalkan keindahan
tak bisa lagi aku melukiskan kehidupan
tinggal kutanggung bebannya
lalu kujahitkan semuanya dalam baju dan celana
tiap hari selalu sama, bentuk duka dan
deritanya
Tinuk, aku pencinta warna yang indah
namun kularang kaupakai pemerah
Kataku, kau sudah cantik
tanpa pemerah bibirpun kau tetap jelita
Sebenarnya
tak kularang kau menghias bibirmu
Aku hanya
khawatir, hari ini dapat kaubeli
pemerah
bibir itu,
namun belum
tentu lain hari kaumampu.
Sekali kauoleskan
pemerah bibir
dan kemudian pucat bibirmu
karena tak mampu kaubeli
lagi hiasan itu,
cantikmu akan hilang, Tinuk
aku tak mau itu terjadi
biarkanlah bibirmu tanpa pemerah apa-apa
Kini sejuta pemerah bibir dapat kaubeli
tapi keindahan itu sudah tak dapat lagi kita
nikmati
Dalam kelimpahan kita yang kini
bibirmu masih seperti yang dulu
ketika kaududuk mengitik
mendengarkan suara mesin jahitku
melagukan pucat duka-duka malamku.
Sekarang semuanya sudah kita punya
mengapa kini aku masih sering bermimpi
tiba-tiba aku tak punya apa-apa
aku dicekam rasa takut, jangan-jangan
tak bisa lagi anak-anak kita makan
persis seperti dulu
ketika tiap hari aku
harus bergulat
mengais rezeki
dengan mesin jahitku
Ketika terbangun
keringat dingin mengalir
Aku lega,
untung semua itu hanya mimpi
bukan kenyataan
seperti dulu lagi
Tinuk, sekarang semuanya
sudah kita punya
tapi mengapa anak-anak kita
suka berkata,
tak ada yang lebih
indah daripada
malam di mana kita
mendengar
mesin jahit ayah bersuara tak henti-hentinya
suara itu
adalah janji
esok pagi akan datang
rezeki
dan perut kita takkan lapar dalam sehari
Tinuk, kenapa masih juga
suara
mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
duka malam kita tiada lagi ada?
Mengapa, selalu
kembali dalam kenanganku
duka dan derita malam
hidupku?
mungkin, dulu derita
kita terlalu hebat
hingga harus selalu
meninggalkan bekas
namun, mungkin juga
di sana tersembunyi
dengan amat indah
cinta kita yang kini
tak dapat lagi kita
beli
dengan segala harta
yang kita miliki.
2003
Untuk peringatan perkawinan
yang ke-34: Djokopekik dan Ibu Tinuk.
Ularularan
Waktu
Ularularan waktu
Waktuku berjalan berularularan,
nasib hidupku
ulangmengulang
Harapan akan masa
depanku,
ditelan kekejaman
masa laluku.
Apa yang
menyelamatkanku kini,
hanyalah apa yang
menghancurkanku nanti,
dan semuanya tadi,
sudah kuketahui
di masa lalu sebelum
ini.
Dengan sepatu koyak,
aku mengejar
masa laluku yang
telah hilang.
Ternyata aku terbawa
terbang
ke langit tinggi
masa depan,
dan kembali aku
kehilangan
apa yang seharusnya
kudapatkan.
Hidupku menjadi
layang-layang,
benangnya putus, dan
aku terlempar.
Kini tak ingin aku
terbunuh lagi oleh
waktu.
Kugigit ekor
ularularannya, dan
masa laluku pun
mengucurkan darah
Kupatahkan
kepalanya, dan
terbebas aku dari
impian masa depannya.
Aku hidup dari
waktuku,
lega, kendati kini
berada aku
dalam gelap
kekinian,
aku berjalan dengan
perut ular
mengelengsargelengsar
tanpa kemajuan,
terhenti di masa
kini, di dunia ini.
Baru sekarang aku
rasakan
keabadian adalah
kekinian yang kekal
di dalamnya masa
laluku tertelan
dan masa depanku
terkandungkan
aku bahagia, di sini
dan sekarang
2000
Tentang Sindhunata
Sindhunata, atau lengkapnya Dr. Gabriel
Possenti Sindhunata, SJ, lahir di Kota Batu, Malang, pada 12 Mei 1952. Adalah
penanggung jawab/ pemimpin redaksi majalah BASIS Yogyakarta dan penulis tetap
di rubrik Tanda-Tanda Zaman. Tamat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta tahun 1980, menyelesaikan studi teologi di Institut Filsafat Teologi
Kentungan, Yogyakarta, tahun 1983 dan menyelesaikan program doktoral filsafat
di Philosophische Fakultat SJ
Munchen, Jerman pada 1986-1992. Ia lebih dikenal sebagai penulis features dan buku-buku ilmiah . Juga
menulis dalam bahasa Jawa.
Catatan
Lain
Di cover belakang buku
ditulis begini: “Buku Air Kata-kata
adalah upaya kata-kata Sindhunata tentang hal yang berupa-rupa: mulai dari yang
kasar sampai yang halus, mulai dari yang humor sampai yang serius, mulai dari
yang profan sampai religius.... Air Kata-kata tentang hal yang
berupa-rupa ini juga merupakan kata-kata berupa. Hampir setiap kata-katanya
disertai dengan karya rupa. Sindhunata memang dikenal sebagai pencerita
karya-karya seni rupa. Sekarang ganti dua puluh tiga perupa ikut merupakan
kata-katanya. Disain grafis buku ini pun dirancang untuk makin merupakan
kata-katanya. Karena itu Air Kata-kata
juga bisa dinikmati sebagai karya rupa yang berkata-kata.”
Ya, demikianlah, buku ini penuh
dengan karya para perupa. Dan kata-kata/baris/kalimat dalam buku ini didesain
secara berupa-rupa. Naik, turun, bergelombang, digeser-geser, dipanjangkan,
diberi ornamen, dibentuk, dibuat menjadi tiga dimensi, dsb. Untuk gambar,
setidaknya melibatkan banyak perupa, yaitu agus suwage, agus suyitno, alex
luthfi, arahmaiani, bambang toko, djokopekik, drs. hendro suseno, edi sunaryo,
eko nugroho, hari budiono, hermanu, ismanto, ivan sagita, nasirun, ong hari
wahyu, pande ketut taman, putu sutawijaya, sekar jatiningrum, sigit santosa,
sulasno, ugo untoro, yamyuli dwi iman, dan yuswantoro adi.
Untuk puisi, seperti dikatakan dalam
Patah Patah Kata, kata-kata bahasa
Indonesia kadang tidak cukup untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya,
maka munculnya bahasa ibunya, yaitu bahasa jawa. Ada yang seluruh puisi
berbahasa jawa, ada juga yang meminjang istilah saja, dan ini yang terbanyak.
Corak puisi Sindhunata, saya pikir, mengambil tema-tema kemanusiaan (humanis)
yang dibalut dengan filsafat Jawa. Namun diluar itu ada juga yang bicara religi
dengan teologi Kristen, beberapa ada yang memunculkan ajaran Budha, dan ada
usaha-usaha untuk berkunjung ke etnis tionghoa dengan puisi-puisi sekitar putri
cina. Namun yang terakhir ini, saya kira, masih dangkal dan tempelan saja.
Maksud saya, jika dibanding dengan corak puisi yang lain itu. Entahlah.
Buku koleksi Hajri ini dibelinya Rp.
33.000,- Tak percaya? Datanglah ke rumahnya dan cek di cover belakang buku ini
masih ada barcode harganya...Hehe
saya berada di Semarang. kalau mau beli bagaimana ?
BalasHapusSaya juga tak tahu buku ini dapat dibeli di mana saja sekarang. Saya pun cuma dapat pinjaman dari teman.
HapusMas, M. Nahdiansyah Abdi..
BalasHapusAku udah 1 bln ini cari Air Kata Kata di Jakarta dan Bandung memang susah skali dcari krna sprtinya dah ga dcetak lg..
Aku lg cari buat seseorang Mas..
Please mas, klo boleh aku beli yg mas punya..
Makasih perhatiannya, tapi buku yang ini memang bukan punya saya. Tapi milik seorang teman, Hajriansyah namanya. Telah lama saya balikin ke empunya.
HapusMas, kalo boleh aku minta no.tlp nya utk bicara langsung..
BalasHapusKirim ke emailku aja ya
Eka.pras90@gmail.com
Makasih ya sbelumnya
Yap, silakan buka email.
Hapussungguh menimbulkan keghairahan untuk mendalami sastera..
BalasHapusIya, makasih...
Hapuswaa, senangnya bisa baca puisi karya Sindhunata. saya punya bbrp buku beliau. saat ini belaiu masih aktif menulis artikel di majalah Basis.
BalasHapusYa, para pemikir dan budayawan, siapa pun itu, sudah selayaknya mendapat tempat di hati kita....
HapusPuluhan buku Sindunata yg layak koleksi. Malah saya senang novel dsn catatan budaya seperti Anak Bajang Menggiring Angin (1983) Semar mencari raga(1996) tak enteni keplokmu tanpa bunga dan telegram duka(2000) dan putri cina0(2007).puisi yg bagus Air kata kata(20033
BalasHapusDapt dari mana ya
Hapus