Jumat, 01 Februari 2013

Taufiq Ismail: SAJAK LADANG JAGUNG



Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Sajak Ladang Jagung

Penulis : Taufiq Ismail

Penerbit: Pustaka Jaya, Jakarta

Percetakan : PT. Bumi Restu, Jakarta

Cetakan : II, Januari  1975 (Cet. I. diterbitkan Budaja Djaja, Juni 1973)

Gambar jilid : A. Wakidjan

Tebal : 70 halaman (37 puisi)

 

Beberapa pilihan puisi Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung

 

Pantun Terang Bulan Di Midwest


Sebuah bulan sempurna 
Bersinar agak merah 
Lingkarannya di sana 
Awan menggaris bawah

Sungai Mississippi
Lebar dan keruh 
Bunyi-bunyi sepi 
Amat gemuruh

Ladang-ladang jagung 
Rawa-rawa dukana 
Serangga mendengung 
Sampaikah suara

Cuaca musim gugur 
Bukit membisu 
Asap yang hancur
Biru abu-abu

Danau yang di sana 
Seribu burung belibis 
Lereng pohon pina 
Angin pun gerimis

 

1971

 

 

Bunga Alang - Alang


Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang

Mengantar
Bisik cemara
Dalam getar

Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri

Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi

Sesudah topan
Membarut
Warna jingga

Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu

Di bawah bungur
Kaupungut
Bunga rindu

Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan

Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa

Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.

 

1963

 

 

Di Teluk Ikan Putih


Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya 
Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari 
Anak-anak camar bertebar atas arus melancar 
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina berduri

Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang 
Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja 
Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang 
Dan dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca

Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas 
Lewati perairan alim dengan pipinya dingin 
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan karang 
Ngenangkan musim mengandung belati dalam angin 
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun datang.

 

1957

 

 

Lagu Unggas Lagu Ikan


Katak rawa-rawa 
Menyanyi sendiri

Pii
Wii

Serangga pepohonan 
Daun bermerahan

Angsa menggelepar 
Dan berbunyi

Pii
Wii

Ikan danau jauh
Jerami yang luruh

Langit mengental 
Paya-paya kristal

Unggas sembunyi 
Hutan pun mati 
Bunyi yang sunyi

Pii
Wii

 

1971

 

 

Adakah Suara Cemara

     Ati

Adakah suara cemara 
Mendesing menderu padamu 
Adakah melintas sepintas 
Gemersik daunan lepas

Deretan bukit-bukit biru 
Menyeru lagu itu 
Gugusan mega 
Ialah hiasan kencana

Adakah suara cemara 
Mendesing menderu padamu 
Adakah lautan ladang jagung 
Mengombakkan suara itu.

 

1972

 

 

Taman Di Tengah Pulau Karang


Di tengah Manhattan menjelang musim gugur 
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan 
Engkau terlalu bersendiri dengan danau kecilmu 
Dan perlahan melepas hijau daunan

Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar 
Remah roti. Sementara itu berkelepak
Burung-burung merpati

Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang 
Merpati pun kaget beterbangan 
Suara mekanik dan racun rimba baja 
Menjajarkan pohon-pohon duka

Musim panas terengah melepas napas 
Pepohonan meratapinya dengan geletar ranting 
Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi 
Badai pun memutar daunan dalam kerucut 
Makin meninggi.

 

1963

 

 

Musim Gugur Telah Turun di Rusia


Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan sayap-nya yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru di langit tua dan biru gugur dan gugur melayang dan berbaur

Musim gugur telah turun di Rusia

Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengambang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma

Musim panas melayang di atas Rusia

Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin

Musim gugur telah turun di Rusia.

 

1970

 

 

Trem Berklenengan di Kota San Francisco


Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.

Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kauserahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.

Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan bangunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.

Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris, lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.

Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi” ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.

Amerika tidak menyanyi lagi.
Amerika mengerang.

Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya.


Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering.
Yang dikunyah lambat-lambat.

Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.

Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.

 

1972

 

 

Seorang Kuli Tua di Setasiun Yokohama


Seorang kuli tua di setasiun Yokohama 
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota 
Berdiri agak terbungkuk di depan peron 
Handuk kecil di lehernya

Beratus penumpang turun sepanjang ruangan 
Menari dalam kilau jendela kereta 
Ia pun menjamah koporku setelah menatapku 
Agak lama

Hari itu musim panas di bulan Agustus 
Udara sangat lembab dan angin tak bertiup 
Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang 
‘Aku dulu di Semarang’

Dengan hormat diucapkannya selamat jalan 
Ia pun kembali ke setasiun berbata-bata
Berkaus dan bersepatu putih 
Tiba-tiba wajahnya sangat tua

Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku 
Opsir Peta di Jatingaleh berlucut senjata 
Terbunuh dalam pertempuran lima hari
Dua belas tahun yang lalu

Hari itu musim panas di bulan Agustus 
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Seorang kuli di setasiun Yokohama 
Tiba-tiba wajahnya sangat tua.

 

1963

 

 

Pengkhianatan


Siapa lagi sekarang akan ditangkap. Menanti 
Mungkin sebentar lagi mereka akan datang mengetuk pintu 
Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib 
Di ambang waktu. Dengan berbagai tuduhan 
Barangkali agen mereka ada di antara kita 
Dengan pestol Browning di pinggang dalam 
Kita tak pernah pasti tahu 
Mengapa engkau pucat sekali? 
Intip cermin di atas lemari 
Di luar angin pepohonan damar masih berseru 
Atau jip-kah itu yang menderu? 
Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen dibakar 
Bersihkan sisa abu di lubang kloset 
Granat dan sten di dinding-papan 
Hapalkan nama-nama palsu kalian
Sudjono! Hentikan goyangan kakimu 
Merokoklah. Merokok di kolong kalau tak tahan 
Udara terlalu pekap di sini, dalam temaram 
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil 
Udara panas bergetah dengan bau ikan sardin 
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik gorden

Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong 
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi 
Dan menyumbat mulutku
Aku berontak, lepas dalam geliat liar 
Tapi badan mereka bagai sapi Bali 
Lenganku dikunci mereka ke punggung. Badanku 
Dibengkok-busurkan 
Keluh serak dari mulutku

‘Lepaskan dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’

Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang

‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling. Mereka diam aneh
Lenganku mula mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat kawan-kawan
Mataku merah dan liar serigala
Meneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku tersedu, tertengkurap di tengah kamar

Mereka semua diam. Sudjono mematikan rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. Mereka sudah tahu semuanya
Sebentar lagi mereka datang
Aku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’

Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah

Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi perintah 
Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan perunggu 
Perlahan yang lain berangkat satu-satu 
Setiap orang memerlukan menoleh padaku sebentar 
Di lantai, aku menekuri jubin sebelah meja 
Dan Momo yang akan menjalankan perintah komandan 
Berdiri dengan belatiku telanjang di tangan.

 

1963

 

 

Tentang Sersan Nurcholis


Seorang sersan 
Kakinya hilang 
Sepuluh tahun yang lalu

Setiap siang 
Terdengar siulnya 
Di bengkel arloji

Sekali datang 
Teman-temannya 
Sudah orang resmi

Dengan senyum ditolaknya 
Kartu-anggota 
Bekas pejuang

Sersan Nurcholis 
Kakinya hilang 
Di zaman revolusi

Setiap siang 
Terdengar siulnya 
Di bengkel arloji

1958


1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk


Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
Sudah Bebas Negeri Kita

Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’

1963


Tentang Taufiq Ismail

Dilahirkan di Bukittinggi (25 Juni 1937) dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963. Kumpulan Puisi al. Tirani, Benteng, Manifestasi (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Puisi-puisi Sepi (1970), Kota, Pelabuhan, Jagung, Angin dan Langit (1971), dan Malu Aku Jadi Orang Indonesia

 

Catatan Lain

Kumpulan Puisi Sajak Ladang Jagung terdiri dari 3 buku: Buku Pertama, berisi 7 puisi. Buku Kedua, berisi 11 puisi, dan Buku Ketiga, berisi 19 puisi. Puisi-puisi itu memiliki titimangsa 1956 (sajak Januari, 1949 dan Gerimis Putih) hingga 1972. Kalau boleh menilai, sajak-sajak dalam antologi ini banyak berbicara tentang lanskap. Juga ada beberapa sajak bertema perjuangan kemerdekaan. Barangkali, sajak yang paling saya suka dari kumpulan ini adalah Pengkhianatan, sebuah sajak mengiris yang berbicara pengkhianatan dari sudut pandang orang pertama. 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar