Data
Buku Kumpulan Puisi
Judul : Malam Cahaya
Lampion (hard cover)
Penulis : Tan Lioe Ie
Penerbit: PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2005
Tebal :xv + 106 halaman (63 puisi)
Penata aksara : Heppy L. Rais
Perancang sampul : R.E. Hartanto
ISBN : 979-3062-57-6
Beberapa pilihan puisi Tan Lioe Ie dalam Malam Cahaya Lampion
Burung Pematuk Biji Mata
Burung apa yang bertengger di kepalamu?
Sementara kau terus berdoa
sambil menghitung biji-biji tasbih
dari waktu yang batu.
Tiba-tiba terserap kau ke dalam pintu
Membuka dan menutup diri
Menjadi tua dan lapuk.
Aneh, meski keras kau guncangkan kepalamu
burung itu tak juga pergi
menunggu saat mematuk biji-biji matamu.
Lalu ruh angin datang
menerbangkan
ruhmu ke peniupnya
Dan kau pun tahu
Mata yang padam
Tak menyimpan cahaya
Hu
Sediakan tubuhmu
Dewa hendak masuk
Hirup berbatang asap dupa
Dengarkan mantra pelupa
Menari dan torehkan pedang sakti
Guratkan tuah aksara dari alam dewa-dewi
Jadilah Hu! Lidah darah dewa
Mengawal pintu-pintu
Bersama Sin Touw dan Ut Lui
Menangkal jurik, demit, setan pengganggu
Menangkal segala yang jahat
Tapi, iblis dalam diri
dapatkah
ditangkalnya?
Hu. Bunga bintang timur
Mengetuk pintu langit
Mengetuk pintu bumi
Mengawal pintu-pintu
Bersama Sin Touw dan Ut Lui
Tapi, masih ada yang masuk
Ke bilik-bilik rahasia
Mencuri sebagian diri anak-anak
Mencuri sebagian diri kita
Hu, tak menangkalnya
Sin Touw dan Ut Lui membiarkannya
Apa sifatnya?
Keterangan:
-
Hu : jimat penangkal “kekuatan” jahat
-
Sin Touw dan Ut Lui, adalah dua dewa pintu
Kupu-kupu Sampek Engtay
sungai mati, tak mengalir
di atasnya perahu melaju
Tubuh terkubur
Cinta tidak. Maka
retak nisan
Dan sepasang kupu-kupu
terbang
dari celahnya.
Tak angin, tak hujan dapat menghadang
Di daerah antara, ia hidup
Abad-abad terbang
yang disangga suka kita
Kita suka yang kita hindari. Jalan
samar yang tak hendak kita lalui.
Di daerah antara
risik daun berbisik:
“kupu-kupu
pertanda maut
kupu-kupu
pertanda tamu.”
Maut, tamu bersayap
Tak pernah lelah menerbangkan arwah.
Cing Bing
Sepasang kupu-kupu
menerbangkan
khayal alam
Sampek
Engtay
Benih yang ditanam
telah tumbuh
Berpijak di bumi
menggapai langit
Untuk Giam Lo Ong
dibelah semangka merah
Sebab tertulis di langit:
Belah
semangka merah
Tak
putus garis turunan
Di depan Bong Pai
Anak-cucu bertanya-tanya:
Santapan
tersaji
bagi lapar
ruh
atau lapar
daging?
Sepasang kupu-kupu mendekat
membaca tanya
berkata:
Santapan
kasih
bagi
ruh
bagi
daging
Sepasang mata uang
berwajah
beda
Sepasang kupu-kupu
terbang
ke sayap silam
Batang-batang lilin leleh
dari
cahaya ke cahaya
Ket:
-
Cing Bing, upacara bersih kubur
-
Giam Lo Ong, raja akhirat
-
Bong Pai, batu nisan
Puisi
Kantuk adalah kutuk
bagi mata
yang enggan pejam
Mata setajam mata elang
menyambar
segala
yang
jadi puisi
nafas penyair
di mana
kata-kata
menggeliat hidup
Bahkan setelah kau pejam
oleh kantuk
yang memberat
tak
tertahankan
masih saja kata-kata itu
menggeliat
menjadi
dirinya
menjadi
dirimu
Mata yang Tak Takut
Saat lelah
Langit leleh ke laut
Tubuh kebas
Menolak sentuh
Ikan-ikan menggigil
Seakan asing dari laut
Dan senja menebar kabut
Bagi mata yang tak takut
Anggur Langit
Kita abaikan
Singa bersayap
Yang bersemayam
Di atas cawan anggur
Bersulang kita bersulang
Melenggang kita di depan nasib
Jala yang terayun di udara
Diintai binatang pengerat
Bumi jadi perahu
Melaju ke bulan dan bintang
Yang menari
Seirama siul lembah
Dan nyanyian bunga-bunga
Begitu riang. Begitu riang
Kalian yang di remang senja
Di gelap malam
Mari ikut bersulang
Anggur ini dicurahkan langit
Untuk kita
Yang tak jemu meramu hidup
Telapak dengan sekawanan jari
Yang tak mengenal tikai
Singa bersayap jadi lumpuh taring
Oleh anggur langit ini
Begitu riang. Begitu riang kita
Serupa kanak-kanak
Kekasih Tuhan
Malaikat Biru Kota Hobart
Musim gugur mencopot daun-daun. Malaikat
biru yang tabah di segala musim
menyanyikan nina bobo bagi gunung
penjaga gerbang kota
Burung-burung laut, merpati-merpati
mendekat saat ditembangkannya ayat-ayat hidup
Maka keriangan bagi semua
Tapi siapa meratap di kejauhan? Malaikat-
malaikat baru telah lahir
dari legam tubuh hangus. Musim gugur
yang lain melekatkan daun telinganya ke pasir
Kau katakan ratap itu karena
bayang-bayang dalam diri tak sepatuh
bayang-bayang di luar diri
Bukan kawan. Bukan. Legam itu
sungguh bukan bayang-bayang
Terbanglah. Bacakan ayat-ayat hidup
bagi yang tenggelam oleh duka
Terbang dan lihatlah
orang-orang membakar separuh dirinya
menjadi separuh manusia
Sesaat gundah juga hatimu
menangkap deru angin yang tak kau kenal
dari musim gugur yang lain
Tapi sayapmu tak cukup kuat
untuk terbang jauh, katamu
Maka kembali kau nyanyikan
nina bobo dan ayat-ayat hidup
bagi gunung dan kotamu
Dan keriangan bagi semua
Malam Cahaya Lampion
Lampion. Tarian naga bersayap
di
tanah ini. Tanah hidupku
Tempat angin pertama menyentuh.
Matamukah setajam silet
mengulitiku.
Kesurupan
Atau mabukkah kau? Benamkan
kepalamu. Bayangkan
kita
dikuliti bumi
Dan semut-semut bersarang
di
liang mata
Tubuh tak kekal
Jiwa diterbangkan naga
di
malam cahaya lampion
di
waktu
tak terbaca telapak nasib.
Dewa Dapur Chao Kung
Rasa malu mengantar tubuh
Jadi abu. Maka dewa dapurlah ia
Bermata api bertubuh asap
Menyelinap di anglo dan panci
Bersiul teko, berdendang dandang
Mengendap-endap di antara lengkuas, jahe, cabai
Sepanjang tahun menyusun laporan rahasia
Tentang penghuni rumah berdapur
Bisa sepedas cabai, bisa segurih gulai
Bisa semanis gula, bisa sepahit pare
Bisa pula sejernih air atau segelap jelaga
24 Cap Ji Gwee, asap tubuhnya menjadi awan
Membumbung ke istana langit
Melapor kepada kaisar langit. Perempuan
Masih saja perempuan yang banyak dilaporkan
Lalu lelaki? Dan yang tak berumah, tak berdapur?
4 Cia Gwee, bersama angin barat
Menukik ia melintasi naga ekor api
Pilar penyangga langit
Kembali ke dapur-dapur
Menyusun laporan baru
Berkah bagi si baik, hukuman bagi si jahat
Tapi si busuk hati, penguasa tamak
Pandai berkelit
Tahta darah berlimpah harta
Mencuri lebih mahir dari tuyul
Banyak yang dikelabui
Pun Chao Kung
Musim berganti
Dapur beralih rupa
Chao Kung semakin uzur
Mata api meredup
Saatnya diganti dewa muda
Yang tak dapat dikelabui
Menjaga alasan memuja dewa
Dan berkah bagi si baik, hukuman bagi si jahat
Ket.
-
24 Cap Ji Gwee = tanggal 24 bulan 12 Imlek
-
4 Cia Gwee = tanggal 4 bulan 1 Imlek
Lagrima
Air mata siapa begitu merdu?
Berdenting lewat gitarmu
Air mata tak berkelamin
Dan kau tak percaya
Tangis tabu bagi lelaki
Maka kau lantunkan lewat gitar
Kau puja air mata
Karena keindahan
Dan untuk keindahan
Melacak jejak air mata
Kau temukan pemburu air mata
Menguras kering kantung air mata
Bukan karena keindahan
Bukan untuk keindahan
Kau lagukan pula hidup
Yang melodi dan irama
Bertambah cepat dalam accelerando
Melambat dalam ritardando
Mengeras lewat cresendo
Lalu sayup dan senyap
Air mata siapa berkilau indah?
Menutup lagumu.
Tentang Tan Lioe Ie
Tan Lioe Ie lahir di Denpasar, menamatkan SD hingga SMA di kota yang sama.
Pernah kuliah di fakultas teknik arsitektur Universitas Jakarta (tidak tamat).
Menyelesaikan studi S1 Manajemen di Universitas Udayana. Selain menulis puisi,
juga melakukan musikalisasi puisi, menulis cerpen dan artikel. Pernah aktif di
Sanggar Minum Kopi (SMK). Tahun 2003
mengikuti Tasmanian Reader dan Writer Festival, serta menjadi Writer in
Residence di Tasmania, Australia. Kumpulan puisinya yang lain adalah Kita
Bersaudara (diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Dr. Thomas Hunter Jr, We
Are All One)
Catatan Lain
Waktu saya bilang meminjam buku ini ke penyair Y.S. Agus Suseno, ia
menyebut dengan lirih nama Yoki, sebagai nama panggilan Tan Lioe Ie. Ia kemudian
bercerita pendek tentang Sanggar Minum Kopi, tempat ia dan penyait Ie mula
berinteraksi. Dalam pengantar yang dijuduli Puisi pun Memanggil, Tan
Lioe Ie menulis: “Tahun 1989. saya bertemu sekelompok anak muda dari Sanggar
Minum Kopi (SMK) di tempat tinggal penyair Frans Nadjira, meminta saya untuk
jadi juri lomba baca puisi yang akan mereka selenggarakan. Mulanya saya menolak
dengan mengatakan saya tak memiliki latar belakang sastra. Namun, mereka
mengatakan tak apa, karena mereka perlu juri pembanding dari “disiplin” lain.
Setelah juga diberanikan oleh Frans Nadjira, maka akhirnya saya menyanggupi
permintaan itu.// Pada saat lomba yang diikuti ratusan peserta, serta
menggunakan puisi-puisi pemenang lomba cipta puisi SMK yang diadakan
sebelumnya, selama sekitar tiga hari sampai babak final, saya berulang-ulang
mendengarkan puisi dibacakan peserta.// Saya pun memberikan penilaian yang
cukup banyak bersifat intuitif, namun ternyata hasil penilaian tersebut tak
berbeda banyak denga juri lain di lomba tersebut. Dan saya juga mulai merasakan
pesona puisi yang hadir lewat pembacaan peserta... semakin hari semakin
mendekatkan saya pada puisi. Pada akhir tahun itu juga puisi pun memanggil dan
saya mulai menulis puisi// sejak tahun itu saya kerap terlibat dalam kegiatan
SMK dan baru pada tahun 1991 bersama beberapa teman, antara lain: Putu Fajar
Arcana, Warih Wisatsana, memutuskan masuk sebagai anggota SMK...”
Tak kurang dari 80 penyair
diabsen dalam kata pengantar Tan Lioe Ie, sahabat-sahabatnya. Dua di antaranya
dari Kalsel, yaitu Y.S. Agus Suseno (disana ditulis Ys. Agus Seseno) dan
Ajamuddin Tifani (Alm.).
Oya, bagian ini juga
menarik dari pengantar itu, saya sepakati, Lioe Ie menulis: Yang menyenangkan
bagi saya dalam menulis puisi adalah ketika saya sebagai penyairnya pun kadang
dibuat “terkejut” oleh munculnya kata atau metafora yang sebelumnya tak
terduga. Ketakterdugaan ini, saya kira, di samping atmosfer kreatif yang saya
sebutkan di atas, juga ikut menjaga semangat untuk menggeluti puisi. Karena
tanpa itu, dalam arti, jika segalanya sudah terduga, maka menulis puisi rasanya
tak lagi menjadi tantangan kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar