Data
Buku Kumpulan Puisi
Judul : Ikan Terbang tak
Berkawan
Penulis : Warih Wisatsana
Cetakan : I, November
2003
Penerbit : Buku Kompas,
Jakarta
Tebal : x + 122 Halaman
(51 puisi)
ISBN : 979-709-102-3
Penyunting : Putu Fajar
Arcana
Ilustrasi Sampul : Wayan
Sumantra
Desain sampul : A. Novi
Rahmawanta
Ilustrasi isi : Putu
Sutawijaya
Penata letak : Irwan
Suhanda
Beberapa pilihan puisi
Warih Wisatsana dalam Ikan Terbang tak Berkawan
Kartu
Pos Sebuah Kota
bagi:
Jean Moulin
Sebuah kota, bayangkan, penuh payung hitam
Murung
dan muram
Setiap nama jalan kuhapal, tapi selalu sepatuku
sesat
di situ; selalu kapel tua di tikungan
bangku kayu bisu, juga apel membusuk perlahan
di
rumputan di tepi taman
Seolah dinujum mimpi, terjadi berulangkali di sini
Beribu
mil gigil di belahan bumi yang lain
Cuaca
dingin yang sungguh lain
Berulangkali, seorang ibu bersyal biru
dengan
anjing kelabu, bertanya padaku
Seperti pengungsi diinterogasi, tak boleh pergi;
Siapa namamu, dari negeri mana asalmu?
Seketika ingin kuputar undur jarum jam
Meninggalkan arang, puing malam,
kemah pesta kaum hitam di pinggir hutan.
Juga raung seram serigala yang geram
Menemukan bayang bulan separuh lebam
berdarah, tenggelam di lubuk yang dalam
Atau ingkar janji; menari liar hingga dini
bersama
seorang gadis gipsi
Di ruang bawah tanah, disaksikan sepasang
malaikat bisu, yang hangus tertembus peluru
Terpahat
lumut, lekat sepanjang dinding
Kekal jadi tawanan ingatan, jadi teka teki waktu
Tapi kota, bukankah mirip perangai cuaca, tak mau
tahu
Siapa yang sungguh bahagia, siapa yang nyata
sengsara?
Tak mau peduli; beribu mil aku gigil, tersekap di
sini
Bertahan melawan amuk topan, melawan ketakutan
jadi pengungsi tak bisa pergi, tak punya jalan
kembali
bahkan
hasrat untuk menyelamatkan diri.
Lalu di stasiun, salju bergegas menghapus jejakku
menghapus
sebagian ingatanku
Tak ada tiket di loket
hanya
jerit peluit
hanya
rasa sakit
Sisa bayang kenangan; sisa derit seperangkat alat
pencabut kuku, penyayat kulit, hingga rusuk remuk
serupa
serbuk
Di sebuah barak yang sesak, yang tak berjarak
dari setumpuk boneka kikuk, mainan riang
kanak-kanak
Dari tungku siksa masa lalu, saksi segala yang
dulu jadi abu
Bahkan saat itu kata kata hangus, terhapus panas
napas
Juga firman, asma tuhan, doa rahasia
yang
disamarkan luka di telapak tangan
musnah kini tinggal rangka, tinggal sayup gema
Kerling bening yang jenaka, bocah nakal yang
jenaka
Cuma
tersisa di akhir cerita pelipur lara; di mana
tiga penyihir terusir, tiga burung gagak terkutuk
sirna
Tiga peri kecil berambut ikal, bersayap terang
bintang
terbang
riang mengelilingi mahkota nasib kita.
Nyanyi mereka seolah titah tak terbantah; sekali
sentuh
jadilah:
Sunyi pun sekejap menjelma roti, getir di bibir
jadi anggur
wangi
Tapi
di luar dongeng, di kamp yang mencekam
mata bapak terbelalak mata ibu pilu, dihitung dan
digiring
Meniru langkah lelah prajurit yang kalah, pesakit
yang pasrah
ke sebuah
subuh yang ingin teduh
Ke suatu tempat, di mana kini aku sesat, tak
tercatat
Tak beralamat, percuma menunggu isyarat selamat
Sia-sia
pasrah tengadah ke langit
Bintang kudus hanya milik orang majusi
Bintang naasku sesaat lewat
terisak
di ufuk, ingin sekali beralih bentuk
Kekal jadi tawanan ingatan, selalu jadi teka teki
waktu.
1998 - 1999
Dalam
Siul Anak-anak
Kelak bila akhir kalimatku
membentuk sungai
Napas angin tercekik
bunga terisak
Seekor kupu menggelepar liar!
Yang manakah gerimis
yang manakah tangis?
Seekor kupu menggelepar
liar
di taman nasib masa
kanakku
Menyerap mimpi buruk
tak percaya langit
terbuka.
Dan seseorang menari dalam lamunan
Memanggil nama kecilku
di taman
Tempat di mana dulu
Tangga sorga sesaat kubayangkan
berayun di awan,
Dan sebuah gubuk mungil
perlahan menjelma di langit
Dalam siul anak-anak
Kelak bila nasib baik menjengukku
Datang menyamar serupa mawar
membisikkan jalan pulang
dan alamat ibuku
Maka maut bersiul dalam gelap
dalam siul anak-anakku
1987
Semenit
Lalu Apel Lepas Perlahan dari Tangan
kepada:
Arcana
Gampang terkelupas oleh
sengat panas
kulit tubuh ini tipis
mestinya bukan batas
selapis napas
Semenit lalu, ya semenit
lalu, seperti biasa
segelas bir tumpah tak
sengaja di atas meja
Setengah mabuk seolah
tengah khusuk berdoa
sepasang kekasih saling berbagi bisik
Di dinding remang menulis
pesan kenangan
seperti grafiti penuh arti
seakan ingin menjadi
kaligrafi penuh janji
bukan tubuh, melainkan
ruh yang ingin kusentuh
Ya, semenit lalu, semua
bahagia bertegur sapa
bertukar nama dan alamat
Dengan mata uang
dilontarkan bergiliran ke udara
sebagian tertawa menghitung peruntungan
Yang lain pura-pura
percaya nujuman masa depan.
Di lorong lengang seorang
perempuan sawo matang
mencuri ciuman di detik
indah yang tak terbayang
Di pantai ikan-ikan riang
mencuri cahaya
dari kerlip bintang-bintang
Dua lelaki tua dari dua
benua tak henti bercerita
mengenang nasib baik
mereka di perang dunia kedua.
Di tengah musik yang
gaduh, menahan keluh
semut-semut beriringan
mencari jalan pulang
di sela dupa yang letih menyala.
Seperti biasa, ya seperti
biasa, sopir taksi tidur
anjing pun lelap tidur, berbagi dengkur
Televisi tak mati mati
menayangkan gambar kabur
anak-anak yang mengerang,
yang kepalanya remuk
di jalan setapak sebelum
yerusalem sebelum bait suci.
Di sini di detik yang
sama, ibu muda jelita
pitanya warna warni
mimpinya warna warni
bergegas menyeberangi malam
Apel sepotong lepas
perlahan dari tangan
lepas bergulingan
disentuh embun jalanan
mengering seketika jadi
arang di seberang.
Semenit lalu, ya semenit
lalu, tak ada
yang ingin lenyap menjadi asap
tak ada yang ingin hilang
jadi puing bayang.
Lalu Tuhan; seperti
biasa, ya seperti biasa.
2002 - 2003
Notre
Dame
Kepada
: Ali Sugihardjanto
..Kata siapa daging
harus
menggenggam duri di
bumi
agar paham lagu
sorgawi..
Seperti sejengkal sesal
dari ajal
gerbang lengang Notre
Dame
kubuka perlahan dengan
hening doa
Cuma debu, bisikku
Yaa, melulu debu
Tapi itu bukan daging
waktu
bukan daging dan darah
waktu
Seperti orang-orang
seperti harapan si miskin
dalam remang kuulurkan
dengan bimbang lilin
redup10 francs
Aku raba segala yang dulu
ingin kuraba. Aku sentuh
semua yang dulu tak bisa
kusentuh:
Oh, gigilnya bulu-bulu
salju bulan Januari
Sia-sianya mantel
kumal sepanjang musim!
Sepanjang musim tersalib
aku di bangku kayu
jadi si tua rabun, senasib malaikat ingkar
yang terusir. Mengharap secercah
cahaya keramat memulihkan
penglihatannya.
Cahaya langit menyilaukan
yang terpantul
dari kubah kaca aneka warna
biru, hijau, bahkan
mungkin tak berwarna
lurus menembus membasuh
keruh mata
Menembus samar ingatan
suatu senja — saat aku
merasa menyaksikan anak
tuhan terpilih
tengadah pasrah; remang
jadi bayang
jadi pahatan bisu dinding.
Ah, ngilunya, luka
berkarat di lambung
di telapak kaki, di kedua
belah tangan!
Pilunya aku, pilunya,
semua kini melulu debu
Segalanya melaju cuma
jadi remah waktu!
Tapi di katedral ini,
raja-raja agung diurapi
orang-orang besar
diberkati. Kusentuh kucium
harum wangi jubah mereka
Ujung lidahku terasa
pecah, terasa getir
tercecap pahitnya takdir
tercecap amis asin tetes
liur si miskin!
Oh, perjamuan
terakhir–ratapan
yang dikekalkan sesal
di tembok berlumut
Yang dikekalkan di langit
cucuran darah di kening
yang berduri
mahkota sunyi sorgamu
Darah yang deras mengalir
menggenangi roti suci tak
beragi
remahan nyeri
Bercampur baur di anggur
tetesan pilu tangisku
Suara parau lonceng tua
sebelum ajal
memanggil kembali keluh
sesal si penyangkal
Berdentang, berdentang
lagi tiga kali
menggenapi amar ampunan sepagi ini;
Sakitnya lembut daging
menggenggam duri
Nyerinya kini sayat
hari digarami asin mimpi!
Maka di kamar kaca
pengakuan dosa
Ingin kulunasi hutang piutang
kehidupan
Bersamamu mati
berkali-kali
bangkit berkali-kali.
Rue
Normandie Niemen, Orly. 1998-1999
Efitap
Penyair Terlupakan
--
Gimin Artekjursi --
Tak terkubur, duniamu tak
terkubur
Di bulan Agustus yang
bukan milikmu
kereta-kereta mati
mengiring hari
ke makam tua
mengantar penyair
mengusap nisan
dalam isak sajak yang
paling rahasia
Ada ibu muda duduk
tertunduk
tanpa suara
ada bayi membiru di
pangkuan
mengulum ibu jari merah
ungu
Roda kereta berderak di
kelok setapak
Bukan di mana
bukan ke
mana
Tapi di sini nun di
lembah pujian ini
padang pun lepas terbuka
begitu luas dibaca
kubur nganga begitu
senyap ditatap!
Tangan haus menulis,
tangan pipihmu
yang tak mau henti
ngembara
kini gemetar melintasi
Malam piatu
bagi semua ibu
yang tersedu
Begitu pucat
rumput tercerabut
membelah sisa dunia yang
kau pijak
Namun kertas putih hampa
pena sebatangkara
tak akan percuma menagih
nyawa kata
Tak terkubur penyair,
namamu tak terkubur.
2000
Ikan
Terbang tak Berkawan
Nelayan tua nyenyakkah
tidurmu di ombak
seharian angankan diri
biduk lapuk
letih jadi ikan terbang
tak berkawan
Dayung berulang patah,
kemudi hilang arah
ah, jala koyakmu mana
bisa menjaring
kilau bintang yang paling
terang
Tengadah ke awan perlahan
saksikan awan hitam penuh
riak
rumput dan bunga berubah
warna
bayang-bayang berjatuhan
dalam gelap
Sebab hidup cuma sekecup
buih
saksikanlah ikan-ikan
pengeluh
jiwa-jiwa lunglai putus asa
berkali benturkan tubuh
ke lengang runcing karang
Sebab hidup cuma sekecup
buih
hanya sekejap lenyap
ucapkan salam pamitmu
yang paling riang,
ucapkan lembut;
Selamat tinggal topi
jerami penuh mimpi
selamat tinggal hiu jinak
bermata biru!
Tak peduli hanyut jadi
biduk lapuk
jadi ikan terbang tak berkawan
Ucapkan salam pamitmu
paling riang;
Selamat tinggal dunia
riuh penuh keluh
selamat tinggal patung
keramat berlumut!
Terbang melayang
melintasi laut lain
ombak dan topan lain
melayang sendiri
menyusuri senyap
tak peduli meluncur
lenyap dalam gelap
Tapi, nyenyakkah tidurmu
di ombak
hanyut seumur-umur sendiri?
Ah, sialan, kenapa tak
kau angankan
dirimu sesekali jadi tuhan
menari riang di awan tak
berkawan.
1990-1992
Mata
Air
Kau impikan aku
menjadi patung letih
Tidur dengan mata layu
terbuka
dan mulut pucat menganga
Bertahun mencari sumber
air suci
Kendi ini berlumut di
bahuku. Kendi itu mimpi;
Aku gali tujuh perigi
tujuh sumur keramat
tapi air tak juga memancar
Air itu cermin diri --
Ibu sejati kata-kata
Dewi padi yang diam-diam
menyamar
mengalir, mengalirlah
genangi sekujur diriku!
Sebab inginku lahir
kembali
dari rahim hening ini
serupa dulu di tanganku
burung bercumbu
ikan-ikan jinak girang meloncat
Di ujung lembut lidahku
kata merujuk makna. Sederhana
bagai duri membelai nyeri
terang mengusap gelap
Tapi berenang
menyeberangi sungai tua
arus deras mana lagi yang
menyeretku
Ayahku pohon rimbun
berlumut
tak pernah peduli si
piatu ini sesat
Tak pernah mengajari
bagaimana
akar melilit
menyelamatkan diri
dari banjir besar
dari puting beliung
segala bencana
Tercerabut aku,
tercerabut hanyut!
Lalu seperti nujuman
lontar lapuk itu;
Hanya seekor ular hijau
atau setetes cahaya
kelak jadi isyarat di rekah tanah
Di kaki candi tempat
tangga batu itu
lurus melaju membawaku ke kilau awan
Membawamu ke sumber asal
ke benih suci -- jalan
air mengalir
yang bertahun kau impikan.
Tapi kendi tua itu retak
saat kumasuki sunyi mimpimu
Lalu dengan hati-hati
aku gali perigi dalam diri
Agar kisah ini ditulis
dan dibaca lagi
agar dewata tahu bahwa
mataku sesat
dan lenyap di langit senyap.
1989
- 1991
Jalan
Pulang
Karena laut
sungai lupa
jalan pulang
Kasihku, cahaya redup
sesaat
di sela jariku gemetar
Bergoyang riak ini
setiap kali terasa getar
di langit dingin
Membuka peta tak terbaca
Silau menyaksikan pulau
musnah
di bawah serpihan
bintang.
Bintang apa yang tadi lenyap
pohon apa
yang tadi menyala.
suara apa berlari di udara beku?
Kukira kau yang selalu
diam
berlari sepanjang malam
Seperti batu menangis
meluncur di sungai
tak tahu jalan pulang
1987
Beberapa
Tikungan Lagi ke Bukittinggi
Hatta
Beberapa tikungan lagi ke
Bukittinggi
Sepanjang jalan
pulang, seperti Binuang muda
Yang sendiri, aku ingin kekal
Menjadi kanak-kanak
nakal, jauh dari sesal
Ingat lagu Mande, bisikmu.
Bandar-bandar tua
Sekociku oleng dihantam
angin sakal
Karam di teluk terkucil
Ingat, Leninggrad, pagar
kawat khianat
Badai salju berakhir. Aku
berbaris, cemas
Mantel kumalku kelabu
meniru abu pada tungku
Aku berbaris, memanggul
bedil ke perbatasan
Lunglai bagai buah arbai,
berjatuhan di jalan
Bergulingan diseret angin
dingin dari selatan
Bernyanyi lirih serupa
kanak dulu
Dengan senapan kayu
Mengintai lawan di
sebalik perdu:
Owai, sepanjang jalan
pulang, pucuk-pucuk cubadak
Buah-buah jatuh tanpa
keluh, membusuk jadi rabuk
Jadi bunga tanjung yang
harumnya melintasi gunung!
Kawan S tak dikenal,
menitipkan selipat surat dan seberkas
identitas. Patriot setengah hati yang akhirnya mati tercekik
ransel sendiri Pelarian
kaum partisan diringkus dini hari
Diseret sekarat dan
dieksekusi tanpa diadili Jadi arang hutan
lindung Jadi puing
benteng terkepung Tertulis di dahi si
mati, manifesto terakhir Perang besar tak akan mungkin
lagi
berakhir Owai, payang kakek lapuk terbujuk
ombak Di
pesisir pasir berbutir
menghitung umur Diseret air lalu sia-
Sia berhenti mengalir Digemakan genta kecil dari jauh, keluh
Binuang pada pedati; Beberapa tikungan lagi sampai ke
tujuan? Letih oleh api
revolusi, singgah di dangau petang hari
Mungkin Tan Malaka, kini
juga diriku,
berulangkali Melamunkan
jalan pintas ke kampung halaman
Owai, pulanglah,
buyung, pulanglah. Burung pipit Sunyi
Bunuh diri, jemu
meniru nyanyi bansi si mati Di
surau,
adakah tanjung tangismu
lagi untuk ibu
Tukang
Jagal Sialan
kepada:
W.S
Tukang jagal sialan,
penyu hijau
atau kura-kura batu
dari lubuk teluk mana
lagi
yang dungu terpikat meja
laknatmu
Dini hari bunyi ngeri
tubuh terbelah
dan celoteh riuhmu adalah
teror
Dewi teror yang
menggedorgedor
kamar sempit rumah siput
penyairku
Yang telinganya tuli
karena badai pujian
yang matanya kini rabun
bertahun terhisap cahaya
senyap bulan
Penyair lalai 1000 tahun
ini, kasihanilah oh puisi
kasihanilah ia sia-sia
mengais remah kata
Mana sanggup merasakan
kulit tipis terkelupas
daging putih suci yang
berkilau pilu
Semalaman seperti penujum
yang menunggu ilham
berkali ia menimbangulang
bunyi mematutmatut arti
mabuk tepuk lalu melolong
sendirian di depan cermin
Sakit apakah gerangan, ia
resah, demam dirajam
lamunan, membayangkan
diri sesat jadi lalat hijau
sekarat hanyut diseret
amis darah
dikepung lengking parau
tukang jagal sialan
Ia cemas, tibakah kini
mautnya; kertas nganga jadi jurang
setiap huruf lenyap
segala suara menagih nyawa
Padahal ia hanya ingin
berkhayal jadi batu bisu yang kekal
Ia cuma ingin nyaman
angankan gaun putri malumalu
yang tak pernah mau tahu
hiasan indah di rambutnya
sepotong tulang pelindung
jantung si lugu
Penghuni kerajaan
tenteram dasar lautan
Sorga kekal yang didamba
penyair lalai 1000 tahunmu!
1994-1996
Tentang
Warih Wisatsana
Warih Wisatsana lahir di
Bandung 20 April 1965. Sekitar tahun 80-an menetap di Bali dan bergabung dengan
Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali. Pernah diundang dalam Winternachten Festival di
Den Haag, Belanda, serta berkeliling Perancis untuk membaca puisi. Puisinya
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Perancis oleh Prof.
Dr. A Teeuw, Dr Thomas Huntert, dan Dr. Jean Couteau. Pemegang penghargaan
Borobudur Award, Bung Hatta Award ini, setelah 20 tahun masa kepenyairan, baru
memiliki satu antologi tunggal yaitu buku ini: Ikan Terbang tak Berkawan
(2003).
Catatan
Lain
Tak ada tanda apapun
bagaimana Y.S. Agus Suseno memperoleh buku ini. Beli atau dikasih. Tapi itu
juga tak terlalu tak penting. Dalam Kata Penutup, yang dijuduli Pertemuan,
Inspirasi, dan Penciptaan, Warih ada menulis begini: "Sebagian besar
puisi dalam antologi ini, digenangi suasana penuh perasaan yang tersisih, tak
terpilih. Belakangan saya sadari, itu ternyata merupakan cerminan perasaan
terasing sewaktu kanak dulu. Saya anak ke enam dari delapan bersaudara. Karena
tuntutan tugas, Ayah kami kerap sekali berpindah kota, bahkan pernah dalam
setahun terjadi tiga kali. Akibatnya, saya tidak memiliki kawan akrab, tidak
pula sempat menjalin persahabatan yang erat. Saya juga tidak pernah merasa
memiliki bahasa ibu, hanya serba sedikit tahu bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.
Bahasa Indonesia akhirnya menjadi sarana paling mungkin untuk bersosialisasi
dan berekspresi."
Di bagian lain, Warih menulis ini: "Pada ambang
batas tertentu, terasa benar bahwa menulis puisi bukan lagi hanya persoalan
teknik atau semata pencapaian berbahasa, namun sejatinya terpaut erat dengan
kedalaman pengalaman batin." Mungkin inilah yang menyebabkan puisi Warih
bisa menjadi sesuatu yang tak selesai. Ia tak mudah puas. Atau dalam kata-kata
Warih: "Dalam proses kreatif saya, tak ada puisi yang tercipta sekali
jadi. Pengalaman pribadilah yang mengajarkan, bahwa setiap puisi yang pada
awalnya dianggap telah selesai, bahkan telah dipublikasikan, beberapa waktu
kemudian ketika dibaca ulang selalu "membujuk" minta diberi arti
lagi. Maka proses menghapus, sebagian atau seluruh kata, juga memilah dan
memilih baris atau bait menjadi ritual yang tak terelakkan, mengasyikkan
sekaligus meletihkan. ...... Dalam proses itu, sungguh tidak mudah seketika
mengenali beda antara yang esensi dan yang sensasi. Mesti rela menyediakan sela
waktu untuk mengendapkan, luang waktu untuk menimbang ulang."
Sebuah puisi memiliki beberapa versi mungkin bukan cuma
milik Warih, Chairil Anwar dan Sitor Situmorang pun seperti itu. Contoh puisi
Warih yang berbeda versi, misalnya pada sajak ini. Sebuah sajak saya temukan
dalam laman Asep Sambodja, berjudul Rekuiem Kepompong. Padanannya, dalam
buku Ikan Terbang tak Berkawan, berjudul Requiem Kepompong. Saya tak
tahu mana yang dicipta lebih dulu. Berikut puisi itu...
REKUIEM KEPOMPONG
(dari laman Asep Sambodja)
(dari laman Asep Sambodja)
Dari ulat pucat
terbanglah kupu-kupu riang
yang bukan lagi milikmu
Kepompong lengang
pondok lapuk
tak berpenghuni
goa pertapa yang terlupakan
Apa kini bedanya
dengan jasad si tua
yang mengering
menunggu hari baik
diperabukan anak cucu
lalu dari celah hening tanah
dari rabuk tubuh si mati
kecambah tumbuh
seolah doa yang pasrah
merambat ke langit
meraba arah akhir cahaya
atau relakan jadi sarang rayap
jadi rumah singgah ular tanah
yang gelisah
menunggu musim kawin terakhir
Maka genapkan hidup. Jangan ganggu
jangan usik tapa bisuku
Kelak siapa tahu; di bening kata
di sunyi bunyi, setiap kali berkaca
rupaku perlahan tiada
sirna sempurna bersama cahaya.
REQUIEM KEPOMPONG
(dari buku Ikan Terbang tak Berkawan)
(dari buku Ikan Terbang tak Berkawan)
Dari ulat pucat
Terbang kupu-kupu riang
Yang bukan lagi milikmu
Di ranting kepompong kering
Terjerat
Sisa malam dan siang
Pondok lapuk tak berpenghuni
Goa petapa yang terlupakan
Bukan lagi milikmu
Pondok lapuk tak berpenghuni
Goa petapa yang terlupakan
Bukan lagi milikmu
Jasad yang murung
Kepompong
Yang sebentar remuk
Relakan jadi sarang rayap
Jadi rumah singgah ular
tanah
Yang gelisah
Menunggu musim kawin
berakhir
Relakan benih tumbuh
Dari rabuk tubuh si mati
Kelak semusim semi lagi
Kupu-kupu pun akan
singgah
Setelah letih merenungi
Wangi hari yang pergi
Kupu-kupu pun akan
Menanggalkan sayapnya
Seperti ruh pasrah
Berpisah dari tubuh
Melayang perlahan di
udara
Meraba asal cahaya
Maka jangan usik puasa
bisuku
Kelak siapa tahu di bening arti
Di sunyi bunyi
Kelak siapa tahu di bening arti
Di sunyi bunyi
Di goa tapa katakataku
Wajahku perlahan sirna
Mengekalkan
Menyempurnakan
Yang maha tiada
1988-1989
Oya, terakhir. Semua puisi dalam kumpulan ini memiliki titimangsa, kayaknya cuma satu yang tidak, yaitu Beberapa tikungan lagi ke Bukittinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar