Data
Buku Kumpulan Puisi
Judul : Pinangan Orang
Ladang
Penulis : Esha Tegar Putra
Penerbit: Frame Publishing, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal :123 halaman (76 puisi)
Penyunting : Nur Wahida Idris
Tata Letak : Indrian Koto
Desain Cover : Nur Wahida Idris, diolah dari Tree
Monkeys karya Harings
ISBN : 978-979-16848-2-8
Beberapa pilihan puisi Esha Tegar Putra dalam Pinangan
Orang Ladang
Tukang
Puisi
beberapa gelitik lagi kau
akan sampai
pada tempat yang bernama
sakit
sekian mantera, bakal
tuah
penebar fitnah ke daging,
telah mengapung
dalam sumur. aku cuma
ingin kau bermandi
dengan sumpah gaek yang
cair
sungguh sebegitu tajamnya
jangkrik berbunyi
tapi ini malam adalah
kuasa ucapku
lecut aku berpuluh kata
umpat
maka berkali-kali lipat
kata pengikat
bakal lesat dan menghuni
serat dagingmu
maka sebelum pengikat itu
bergetah,
berlendir, dan pecah
dalam badanmu
sumpahlah dengan sebaris
kalimat:
karibkan aku dengan
lembab puisimu!
Kandangpadati, 2007
Tali
Hujan
di hari yang paling
pucuk,
tali-tali hujan putus
dan cuaca berupa diam yang paling rahasia
tali-tali hujan putus
dan cuaca berupa diam yang paling rahasia
manakala sajak menggulung
jadi kepompong
basah di punggung daun
sebuah suara dalam lembut bahasa menggema
dari ladang, dari rangkap musim, dari leburan
gabuk pohon dan urat tanah.
basah di punggung daun
sebuah suara dalam lembut bahasa menggema
dari ladang, dari rangkap musim, dari leburan
gabuk pohon dan urat tanah.
mungkin dirimu,
“sesuatu yang berkarib dengan genangan air,
genangan laju mirip sungai,”
barangkali kau
“sesuatu yang dikutuk
untuk cuma jadi gema ladang”
“sesuatu yang berkarib dengan genangan air,
genangan laju mirip sungai,”
barangkali kau
“sesuatu yang dikutuk
untuk cuma jadi gema ladang”
kaukah seruan liar itu,
bakal membuat tali-tali hujan
menyambung diri dengan genangan air?
bakal membuat tali-tali hujan
menyambung diri dengan genangan air?
barangkali kau cuma
seekor kecebong,
atau mungkin kunang-kunang sepi
yang mengetuk tiap pintu pohon
untuk bertamu
dan bertemu kekasihmu
atau mungkin kunang-kunang sepi
yang mengetuk tiap pintu pohon
untuk bertamu
dan bertemu kekasihmu
Jalan
Tunggang, 2008
Duri dalam Kopi
masokhis. sebut aku duri dan kau akan menemukanku
sebagai lelaki tanpa mata hati, lelaki di gulungan
ombak
lelaki yang berseluncur lewat matamu. sebab hari
telah
lain, sayang, rinai telah membenamkan pulau-pulau
kita
dan kau berdayung dalam diri yang amuk. tetap aku
duri
menusuk waktu dengan lirikan yang runcing
sadistik. menemukan lurah berbatu, kita. matamu yang lain
menelan jejak di sepanjang jalan. dedaun itu remuk
dan sisa kopi dalam plastik tinggal dedak, juga
bayangan silam
lurah telah mengubahku jadi maut, sayang, dan
percakapan
akan kutelan sebagai lengah yang tertinggal
Kandangpadati, 2007
Tidur Tanah
semalamam kuurai cara pucuk daun tersumbul
untukmu. lewat puisi yang gemetar berucap aksara.
kelak, di sesak kamar yang tak berjendela ini
seketika lafalanku fasih
tentang akar sampai pucuk batang
kan kubentangkan tubuh rimba
dengan aroma daun dingin
di tidur tanahmu yang padat
Padang, 2007
Selepas
Bertemu
kau lepas lembah arau kau
lepas lembah anai
ingatanmu gumpal di lekuk
tebing di landai pantai
*
kami lepas lambai kau
ingatlah panjang jalan
sajak harum bakal orang
mencium titip di tiap kelokan
dan bunyi saluang dan
tuah dendang bawalah
agar kau ingat pada ranah
tempat raja pernah bertitah
*
di bukit jirek nan penuh
jejak sepatu orang-orang bersenapan
kau ceritakan muasal
sakit nasi kapau dalam tiap suapan
kami lepas lambai kau
ingatlah panjang jalan
tentang tuan yang merebus
daun kopi agar dibiarkan
dan bunyi ketipak
terompak kuda penarik bendi
suatu kali bakal jadi
gaungan lindap dalam setiap diri
*
agar kau nikmat agar kita
bersua di lain masa
simpan dulu pandangan
lama lepas dulu kedipan mata
isyarat pecah bulan dan
terserak di batang kuranji
kulantunkan itu dendang
agar kau tak memutus tali
kami lepas lambai kau
ingatlah panjang jalan
dari penyeberangan bakal
tersiar kabar persuaan
dan melupa dulu melupalah
dulu tiap kelokan yang diingat
biar mengurung itu rindu
lalu jadi buncah yang teramat
Kandangpadati,
2008
Gaung di Badan
sekiranya suara itu tak menggaung dalam badanku
suara yang himbau-menghimbau, menjagakan tidur
bahkan membuat geletar di lamunanku – geletar emak
yang menyauk gelegak air nasi, tersebab tangisku
lengking di kering air dadanya – takkan jadi ini
puisi
bukankah aku tualang di tajam lidah hikayat
berpisau
mematah risau yang memucuk tumbuh cerita baru?
kuraut batang bermiang, rindu berkasih. juga tubuh
berminyak air ini kugulai sebagai hidangan,
peneman
para tuan dan nona di lepau, sambil bergelak-tawa
aku tak bersilat lidah di nasibku yang tidak
cuma merindu, tentang kampung, lalu lalang
orang orang bingung di jejalanan, koridor dan
ruang kelas. di mana percakapan mengenai waktu
selalu digenangi kopi dan keripik ubi
sekiranya suara tak menggaung dalam badanku
puisi tak akan mau berkekasih
Kandangpadati, 2007
Setusuk Sajak
aku akan datang padamu, sebagai pemikat balam,
atau
sebagai pemanggul kayu hutan yang senantiasa
berdiri setia
di belakang guyuran hujan. meski waktu berlalu
serupa
nasib yang gagal menyusun kusutnya benang kenangan
aku akan tiba padamu menyerupai bentuk kayu, batu
atau sayap kecil yang baru ditumbuhi bulu
kuberikan bahasa, sebagai pengirim pesan yang
berkabar
lewat bunyian. kuberikan makna, agar kau selalu
tahu
hendak ke mana jalur angin mengantarkan basah air
yang hilang dari gerai rambut panjangmu
barangkali kau akan hafal sudut kecil dari lukisan
abadi
yang setiap saat selalu kukuaskan padamu. “si
pemikat balam
atau si pemanggul kayu hutan. lihatlah, agar suatu
kali kau
sadar bahwasanya apa yang telah dibenamkan waktu,
sulit
untuk dihela kembali.”
maknailah. aku sendiri tak tahu, apa harus saat
ini datang
jalan ini terlalu lapang. sebagai apakah aku harus
menemuimu?
2008
Penari Piring
berulang kali diri membilang bunyi piring diketuk
kulit damar
saluang ditiup pula oleh para penghela dendang. di
mana rahasia
kejadian lama disurukkan? di salempang induk
beras, di kopiah
tuan kopi, atau di saku baju para penggetah burung
rimba?
dan masih suara piring diketuk kulit damar,
tingkah-bertingkah
dendang tanjung sani dinyanyikan. tapi alamat diri
tetap hilang
terbuang di panjangnya jalan. jalan yang bertarian
dua badan
nan dipisah antara rantau dan kampung. apakah itu
bayangan laut tempat pecahan piring diserakkan?
Kandangpadati, 2008
Orang Ladang
tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah
tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba
maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola
tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang
Kandangpadati, 2008
tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah
tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba
maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola
tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang
Kandangpadati, 2008
Garis Ladang
di ladang kita berpandang, bersahutan suara,
saling berebut
tali puisi. ladangku rumpang ladangmu lempang. hah,
jadinya aku cuma bertanam rumput gajah. biar
dijarah
perempuan malang yang di pinggangnya terselip
sebilah sabit
(aku tahu ia bakal merambahnya secara diam-diam
bila
seminggu saja aku tak berkunjung ke ladang) sebab
matamu
merah apel, dan di sini aku tak bisa membibitnya.
tapi bakal
kusayat dalam perih, kuiris dengan tajam. sebab
jemarimu
telah biasa menujah pucuk kopi dan kulit manis
di tiap musim bertukar
dalam manis tebu, dalam pahit empedu, di mana
garis
ladang bakal bertemu dengan lagu yang menandakan
dinginnya suara gunung? orang kata cuma di
silungkang
tempat bertenun adalah mengasah waktu, tempat
perempuan
berparas kelabu dan senyum yang makin batu. di
sanalah
cerita dingin yang teramat dijahitkan. dengan
benang ragu
tapi bukankah di air lembah, dingin juga menujah?
biarlah
lurah bersuara tentang puisi yang direbut malang.
tentang
peristiwa sunsang, peristiwa yang berlainan perut,
peristiwa
yang saling menikamkan usus. dan semua itu berupa
tali puisi
yang dipintal secara pasi, dengan tangan masih
disusup gabuk
aku jadi si peragu, jadi gugu, di lambungku
tertanak batu. sebab
kita dua ladang yang bersahutan garang. dan cuma
di puisi
beradu suara. sebab matamu merah apel dan aku
telah
bertanam rumput gajah. mengingat ulah seorang
perempuan
yang di pinggangnya terselip sebilah sabit. tapi tak
apalah,
tali puisi bakal memanjang
biar diulur dan ditarik setiap kali bersahut diri
Kandangpadati, 2008
Cangkang
begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita
yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,
tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.
Kandangpadati, 2008
begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita
yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,
tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.
Kandangpadati, 2008
Jalan
Puisi
fragmen 6
—daun
jemariku angin, tak kuusap pipimu yang daun
kumasuki pokok tanpa mengetuk helaimu
ah, kularikan sajalah hijaumu.
—pantai
tepianmu yang pantai kujejaki
seiring laut menipu dengan pasangnya
adakah gelombang memberi tanda?
—jalan puisi
jalan puisi. yang menyebut kedalaman
kekasih yang menjemput puisi. bak urat bakau melembab
dan getah pekat yang menyekat hari
fragmen 6
—daun
jemariku angin, tak kuusap pipimu yang daun
kumasuki pokok tanpa mengetuk helaimu
ah, kularikan sajalah hijaumu.
—pantai
tepianmu yang pantai kujejaki
seiring laut menipu dengan pasangnya
adakah gelombang memberi tanda?
—jalan puisi
jalan puisi. yang menyebut kedalaman
kekasih yang menjemput puisi. bak urat bakau melembab
dan getah pekat yang menyekat hari
Yang
Bersahutan dari Tanjung
sepasang kekasih
saling berebut maut di ujung tanjung
sepasang kekasih
saling menghela kalut dari arah laut
sepasang kekasih
saling menikam sayang dengan tajam kerang
sepasang kekasih
tak jadi berpadu sebab malam dipasung badai
saling berebut maut di ujung tanjung
sepasang kekasih
saling menghela kalut dari arah laut
sepasang kekasih
saling menikam sayang dengan tajam kerang
sepasang kekasih
tak jadi berpadu sebab malam dipasung badai
tapi siapakah gerangan
yang berani bersahutan dari
ujung tanjung? (tempat para hantu
menanggalkan kepalanya)
ujung tanjung? (tempat para hantu
menanggalkan kepalanya)
kulihat ada seseorang
yang ketakutan, ia menyuruk di balik
rimbun rumpun betung sambil memanggul pisau panjang
yang karatan. ia menatap ke arah angin datang dan
berseru, “hei tuan yang berparas hantu, raja para rompak
dan bandit, dimanakah si sayang dimakamkan setelah kau
selesai berucap: kumaling jantungmu!”
rimbun rumpun betung sambil memanggul pisau panjang
yang karatan. ia menatap ke arah angin datang dan
berseru, “hei tuan yang berparas hantu, raja para rompak
dan bandit, dimanakah si sayang dimakamkan setelah kau
selesai berucap: kumaling jantungmu!”
Harau,
2008
Tentang
Esha Tegar Putra
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Besar di Nagari Saniangbaka, nagari kecil di tepian Danau Singkarak. Puisinya tersebar berbagai media nasional dan daerah. Buku puisinya berjudul Pinangan Orang Ladang (2009). Studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Besar di Nagari Saniangbaka, nagari kecil di tepian Danau Singkarak. Puisinya tersebar berbagai media nasional dan daerah. Buku puisinya berjudul Pinangan Orang Ladang (2009). Studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.
Catatan
Lain.
Saya tuliskan komentar
Arif Bagus Prasetya di sampul belakang buku, saya pikir ini komentar yang
mewakili: "Esha, membaca syair-syairmu, aku bersua dengan bahasa yang
sekarat dalam nikmat. Tidak, kau tidak menghidupkan bahasa, hanya membuat
sakitnya tertanggungkan. Seperti cinta. Karena cinta." Buku yang saya beli
via Koto per tanggal 23 Juni 2011 ini seharga Rp. 25.000,-. Oya, saya juga ingin
kutipkan satu sajaknya yang tak ada di buku ini, puisi yang saya dapatkan di
laman penyairnya, Kandangpadati.wordpress.com berjudul (sepertinya) Setumpuk
Sajak Pembuka Sekodi Pantun. Ini dia...
/setumpak sajak/
darimanakah rima pantun
berbunyi bersibantun
kalaulah bukan orang jauh
yang melantun
duh, tubuh dipisah serupa
ubi patah di tampuk
bilamana peristiwa lama
tinggal gaung batang berlubang
—malanglah kita semua,
yang lupa berpantun berseloka.
sungguh kita tak sedang
memisahkan garam dari air laut,
tak sedang meremas asam
di atas talam tembaga,
tak berusaha meminang
unggas betina untuk si jantan.
aduhai berpantun….
memasang sunting-pasang kopiah
bagi nada ingatan yang
hendak berpiuh dendang lama.
hei, orang jauh. dihela
juga hendaknya kisah malang si anak dagang.
sambil menyeruput kopi
dan rokok sebatang, mari mengingat
pulau pandan jauh di mata
dan batang cempedak di tepi bandar
yang ditanam anak orang
bukittinggi. agar pertalian lama terkebat erat
dan kalimat di gelanggang
tak sekedar riuh persabungan ayam
pantun bakal menari,
berpiuh setumpak sajak, berdekap kuat gurindam.
inilah pantun si anak
dagang, menumpang di biduk rumpang
menyeberangi teluk,
merenangi selat, agar beralamat
pada lengang kampung:
/sekodi pantun/
ke pulau perca membeli lada
lada dibeli pencampur gulai
mulanya pantun hendak direnda
dari bismillah kita memulai
anak bincacak anak
bincacau
pandai menggesek rebab
pesisir
kalaulah tuan hendak
meracau
janganlah pantun ini
dicibir
pinang merebah ke parak orang
batang bergabuk digurik kumbang
perihal cinta minta diulang
berkalang tanah badan di petang
berkulik elang bukit
langkisau
pertanda hujan segera
datang
kalau direntang si benang
risau
tak bakal terpijak tanah
kampung
tuan kopi pergi ke padang
membeli baju corak melayu
mengapa dinda berdiri seorang
ingin rasanya kanda merayu
bujang pariaman pergi
merantau
menggoda gadis sambil
menggalas
dalam badan angin
menghalau
sebab di kampung kenangan
tumpas
disuruh ke surau mengaji nahu
malah rebana ramai ditepuk
ini derita siapa yang tahu
sebab di badan sakit menumpuk
parang dibeli di pasar
lereng
bikinan orang
tanjungbarulak
jikalau datang sakit
meradang
diberi obat jangan
menolak
pisang setandan masak didulang
peneman duduk kita di lepau
inilah pantun pengiring dendang
untuk diingat bujang di rantau
teluk bayur di pantai
padang
labuhan olanda dan orang
siam
janganlah buruk pantun
dipandang
bakal peredam rindu yang
dalam
tuan datuk makan di lepau
rendang dipesan dendeng yang datang
dalam mimpi dinda menghimbau
makin memuncak rinduku kampung
kapal merapat di bandar
muar
kapiten berdiri di ujung
geladak
hendak dengan apa rindu
dibayar
di rantau dagang belumlah
tegak
membeli kambing di muarapanas
pasarnya ramai alangkah riuh
kiranya cinta dimana bertunas
biarlah rasa menunjukkan arah
anak ayam main di semak
diintai musang berbadan
legam
dalam hujan ingatan
merebak
dinda seorang bisa
meredam
di tengah sawah angin merendah
layang-layang tak jadi terbang
di badan rasa sudah terdedah
harapan dagang bakal menghilang
bunga tanjung tumbuh di
tepian
harumnya diarak angin
gebalau
apalah arti di rantau
sendirian
kesana-kemari tak ada
menghirau
induk beras pergi ke pasar
membeli kemeja lengan panjang
dagang belumlah cukup besar
masih terkejut dihardik orang
berliku jalan ke
bukittinggi
di lembah anai singgah
dahulu
jangankan dagang terbang
meninggi
di rantau masih menahan
malu
tegak menjulang gunung merapi
kokoh merentang gunung singgalang
jikalau dagang tidak menepi
alamat badan benar menghilang
ke bakauheuni kapal
disauh
dari merak kita menumpang
inilah pantun si orang
jauh
bakal pengobat rindukan
kampung
Jalantunggang,
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar