Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Anggur Duka
Penulis : Arsyad Indradi
Cetakan : I, 2009
Penerbit : Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Kota Banjarbaru
Tebal : 69 puisi (titimangsa 2009: 23 puisi, 2008: 21 puisi, 2007: 25
puisi)
Link : http://anpugur.blogspot.com/
Beberapa pilihan puisi Arsyad Indradi dalam Anggur Duka
Masih Membaca Malam
Rindu Yang Dalam
Seperti juga aku
Masih seperti malam yang lalu
Membaca syair bersuluh kunangkunang
Angin dingin memaksaku berkalikali
Membunuh rindu
Bilamana matamu menetesi sukmaku
Maka bergegas menengok awan
Sebisabisanya kutengadahi langit
Adakah walau sebiji bintang ?
Syair membasah di jelagamalam
Untaidemiuntai kujemur di ayatayatzikir
Kujemur segala duka
Banjarbaru, 2008
Rindu Yang Dalam
Seperti juga aku
Masih seperti malam yang lalu
Membaca syair bersuluh kunangkunang
Angin dingin memaksaku berkalikali
Membunuh rindu
Bilamana matamu menetesi sukmaku
Maka bergegas menengok awan
Sebisabisanya kutengadahi langit
Adakah walau sebiji bintang ?
Syair membasah di jelagamalam
Untaidemiuntai kujemur di ayatayatzikir
Kujemur segala duka
Banjarbaru, 2008
Reruntuhan Hujan
Pagi tak jadi sempurna. Menatap pintu langit
Siapa berlari bebasah perih di sana?
Di dalam hujan. Mestinya tak perlu risau..
Di dalam rindu. Mestinya tak perlu duka.
Tapi siapakah yang menggetargetar padang ilalang
yang kehilangan rimba?
Anggur
Lelayap pohonnya terdiam kaku
Setangkai menetesnetes merahnya
mataku luka bertuak
Aku mabuk dalam impian
Aku rebah di bawah reruntuhan harapan
Banjarbaru,
2008
Sajadah Rindu
Sedikit pun tak gugup memandang senja
Merahnya matahari akan berakhir ke tirai kelam
Sebab ruhnya menyatu dalam ruhku
Debur laut adalah ombak zikir
Mengisi sepinya pantai
Memandang langit dikepak burungburung
Karang tempat berteduh dukalara
Sedikit pun tak kan surut
Melihat kaki langit tak bertepi
Di senja yang semakin senja
Kutulis alamatmu di pasirpasir
Melayarkan sajadah rindu
Ciuman ombak di pantaipantai
Adalah doa yang tak pernah diam berdesir
Banjarbaru, 2009
Sedikit pun tak gugup memandang senja
Merahnya matahari akan berakhir ke tirai kelam
Sebab ruhnya menyatu dalam ruhku
Debur laut adalah ombak zikir
Mengisi sepinya pantai
Memandang langit dikepak burungburung
Karang tempat berteduh dukalara
Sedikit pun tak kan surut
Melihat kaki langit tak bertepi
Di senja yang semakin senja
Kutulis alamatmu di pasirpasir
Melayarkan sajadah rindu
Ciuman ombak di pantaipantai
Adalah doa yang tak pernah diam berdesir
Banjarbaru, 2009
Daundaun menggesek biola
Partitur puisiku belum tuntas
Tinggal satu bar lagi
Angin menerbangkannya ke pucuk pohon
Notasikata bergelantungan di rantingranting
Tanganku menggapaigapai serupa lingkaran
Tibatiba daundaun menggesek biola
Orchestra Tree of life
Aku jadi dendam ini yang kutulis
Ketika tanganku yang satu gerammelingkar
Sontak biola alto daundaun yang lain
Sekujur pohon mengombak
Ke dua tanganku melingkar berlawanan
Gemanya sampai ke manamana
Lalu anggukananggukan kepala
Kemudian hentakan satu kaki lalu dua kaki
Ritmes dan melodis dan dinamik
Mengikuti semua apa yang kutingkahkan
Aku merebah tengkurap merangkak bergulingan
di atas tumpukkan daun mataku merapat
Orchestra jadi gemuruh
Aku mandi tuak
Aku sudah acakacakan
Aku berdiri ke dua lenganku diangkat tinggitinggi
Lalu kusentakkan ke bawah
Semua pada diam berhenti sunyi
Semata desauan angin
Ini benarbenar aku meratap
Kembalikan puisiku
Partitur puisiku belum tuntas
Tinggal satu bar lagi
Angin menerbangkannya ke pucuk pohon
Notasikata bergelantungan di rantingranting
Tanganku menggapaigapai serupa lingkaran
Tibatiba daundaun menggesek biola
Orchestra Tree of life
Aku jadi dendam ini yang kutulis
Ketika tanganku yang satu gerammelingkar
Sontak biola alto daundaun yang lain
Sekujur pohon mengombak
Ke dua tanganku melingkar berlawanan
Gemanya sampai ke manamana
Lalu anggukananggukan kepala
Kemudian hentakan satu kaki lalu dua kaki
Ritmes dan melodis dan dinamik
Mengikuti semua apa yang kutingkahkan
Aku merebah tengkurap merangkak bergulingan
di atas tumpukkan daun mataku merapat
Orchestra jadi gemuruh
Aku mandi tuak
Aku sudah acakacakan
Aku berdiri ke dua lenganku diangkat tinggitinggi
Lalu kusentakkan ke bawah
Semua pada diam berhenti sunyi
Semata desauan angin
Ini benarbenar aku meratap
Kembalikan puisiku
Banjarbaru,
2008
Laut
: diah hadaning
Masihkah lautmu membiru
Masihkah lautmu mengombak
yang membuatku rindu ?
Aku cuma diam
memandang laut yang paling jauh
setiap ombaknya mengalun
pantai jadi kepayang
Banjarbaru, 2008
: diah hadaning
Masihkah lautmu membiru
Masihkah lautmu mengombak
yang membuatku rindu ?
Aku cuma diam
memandang laut yang paling jauh
setiap ombaknya mengalun
pantai jadi kepayang
Banjarbaru, 2008
BSD City Suatu Malam
Bersulang di Farmers Market
Menari di Summarecon Mal Serpong
Ngoceh di CNCMa XXI
Lalu larut di Bugogi House
Beri aku kristal malam
Dari BSD yang paling City
Lonceng siapa berkelenengan tibatiba
Bulan membelah dan merkuri mendesah
Ketika City semakin tumpah
Di bibir merkah
Serpong, 2007
Baahuy
Baahuy cermin masyarakat Banjar hidup bergotongroyong
Setiap tahun pasca menuai padi
Pesta ahuy penanda budaya
Ahuy bairik padi sambil bernyanyi
Bernyanyi pantun berbalas
Sebait pantun usai dilantunkan maka ahuy suara bersama
Dan mudamudinya pun saling bersua
Amboi, siapa tahu nasib mujur jodoh di tangan
Maka bila bernyanyi tarian pun seiring
Mairik padi sambil berdendang ala sayang
Buang tangkainya lalu dijemur
Baiklah kita hidup berukun ala sayang
Negri kita menjadi makmur
ahuy ahuy
Sungguh enak memakan kerak ala sayang
Memakan kerak di dalam piring
Sungguh asyik adinda dekat ala sayang
Dapat juga saling mengerling
Ahuy ahuy
Petikkan kembang jaruju aduhai
Disuntingkanlah ya abang kembang pepaya
Kembang pepaya
Ahuy ala ahuy
Jika ada rasa cinta aduhai
Lekaslah abang meminang usai puasa
Usai puasa
Ahuy ala ahuy
Masa sekarang baahuy sudah semakin lenyap
Sipat bergotongroyong semakin menipis
Menuai padi atau pun bairik serba mengupah
Sudah jarang bertanam atau pun menuai semusim
Benih padi tahunan pun semakin langka
Yang lebih miris sawah semakin sempit
Berganti rupa dengan rumah toko atau pun pabrik
Tak dapat membayangkan bagaimana nasib anak negri kemudiannya
Dilanda bencana
Apatah lagi hendak dikata jika dikata semakin pedih terasa
Banjarbaru, 2009
***** ahuy = ekspresi kegembiraan
(ma/ba ) irik = melepas padi dari tangkainya
Bawanang
Sejauhjauh pedusunan bersemayam Paramasan
Berpagar gunung dan lembah ialah pertapa yang menyimpan misteri sunyi
ke dalam kitab kaharingan
Balai Remain tempat membakar behiuk menyan
dan rohroh nenek moyang memapai kur sumangat bagi anak cucu
Simpul adat turuntemurun
Inilah kesunyian murni
Napas Paramasan yang menapaskan kearifan
Kemurnian kehidupan yang terpatri dalam kerukunan adat
Setiap tahun tak luput dari pegangan
Bawanang merenda kehidupan dayak meratus
Bawanang adat Bapalas
Mengalir darah dalam tempurung
Mengaliri tanah huma tugal
Mengusir segala macam penyakit dan hama
Menumbuhkan rohroh padi yang melahirkan kemakmuran
Dalam Salawat Sahaya Hyang Raja Batara
Sesudah itu adat Bamula memapaikan harumnya kukus behiuk dan minyak likat baburih
Menyambut hamparan padi yang menguning
Gemerincing gelang liang tandik balian di panggung Lalayan
Bamamang ditujuh batang padi tujuh gulung rotan pengikat
Daun hibak,daun riribu, daun mada, daun jubung, daun lilinting pagat, daun sirih banaik, daun bintarung dan daun tamparakai hiasan panggung adalah
Rezeki berlimpah dalam filosofisnya
Dayak meratus siapakah lagi yang patut mengenangnya
Sebab kedamaian hakiki yang tertulis dalam kitab keharingan
Telah tercemar
Penambang intan dan emas yang datang
Membunuh riamriam dan sungaisungai
Puakapuaka terusir ke padang kedawang
Paramasan berduka
Paramasan berduka dalam tapa yang menyimpan misteri sunyi
Banjarbaru, 2009
*****
Paramasan = nama dusun
balai Remain = nama rumah adat
behiuk = nama kemenyan
bawanang = kenduri suku dayak
bapalas, bamula = acara adat waktu menanam dan menuai padi
salawat sahaya = ucapan/mantra selamat
tandik = tari sakral
balian = dukun/orang sakti
Sejauhjauh pedusunan bersemayam Paramasan
Berpagar gunung dan lembah ialah pertapa yang menyimpan misteri sunyi
ke dalam kitab kaharingan
Balai Remain tempat membakar behiuk menyan
dan rohroh nenek moyang memapai kur sumangat bagi anak cucu
Simpul adat turuntemurun
Inilah kesunyian murni
Napas Paramasan yang menapaskan kearifan
Kemurnian kehidupan yang terpatri dalam kerukunan adat
Setiap tahun tak luput dari pegangan
Bawanang merenda kehidupan dayak meratus
Bawanang adat Bapalas
Mengalir darah dalam tempurung
Mengaliri tanah huma tugal
Mengusir segala macam penyakit dan hama
Menumbuhkan rohroh padi yang melahirkan kemakmuran
Dalam Salawat Sahaya Hyang Raja Batara
Sesudah itu adat Bamula memapaikan harumnya kukus behiuk dan minyak likat baburih
Menyambut hamparan padi yang menguning
Gemerincing gelang liang tandik balian di panggung Lalayan
Bamamang ditujuh batang padi tujuh gulung rotan pengikat
Daun hibak,daun riribu, daun mada, daun jubung, daun lilinting pagat, daun sirih banaik, daun bintarung dan daun tamparakai hiasan panggung adalah
Rezeki berlimpah dalam filosofisnya
Dayak meratus siapakah lagi yang patut mengenangnya
Sebab kedamaian hakiki yang tertulis dalam kitab keharingan
Telah tercemar
Penambang intan dan emas yang datang
Membunuh riamriam dan sungaisungai
Puakapuaka terusir ke padang kedawang
Paramasan berduka
Paramasan berduka dalam tapa yang menyimpan misteri sunyi
Banjarbaru, 2009
*****
Paramasan = nama dusun
balai Remain = nama rumah adat
behiuk = nama kemenyan
bawanang = kenduri suku dayak
bapalas, bamula = acara adat waktu menanam dan menuai padi
salawat sahaya = ucapan/mantra selamat
tandik = tari sakral
balian = dukun/orang sakti
Cermin Akhir Tahun
hanya itu yang mampu terucapkan, semuanya luluh di matamu
bulan yang tinggal seiris diamdiam bergegas ke rerumpun ilalang menumpahkan anggurdukanya.
Banjarbaru, 2007
hanya itu yang mampu terucapkan, semuanya luluh di matamu
bulan yang tinggal seiris diamdiam bergegas ke rerumpun ilalang menumpahkan anggurdukanya.
Banjarbaru, 2007
Pulang
Memandang burungburung melintas sawang
Ingin kudengar kepaknya kemana akan tetirah
Senja yang semakin kelam
Kasidah sunyi semakin dalam
Aku terus juga berjalan menyisir suratan alamat
Dan tak pernah lagi menghitung perhentian
Di mana aku datang dan pergi
Kemudian datang
Dan sampai waktunya tak pernah kembali lagi
Masuk rumah keabadian sunyi
Serpong, 2007
Memandang burungburung melintas sawang
Ingin kudengar kepaknya kemana akan tetirah
Senja yang semakin kelam
Kasidah sunyi semakin dalam
Aku terus juga berjalan menyisir suratan alamat
Dan tak pernah lagi menghitung perhentian
Di mana aku datang dan pergi
Kemudian datang
Dan sampai waktunya tak pernah kembali lagi
Masuk rumah keabadian sunyi
Serpong, 2007
Badudus
Tarbang Burdah isimengisi dengan biola mengalunkan lagu
Mengisi kata menguntai sair di ujung bibir
41 macam kue di asap dupa kemenyan menunggu
Ambilakan minyak likat baburih asalnya aneka kembang
Pamapai tatungkal letakan di dalam cupu
Nyai Randel duduk manyampir seru
Memanggil dimana tempat tinggal tutus Candi
Menabur beras kuning di muka pintu
Kur Sumangat
” Dengardengar aku mangiyau dengardengar aku manyaru
ikam datang di asap manyan ikam datang di asap dupa ”
Tutup pintu jangan tertutup pintu aduhai sayang
Terbang burung jauhlah jauh datang kesini
Nandung sayang datang kesini
Giranggirang buah kuranji batang pirawas
Aduhai lama tidak bersua lama terkenang
Badudus cermin adat budaya Banjar
Bakal pengantin bermandimandi sebelum bersanding di pelaminan
Duduk di atas sasanggan tubuh berminyak likat baboréh
Air mayang di upung pembersih raga badan
Air bagantung pembersih hati
Selesai mandi duduk bersanding di atas lipatan tapih
Wanitanya berbaju kurung prianya berbaju palimbangan
Tapak kaki ditungkali cacak burung agar tidak kapidaraan
Perisai diri dikelilingi cermin dan sumbu lilin
Berbedak kasay kuning kursumangat
Rupa bungas langkar budi pekerti
Dundang sayang di tengah rumah
Tertib talémpoh Galuh dan Nanang rapat sila
Terkumpul warga sanak kulawarga
41 macam kue adalah tali silaturahmi pengikat kerukunan
Mewarnai kokohnya adat budaya Banjar
Mudahan diingat turuntemurun tak kan juga terlupakan
Banjarbaru, 2009
****
giranggirang = gembira
badudus = mandi-mandi adat Banjar
kur sumangat = memberi semangat/selamat
dundang = dendang/lagu
baju kurung = baju perempuan tidak berbelah
baju palimbangan = kemeja bertangan panjang leher bulat sedikit ke atas bagian dada terbelah
bersaku satu di atas bagian kiri dan dua saku kiri kanan bagian bawah
nandung = irama/lagu
talémpoh = cara/etika duduk perempuan Banjar
galuh = anak perempuan ( dalam puisi ini dimaksudkan mempelai wanita )
nanang = anak laki-laki (dalam puisi ini dimaksudkan mempelai pria )
andika = anda, kau, kamu
banyu bagantung = air kelapa muda
kapidaraan = diganggu orang halus
cacak burung = tanda (X) atau (+) dengan kunyit
Tarbang Burdah isimengisi dengan biola mengalunkan lagu
Mengisi kata menguntai sair di ujung bibir
41 macam kue di asap dupa kemenyan menunggu
Ambilakan minyak likat baburih asalnya aneka kembang
Pamapai tatungkal letakan di dalam cupu
Nyai Randel duduk manyampir seru
Memanggil dimana tempat tinggal tutus Candi
Menabur beras kuning di muka pintu
Kur Sumangat
” Dengardengar aku mangiyau dengardengar aku manyaru
ikam datang di asap manyan ikam datang di asap dupa ”
Tutup pintu jangan tertutup pintu aduhai sayang
Terbang burung jauhlah jauh datang kesini
Nandung sayang datang kesini
Giranggirang buah kuranji batang pirawas
Aduhai lama tidak bersua lama terkenang
Badudus cermin adat budaya Banjar
Bakal pengantin bermandimandi sebelum bersanding di pelaminan
Duduk di atas sasanggan tubuh berminyak likat baboréh
Air mayang di upung pembersih raga badan
Air bagantung pembersih hati
Selesai mandi duduk bersanding di atas lipatan tapih
Wanitanya berbaju kurung prianya berbaju palimbangan
Tapak kaki ditungkali cacak burung agar tidak kapidaraan
Perisai diri dikelilingi cermin dan sumbu lilin
Berbedak kasay kuning kursumangat
Rupa bungas langkar budi pekerti
Dundang sayang di tengah rumah
Tertib talémpoh Galuh dan Nanang rapat sila
Terkumpul warga sanak kulawarga
41 macam kue adalah tali silaturahmi pengikat kerukunan
Mewarnai kokohnya adat budaya Banjar
Mudahan diingat turuntemurun tak kan juga terlupakan
Banjarbaru, 2009
****
giranggirang = gembira
badudus = mandi-mandi adat Banjar
kur sumangat = memberi semangat/selamat
dundang = dendang/lagu
baju kurung = baju perempuan tidak berbelah
baju palimbangan = kemeja bertangan panjang leher bulat sedikit ke atas bagian dada terbelah
bersaku satu di atas bagian kiri dan dua saku kiri kanan bagian bawah
nandung = irama/lagu
talémpoh = cara/etika duduk perempuan Banjar
galuh = anak perempuan ( dalam puisi ini dimaksudkan mempelai wanita )
nanang = anak laki-laki (dalam puisi ini dimaksudkan mempelai pria )
andika = anda, kau, kamu
banyu bagantung = air kelapa muda
kapidaraan = diganggu orang halus
cacak burung = tanda (X) atau (+) dengan kunyit
Buah Sukma Biduri
Palinggam Cahaya
Seratus empat puluh negri di laut
Seratus empat puluh negri di darat
Siapa yang bertahta tidak lain Raden Kasan Mandi
Adil bijaksana kasih sayang terpatri di dalam hati
Tujuh gedung harta buat derma fakir miskin
Siapa yang berbuat salah diampuni
Siapa yang berat hukuman diringani
Siapa yang dihukum mati di hidupi
Negri berasal hutan belantara
Tapi jiwa semangat membangun Maha Raja Bungsu ramanya
Berdiri negri beralam subur rakyatnya makmur
Kasan Mandi duduk di tahta penerus ramanya
Kasan Mandi tampak gelisah kadang duduk kadang berdiri
Tunduk tengadah ada yang dipikirkan
Akhirnya masuk juga ke dalam mahligai menemui Jung Masari isterinya
“Kakang rasa tidak keruan hati melihat keadaan Adingmas seperti ini
Ayu Dingmas katakan pada Kakang ada apa gerangan”
Jung Masari duduk di ranjang berlinangan air mata
Jung Masari tidak menyahut masih bertundukan
Tangannya menyusurnyusur ujung baju
Kasan Mandi rasa dihinggapi seratus awan kelam
“Adakah kesalahan Kakang sampai Adingmas bersedih seperti ini
Berhentilah Dingmas menangis
Katakan pada Kakang agar senang mendengar”
Jung Masari berdiri lalu memeluk suaminya
“ Kangmas tidak ada berkesalahan dengan siapasiapa apalagi dengan ulun
Sebelum ulun berucap ampunkan ulun Kangmas”
Kasan Mandi membelai rambut Jung Masari
“Tidak ada asalan Kakang memarahi orang yang tidak bersalah apalagi Adingmas Intan hati Kakang intan negri ini”
“ Ulun mengidam”
Mendangar ini tak terasa Kasan Mandi erat memeluk isterinya
Wajahnya sebagaimana matahari di timur yang sedang bersinar
Hatinya sebagaimana selaksa burung di pagi hari
“ Tapi Kangmas sebelum ulun meneruskan apa yang terkandung dalam diri ulun sampian ampunkan ulun Kakang”
Kembali Kasan Mandi menatap Jung Masari
“ Katakan Dingmas, sudah Kakang ampuni”
“ Rasanya rasa berat hati menyebutkan karena ulun tak mau menyusahkan sampian Kakang”
“Sebutkan Dingmas agar hati Kakang menjadi senang”
Jung Masari lalu berkisah
Jung Masari tak enak makan tak nyenyak tidur
Hari ke hari gelisah
Seleranya ingin benar memakan buah
Buahnya hanya sebiji di seribu ranting
Kasan Mandi terdiam mendengar
Tidak tahu apa nama buahnya dan dimana adanya
Tapi karena cinta benar pada isterinya :
“Biar sampai ke ujung langit sekalipun Kakang cari sampai dapat”
Kasan Mandi mundarmandir
Tunduk tengadah belum juga terbuka jalan
Lalu ingat dengan Paman Lamut
Kemudian memanggil Paman Lamut
Ujar Paman Lamut :
“Cepat bersemedi di dalam kelambu kuning “
Di asap dupa kemenyan
Mantra pancar cermin ditabur :
“ Tutus candi manyipat gunung
Gunung rubuh
Manyipat langit
Langit runtuh
Kupasak angin kencang ”
Seraya
Lepas tali empat sudut kelambu kuning
Berobah menjadi orang tua gemerlap
Sembah sujut di hadapan eyangnya
“ Aku tahu tungai apa yang ada di dalam hati cucunda
Kesinikan tapak tangan kanan aku cacak burung”
Setelah mencacak burung eyangnya bergaib keasalnya
Kasan Mandi melihati tapak tangannya
Terlihat buah di seribu ranting bernama buah sukma biduri
Letaknya di seberang lautan pulau angsana wangi
Ratusan jin yang menunggui
Dalam caritanya
Perahu Naga Sakti mengantar Kasan Mandi didampingi Paman Lamut
Berlayar menuju pulau angsana wangi
Segala rintangan dijalani
Gelombang segala gelombang dilalui
Bégal lanun yang mengganggu dibasbi
Di pulau angsana wangi
Terjadi peperangan sampai tujuh hari tujuh malam
Berpikir dalam hati Kasan Mandi
Kalau begini caranya sulit mengalahkan jinjin ini
Lalu Kasan Mandi mengungkit tanah dengan ibujari kaki kanannya
Dikepalnya di tangan
Lalu berdiri dengan kaki tunggal dan menengadah ke langit
Tanah di tangan dilemparkan ke matahari terbenam sambil
menyemburkan mantra petala jagat :
“ Asalnya tanah ke tanah asalnya api ke api
Asalnya air ke air asalnya angin ke angin
Kembali ke alam terjadiku
Siapa yang memandang diriku segala tunduk
Sebagaimana sujud di kakiku “
Seraya langit memancar kilatkilat angin ribut menggelugur
Hujan deras dengan petirpetirnya
Petirpetir menyambar jinjin lalu lumpuh
Seluruh jin takluk lalu menyerahkan buah sukma biduri
Paman Lamut melepas cincinnya
Lalu meniup cincinnya menjadi seekor rajawali
“ Cepat bawa buah sukma biduri ke hadapan Jung Masari katakan kami baikbaik saja “
Rajawali terbang menuju negri Palinggam Cahaya
Tarbang mengalunngalun semakin ke ujung semakin menghilang
Sampai disini pelamutan menyudahi lamutnya
Sebelum menutup pelamutan menarik napas panjang
Lalu berucap :
Aku ini sudah tua
Aku seoranglah yang tertinggal tiada siapasiapa lagi
Jika tiada yang meneruskan lamut bagaimana nasib senibudaya Banjar
Semoga lamut jangan terkubur bersama kuburku nantinya
Seraya
Tarbang melengking semakin meninggi
Suaranya dibawa angin menyusup ke hati orangorang yang tertunduk
menjenguki hatinya masingmasing
Banjarbaru, 2009
******
tutus candi = Keturunan raja ( Kasan Mandi )
manyipat = berjalan, menempuh, masuk
ulun = saya, aku (ucapan halus terhadap yang lebih tua )
sampian = kamu, anda (ucapan halus terhadap yang lebih tua )
lamut = teater tutur tanah Banjar
palamutan = orang yang membawakan lamut
tarbang = gendang sejenis rebana tapi agak besar
Palinggam Cahaya
Seratus empat puluh negri di laut
Seratus empat puluh negri di darat
Siapa yang bertahta tidak lain Raden Kasan Mandi
Adil bijaksana kasih sayang terpatri di dalam hati
Tujuh gedung harta buat derma fakir miskin
Siapa yang berbuat salah diampuni
Siapa yang berat hukuman diringani
Siapa yang dihukum mati di hidupi
Negri berasal hutan belantara
Tapi jiwa semangat membangun Maha Raja Bungsu ramanya
Berdiri negri beralam subur rakyatnya makmur
Kasan Mandi duduk di tahta penerus ramanya
Kasan Mandi tampak gelisah kadang duduk kadang berdiri
Tunduk tengadah ada yang dipikirkan
Akhirnya masuk juga ke dalam mahligai menemui Jung Masari isterinya
“Kakang rasa tidak keruan hati melihat keadaan Adingmas seperti ini
Ayu Dingmas katakan pada Kakang ada apa gerangan”
Jung Masari duduk di ranjang berlinangan air mata
Jung Masari tidak menyahut masih bertundukan
Tangannya menyusurnyusur ujung baju
Kasan Mandi rasa dihinggapi seratus awan kelam
“Adakah kesalahan Kakang sampai Adingmas bersedih seperti ini
Berhentilah Dingmas menangis
Katakan pada Kakang agar senang mendengar”
Jung Masari berdiri lalu memeluk suaminya
“ Kangmas tidak ada berkesalahan dengan siapasiapa apalagi dengan ulun
Sebelum ulun berucap ampunkan ulun Kangmas”
Kasan Mandi membelai rambut Jung Masari
“Tidak ada asalan Kakang memarahi orang yang tidak bersalah apalagi Adingmas Intan hati Kakang intan negri ini”
“ Ulun mengidam”
Mendangar ini tak terasa Kasan Mandi erat memeluk isterinya
Wajahnya sebagaimana matahari di timur yang sedang bersinar
Hatinya sebagaimana selaksa burung di pagi hari
“ Tapi Kangmas sebelum ulun meneruskan apa yang terkandung dalam diri ulun sampian ampunkan ulun Kakang”
Kembali Kasan Mandi menatap Jung Masari
“ Katakan Dingmas, sudah Kakang ampuni”
“ Rasanya rasa berat hati menyebutkan karena ulun tak mau menyusahkan sampian Kakang”
“Sebutkan Dingmas agar hati Kakang menjadi senang”
Jung Masari lalu berkisah
Jung Masari tak enak makan tak nyenyak tidur
Hari ke hari gelisah
Seleranya ingin benar memakan buah
Buahnya hanya sebiji di seribu ranting
Kasan Mandi terdiam mendengar
Tidak tahu apa nama buahnya dan dimana adanya
Tapi karena cinta benar pada isterinya :
“Biar sampai ke ujung langit sekalipun Kakang cari sampai dapat”
Kasan Mandi mundarmandir
Tunduk tengadah belum juga terbuka jalan
Lalu ingat dengan Paman Lamut
Kemudian memanggil Paman Lamut
Ujar Paman Lamut :
“Cepat bersemedi di dalam kelambu kuning “
Di asap dupa kemenyan
Mantra pancar cermin ditabur :
“ Tutus candi manyipat gunung
Gunung rubuh
Manyipat langit
Langit runtuh
Kupasak angin kencang ”
Seraya
Lepas tali empat sudut kelambu kuning
Berobah menjadi orang tua gemerlap
Sembah sujut di hadapan eyangnya
“ Aku tahu tungai apa yang ada di dalam hati cucunda
Kesinikan tapak tangan kanan aku cacak burung”
Setelah mencacak burung eyangnya bergaib keasalnya
Kasan Mandi melihati tapak tangannya
Terlihat buah di seribu ranting bernama buah sukma biduri
Letaknya di seberang lautan pulau angsana wangi
Ratusan jin yang menunggui
Dalam caritanya
Perahu Naga Sakti mengantar Kasan Mandi didampingi Paman Lamut
Berlayar menuju pulau angsana wangi
Segala rintangan dijalani
Gelombang segala gelombang dilalui
Bégal lanun yang mengganggu dibasbi
Di pulau angsana wangi
Terjadi peperangan sampai tujuh hari tujuh malam
Berpikir dalam hati Kasan Mandi
Kalau begini caranya sulit mengalahkan jinjin ini
Lalu Kasan Mandi mengungkit tanah dengan ibujari kaki kanannya
Dikepalnya di tangan
Lalu berdiri dengan kaki tunggal dan menengadah ke langit
Tanah di tangan dilemparkan ke matahari terbenam sambil
menyemburkan mantra petala jagat :
“ Asalnya tanah ke tanah asalnya api ke api
Asalnya air ke air asalnya angin ke angin
Kembali ke alam terjadiku
Siapa yang memandang diriku segala tunduk
Sebagaimana sujud di kakiku “
Seraya langit memancar kilatkilat angin ribut menggelugur
Hujan deras dengan petirpetirnya
Petirpetir menyambar jinjin lalu lumpuh
Seluruh jin takluk lalu menyerahkan buah sukma biduri
Paman Lamut melepas cincinnya
Lalu meniup cincinnya menjadi seekor rajawali
“ Cepat bawa buah sukma biduri ke hadapan Jung Masari katakan kami baikbaik saja “
Rajawali terbang menuju negri Palinggam Cahaya
Tarbang mengalunngalun semakin ke ujung semakin menghilang
Sampai disini pelamutan menyudahi lamutnya
Sebelum menutup pelamutan menarik napas panjang
Lalu berucap :
Aku ini sudah tua
Aku seoranglah yang tertinggal tiada siapasiapa lagi
Jika tiada yang meneruskan lamut bagaimana nasib senibudaya Banjar
Semoga lamut jangan terkubur bersama kuburku nantinya
Seraya
Tarbang melengking semakin meninggi
Suaranya dibawa angin menyusup ke hati orangorang yang tertunduk
menjenguki hatinya masingmasing
Banjarbaru, 2009
******
tutus candi = Keturunan raja ( Kasan Mandi )
manyipat = berjalan, menempuh, masuk
ulun = saya, aku (ucapan halus terhadap yang lebih tua )
sampian = kamu, anda (ucapan halus terhadap yang lebih tua )
lamut = teater tutur tanah Banjar
palamutan = orang yang membawakan lamut
tarbang = gendang sejenis rebana tapi agak besar
Tentang Arsyad Indradi
Lahir di
Barabai, 31 Desember 1949. Menyenangi sastra khususnya puisi sejak duduk di SMP
dan SMA. Pada tahun 1970 ketika menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Unlam
Banjarmasin mulai menulis puisi. Puisi-puisinya banyak diterbitkan di
berbagai media cetak lokal seperti di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasi
dan lain – laindan media cetak nasional seperti Harian Republika Jakarta dan
lain – lain.
Sejak di SMA
dan di Fakultas Hukum ikut bergabung di Lesbumi Banjarmasin dan Sanggar Budaya
Kalimantan Selatan. Tahun 1972 keluar dari Lesbumi dan mengaktifkan diri di
Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 bersama Bachtiar
Sanderta,Ajamuddin Tifani, Abdullah SP dan lain – lain ( mantan anggota
Lesbumi ) mendirikan Teater Banjarmasin khusus menggeluti teater tradisional
Mamanda.
Tanggal 8 –
9 Februari 1972, bersama 15 seniman Banjarmasin mengadakan Aksi Solidaritas
turun ke jalan menyuarakan hatinurani karena ketidak pastian hukum di
Indonesia, dikenakan pasal 510 KUHP, dijebloskan ke penjara dan dikenakan
tahanan luar 3 bulan. Laksus Kopkamtibda Kalimantan Selatan melarang
pemeberitaan ini di semua media cetak Banjarmasin. Namun Harian KAMI Jakarta
mengexpos berita ini Selasa 15 Februari 1972.
Sejak 1980
an – 1990 an tidak begitu produktif lagi menulis puisi. Aktif menjadi juri
lomba baca puisi, juri festival lagu dan menggeluti dunia tari di Balahindang
Dance Group Banjarbaru. Pada tahun 2000 mendirikan Galuh Marikit Dance Group
Banjarbaru. Tahun 2004 diundang Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah pada
acara Pesta Gendang Nusantara 7 Malaysia.
Tahun 1996 –
2004 bergabung pada Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru. Tahun 2004
mendirikan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ), sebagai ketua. Selalu
aktif menghadiri acara diskusi sastra di Banjarbaru maupun di Banjarmasin, acara
tadarus puisi yang rutin tiap tahun di adakan di Banjarbaru, Aruh sastra 1 di
Kandangan ( 2004 ) dan aruh sastra III di Kotabaru (2006).
Dalam
catatan Data-data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan yang diterbitkan Proyek
Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan 1975/1976 digolongkan
Penyair/Sastrawan dalam priode menjelang/sesudah tahun 70-an. Di dalam Sketsa
sastrawan Kalimantan Selatan yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional,
Pusat Bahasa Balai Bahasa Banjarmasin 2001, oleh Jarkasi dan Tajuddin Nooor
Ganie (Tim Penyusun) digolongkan Sastrawan generasi penerus Zaman Orde Baru
(1970-1979). Dan termuat dalam dalam Leksikon Susastra Indonesia (LSI) yang
disusun oleh Korrie Layun Rampan Penerbit PT Balai Pustaka Jakarta.
Antologi
Puisi bersama antara lain : Jejak Berlari (Sanggar Budaya, 1970), Edisi Puisi
Bandarmasih, 1972, Panorana (Bandarmasih, 1972), Tamu Malam (Dewan Kesenian
Kalsel, 1992), Jendela Tanah Air (Taman Budaya /DK Kalsel, 1995), Rumah Hutan
Pinus (Kilang Sastra, 1996), Gerbang Pemukiman (Kilang Sastra, 1997), Bentang
Bianglala (Kilang Sastra, 1998), Cakrawala (Kilang Sastra, 2000), Bahana (Kilang
Sastra, 2001), Tiga Kutub Senja (Kilang Sastra, 2001), Bulan Ditelan Kutu (Kilang
Sastra, 2004), Bumi Menggerutu (Kilang Sastra, 2004), Baturai Sanja (Kilang
Sastra, 2004), Anak Jaman (KSSB, 2004), Dimensi (KSSB, 2005), Antologi Puisi
Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan (KSSB, 2006)
Awal tahun
2006 mendirikan percetakan KALALATU Press Bjb Kalimantan Selatan dan
penerbitan. Semua puisi – puisi yang belum terdokumentasikan sejak tahun 1970 –
2006, dicetak dan diterbitkan berupa antologi tunggal secara swadana dan
disebarluaskan ke seluruh Nusantara. Antologi Puisi sendiri itu , yaitu : Nyanyian
Seribu Burung ( KSSB, 2006 ), Kalalatu ( KSSB, 2006 ), Romansa Setangkai
Bunga ( KSSB, 2006 ), dan Narasi Musafir Gila ( KSSB, 2006 ).
Semua antologi Puisi yang
diterbitkan itu telah ber-ISBN dari Perpustakaan Nasional RI Jakarta.
Pekerjaan
sehari – hari sebagai Pengawas Seni Budaya SMP,SMA dan SMK Dinas Pendidikan
Kabupaten Banjar Kalsel dan anggota Tim Pengembang Kurikulum Seni Budaya
Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan.
Tempat tinggal : Jalan Pramuka No.16
RT 03 RW 09 Banjarbaru Utara 70711 Kalimantan Selatan. Telpon 0511-4785603 HP
081348146305 E-mail : merayusukma49@yahoo.co.id
Blog :
http://penyairnusantara.blogspot.com
http://sastrabanjar.blogspot.com
Catatan Lain:
Penyair ini identik dengan sebutan penyair gila. Dengan rambut dan
janggutnya yang panjang, dan sesekali berpenampilan eksentrik, ia akan sangat
mudah dikenali. Tidak begitu mudah menemukan kumpulan puisinya di toko-toko
buku, bahkan di kotanya sendiri, Banjarbaru. Ia menerbitkan sendiri
kumpulan-kumpulan puisinya, termasuk kumpulan puisi 142 penyair menuju bulan
itu, sesuai keinginan hatinya atau jika ada permintaan. Belakangan penyair ini
aktif mengikuti even-even sastra Nasional dan juga ngeblog. Saya pernah sekali
berkunjung ke rumahnya, juga pernah sekali selibat dalam acara Dialog Borneo
Kalimantan di Samarinda 2011 lalu. Bicaranya semangat, kadang lucu dan
membanyol. Tawanya tak ditahan-tahan. Ia seorang yang bergairah, dapat kasar
maupun halus, dapat genit maupun penuh kasih. Mengingatkan saya akan Fritz
Perls (1893-1970), seorang pendiri terapi gestalt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar