Data buku kumpulan puisi
Judul : Para Jendral
Marah-marah, - Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian -
Penulis : Wiji Thukul
Penerbit : PT. Tempo Inti
Media Tbk, Jakarta (Suplemen khusus/bonus buku).
Cetakan : I, Majalah
Tempo edisi 13 – 19 Mei 2013
Tebal : (49 puisi)
Ilustrasi : Yuyun
Nurachman
Kumpulan puisi Para
Jendral Marah-marah terdiri dari 3 bagian, yaitu Puisi Pelarian (21 puisi), Puisi
Jawa (12 puisi), dan Puisi Lepas
(16 puisi).
Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Puisi Pelarian
Apa Penguasa Kira
apa penguasa kira
rakyat hidup di hari ini saja
apa penguasa kira
ingatan bisa dikubur
dan dibendung dengan moncong
tank
apa penguasa kira
selamanya ia berkuasa
tidak!
tuntutan kita akan lebih panjang
umur
ketimbang usia penguasa
derita rakyat selalu lebih tua
walau penguasa baru naik
mengganti penguasa lama
umur derita rakyat
panjangnya sepanjang umur
peradaban
umur penguasa mana
pernah melebihi tuanya umur batu
akik
yang dimuntahkan ledakan gunung
berapi?
ingatan rakyat serupa bangunan
candi
kekejaman penguasa setiap jaman
terbaca di setiap sudut dan sisi
yang menjulang tinggi
Pepatah Buron
penindasan adalah guru paling jujur
bagi yang mengalami
lihatlah tindakan penguasa
bukan retorika bukan pidatonya
kawan sejati adalah kawan yang
masih berani
tertawa bersama
walau dalam kepungan bahaya
Hujan Malam Ini
Turun
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
intel-intel yang bergaji kecil
pasti jengkel dengan yang
memerintahmu
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
agar aku bisa istirahat
agar tenagaku pulih
setelah berhari-hari lelah
agar aku tetap segar
dan menang
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
bunyi kodok dan desir angin
membikin pelupuk mataku membesar
aku ngantuk dan ingin tidur
biarlah para serdadu di ibukota
berjaga-jaga dengan senapan M-16nya
biarlah penguasa sibuk sendiri
dengan ketakutannya
karena telah mereka taruh sendiri
bom waktu di mana-mana
mereka menciptakan musuh
dan menembaknya sendiri
mereka menciptakan kerusuhan
demi mengamankannya sendiri
hujan malam ini turun
untuk melindungiku
malam yang gelap ini untukku
malam yang gelap ini selimutku
selamat tidur tanah airku
selamat tidur anak-istriku
saatnya akan tiba
akan tiba
bagi merdeka
untuk semua
Bagi Siapa Kalian
Memetik Panenan
pagi dingin
udara masih mengandung embun
bukit-bukit di kejauhan
disaput arak-arakan halimun
matahari terbit
sempurna bulat merah setampah di
langit
batang-batang pohon besar dan
cabang-cabangnya
seperti ratusan penari
yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi
kususuri keheningan ini
sendiri
jilatan matahari
segarnya udara pagi
alangkah indah negri ini
andai lepas dari masa ganas tirani
Wani, Bapakmu Harus
Pergi
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
”karena bapakku orang berani”
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita
Di Ruang Ini yang
Bernafas Cuma Aku
di ruang ini yang bernafas cuma aku
cecak dan serangga
air menetes rutin dari kran ke bak
mandi
semakin dekat aku dengan detak
jantungku
dingin ubin, lubang kunci, pintu
tertutup, kurang cahaya
kini bagian hidupku sehari-hari
di sini bergema puisi
di antara garis lurus tembok
lengkung meja kursi
dan rumah sepi
puisi yang ditajamkan
pukulan dan aniaya
tangan besi penguasa
Para Jendral Marah-marah
Pagi itu kemarahannya disiarkan
oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku
yang menonton. Istriku kaget. Sebab
seorang letnan jendral menyeret-nyeret
namaku. Dengan tergopoh-gopoh
selimutku ditarik-tariknya, Dengan
mata masih lengket aku bertanya:
mengapa? Hanya beberapa patah kata
ke luar dari mulutnya: ”Namamu di
televisi .....” Kalimat itu terus dia ulang
seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun
wajah jendral itu sudah lenyap dari
televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju.
Celananya tidak. Aku memang lebih
sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah menjemur handuk aku ke
dapur. Seperti biasa mertuaku yang
setahun lalu ditinggal mati suaminya
itu, telah meletakkan gelas berisi teh
manis. Seperti biasanya ia meletakkan
di sudut meja kayu panjang itu, dalam
posisi yang gampang diambil.Istriku
sudah mandi pula. Ketika berpapasan
denganku kembali kalimat itu
meluncur.
”Namamu di televisi....” ternyata istriku
jauh lebih cepat mengendus bagaimana
kekejaman kemanusiaan itu daripada
aku.
Buat L.Ch & A.B
darahku mengalir hangat lagi
setelah puluhan jam sendi
sendi tulangku beku
kurang gerak
badanku panas lagi
setelah nasi sepiring
sambel kecap dan telur goreng
tandas bersama tegukan air
dari bibir gelas keramik yang kau
ulurkan dengan senyum
manismu
kebisuan berhari-hari
kita pecahkan pagi itu
dengan salam tangan
pertanyaan
dan kabar-kabar hangat
pagi itu
budimu menjadi api
tapi aku harus pergi lagi
mungkin tahun depan
atau entah kapan
akan kuketuk lagi
daun pintumu
bukan sebagai buron
Ayo Kita Tebakan!
ayo kita tebakan!
dia raja
tapi tanpa mahkota
punya pabrik punya istana
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia kaya
keluarganya punya saham di manamana
tapi negaranya rangking tiga
paling korup di dunia
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia tua
tapi ingin tetap berkuasa
tak boleh ada calon lain
selain dia
kalau marah
mengarahkan angkatan bersenjata
rakyat kecil yang tak bersalah
ditembak jidatnya
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
dia sakti
tapi pasti mati
meski seakan tak bisa mati
coba tebak siapa dia?
dia adalah aku!
siapa aku?
aku adalah diktator
yang tak bisa tidur nyenyak!
Aku Diburu
Pemerintahku Sendiri
aku diburu pemerintahku sendiri
layaknya aku ini
penderita penyakit berbahaya
aku sekarang buron
tapi jadi buron pemerintah yang
lalim
bukanlah cacat
pun seandainya aku dijebloskan
ke dalam penjaranya
aku sekarang terlentang
di belakang bak truk
yang melaju kencang
berbantal tas
dan punggung tangan
kuhisap dalam-dalam
segarnya udara malam
langit amat jernih
oleh jutaan bintang
sungguh
baru malam ini
begitu merdeka paru-paruku
malam sangat jernih
sejernih pikiranku
walau penguasa hendak
mengeruhkan
tapi siapa mampu mengusik
ketenangan bintang-bintang?
Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Puisi Jawa
Reco Ngglandag
reco nggladag
coba takona
bocah-bocah kuwi anake sapa
apa kupingmu ora risi
krungu cekikikane bocah-bocah kuwi
coba takonana omahe ngendi
iki wis bengi
coba tamatna sopir-sopir becak kae
turu angler ora sarungan
apa sing dienteni? rejeki?
reco nggladag
tulung
jawilna sutinah
sing rambute dawa diklebang loro
kuwi
mengko esuk arep turu ngendhi?
solo, 4.8.87
Jalan Magelang
Tengah Wengi
bakul-bakul genthong
genteyongan mikul dagangan
baris ing petengan
kaya budhak mangkat kerja rodi
bakul-bakul genthong
genteyongan munggah-mudhun
saka desa mlebu kutha
golek pasar
bakul-bakul genthong
genteyongan
mburu pulukan upa
kartasura, 2.8.87
Geguritan Iki Mung
Pengin Kandha
geguritan iki mung pengin kandha
ing njaba ana wong sambat ngaluara
sajake bubar dipulasara
swarane ora cetha
gremeng-gremeng ing petengan
cangkeme pecah
awak sekojur abang biru
apa kowe ora krungu?
coba lirihna omonganmu
mbok menawa kowe ngerti
apa karepe
geguritan iki mung aweh kabar
ing njaba bathang bosok pirangpirang
apa irungmu ora mambu
thok! thok! thok!
sing teka aku kana
lawangmu ngakna
solo, 8.6.87.
Aku Dudu Satrya
yen kiwa tengen kebak wong
dipulasara
aku ora arep mungguh gunung tapabrata
yen kiwo tengen pating njlerit
aku ora arep nyepi ing ringin-ringin
wingit
aku dudu satrya
aku dudu pangeran sing arep
munggah nata
aku rakyat biasa
menungsa cilik sing nduwe tangga
Jimat Sekti
wong lanang kudu menang
wong wedhok kudu ngalah
wong lanang ngekep jagad
wong wedok ra kena mbantah
wong lanang kena saba sakdalandalan
wong wedok wis mesthine ning
ngumah
wong lanang bedhigasan ora nggenah
wong wedok ora wani obah
wong lanang kuwi pancen ngglathak
licik lucu lan mamak
karepe wong wedok mung dikon
mlumah ngglethak
yen gregah-gregah arep tangi
gage-gage diagar-agari jimat sakti
sing jenenge norma adat tradisi
Beberapa pilihan puisi Wiji Thukul dalam Puisi Lepas
Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?
Untuk Prof. Dr. W.F. Wertheim pada ulang tahun yg ke-90 (11-11-1997)
Waktu aku di geladak kapal
di tengah Laut Jawa
bersama para TKW dari Malaysia
pulang hendak berlebaran di kampungnya
ingin aku menulis puisi
dengan pembukaan: hidup ini seperti laut
dan aku ini penumpang yang…
tapi apakah hidupku ini masih butuh perumpamaan
Waktu aku hendak ke Yogya
lewat Ponorogo Jatisrono terus Wonogiri
dan di Pracimoloyo mampir mandi
di mata air bersama satu-satunya
untuk beberapa desa
waktu naik bis umum
bersama penduduk yang membawa ember
kain baju cucian
berkilo-kilo meter jarak rumah ke
mata air
akan bertanya-tanya
masihkah aku membutuhkan perumpamaan
untuk mengungkapkan ini?
Waktu mataku ditendang tentara
dalam pemogokan buruh
dalam hati aku bilang mereka lebih ganas dari serigala
tapi aku masih ragu apakah perumpamaan ini
kupahami
Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek – biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku –4 th—melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan : AKU TIDAK MERDEKA
Jakarta, 1 Nopember
1997
Dengan Apa Kutebus
Anakku
anak kami lahir
kemarin malam
di rumah sakit
di bangsal murah ya di bangsal murah
berjubel
bersama bayi-bayi lain
di bangsal murah ya di bangsal murah
pagi ini
mestinya aku di sana
membantu biniku cucicuci popok
atau memapahnya ke kamar mandi
tapi mana bisa
sebab aku harus berangkat kerja
tak kerja tak terima upah tak punya
uang
dengan apa kutebus bayiku?
hari ini mestinya aku di sana
membopong bayiku yang dikembani
jarik
agar biniku bisa enak beristirahat
tapi mana bisa
sebab jam delapan tepat
aku harus sudah tiba di tempat
kerja kerja ya kerja
tak kerja tak terima upah tak punya
uang
dengan apa kutebus bayiku?
sekarang aku mestinya di sana
mencium pipi bayiku yang merah
memeluk biniku yang masih lelah
tapi aku tak bisa
sebab aku harus lembur
aku lelah aku lelah
anak kami lahir
kemarin malam
di rumah sakit
di bangsal murah ya di bangsal murah
berjubel
bersama bayi-bayi lain
di bangsal murah ya di bangsal murah
karena kami buruh
bayi kami berjubel di bangsal murah
tidak seperti bayi di ruang sebelah
ruangannya lain baunya lain
hawanya lain cahayanya lain
kamarnya lapang suasananya tenang
karena kami buruh
bayi kami berjubel di bangsal murah
jejer jejer seperti para korban perang
kata perawat yang kemarin malam
tugas jaga
tarif kamar bayi kami itu murah
tapi tetap masih mencekik juga
sebab untuk nebus bayi kami
kami harus mengganti
dengan kerja
8 jam x 40 hari
8 jam
setiap hari
8 jam dari umur kami setiap hari
dicuri
puluhan tahun kami bekerja
setiap hari
kalian merampas sarinya
sari-sari peluh kami
kalian terus peras kami
kalian terus peras
sari-sari bebuahan
vitamin
susu
dan gizi-gizi
yang dibutuhkan tulang-tulang
otot dan jantung bayi
buah hati kami
kampung kalangan
26/5/94
Maklumat Penyair
pernah bibir pecah
ditinju
tulang rusuk
jadi mainan tumit sepatu
tapi tak bisa mereka
meremuk: kata-kataku!
seperti rampok
mereka geledah aku
darah tetes di baju
tapi tak bisa mereka
rebut senjataku: kata-kataku!
ketika aku diseret
diancam penjara
si kerdil yang bernama ketakutan
kutendang keluar
dan kuserukan maklumat:
”kalian bisa bikin tubuhku lebam
membiru
tapi tak bisa kalian padamkan
marahnya kepalan kata-kataku!”
jakarta, nov. 1993
Penyair
jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis di dinding
jika menulis di dilarang
aku akan menulis dengan
pemberontakan
dan tetes darah
sarang teater jagat, 19 januari 1988
Meditasi Membaca
Buku
Buku membuat aku jadi pribadi sendiri
Aku terpisah dari orang-orang
Yang bekerja membangun dunia
Dengan pukul palu peluh dan tenaga
Aku merasa lebih mulia
Karena memiliki pengetahuan dan
mampu membeli
Aku merasa plus dan tak rendah diri
Lebih dari yang lain
Biarpun tak menindakkan apa-apa
Aku bisa membuat alasan
Aku jadi lebih pintar berargumentasi
Dan diskusi panjang lebar
Biarpun tidak menindakkan apa-apa
Aku kenal penyair-penyair besar
Dan merasa lebih berarti
Aku mengangguk-angguk saja ngantuk
Mengagumi orang-orang besar
Pikiranku meloncat-loncat
Mencekal rumus-rumus
Dengan kepercayaan yang tulus
Lalu merasa lain dari yang kemarin
Dan lebih ilmiah
Biarpun tidak menindakkan apa-apa
Dan tak berani menolak printah
Apalagi membangkang si pemerintah
Yang tak berakal sehat
Buku membuat tanganku tak kotor
Aku merasa takut kotor
Dan disebut tukang
Biarpun aku ini sama saja
Dengan kalian yang bekerja
Menggali jalan-jalan untuk telephone
Yang bekerja dengan pukul palu peluh
dan tenaga
Mendirikan gedung-gedung bagus dan
kantor negara
Buku-buku mendudukkan aku di
tempat yang tak boleh diganggu
Saudara-saudara bangunkan aku!
sorogenen, 14 maret 1988
Tuntutan
rakyat adalah kami
mulut-mulut yang bersuara
mendukungmu
dalam setiap Pemilu
rakyat adalah kami
tenaga dari kaki-kaki dan tangan-tangan
yang memikul tandu gambar
partaimu
yang bersorak-sorai oleh lemparan
permen
dan gula-gula janji perbaikan nasib
rakyat adalah kami
usus-usus melilit
perut-perut butuh kenyang
yang kalian sebut-sebut
dalam pidato-pidato kampanyemu
rakyat adalah kami
daun telinga yang mendengar
mata kepala yang bersaksi
: sekarang beras mahal.
kini kami tuntut
kalian di mana?
Nyanyian Tanah Ibu
siapa yang menggetarkan suaraku
yang menggetarkan udara
getaran menyalakan pita mulutku
mulutku bicara
sama-sama mereka
yang jongkok menghadap selokan
rakyat biasa yang tenaganya luar
biasa
siang malam membangun
maka jadilah otot-otot kota
berdirilah gedung-gedung
menghamparlah jalan raya
rakyatku menggali
ditimbuni batu-batu
mengaspal jalan-jalan mobil
rakyatku diam
tak disebut-sebut
rakyatku bisu
(tapi di dalam gelap piye-piye
kadang melenguh seperti sapi
diperah
tanpa waktu
seperti kuda beban digebug
tanpa waktu)
rakyatku adalah pencipta sorga di
dunia
meski ia sendiri tak pernah mencicipi
sebab sorga telah dijilat habishabisan
sampai hutan-hutan ikut terbakar
rakyatku adalah pelayan setia
yang hanya bekerja dengan gembira
dan bangun pagi: lunasi utang!
19 januari 1988
Peluk Sekuat Cintamu
kehadiran kita nanti
akan diterima dunia yang kabur
perkawinan kita nanti
perayaan kemiskinan besar-besaran
anakmu nanti
akan lahir ke dunia juga
diperas kerja keras
tapi ucapkan selamat kekasihku
semoga terang
biar kemiskinan menempatkan diri
di pojok-pojok
kita harus ambil bagian
ucapkan selamat kekasihku
mari ke depan maju
kecupi rahmat
peluk ! peluk sekuat cintamu
tegalmade bekonang, 15 maret 1988
Habis Upahan
barusan
lenyap
upah kerja sebulan
sekejap
lenyap
sekejap saja mampir di kantong
dipotong spsi
sewa rumah bon di warung
odolshampo dan ini itu
kantong kembali kosong
di lantai lembab bertopang dagu
di paku-paku bergelantungan
anduk basah dan cucian
dalam tempurung kepala
jelas terbayang
hasil kerja memenuhi bak mobil
mobil angkutan
dibawa kapal menyeberangi lautan
memasuki toko toko sudut sudut
benua
dan tiap akhir bulan
kami yang mengupas kapas
jadi wujud kain
kain kain serupa pelangi
tiap akhir bulan
di bawah lampu penerang
rumah kontrakan
yang remang-remang
mengotak-atik
kertas slip *
seperti anak SD
mencari jawaban
soal matematika
Solo, 4 Agustus 1993
*) rincian upah
Tentang Wiji Thukul
Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo. Nama Wiji
Thukul ditabalkan oleh Cempe Lawu Warta saat ia masuk ke Teater Jagat. Wiji
Thukul artinya “Biji Tumbuh”. Nama itu sempat pula ditambah sendiri oleh Wiji
menjadi Wiji Thukul Wijaya. Namun karena nama terakhir sering diledek
teman-temannya sebagai berbau borjuis, maka dibuanglah. Pendidikan: SMP Negeri
8 Solo; Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Kumpulan
puisinya: Puisi Pelo dan Darman dan Lain-lain (keduanya diterbitkan Taman
Budaya Surakarta pada 1984), Mencari Tanah Lapang (Manus Amici, Belanda,
1994), dan Aku Ingin Jadi Peluru (Indonesia Tera, 2000).
Catatan Lain
Dalam kata pengantar kumpulan puisi ini, dijelaskan
panjang lebar asal-muasal puisi-puisi Wiji Thukul. Bagian pertama (puisi
pelarian) adalah pemberian Wiji kepada Stanley Adi
Prasetyo, mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sebelum ia
menuju pelarian berikutnya. Manuskrip berupa naskah tulisan tangan dengan
pensil di atas kertas surat putih bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik.
Diserahkan pada pertengahan Agustus 1996. Manuskrip itu pernah dipublikasikan
sebagai bagian dari artikel Stanley, ”Puisi Pelarian Wiji Thukul”, di jurnal Dignitas
Volume VIII Nomor 1 Tahun 2012, yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat.
Bagian
kedua (puisi bahasa jawa) pernah muncul dalam antologi puisi bersama Keliek
Eswe dan Sugiarto B. Darmawan, Antologi Puisi Jawa: Geguritan Iki Mung
Pengin Kandha, yang diterbitkan pada 1987 oleh Taman Budaya Jawa Tengah di
Surakarta. Bagian ketiga (puisi lepas) dapatkan berkat bantuan Jaap Erkelens,
sahabat Thukul yang pada 1990-an menjadi Direktur Koninklijk Instituut voor
Taal,- Land- en Volkenkunde perwakilan Jakarta. Puisi lainnya adalah karya yang
dimuat dalam kumpulan puisi Thukul yang dibacakan di Teater Arena Taman Budaya
Surakarta pada 8 Mei 1995. Kumpulan itu diperbanyak oleh Sekretariat Pusat
Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, organisasi kemasyarakatan Partai Rakyat
Demokratik di ranah kesenian. Demikian antara lain paparan panjang lebar di
kata pengantar.
Oya,
majalah Tempo edisi itu juga banyak memuat cerita tentang Wiji. Misalnya
tentang diksi yang paling melekat pada Wiji “maka hanya ada satu kata: lawan!” ternyata bukan ide murni Wiji. Dikatakan bahwa ia
terpengaruh oleh puisi seorang temannya di teater Jagat, bernama Pardi. Puisi
yang dibuat setahun sebelumnya itu berjudul Sumpah
Bambu Runcing.
...Ini penindasan yang tidak boleh
kita biarkan
Tapi jika bambu runcing kita hancur
luluh
Terbakar api senjata musuh
Pada kita masih ada satu kata: LAWAN!”
Tahun 1994, Wiji membuat kumpulan puisi yang berjudul Mencari Tanah Lapang. Ternyata judul itu
mengambil dari puisi Pardi juga dengan judul yang sama.
Lalu di bawah pohon waru yang
tumbuh pinggir jalan
Anak-anak segera duduk sambil
mengenyam lelah
Desah nafas mereka bertautan di
bawah angin senja
Tapi mata mereka gelisah mencari
tanah
lapang.
Dijelaskan juga sikap berkesenian Wiji,
berdasarkan cerita teman-teman dekatnya, disimpulkan seperti ini: Bagi Wiji,
kesenian itu harus ditonton, harus punya publik, dan mesti mampu
membentuk kesadaran publik. Dikatakan bahwa ia sering mengutip perkataan Bertolt
Brecht, penyair dan dramawan kondang asal Jerman, ”Setiap orang adalah seniman dan setiap
tempat adalah panggung.”
Wiji memiliki istri bernama Siti Dyah Sujirah (Sipon).
Anaknya ada dua: Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Anaknya pertama, Wani, telah
pula menerbitkan buku puisi pada tahun
2009. Judulnya Selepas Bapakku Hilang (74 puisi), ditulis selama
delapan tahun sejak tahun 2000. Itu artinya, ia mulai menulis puisi sejak
berusia remaja, sekitar 15 tahun. Anaknya kedua, konon, mengambil jalur musik.
Ia menjadi operator di sebuah studio musik. Dan ia juga sekolah di sekolah
bapakknya dulu, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan 8 Surakarta, yang dulu bernama
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar