Data buku kumpulan puisi
Judul : Sajak Perjalanan Pertama
Penulis : Dedisyah
Penerbit : Jejak Publising, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 99 halaman (29 puisi)
ISBN :
978-979-19552-0-1
Desain sampul :
DS Priyadi
Lay-out : Abdul
Jamil
Dicetak oleh :
Fokusahaja Yogyakarta
Prolog : Tian
Bahtiar
Beberapa pilihan puisi Dedisyah dalam Sajak
Perjalanan Pertama
Aku Menuju Kepadamu
Kupu-kupu di puncak cemara,
terbang menuju panggilan cakrawala.
Langit di atas terbuka luas,
bumi diam tak terbatas.
Ratna,
tunggulah aku.
Tinggalkan masa lalu yang jauh itu.
Perjalanan adalah mencangkul jiwa
Perjalanan adalah mengolah sukma.
Seperti pasir-pasir yang gemerisik
berlarian ke teratak;
aku menuju kepadamu!
Parangtritis, Januari 2006
Sajak Perjalanan Pertama
Setengah hari mendaki,
dan kini aku letih;
terduduk di bawah naungan pinus tua.
Darah mendidih
dan nadi menggebu.
Perjumpaan keringat
dengan udara dingin
mencipta uap hangat
di permukaan kulit.
Mulailah jiwa merendah
menyelami kedalaman ziarah.
Lalu kubaca perlahan,
pesan pada ketenangan langit mendung
atau guratan batu-batu kali yang agung.
KerajaanMu terlampau jauh,
bahkan untuk seorang debu dan tanah.
Aku kosong menjelang cintaMu.
Kutunaikan,
apa yang mesti kutunaikan.
Kulunaskan,
apa yang mesti kulunaskan;
maka biarkan aku lebur bersamaMu.
Solo, Januari 2006
Pulang KepadaMu
Pulang, pulang.
Tuhan aku pulang.
Susah payah kuseberangi mimpi
kita bersampingan meniti pelangi.
Sekitarku mati sunyi
ngeri membiak,
berdesak-desak.
Rindu memberontak,
bertolak-tolak.
Lalu dari malam
wangi kelopak-kelopak melati;
adalah segala kegalauan
dan bimbang tersia-sia.
Kaulah kepastianku
sebab Engkau tangga naik ke langit.
Selama mata tengadah memandang
selama doa-doa mengaliri nafas
maut tak kuasa merampas.
Pulang,
pulang.
Aku berpulang
dari gelap menuju terang.
Surabaya, 06
Januari 2004
Etsa Mawar Hijau
Batu kali
terendam sepi.
Bulan malam
memendam mati.
Hatiku sekarat
memeluk mati.
Melihat kekasih
murung sendiri.
Sekali waktu
nanti,
tanah lapang
ini,
batu-batu kali
yang dingin,
rinai air hujan,
selaksa capung,
dan sore yang
hampir rampung,
akan jadi saksi
saat kita tak
ada jarak lagi.
Saat di mana kau
di sisi kananku
sambil merona
malu-malu.
Hampir jam enam
sore,
tiga ekor gurame
di dalam telaga
menggeliat malas.
Gerimis. Gerimis
semula manis
namun akhirnya
berubah drastis.
Di atas truk
yang membawa kita,
aku gemar
memandang matamu,
mencuri-curi
melirikmu.
Kau merona
malu-malu
kita pun
sama-sama tersipu.
Duhai,
cerita sore yang
fana.
Semua yang indah
masih tersisa
menjalar pada
dinding-dinding ingatan kita.
Cibodas, Februari 2005
Etsa Mawar Hitam
Mawar hitam
telah mekar
diam-diam.
Lalu sepi yang
datang bersama hujan
menjadi lahan
subur persemaian.
Pengembara masih
sendiri,
tak mungkin
selamanya berlari.
Datang rindu
belaian,
singgahlah ia di
padang perhentian.
Tidak juga mawar
hitam
telah mekar
diam-diam.
Di atas hati
yang rindu ia tak tertolakkan.
Kata-kata
terpendam,
ungkapan
tertimbun dalam-dalam,
dan keberanian
mengucap salam.
Itulah mawar
hitam,
ialah cinta yang
tak sempat terucapkan.
Cibodas, Februari 2005
Eforia
Daun-daun
merapuh
berganti warna
lalu jatuh.
Ketika kebisuan
jatuh
kata-kata
bersuara dalam riuh.
Jakarta, 21 Mei 1998
Sajak Perjalanan Selanjutnya
Perjalanan demi
perjalanan,
selalu mempertemukan
dan membuka
kepada pengertian-pengertian.
Gerimis yang
lembut,
kabut yang naik
merayah,
dan seekor elang
berputar di atas lembah,
adalah puisi
kiriman langit.
Rindu menjadi,
rindulah aku
pada pribadi.
Kebenaran jiwa
sejati tanpa diri.
Solo, Januari 2006
Catatan Perjalanan
Kelelawar-kelelawar
berkelebat
menembus Barat.
Terang tanah
menelan bumi
rembulan pudar
ganti matahari.
Saatnya mimpi
ditali dipaku
dan kembali
pasang sepatu.
Cahaya pagi
menerobos atas rumah
turun tipis membelai
wajah.
Sembilan tahun
berjalan dalam tidur
mencari-cari
bentuk dalam kabut.
Wajah menempel
di kaca gedung bertingkat
berkejaran
dengan usia yang singkat.
Pada gang-gang
sempit
di mana
orang-orang berjalan berhimpit.
Pemuda kembara
bersepatu gunung
menerima malang
dan bunting.
Bersiul dalam
udara hitam
dan peluh
menetes dari dahinya kusam.
Lebih jauh di
jalanan beraspal
ia bertemu
kaki-kaki di atas trotoar,
tembok-tembok
bergambar,
namun di saku
tanpa tanda pengenal.
Déjà vu
sepanjang hari,
semua tempat
seperti pernah disinggahi;
sudut-sudut
sebentuk,
rambu-rambu
penunjuk,
tikungan jalan
serupa,
jembatan
penyeberangan satu warna.
Hati yang patah
ialah
pemberontakan yang nyala.
Duhai, wajah
masa lalu
tak mungkin aku
kembali kepadamu.
Masa lalu boleh
disimpan
ditetapkan jadi
rumusan.
Kenyataan
sekarang perlu dihayati,
kenyataan
mendatang harus digalang,
sebab catatan
perjalanan
mutlak terus
diperbarui
Jakarta, 06 November 2004
Suara Duka
Bahkan terang
tanah baru tiba
ketika sejuta
bunga kemboja
mengapung di
udara.
Satu demi satu
kelopaknya terbuka.
Duka segala
duka,
berhimpun di
hati manusia,
dalam mata
terpejam
datang tanpa
peringatan
Sesayup-sayup
angin gaib menyanyi,
membawamu pergi
tinggi.
Duhai, Alwasi!
Debu
bertimbun-timbun
kembali kepada bumi
Salemba Tengah, 27 Mei 2006
(Peluk terakhir bagi Nenekda
tercinta)
Hujan Datang
Hujan datang,
daun-daun
trembesi melayang.
Hujan datang,
membasuh jiwaku
telanjang.
Orang-orang tua,
menjaring jejak-jejak
masa muda.
Wajah merayap
tegang,
hati gatal oleh
buluh ilalang.
Hari itu,
aku lihat
wajahmu
muncul dari
balik asap tembakau.
Perlahan menjauh
dan menjauh,
mengabur lalu
jauh,
melesap,
meruap lenyap.
Njelma gagak
hitam,
meloncat ke
dalam kereta senja,
menempuh Solo
ketika malam.
Dan aku
memandang saja.
Hanya memandang
saja
Duhai,
tak tahukah
kamu,
suara kesedihan
hatiku
adalah suara
serangga ketika malam tiba?
Aku ngumpet di
Yogyakarta
berusaha
melupakanmu.
Namun terus saja
wajahmu
memburu dan
memburu.
Kupacu tuju,
dalam aral
waktu,
melimpah dosa
dalam saku,
namun begitu
mudah terpikat
dalam satu
pertemuan singkat.
Hujan datang
wajahmu dan
wajahku melayang.
Hujan datang,
sukmamu dan
sukmaku telanjang,
lenyap dalam
udara fana
Salemba Tengah, Januari 2006
Lingkaran di Bawah Pohon
Pertemuan
Zappa. Zappa.
Di bawah naungan
pohon pertemuan,
duduk bersama di
lingkaran
Menghayati napas
dan tulang
punggung.
Menyadari diri
sendiri,
menyapa diri
sendiri,
berdiam dalam
sendiri.
Tubuh-tubuh
telanjang
memasuki alam.
Membebaskan
tubuh
dari bingkai-bingkai
pikiran.
Marilah mulai
bergumam
dan ziarah ke
masa silam.
Maka, terbukalah
sayap-sayap malam
mengangkat sukma
anak-anak muda
ke udara.
Ya, memang
sekujur tanah
ini telah banyak kenangan,
namun juga
banyak dendam.
Ada wajah-wajah
nenek moyang
hanyut terbawa
sungai ke samodra;
Kartini berkirim
surat gugatan
ke negeri
Belanda
Arok menyelinap
di antara pohon pisang
bersiap
mengancam kemapanan
Pakodato di atas
vintas,
menaklukkan
ombak samodra Hindia.
Sedang di sini
suatu ketika;
selembar kondom
tergencet roda mobil mewah
berplat warna
merah
Dan memang,
wajah-wajah
terus saja berubah,
sebab pikiran,
erat bertaut
dengan keadaan.
Aliran sungai
yang sama
mustahil kembali
dijumpa.
Generasi-generasi
pendahulu
segera diganti
generasi-generasi baru.
Jaman bergerak,
terus bergerak.
Jaman berjuang,
melahirkan generasi
pejuang,
Jaman damai,
melahirkan generasi
lunglai.
Zappa. Zappa.
Hari-hari
kuliah,
dalam ruangan
penuh ceramah.
Menghafal
diktat-diktat purba.
Praktikum
dan laboratorium.
Ujian akhir
dan tengah
semester.
Peraturan
dan tekanan
dosen.
Tawa dan bicara
basa-basi,
wajah-wajah
tanpa ekspresi.
Total jenderal,
kopi dan tebu,
hasil program
tanampaksa pendidikan.
Ayolah,
berlatih menggerakkan
jiwa!
Saatnya
sekarang, Antigone
Plato, Sokrates,
Aristoteles
Pushkin,
satelit,
sembelit politik,
pergerakan alam,
perkemahan kaum
urakan,
atau apa saja
tentang kehidupan.
Asing terhadap
diri sendiri,
terjerembab ke
dalam lubang anarki,
lantas membrengsek
keadaan atas nama protes,
sambil membakar
ban bekas.
Menjadi penimbun
bensin dan beras.
Aparat yang
biasa korupsi.
Mafia di
belakang kerusuhan dan demonstrasi.
Teroris yang
meledakkan kepala saudaranya sendiri.
Atau pemimpin
yang lebih percaya diri
dengan hutang
luar negeri,
daripada
bertumpu daya sendiri.
Hidup tanpa
dasar kehidupan
dan bertumpu
atas nilai pasar
adalah hidup
tanpa akar.
Aturan utamanya
ialah mencuri
selisih,
atau menumpuk
barang di gudang.
Karena ilmu
ekonomi
diterjemahkan
sebagai ilmu efisiensi dan monopoli,
bukan ilmu
saling mencukupi.
Keluhuran teori,
tanpa dilandasi
semangat implementasi
adalah
masturbasi.
Sama halnya,
membangun
landasan etika dan moral
di bawah pedoman
lagu rock n roll.
Seorang anak
muda linglung
tak tahu apa
mesti diperbuat,
bagaimana
berbuat,
dan mengapa.
Dengan bangga
nerocos bicara
tanpa paham
ujung-pangkalnya.
Menerima
kemapanan sebagaimana adanya
tanpa suka
bertanya perlu dan manfaatnya.
Bahkan, dengan
wajah yang bego
berusaha sembunyi
dari tanggung jawab.
Lantas hendak
menjawab apa?
Bukankah
tanggung jawab
adalah kewajaran
dalam hidup?
Bukankah hidup
kehilangan arti
tanpa keluhuran
hidup itu sendiri?
Yakni, apabila
seorang manusia,
telah menunaikan
tanggung jawab
kehidupannya,
atau memperjuangkan
sikapnya
dalam suka
maupun duka.
Jika ada
sejumput niat baik,
sisa sejumput
itulah
yang harus
dipertahankan.
Sebenar-benarnya,
tak ada yang
istimewa
karena itu
adalah hal yang sudah biasa,
bagi manusia
fana;
sangat-sangat-sangat
biasa.
Jadi mengapa
enggan
duduk dalam
keheningan?
Sikap ragu-ragu,
akan membelenggu
kesadaran,
untuk mengolah
kemungkinan-kemungkinan.
Dan rupanya,
kesadaran
benar-benar
sudah menjadi
patung batu
dan candi-candi
masa lalu.
Ya. Ya.
Patung batu
semakin kukuh,
candi-candi
tertutup lumut,
dan rumpun
ilalang sudah tumbuh.
Hening malam
bertiup angin.
Anginnya kelam
menyusut bathin.
………………………..
Apakah kita
generasi kemudian
yang termangu di
halte-halte pemberhentian?
Lampu,
listrik,
atom,
matematika,
astronomi,
obat-obatan,
dan apakah yang
sudah kita sumbangkan
kepada umat
kehidupan?
Ada kurasakan
satu elektron
berputar-putar
pergi meninggalkan
atomnya.
Alam semesta
terbentang,
seluas mata
memandang;
kedua tangannya
terbuka,
lebar-lebar,
lalu ia
bergumam: zappa, zappa.
Tubuh-tubuh
telanjang
memasuki pelukannya.
Sayup-sayup
terdengar suara serangga
di pedalaman
hutan Kalimantan,
pohon-pohon
tumbang,
deru pesawat
terbang,
gemerisik kabut
dari langit,
lumba-lumba di
permukaan laut,
raung sirine,
suara doa-doa
dari surau,
Arok berbisik
vintas Pakodato
menderit,
sobekan kertas
surat Kartini,
aroma rempah,
bau limbah di
permukaan kali,
bau lumut,
asap knalpot,
dan sebentuk
rembulan bulat
di atas puncak
menara.
Jagakarsa, November 2006
Makna pada Fana
Begitulah,
matahari
mencipta fatamorgana,
dengan alam
memutuskan takdir kita.
Bukan soal
menang atau kalah,
tetapi bahwa
hidup telah diberi makna,
sebelum akhirnya
terjungkal dalam
jurang fana.
Salemba Tengah, 17 Agustus 2005
Tentang Dedisyah
Dedisyah
lahir di Surabaya 27 Juni 1977. Menggiatkan teater kampus dan sesekali
menyutradarai sekaligus bermain drama. Pekerjaanya saat ini, sebagai analis
media di sebuah perusahaan media monitoring.
Catatan Lain
Saya
tak pernah mengenal, juga tak pernah mendengar nama penyair ini sebelumnya.
Sepertinya, namanya tak begitu riuh di pelbagai antologi bersama. Dengan sangat
menyesal, itu saja catatan saya kali ini. Tapi itu mengingatkan saya pada sajak
Wislawa Szymborska. Judulnya “Terima
Kasih”. Begini bunyinya: “Aku banyak
berhutang budi/kepada mereka yang tak kucintai.//Lega rasanya mengetahui/bahwa
mereka lebih dekat dengan orang lain.//Gembira lantaran tidak menjadi/serigala
bagi domba mereka.//Bersama mereka aku merasa tenteram,/bersama mereka aku
bebas,/dan cinta tak akan mampu memberi/dan tak tahu bagaimana menerima/…” (sumber: Jurnal Puisi, Nomor 6 – Desember
2001, hlm. 59).
Puisi-puisi yang indah...kunjungi juga blog saya di http://puisiwisnu.blogspot.com
BalasHapusPuisimu indah..seindah puisi yang puitis
BalasHapus