Data buku kumpulan puisi
Judul : Aku Hadir di Hari Ini
Penulis : Hr. Bandaharo
Penerbit : Ultimus, Bandung
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : viii + 180 halaman (66 puisi)
Editor : Putu
Oka Sukanta, Bilven
Desain sampul :
Dhany A.
Desain buku :
Bilven
Beberapa pilihan puisi Hr. Bandaharo dalam Aku Hadir
di Hari Ini
Antara Dua Sungai
untuk Pai Yu-hua
I
Senja itu aku berdiri di tebing-beton Sungai Mutiara
Berapa lama sudah air ini bulak-balik ke laut?
Dia membawa duka dan suka dari muara,
derita berganti diusung dan dihanyutkan.
Kanton lahir dan tegak menjadi tua
bercermin air mengalir, pasang dan surut;
dia mengenal wajah sendiri dalam membisu
dia memikul beban tiada mengeluh.
Sudah berapa lama mesin-mesin menderu di sini?
Tanyakanlah pada air yang tak pernah membeda-bedakan,
lawan dan kawan didukungnya datang, didukungnya pergi.
Tanyakanlah pada Kanton yang membisu dan menahankan
pukulan dan hantaman sejarah yang membesarkannya.
Air sungai ini sejak dulu bercampur darah dan peluh
rakyat yang banting-tulang melanjutkan hidup diperas.
Pahlawan-pahlawan Pemberontakan Kanton sekali membalas
dan berdirilah komune selama tiga hari penuh.
Mungkin mayat-mayat pejuang pernah mengapar di sini
berkisar antara muara dan Kanton
menatap langit rendah musim rontok yang larut.
Di sini dimulai revolusi didukung dua kaki, kanan dan
kiri
jatuh-bangun selama 38 tahun, akhirnya menang, tunggal
dan merah.
Ketika malam mati di langit tak ada bintang
gumpalan-gumpalan awan bergerak berat menyimpan hujan
Sungai Mutiara seperti naga tidur membuntang
di sana-sini caya lampu membias di riak-air, membayang
seolah-olah sisik mengilatkan warna.
Kanton kelihatan bertambah tinggi tegak menegang
mendungak menupang langit yang akan runtuh.
Kapal-motor membawa barang kemalaman dari muara
mendengus kesaratan, sesekali menyentak menjerit panjang;
suara peluit itu terempas pada keterjalan kelam
menjadi serak dan pecah seperti lenguh sapi kelelahan.
Di saat-saat begini orang hanya berteman diri sendiri.
Ada yang rindu lalu menangis melegakan hati
ada yang memendam cinta, mengigau lena bermimpi
yang berdosa menyesali hari-hari lalu, harap pengampunan
datang
yang dirundung duka merintihi luka dalam kesepian.
Di saat-saat begini aku merangkul dunia ke dalam
pelukanku
terasa seluruh keharuan melebur dan kunikmati
dalam kegairahanku menyambut hari baru.
Tiada kesendirian pada kematian malam
karena genderang fajar menyingsing kudengar bertalu.
Dan Si Mungil diperkenalkan padaku sebagai teman
dalam perjalanan antara dua sungai, Mutiara dan Yalu.
Ah, alangkah lapang terasa dada, ketika Si Mungil menyapa
mengulurkan tangan sambil tertawa, “Selamat datang di
negeri kami!”
Kenyamanan bukanlah bikinan, dia memancur dari hati
yang diantar ucapan Si Mungil, “Anggaplah negeri ini
negeri sendiri.”
“Mungil,” kataku, “aku ini pengembara sejak mudaku;
hatiku melintasi samudra dan berada di semua benua
pikiranku menerawang menggarisi angkasa ke semua penjuru.
Negeri ini negeri tua yang puas dilanda derita setiap
zaman,
tapi terlihat dan terasa sesuatu yang baru sedang
mengembang
menebar di bumi dan langit yang mempesona setiap orang
untuk berdiri atas dua kaki dan mempergunakan tangan
siang-malam mengolah tanah, memperbarui yang lama
serta menegakkan kokoh yang baru-baru, berlomba-lomba
dengan kepulan asap pabrik menjulang tinggi.
Katakan padaku, apa sedang bersemi di negeri ini?”
“Negeri ini negeri kerja,” kata Si Mungil, “dan musim
semi abadi
meliputi hati kami. Rakyat yang tegak melemparkan
duka-duka lama.
Dari perut bumi kami gali kehidupan dan kami tegakkan
bersama-sama
menjadi kenyataan yang memberi bahagia dan suka.
Dan bunga baja memerahi seluruh negeri.”
II
Di daerah antara dua sungai ini tiada persoalan pemilikan
tanah; orang sudah menguasai tanah dengan dua tangan.
Mereka suburkan tanah tandus dan keringkan rawa-rawa
mereka ratakan gunung dan timbuni laut, dan begitu saja
mereka alihkan arus dan pindahkan lembah-lembah.
Aku melihat tanah ditundukkan dan dipaksa menghasilkan
menurut ketentuan yang diperlukan dan menurut
jatah-jatah.
Tanah seolah-olah gembira menyerahkan isinya yang
terpendam
ratusan, ribuan tahun: bijih-bijih besi dan berbagai
logam,
batu-bara dan segala macam yang sekalipun Jules Verne
tak pernah mengangankan. Pabrik-pabrik dan tanur-tanur
berdiri
mulai dari bengkel-bengkel dan dapur-dapur kampungan
sampai kepada pabrik-pabrik dan tanur-tanur raksasa di
Ansan,
di Wuhan, dan menebar di seluruh negeri
sebab di daerah antara dua sungai ini kerja tak pernah
henti.
Ai, alangkah mempesonanya kerja ini:
kerja yang pertama-tama menciptakan dua belah tangan
kemudian dua belah kaki, dan terciptalah manusia baru,
manusia yang berjalan atas dua kaki dan bekerja dengan
dua tangan
manusia yang menguasai tanah dan menundukkan tanah itu
menurut rencananya: lima tahun pertama, lima tahun kedua,
maju melompat menunggang kuda bersayap, dan menang.
Aku melihat petugas-petugas pilihan rakyat bekerja
berlomba-lomba
dengan pemilih-pemilihnya; dipilih berarti dipercayai
dan di sini kepercayaan lebih berharga dari mas-intan
karena kepercayaan berarti kesempatan dengan kecakapan
mengabdi negeri.
Bayangkan seorang pekerja terbaik di antara 600 juta
manusia
yang jadikan kerja kebutuhan hidup, serupa minum dan
makan;
dia pasti seorang Titan, yang pernah menaklukkan
Yangce-kiang
mengalahkan banjir dan musim kering, yang menciptakan cantata-cantata,
yang melakukan long
march, melewati seribu gunung dan seribu sungai.
Dan Titan-titan ada di semua bidang kerja, mulai bidang
pemusnahan hama
lewat pengumpulan besi-tua sampai ke pembikinan baja,
dari pemberantasan buta-huruf sampai penciptaan balada
Sungai Mutiara.
Daerah antara dua sungai ini adalah daerah Titan-titan,
sambil bernyanyi
membangun titi dan bendungan, menegakkan gedung-gedung
belasan tingkat
beradu-tahan menghadapi dapur-dapur pengecoran dan api
menjilat-jilat
berkompetisi menghasilkan baja, juga berlomba membunuh
lalat.
Aku berjumpa dengan mereka, bersalaman dan bersenda-gurau
tawanya lebar, kelakarnya sehat. Mereka anak-anak rakyat
dibesarkan derita dan juang: dengan ideologi mereka tegak
dan maju
akhirnya menang. Nyanyi bergema sepanjang hari, musim
semi di semua hati
kemakmuran datang ke desa, kemakmuran datang ke desa.
III
Aku datang ke daerah antara dua sungai ini dengan hati
terbuka
aku disambut dengan uluran tangan, dengan bunga, dengan
rasa persahabatan
yang terasa nyaman segar seperti simburan ombak mendampar
ke pantai.
Aku berjumpa dengan seorang Komunar Kanton, dengan dia
aku bicara
aku berjumpa dengan peserta long march, padaku dia bercerita
aku berjumpa dengan penyanyi-penyanyi, dengan
penari-penari, dengan
sastrawan-sastrawan
kami cerita-menceritai tentang masa silam yang sudah
dikalahkan
dan beradu dalil tentang pemilihan jalan menuju masa
depan gemilang.
Di daerah ini jalan sudah dipilih, kuda bersayap sudah
mendompak.
Aku bicara dengan seorang buruh tua di Peking
dengan seorang Haji bangsa Hui di Tiencing
dengan direktur pabrik mesin-berat di Senyang
dengan penempa baja di Ansan
dengan penjaga pameran industri di Nanning
dengan pedayung sampan di Sungai Li di Kuiling
dengan penyanyi opera klasik di Kanton
dengan supir-supir taksi, dengan buruh kereta api
dengan petani-petani di Komune Rakyat
dengan penjual buah-buahan di tepi jalan
dengan dokter-dokter, dengan gubernur-gubernur dan
walikota-walikota
dengan pemain-pemain sulap dan akrobat-akrobat
ya, aku bicara dengan siapa saja, seperti aku sedang
kecarian.
Ai, aku memang mencari: aku mencari petani yang bernyanyi
“Begitu banyak bintang di langit, lebah banyak hutangku
pada kaisar”
Aku mencari pengembara seperti digambarkan Li Yu Tang,
yang
menikmati kehidupan dengan bermalas-malas, tanpa kerja
ialah kebahagiaan.
Aku mencari sisa-sisa sesuatu yang masih ada di pikiranku
sendiri.
Dari yang lama hanya ada peristiwa-peristiwa, batu-batu
istana yang mati
pengobatan dengan jarum, opera klasik dan tradisi-tradisi
tapi ini semua pun sudah berkembang
yang tiada daya berkembang, yang beku akhirnya musnah
sendiri.
Burung Feng Huang lama sudah membakar dirinya menjadi abu
dan dari abu ini lahir Feng Huang baru
yang sudah menjalani pesucian, yang kini bernyanyi:
“Kita kuat, kita bebas
kita tanpa takut, kita abadi!”*
IV
Aku meninggalkan Kanton
dan akhirnya Sumcun, stasiun perbatasan.
Di hatiku Feng Huang bernyanyi:
Aku api
Kau api
Api adalah api
Mari menjulang tinggi
Mari bernyanyi suka, mari bernyanyi!
Negeri Cina
Agustus-Oktober 1959
* Dari kumpulan sajak Kuo Mo-yo “The Goddesses”
(dari: Lintasan Ingatan)
Malam
aku melawan malam, memusuhi kelam
yang menyembunyikan wajah-wajah jelek
yang menyuburkan kebejatan
yang mengaburkan kemunafikan.
aku membenci malam
bila anjing-anjing melolongi langit
selagi bintang-bintang gemerlapan.
malam dan kegelapan
sama dengan kepalsuan.
penyulapan putih menjadi hitam
penyajian mesum sebagai suci
pengkhianatan sebagai bakti
yang palsu sebagai yang sejati.
tapi aku pun dilahirkan malam
ketika kelam menyelimuti kekasih berpelukan
dan kerinduan mendengus kepuasan.
malam seperti ini menjadi teman
ketika pikiran menyusuri jalan-hidup
yang ditempuh – larut dalam kenangan.
bila kemilau bintang-bintang menjadi redup
kumbang bercumbu berhenti berdengung
nyamuk-nyamuk kekenyangan menggelimpang tiada daya
aku lena tertelungkup –
air-liurku membasahi lembaran-lembaran kafka
dan embun subuh membasahi kawat-duri.
[Dari kumpulan: Surat-surat Desember, (1965)]
Api yang Nyala
ada kalanya seseorang merasa kesunyian
bila tiada mampu menjawab hati sendiri
dari godaan tanya: mengapa? mengapa?
sedang putra-putri terbaik rebah di mana-mana
seperti batang-batang padi disabit di sawah-sawah
lalu di tiap kata ada prasangka
di tiap mata ada keraguan:
untuk apa? mau ke mana?
di saat-saat seperti ini, ya, di saat-saat ini
hanya cinta-kasihmu, istriku sayang,
yang mengikat aku pada kehidupan ini,
yang menggugah kesadaran diri.
kerinduan padamu dan kepastian bahagia bertemu
adalah api yang nyala,
nyala selalu.
[Dari kumpulan: Surat-surat Desember, (1965)]
Terkadang di Kala-kala tak Terduga
Terkadang di kala-kala tak terduga
di dada luka lama terbuka:
teringat seorang teman yang mati di penjara
jauh di Utara
di masa revolusi, saudara berhadapan dengan saudara.
Empat puluh tahun yang lalu kami bertemu
sama-sama jejaka sedang naik badan, resah dan gelisah
menghadapai masa pendudukan fasisme
yang tak memberi harapan masa depan, kecuali menyerah
kalah
dan itu pantang bagi Bangkit Hakim*, temanku itu
ia dilahirkan dan dibesarkan di pantai Danau Toba
terbiasa bebas ditimang permainan ombak di danau
dan berteriak lantang menjeritkan lagu-lagu batak
membelah cakrawala.
Di kota kami dia orang pertama menerima tamparan serdadu
jepang
karena menolak menyerahkan sepedanya yang dirampas tiada
semena-mena;
dengan pipi bengkak dan bibir pecah
ia tertawa terbahak-bahak menceritakan padaku
perkenalannya dengan
“saudara
tua”.
Sejak detik itu kami anti-fasis.
Sekarang mereka semua telah pergi.
Bangkit Hakim dan yang lain-lain lagi
seperti Sakti Lubis, kepala pencopet sebelum perang
si Go Sek anak cina yang bicara dengan lidah Medan;
Maulana, Hasyim Sirait, Muchtar, Syahdon
dan banyak yang raib begitu saja, terlupakan
mati di penjara atau di area-area pertempuran
– tapi banyak pula saat ini yang gemetar takut kusebutkan
namanya
karena mereka hidup senang sebagai bunglon –
dan aku menyadari mereka adalah manusia biasa
bukan pahlawan, memang pahlawan tak pernah ada.
Pahlawan adalah ciptaan sekelompok orang
yang ingin berlindung di naungan ciptaannya.
Pernahkah anda dengar kisah Umar Bachsan
proklamator dan yang mengamankan perundingan
Rengasdengklok
atau pemuda dan Bung Karno-Bung Hatta?
Ia kulihat sakit terkapar di atas tikar robek-robek
diselubungi selimut kumal
ia bicara dengan lidah kelu, tangannya tergapai-gapai
dan akhirnya menghembuskan napas penghabisan
di
blok-RS penjara Salemba.
Siapa yang bisa menyangkal ia seorang pahlawan?
Tapi tak ada kelompok yang menabalkannya.
Mereka telah pergi, satu demi satu
meninggalkan aku sendirian menghadapi lampu kehabisan
minyak dan sumbu
dipermainkan oleh lenggang-lenggok bayang-bayang nyala
yang hampir padam
Pernahkan mereka sebenarnya ada
teman-teman yang terdiri dari darah dan daging, bukan godaan
angan-angan?
apakah mereka bukan figur-figur khayalan
kuciptakan di masa-masa aku kesunyian
dan kulawan mereka bercakap-cakap, menumpahkan isi hatiku
Yang ingin kusampaikan tak tau entah kepada siapa, lalu
bicara
dengan
bayangan?
Semua seperti mimpi, dalam mimpi aku teringat dan luka
kambuh menyayat
antara terasa dengan tidak. Denyut nyeri dalam mimpi
terbawa sampai terjaga, tapi tak tahu di bagian mana.
Kesunyian menghadapi keredupan senja
dari kehidupan, bertambah sunyi… bertambah sunyi.
Dalam pertarungan selalu ada pemenang
yang merasa berjasa, hiruk pikuk membagi pangkat.
Esa hilang – dua terbilang
Hang Djebat hilang, sekalipun ia membela kebenaran.
Bangkit Hakim hilang bersama dia.
1983
* Bangkit Hakim = B. H. Hoetajoeloe
[Dari kumpulan: Terkenang]
Metropolis (1978), X
Untuk Joshi Hota
Hanya kemenangan, percayalah, hanya kemenangan
mampu mendukung kebenaran dan keadilan.
Bukan kejujuran. Kejujuran ada di hati penyair
yang memendam cita-cita dan harapan –
pada hakikatnya itu pun hanya ilusi.
Koruptor jadi penyelamat
karena dia membawa bunga dan madu. Dan nasi
yang harum, tidak bau keringat.
Penyair jadi teroris
karena dia melemparkan sajak. Dan nyanyi
hatinya yang tersayat, teriris.
Hidup ini akhirnya hanya mimpi. Mimpi
yang indah maupun yang ngeri.
Mati berarti bangun tersentak. Dan menyadari:
sekarang baru kehidupan akan dimulai.
Jakarta metropolis, sorga dan neraka
dalam mimpi. Hanya mimpi.
Maka istigfarlah, wahai penyair,
dan berdoa dalam hati
Ya, dalam hati saja
[Dari kumpulan: Metropolis (1978)]
Unyang
bocah itu lahir
di hutan rambung
belum sempat
belajar dari pepohonan
dan kicau
margasatwa
ibu membawanya
merantau ke daerah pantai
dilarikan dari
suatu peruntungan
ke dalam
peruntungan baru
ia tumbuh
bermenung
merenungi laut
ke pantai menderu
membanting diri
dan santai
berpelukan lalu
berpisah
bergiliran ombak
demi ombak menerpa
mencium pantai
dan berdesah memecah
lalu hilang
menjadi busa
menyatu kembali
dengan keluasan
di matanya
bertemu biru laut dan biru langit
dan kilat pasir
pantai
yang memancarkan
berjuta bias cahaya
hanya berteman
unyang yang tua-renta
lebih tua lagi
dari pohon-pohon di hutan
tapi bagai
batang ranggas tak rela tumbang
tegak bertahan
menantang angin
unyang bekas
pelayar pengarung lautan
perantau ke
pantai yang jauh-jauh
kadang lanun
kadang perisau
*
dengan perahu
lanun bertiang satu kami berangkat
menuju laut
lepas
selama setahun
layar tak pernah digulung
tak pernah
dibuang jangkar
ketika angin
mati perahu mengambang
di atas
permukaan laut laksana kaca bersinar emas
pendayung-pendayung
telanjang badan mandi keringat
napas berdengus
seperti kerbau dipasung
tak ada air tak
ada makanan
tak kelihatan
tanah tepi tak ada burung terbang
perahu sarat
oleh harta rampasan
sesudah lima
hari lima malam
pendayung-pendayung
tak mampu bertahan
satu demi satu
kepayahan dan tumbang
malam keenam
angin kencang datang bertiup
tak seorang pun
sadarkan diri
aku pingsan
terkulai memeluk kemudi
perahu meluncur
mengikutkan kehendak angin
diimbangi kemudi
dalam pelukanku
dan begitulah
berhari-hari kami berputar
bolak-balik
masuk pelabuhan
dan bolak-balik
ke laut lepas
perahu hantu
tanpa awak
akhirnya
terdampar
di pulau sunyi
aku tersentak
wajahku ditampar
ombak
angin mendesau
memintasi pulau
tak ada teman
yang bangkit lagi
mereka berkubur
di pulau sunyi
dan harta kukuburkan bersama mereka
*
setelah sekian
musim merantau
aku pulang
seorang diri
terasa
kehilangan teman terasa sunyi
berkali-kali aku
mencoba berlayar
menyusur dari
pulau ke pulau
hasrat
mengangkut pulang harta karun
tapi kehilangan
arah kehilangan pedoman
terkatung-katung
dari pulau ke pulau
ejekan dari
kuburan terngiang di telingaku
entah berapa
musim aku terlantar di perantauan
ditinggalkan
oleh awak perahu yang pulang
kehilangan
kepercayaan pada kewarasan otakku
aku pun akhirnya
menyangsikan kebenaran
peristiwa yang
kualami sendiri, mungkin hanya mimpi
mendengar
kisah-kisah pelaut dan melihat hiasan
tato di dada dan
lengan mereka tentang harta
tersembunyi di
gua-gua di sungai jauh-jauh
tentang perkelahian
berdarah perompak lanun
tentang maut
menerpa di tengah laut
tentang
perempuan-perempuan menanti di pelabuhan
tentang burung
kakatua pandai bertutur membawa celaka
aku pulang tapi
tak bisa beranjak dari pantai
terikat pada
pulau perahu dan laut
menjadi tua
menanti mimpikan mimpi tak tercapai
itulah mimpi
unyang
dalam mimpi tak
berujung
1983
* unyang = ayah dari kakek/nenek
[Dari kumpulan: Perhitungan]
Aku Hadir di Hari Ini (8)
Untuk anak-anakku, Lia, Adek,
Toton, Tjam
rasa-lelah
bersarang di dalam tulang
rasa-jemu
mengendap di relung-relung hati.
di depan mata
maut menerpa berulang-ulang
menyambar cepat
seperti kilat, lalu pergi.
atau datang
bermukim menyedot kehidupan
perlahan-lahan
tanpa terasa tapi terlihat,
dari tubuh-tubuh
yang remuk meromok karena derita,
karena rindu dan
kecewa, karena harapan yang sia-sia.
[Dari kumpulan: Aku Hadir di Hari Ini (Buru,
1975)]
Aku Hadir di Hari Ini (10)
berapa banyak
teman yang mati
nisan-nisan
pekuburan berpacakan di semua penjuru.
yang mati sakit
didera deritanya sendiri,
yang mati
disambar petir atau tewas disambar peluru,
yang mati
teraniaya atau mati menggantung diri,
yang mati tidak
dikubur
mayatnya hilang
di hutan-hutan,
atau mati hanyut
di laut
dagingnya
membusuk di makan ikan.
satu demi satu
mereka bermatian,
berlalu bersama
dengan hari berlalu,
jauh anak-istri,
jauh kampung-halaman.
untuk apa? – tak
seorang pun yang tau
kecuali diri
sendiri, dan diri itu berkata:
untuk pembuktian
kehadiranku yang nyata,
apakah aku
manusia
atau gumpalan
daging dan tulang semata.
[Dari kumpulan: Aku Hadir di Hari Ini (Buru,
1975)]
Aku Hadir di Hari Ini (14)
wahai alangkah
indahnya hari ini
berlalu sambil
menari
lemah-gemulai
seperti an-seung-hi
lincah genit
seperti kou-mu-lan.
bernyanyi dengan
suara empuk memujuk,
kemudian
lengking tinggi mendebarkan dada,
setala dengan
jeritan hati rindu anak dan istri.
ah, pohon-pohon
cemara di depan rumah jadi tinggi-tinggi
anak-anak jadi
besar-besar, hampir lupa
pada lelaki
yang pernah
sering menimangnya.
istri pun jadi
tua dan kesunyian
seperti putri di
bulan
menantikan
kekasih tak kunjung pulang.
dan ketika senja
tiba hari cerah terang,
langit berwarna
putih-perak kebiru-biruan.
angin hanya
sepoi-sepoi
antara terasa
dengan tidak.
lembah wailata
sunyi-senyap
seperti terasing
dari dunia.
tiada kidung
dari hati yang dambakan damai
tiada suara tifa
mengiringi kaki merentak,
awan rendah
mengendap memeluk puncak batabual,
ranggas-ranggas
pohon kering seperti lelah lemah terkulai
dan
lambat-lambat langit magrib berangsur memerah jingga:
dan aku, anak
manusia, hanya senoktah
di pesawangan
luas antara langit dan bumi,
tegak mendukung
deritaku sebagai bukti
lalu bersujud –
tujuh bagian badan menyentuh tanah.
malam, bulan dan
bintang-bintang menjadi saksi
atas hadirku di
hari ini.
[Dari kumpulan: Aku Hadir di Hari Ini (Buru,
1975)]
Si Buang (1)
Dia tertegun di
depan pintu
Perempuan itu
senyum datang menyambut
-
Selamat datang
Aku sabar menanti sampai hari ini
hari perkawinan kita 25 tahun yang lalu
Dan kau pulang
Si Buang memeluk
istrinya
tenang memandang
ke dalam matanya
-
Alangkah bahagia aku
Sesudah 12 tahun terbuang
aku pulang
ke malam perkawinan perak
Dan mempelaiku perawan kembali
Si Buang (2)
Dua belas tahun
hidup di penjara
dan di tanah buangan
orang merindukan
kebebasan
Bebas bergerak
dan berbuat
bebas menyatakan
dan menolak pendapat
bebas dari rasa
takut
Kemudian Si
Buang dikembalikan ke masyarakat
dibebaskan
Di kelilingnya
Si Buang melihat
orang berlomba
mengumpul harta
berlomba mencari
hiburan
berlomba berbuat
maksiat
Tak seorang pun
yang punya pendapat
Ada yang berkaok
menyatakan pikiran
tanpa menyadari
ucapannya hanya apalan
textbook… textbook…
- Hei, aku punya
selera sendiri, kata seorang Ajinomoto
Paling
gurih
- Tidak! Kata
yang lain, pakailah Miwon
- Yang paling
enak Sasa, sengau Elvi Sukaesih
Mereka dibayar
untuk promosi
Melihat semua
ini Si Buang pusing
batuk-batuk,
rasa meriang, bersin
Dia dikerumuni
orang yang berteriak ‘Inza!’
Mas Kris datang
menyerbu, mengacung ‘Miz-a-grip’
Si Buang
bersorak ‘Tidak! Rujak yang paling cocok’
Dia dikeroyok
‘Subversi! Tidak bisa menyesuaikan diri!
Selera tidak
relevan! Menghambat pembangunan!’
Si Buang lari
takut
Lari… takut…
iih, takut
1980
[Dari kumpulan: Terkenang]
Laut
(1)
di malam hati rindu
aku mencari laut
ombak senantiasa
bawa kenangan
kapan saja ada
kapal datang
lampu-lampunya
terang-benderang
tapi kesannya
keasingan
di pantai ada
pengemis mengulurkan tangan
tanpa wajah
tanpa suara
dan kurasa dia
saudaraku
ada perempuan
menawarkan badan
minta makan
bukan cumbu
ada tukang-sate
manis menyapa
tapi hatinya
mengutuki hidup
malam larut dan
bintang satu-satu
di langit jauh
tambah jauh
(2)
ah, alangkah
banyaknya kenangan
silih-berganti
datang dan pergi
sebagai buih
dijunjung ombak
terbanting
bepercikan di tebing karang
atau
tersimbur-serak di pasir putih;
tapi dia datang
lagi datang mendompak
girang menari
lincah melonjak
kemudian sirna
di pantai-pantai;
datang pula
menyusul yang baru
yang lama-lama
mengabur seperti hilang
untuk kemudian tiada
terduga datang menerpa.
tiada yang
lenyap, semua mengalir bersama waktu
timbul-tenggelam
bertambah indah
bertambah dalam
tertanam di sanubari.
(3)
ya, tanyakanlah
pada laut tentang sungai-sungai
karena semua
sungai menyatu ke laut
tanyakanlah pada
laut tentang pantai-pantai
karena semua
pantai dicium laut
tanyakanlah pada
laut tentang kapal-kapal
karena semua
kapal didukung laut
sejak Bahtera
Nabi Nuh
sampai pun Kapal
Tujuh;
tanyakanlah pada
laut tentang nakhoda-nakhoda
tentang lanun
menjelajahi samudra-samudra
tentang
penderitaan dan kegigihan nelayan-nelayan
tentang yang
berkubur tanpa keranda
tentang kekasih
berdekapan menghadapi maut
tanyakanlah
tentang kesunyian pada laut
tentang nyanyian
yang tiada berkesudahan
tanyakanlah
tentang asal yang bernyawa
tentang
binatang-binatang satu sel dan lumut-lumut.
(4)
ah, semata
kerinduan melahirkan cinta pada laut
kerinduan pada
yang jauh-jauh
kerinduan pada
yang lampau-lampau
dan kerinduan
akan jawaban
atas tanya hati
sendiri.
tapi laut
membisu
dia hanya
memberikan tamsil
(5)
laut itu laksana
telaga-anggur kehidupan
seteguk
daripadanya membikin lupa daratan
tapi yang cinta
padanya dan mengenalnya
tiada
puas-puasnya meneguk
tanpa menjadi
mabuk.
Priok, Maret 1962
[Dari kumpulan: Lintasan Ingatan]
Elegi II
untuk Thea
Ada waktu-waktu
orang teringat pada yang sudah mati
karena kematian
selalu merupakan pengampunan
atas segala
keburukan dan tinggallah kebaikan saja
Bagi seorang
durjana sekalipun mati itu adalah jasa
yang membuat
orang mengucap syukur. Belumlah ada
orang mengutuk
jenazah pada pemakaman
(Thea, dengarkan
aku. Hidup juga adalah mati
jika hati tiada
bicara lagi
Inilah kematian
yang mengutuk diri sepanjang zaman)
Kawan-kawan, aku
mengingat orang-orang yang sudah mati
karena kematian
mereka menunjukkan belang
Ada pencopet
yang mati sebagai pahlawan
ada pengecut
yang tewas sebagai pemberani
ada tukang omong
yang berkorban untuk kaum pekerja
ada pemabuk yang
berikan nyawanya untuk perjuangan
ada keturunan
asing yang berjuang lebih dari yang asli
Mereka
orang-orang biasa, tidak berpangkat, tidak berbintang
mereka hilang –
hanya aku kehilangan – namanya pun tak dikenang
Tengah malam ini
aku teringat Sakti Lubis, teringat Maulana dan Julu
aku teringat
Yahya yang mati di daerah rawa di Asahan
aku teringat Go
Sek-liu yang kena disentri di tutupan
Mereka hanya
sekelumit dari barisan yang panjang
nama-nama yang
hilang dan jarang dikenang di seluruh penjuru
tanahair. Suara
lonceng-lonceng malam ini tidak untuk mereka
Tapi
kawan-kawan, kau yang masih hidup bicaraku adalah untuk kalian.
Elegi VII
Daerah
Asahan-Labuhan Batu selalu kubawa di hatiku
di sana aku
mengenal lapar sebagai kawan. Ubi rambat dan biji para
lebih nyaman
dari hidangan di meja-santap raja-raja
di sana aku
melihat api revolusi menjilat langit
membakar hangus
istana-istana serta kursi-kursi keemasan
di sana aku
saksikan kekacauan demi kekacauan melumpuhkan
kehidupan Rakyat
yang rela menderita, tapi bangkit
dengan murkanya
menentang penyelewengan jalan revolusi
Nyala revolusi
itu padam, apinya membara di hatiku
dan di hati kaum
buruh sejak Bunut sampai Ajamu
di hati kaum
tani yang tersebar dari Sipaku sampai Pnipahan
di hati kaum
nelayan yang menjelajahi pantai Selat Malaka
Di
Asahan-Labuhan Batu anak-anak revolusi berjuang dan yang mati
berkubur di
mana-mana, ada yang berserakan tulang-belulangnya
tak sempat
ditangisi yang mengasihi mau pun dihormati teman-teman
tapi Merah Putih
berkibar di sana dengan megahnya
seperti di
Jakarta, seperti di Surabaya, di Yogya, di mana saja
sekalipun daerah
ini pernah dilupakan, dia melawan, dia tidak hilang
Dan sekarang ini
aku bertanya padamu, kawan-kawan
padamu Sidi
Muli, yang di masa gerilya menamakan diri Sutan Tua
padamu Ibrahim,
yang di masa NST memproklamasikan
Aslab bagian RI
Kesatuan
padamu Haris Fadilah,
Bambang, Raja Mengket, Mahris, Darmi
dan kalian yang
beratus-ratus, beribu-ribu lagi, yang bersama-sama
pernah menggegarkan
daerah gersang ini, pada kalian aku Tanya:
apakah masanya
sekarang berpangku-tangan, menyerahkan
segala pada
nasib
yang mengumbang-ambingkan
kita seperti sabut dari muara ke tangkahan?
Sayuti dan
Syaikh Wahab rela mati dengan dada terbuka
dan bersama
mereka beratus, beribu yang tewas duluan
Apakah kematian
ini tidak bicara lagi pada kalian
apakah kematian
ini hanya mengutuk, sepatah pun tidak berpesan?
(Thea, alangkah
nikmat hidup ini. Jika hati
tiada diberati
oleh sesuatu lagi
tapi alangkah
sakit, jika dia seliti duri.
denyutnya terasa
ke ujung jari)
Medan, 31/12/59 – 1/1/60
[Dari kumpulan: Lintasan Ingatan]
Dalam Senja-Kehidupan Tambah
Mendekat
dalam
senja-kehidupan tambah mendekat
telah jauh jalan
yang ditempuh
kaki terasa
penat
hati gelisah
ingin berteduh
sekedar
membaringkan tulang delapan kerat
tapi bilakah aku pernah memikirkan rumah?
aneh. aku tak
pernah belajar dari burung
yang selalu
sibuk membuat sarang
padahal selama
bertahun di penjara terkurung
aku rindukan
burung di udara bebas terbang
dalam hidupku
aku mengalami tahun-tahun celaka
perang, fasisme
Jepang, perang kemerdekaan
permusuhan,
kurungan, pembantaian manusia
lalu perkelahian
antara saudara, penyembelihan
penjara,
pembuangan
orang mabuk
darah, mabuk kuasa
kalap
jangan bicara
padaku tentang balam dan tekukur
atau perling
yang pandai bernyanyi
atau merak yang
indah bulunya
mereka hidup
bagai terkubur
dalam
sangkar-sangkar dan kandang-kandang
bersayap tapi
tak bisa terbang
makanan dan
minuman tersedia
mereka tetap
kenyang
aku tak punya rumah
tak mengerti tentang rumah
bicaralah padaku
tentang elang laut dan rajawali
yang terbang
dari tepi langit ke tepi langit
bersarang tinggi
di celah-celah karang di bukit-bukit
berkejaran di
atas alun lalu terbang menyongsong matahari
aku tak punya rumah, tak punya harapan
bahkan mimpi pun tinggal sisa-sisa
serpih-serpih yang berantakan
berserakan di jalan kehidupan
aku menyapa
Tuhan dan bertanya
tapi Tuhan diam
dan memalingkan muka
telah diturunkan
kitab-kitab dan suhuf-suhuf
mengatur makhluk
dan kehidupannya
semua persoalan
telah dijawab
bersama dengan
kehadiran manusia di dunia
tapi manusia
enggan kembali ke kitab
*
suatu malam aku
menempati kamar di pelabuhan
jendelanya
terbuka ke laut lepas
ada ranjang
besi, satu meja dan satu kursi rotan
ada cermin pecah
tergantung di dinding
tak ada isi
kamar itu kepunyaanku
selain apa yang
lekat di badan
aku berdiri di
jendela menatap lampu-lampu
kemerlap di
kapal-kapal berlabuh
angin berembus
membawa keharuman napas
dan parfum
perempuan-perempuan asing
berasal dari
pelabuhan-pelabuhan jauh
mereka bagai
ingin mengelu-elukan aku
dengan gaya yang
ramah dan mata senyum
lengan dan dada
terbuka mulus dan harum
sekilas terasa
kepedihan kehilangan
yang telah
dicapai dan disayangi
tapi dalam
perjuangan yang panjang
dikorbankan atau
menjadi korban
itulah tuntutan
sejarah yang tak bisa dihalangi
sejarah adalah
mimpi manusia dalam perwujudan
dan seorang pun
tak bisa mengelakkan diri
rela atau tak
rela, sadar atau turut-turutan
peluit kapal yang akan bertolak menikam malam
disahut raungan anjing-anjing liar
dari kejauahan yang kelam
*
mimpi
kemerdekaan membikin aku jadi pejuang
menentang
penjajahan, menentang fasisme, menentang ketidakadilan
mimpi kedaulatan
melahirkan revolusi, persaingan
perkelahian
saudara dengan saudara, permusuhan
ketika
membagi-bagi kue kemerdekaan dan berpesta
aku tak bisa
masuk barisan, terdesak ke belakang
kemudian
kursi-kursi empuk diperebutkan, aku dilupakan orang
dalam mimpi
demokrasi politik dan ekonomi, hak hidup dan hak sama
aku termasuk
barisan yang kalah, dicap penentang dan masuk penjara
tak pernah
diadili dan dibuang
itu adalah
sejarah, penafsiran mimpi manusia
ada yang baik
ada yang buruk, ulang-bergantian, pergi dan berbalik
yang baik bisa
buruk dan yang buruk bisa baik
tergantung
ketepatan memberi jawab pada tantangan
yang tak lain
adalah takdir Tuhan yang Maha Esa
menghadapi larut
senja kehidupan ini
kebutuhan dan
tuntutan hidup manusia jadi berubah
baru terasa
kepapaan orang yang tidak punya
Napoleon di St.
Helena pun merasakan ini
panglima
penakluk Eropa yang menjadi orang buangan
kehilangan mimpi
dan harapan, terkucil dari sejarah
tapi aku tak
sakit hati, tak menaruh dendam
tak membenci
siapa pun, tak iri pada siapa pun
tak mengutuk,
tak menyesali diri
hati dan jiwaku
merasa tenteram
karena yakin,
mimpi yang gagal pun adalah sejarah
apakah aku telah ditetapkan akan mati
sebagai anjing liar di tepi jalan?
Tuhan jua lah yang Maha Mengetahui
1983
Di Mana pun Wajahmu Ada (1)
untuk Abdullah Baraba, guruku
namamu awal
segala rupa
puji hakmu tiada
bertara
kepadamu kembali
kalam dan karya
aku hanya
pengemis mesra
[dari kumpulan:
di mana pun wajahmu ada (Buru, 1973)]
Tentang Hr.
Bandaharo
Hr.
Bandaharo, penyair angkatan Pujangga Baru, lahir di Medan tahun 1917. Ia adalah
anak H. R. Mohammad Said, konsul muhammadiyah untuk Sumatera Timur pada masa
sebelum perang duania II. Ia mendapat pendidikan menengah Belanda MULO. Mulai
menulis sejak umur 16 tahun. Dimuat antara lain di majalah Pedoman Masyarakat, Medan, yang dipimpin Hamka dan Yunan Nasution.
Juga menulis di majalah kebudayaan Zaman
Baru, Zenith, Kebudayaan. Kumpulan puisinya al. Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih
(Yayasan Pembaruan, 1958), Dari Bumi
Merah (Yayasan Pembaruan, 1963) dan Dosa
Apa (Penerbit Inkultra, 1981). Bandaharo adalah redaksi Harian Rakyat
Minggu, dan salah seorang pengurus pusat Lekra. Ia ditahan sejak tahun 1965 di
Jakarta dan kemudian di buang ke pulau buru sampai tahun 1979. Menghembuskan
nafas terakhir di Jakarta, meninggalkan 4 anak dan seorang istri.
Kira-kira begitu ringkasan biodata
Hr. Bandaharo di buku Aku Hadir di Hari
Ini. Saya tambahkan dari buku Ajib Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Dikatakan di sana bahwa nama
sebenarnya adalah Banda Harahap. Kumpulan sajaknya yang lain adalah Sarinah dan Aku (1940). Majalah yang
memuatnya sajaknya antara lain majalah Poedjangga
Baroe. Oya, kumpulan puisi Daerah
Kehadiran Lapar dan Kasih (1958) memperoleh hadiah dari Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1960, bersama kumpulan puisi Priangan Si Jelita-nya Ramadhan K.H.
Untuk lapangan cerpen ada kumcer Trisnojuwono, Pram, dan Ajip Rosidi. Untuk roman,
ada Toha Mohtar dengan Pulang. Untuk
drama ada Utuy T. Sontani, Nasjah Djamin, dan Mh. Rustandi Kartakusuma.
Catatan Lain
Aku Hadir di
Hari Ini
terdiri dari 3 bagian, yaitu Dosa Apa,
Lintasan Ingatan dan Mimpi dalam Mimpi. Dosa
Apa
dibagi lagi jadi 4 subjudul, yaitu di
mana pun wajahmu ada (puisi berangka: 1-12), aku hadir di hari ini (puisi berangka: 1-14), surat-surat desember
(10 judul puisi), dan metropolis (puisi berangka I – X). Lintasan Ingatan berdiri sendiri, ada 7 judul puisi. 4 sajak di
antaranya beranak pinak, dari yang terpendek 3 anak, hingga paling banyak 8
anak. Kemudian Mimpi dalam Mimpi,
dibagi 4 subjudul, yaitu terkenang (4
judul puisi), kisah-kisah pengembaraan
(5 judul puisi), mirakel (1 judul
puisi) dan perhitungan (3 judul puisi).
Sebenarnya, agak susah juga saya menghitung berapa banyak puisi yang ada di
buku ini, apakah hanya menghitung judulnya saja atau sekalian anak-anaknya
juga. Daftar isinya rada tidak konsisten, ada yang menampilkan dengan
anak-anaknya, tapi tidak sedikit yang tidak. Akhirnya saya tetapkan saja,
jumlah puisinya berdasarkan daftar isi saja, yang kalau dijumlahkan menjadi 66
puisi.
Belum
pernah ada polemik di Indonesia yang penuh dengan emosi, berdarah-darah,
berkepanjangan, dan saling menyenggol “periuk-nasi” pelaku-pelakunya. Secara
sederhana, mereka yang cenderung kepada paham realisme-sosialis mendukung “seni
untuk rakyat” berhadap-hadapan dengan mereka yang berpaham “seni untuk seni”
yang dikatakan sebagai penganjur “humanisme universal”. Polemik mengerucut pada
dua kelompok besar, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes
Kebudayaan (Manikebu). Konon, menurut Ajip Rosidi, sebelumnya sudah terjadi
polemik itu antara penganut realism social dengan orang-orang di lingkungan
‘Gelanggang Seniman Merdeka’. Dan juga patut dicatat, bahwa pendirian Lekra di
Jakarta pada 1950 juga dihadiri oleh H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja, yang
di kemudian hari menjadi orang-orang yang juga diserang. Ya, pada akhirnya,
penganut “seni untuk rakyat” tidak punya pilihan lain selain terjun langsung ke
masyarakat melalui kegiatan politik praktis. Dan kalau itu pilihannya,
risikonya menjadi lebih nyata. Dan saya pikir, risiko itulah yang juga diambil
oleh Wiji Thukul di periode berikutnya. Tapi memang tak banyak penyair yang
bisa lahir dari lingkungan yang penuh risiko ini. Puisi-puisi mereka berada di
antara metafora dan slogan. Banyak penyair yang jatuh hanya menyuarakan slogan,
umpatan, pekikan. Saya pikir, mereka yang berhasil di kelompok ini karena
mereka juga sebagai perenung. Hr. Bandaharo dan Wiji Thukul, saya kira,
termasuk golongan perenung itu.
Di mana bisa mendapatkan buku ini, Oom? Trims
BalasHapusSebenarnya saya juga nggak tau, tapi coba cari tau ke penerbit ultimus lewat media daring atau ke bilven di facebooknya. Siapa tau bisa bantu...
HapusPuisi-puisi yang indah ... heeemm ...wawasan baru lagi
BalasHapus(Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)