Data buku kumpulan puisi
Judul : Senandung Hidup, Sajak-sajak 1935-1941.
Penulis : Samadi
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Cetakan : II, 1975 (cetakan I: Medan, 1941)
Tebal : 70 halaman (48 puisi)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Dicetak oleh Fa Aries Lima, Jakarta
Beberapa pilihan puisi Samadi dalam Senandung Hidup
Niat Hati
Kepada pemimpin rakyat
Kalau niat telah terbuhul,
Akan berkurban memimpin rakyat,
Tentu tuan tidak akan mundur,
Lantaran senang atau melarat.
Kalau hanya senang dicita,
Tidak sungguh akan berbakti,
Datang senang, bangsapun lupa,
Datang susah, tuanpun lari.
Niat hati laksana biji,
Apa ditanam, itu yang tumbuh,
Coba tanamkan biji kenari,
Tidak kan jadi sepohon sauh
Hanya ‘nak Tahu Bahwa tak Tahu
Selangkah maju ke padang ilmu,
Seribu kali bertambah dungu,
Habislah rambut mencari ilmu,
Hanya ‘nak tahu, bahwa tak tahu.
Hidup
Ketika lahir disambut ebang,
Ketika mati dilepas salat,
Antara azan dengan sembahyang,
Wahai hidup, alangkah singkat!
Datang ke dunia telanjang bulat,
Pulang hanya berkain kafan,
Jangan ke alam hati tertambat,
Alam tak dapat menolong badan!
Berharap
Aku duduk berharap di dalam rimba raya
Berselimutkan embun malam yang tebal,
Sedang gelap gulita bagai berhantu di kelilingku,
Tiada berkawan, tiada berteman seorang jua,
Hanya aku ada membawa bekal,
Itupun telah dirampas orang dari tanganku.
Aku duduk berharap di dalam rimba raya,
Menantikan fajar akan menyingsing,
Menunggu syamsu terbit di Timur.
O Pagi Cahaya Mulia
Datang apalah ke tempat kuberbaring,
Aduh, ‘lah nyaris rasanya badan ke pintu kubur,
Aku duduk berharap di dalam rimba raya,
Membuat suluh menjelang terang,
Tapi, bila ajalku tiba dahulu,
Sampaikan salamku o alam semua,
Kepada Sinar gilang-gemilang,
Kepada Mulia cita hatiku.
Tanah Bahgia
Jauh di sana,
Di balik gunung Duka Nestapa,
Di seberang sungai Pedih Sakit,
Tempat awan berarak di kaki langit,
Gelak tersenyum bahgia memandang daku,
Membangkit cinta berahi dalam jiwaku.
O Tanah Bahgia,
Yang dilingkung kasih cinta dan suka ria,
Berhamparkan beledu emas damai mulia,
Tunjuki apakah daku hikmat rahasia;
Rindu jiwa menjelang tuan tidak terperi,
Lambaikanlah tanganmu memanggil diri!
Dagang
Aku bermenung menyadar untung,
Berhati walang di rantau orang,
Hampa kantung kosong keruntung,
Nasib malang bukan sebarang.
O Melati tambatan hati,
Melarat dagang tidak kepalang,
Walau sudi dinda menanti,
Kanda malang ‘lum dapat pulang.
Dengar
Dengar apalah kataku o tuan
Yang hendak masuk ke taman sari,
Memetik bunga hiasan badan;
Tak ada mawar yang tidak berduri.
Dengar apalah kataku o tuan
Yang hendakkan manisan,
Pemupuk kasih pelipur susah;
Tak ada madu yang tidak berlebah.
O tuan yang hendak mendaki gunung,
Mengarung hutan mengadu untung;
Tiada ngarai yang tak curam,
Tiada rimba yang tak kelam.
Tapi, walau bagaimana
Lebatnya hujan,
Lambat laun kan teduh jua;
Walau betapa
Besarnya topan,
Akhir kelaknya kan reda jua.
Ba’mana Aku Kan Diam
Ba’mana aku kan diam,
Ba’mana aku kan hening,
Ba’mana tidak akan bermadah;
Dengar, derum jeram menimpa batu,
debur ombak memukul karang;
Dengar, petir tagar talu-bertalu,
badai topan melenguh panjang.
Ba’mana aku kan diam,
Ba’mana aku kan hening,
Ba’mana tidak akan bermadah;
O, teman, sanggupkah tuan diam,
Betahkan tuan hening,
Padahal hidup ialah berjalan,
Berjalan, berjalan dan berjuang!
Nikmat Batin Berjuang
Tuhanku,
Patah hatiku, patah hatiku,
Remuk jiwaku, habis dayaku,
Kabur segala, samar semua,
Buta mataku tak tampak jalan.
Kutanam padi, ilalang tumbuh,
Kubina istana, diruntuh gempa,
Kuarung laut, hilang pengayuh,
Kudaki bukit, terban merata.
Kucurah kalbu, kupadu cinta,
Kututup hati buat yang lain;
Mana janjinya, mana sumpahnya,
Mengapa kini dia ‘lah mungkir?
Tuhan,
Hilangkan, daku ke alam adam,
Beta tak tahan memikul beban,
Pukulan hidup seberat ini;
Segala dicita patah di tengah.
O hati, hatiku sayang,
Mengapa lengung, mengapa murung,
Mengapa kecewa berputus asa,
Bagai tak ada tempat bergantung,
Bagai tak ingat Tuhan kuasa
Mengapa lekas engkau mengalah,
Sekecil itu baru ujian,
Gelanggang hayat luas menanti,
Engkau kan sakti kalau berbakti!
Kuatkan iman, tabahkan hati,
Sabar tawakal dalam berjuang,
Di balik duka, suka menanti,
Dalam derita tersimpan jaya!
Angkatan Baru
Murai telah berkicau dan melompat dari dahan pindah ke
dahan,
Ayam telah berkokok silih berganti sayup-sayup di dalam
kampung,
Dan fajar telah menyingsing kemerah-merahan di ufuk
Timur,
Beta percaya hari kan siang, bila malam sudah berlalu.
Dengar tempik sorak mendengung membubung tinggi,
Menderum bergetar menggegar bumi,
Gemuruh menggulung menaik langit,
Bergaung gumaum merayap ke lembah melandai,
Dari jiwa gembira muda remaja.
Dengar derap langkah kuda berjuta-juta maju ke muka,
Dengar nafasnya mengembus deras membusa dari jauh,
Lihat percikan api keluar dari kukunya yang mengenai
batu,
Lihat debu mengepul menari-nari di udara,
Lihat bendera yang berkibar mengepak-ngepak ditiup angin,
Dan pedang yang terhunus berkilat-kilat ditimpa syamsu.
Lihat, lihatlah wajah jilah berseri-seri tersenyum
simpul,
Lihat, lihatlah barisan berleret-leret penuh dengan
semangat baru,
Bernyanyi berlagu girang gembira kerja bersama,
Bernyanyi berlagu girang gembira berjuang,
Menuju persatuan dan kejayaan,
Kejayaan bangsa dan tanah air Indonesia.
Demikianlah kukhayalkan angkatan baru yang lagi dibentuk.
Murai telah berkicau dan melompat dari dahan pindah ke
dahan,
Ayam telah berkokok silih berganti sayup-sayup di dalam
kampung,
Dan fajar telah menyingsing kemerah-merahan di ufuk
Timur,
Beta percaya hari kan siang, bila malam sudah berlalu.
Tahu Kau…
Tahu kau, sayang,
Bahwa ratapan yang kunyanyikan dalam samadi,
Dendang yang kulagukan dalam bersunyi,
Dan syair yang kugubah dari getaran jiwa yang murni,
Adalah bingkisan dari penderitaan dan kemalangan…?
Tahu kau, sayang,
Bila malam ‘lah sunyi senyap,
Semua makhluk ‘lah tidur lelap,
Hanya jauh di sana, dari belukar di dalam hutan,
Terdengar sayup-sayup raung anjing yang menakutkan,
Aku masih bangun menyadar untung…?
Tahu kau, sayang,
Bila purnama raya gilang gemilang di langit biru,
Dan bintang berkelap-kelip menghiasi malam,
Serta lembah penuh dengan bayangan yang gaib-gaib,
Ah, tahu dikau, aku ingat kepadamu…?
Bersama fajar menyingsing harapanku timbul,
Kusangka kau kan datang memeluk daku.
Kau kutunggu… kunantikan…
Tapi, tatkala hari ‘lah rembang petang dan kau tiada juga
tiba,
Harapanku pun tenggelam bersama matahari
Ke dalam Samudera Hindia yang penuh rahasia…
Ah, kalau kau tahu…
Tahu kau, sayang,
Kepada angin lalu kerap aku berpesan, menyatakan harapan,
Awan berarak kerap kutangisi, de’ cemas hati,
Dan kepada sungai yang girang gembira mengembara
Kukirimkan bingkisan persembahanku untukmu,
Kalau-kalau ia bertemu dengan kau…
Ah, terdengarkah kepadamu, sayang,
Keluhan dari seorang musafir yang malang,
Rintihan dari kalbu yang merindu…?
Terdengarkah kepadamu,
Wahai… Kejayaan Bangsaku…?
Cinta
Apabila panah cinta
Sudah menusuk hati
Wahai teman,
Orang tak kenal bahaya,
Tidak takutkan mati,
Karena harapan…
Dengan kepenuhan hatimu
Di dalam kefanaan,
Dengan seluruh jiwamu
Di dalam kesucian,
Benamkanlah cintamu
Wahai teman,
Ke dalam kebakaan.
Maka akan tersualah olehmu
Bahagia yang tida berkesudahan.
Betapa Gerang Akan Jadinya?
Betapa gerang akan jadinya,
Bila sedang bersuka ria,
Sedang lupa kepada Tuhan,
Nyawapun cerai dari badan,
Sebab ajal tiadalah tentu,
Boleh tiba sebarang waktu?
Betapa gerang akan jadinya,
Bila durhaka di atas dunia,
Mabuk membilang-bilang reta,
Gila dilambung gelombang alpa,
Bukankah neraka putusan diri,
Di negeri baka kudian hari?
Adakah Tuan Ketahui?
Hai Insan, adakah tuan ketahui,
Bahwa udara yang tuan isap,
Air yang tuan minum,
Dan makanan yang tuan makan,
Serta segala kesenangan yang tuan kecap,
Semuanya itu menyatakan kepada tuan,
Kemahapemurahan Tuhan serta sekalian alam?
Adakah tuan ketahui,
Bahwa dengan pergantiannya, hari semakin muda,
Tapi tuan semakin tua?
Bahwa selangkah kaki tuan langkahkan,
Sepatah kata tuan katakan,
Semakin dekat tuan kepada batas perhentian,
Di mana tuan akan terbaring tiada berkawan?
Adakah tuan ketahui,
Bahwa bila telah datang panggilan Tuhan,
Tak dapat tuan elakkan, tak bisa tuan hindarkan?
Bahwa kemudian tuan akan dihadapkan di muka pengadilan
Di mana harta benda tiada membela,
Dan kecantikan tiada berguna,
Di mana kebangsawanan tiada berharga,
Dan kekuatan tiada berdaya?
Ah, adakah tuan ketahui,
Bahwa nanti akan datang waktunya,
Matahari kehilangan cahaya dan jatuh,
Bintang-bintang hangus dan kabur,
Segala bukit dan gunung tercabut, terbang bertabur-tabur.
Dan bumi gemetar, bergoncang, lalu hancur?
Adakah tuan ketahui,
Bahwa lautan akan menjadi api yang bernyala-nyala,
Dan akan mati semua yang bernyawa?
Rusak segala…, rusak segala…
Kecuali Dia…: Allah Ta’ala…
Di Tepi Danau Maninjau
Tengah hari tepat
Danau tenang membiru,
Langit jilah benderang,
Indah dipandang.
Sawah kuning mengemas,
Rimba diam menghijau,
Keliling danau.
Pengail gontai berkayuh,
Senandung sendu membubung,
Menyayat jantung.
Angin lemah berembus,
Elang terbang berkelit,
Meninggi bukit.
Panas terik membakar,
Badan letih mengantuk,
Berat pelupuk.
Kepada ‘Rang Jauh
O’rang jauh, teringat aku kembali masa yang lalu:
Bungaku yang layu segar kembali kausiram dengan tanganmu,
Dianku yang hampir padam kaulindungi dengan kainmu,
Tali kecapiku yang putus kauganti dengan yang baru…
Katamu engkau hajatkan mawar penghias sanggul,
Lalu kuberikan kepadamu sekarang bunga yang paling indah,
Tapi kau surut ke belakang, bungaku tiada kaujamah,
Engkau takut akan durinya, engkau takut kelak hatimu
parah…
Katamu engkau hajatkan penerangan di dalam gelap,
Lalu kutinggikan dianku supaya engkau mendapat cahaya,
Tapi tanganku kautahan, tapi kaurenggutkan kembali ke
bawah,
Engkau ingin kepada terang, tapi takut melihat bayanganmu
sendiri.
Katamu pula engkau hasrat mendengar kecapiku seorang,
Lalu kubunyikan lagu yang kausukai semerdu-merdunya,
Tapi matamu kaupejamkan, telingamu kaututup dengan
tanganmu,
Engkau takut laguku nanti mengharu kalbumu…
Engkau lambaikan tanganmu memanggil daku,
Katamu engkau ingin duduk bersanding dua,
Akupun datang mara mendekat dengan ta’at dan hormat,
Tapi engkau berdiri dan lari menghilang ke dalam gelap,
Maka tinggallah aku seorang diri, berdiri rindu sepanjang
hari…
Ah, satu senyum saja sedianya cukuplah
Untuk bekal perjuangan bertahun-tahun.
O’rang jauh…
Itu bunga ‘lah layu kembali karena tak pernah kusiram
lagi,
Itu dian ‘lah
padam pula karena kubiarkan ditiup angin,
Kecapi itupun tidak dapat dibunyikan lagi,
Karena talinya tidak pernah kuganti-ganti,
Begitulah kesudahannya, oh kalau kau ‘nak tahu…
Apa gunanya lagi bunga itu kusiram,
Apa gunanya lagi dian itu kunyalakan,
Apa gunanya lagi tali kecapi itu kuganti dengan yang
baru,
Dia hanya akan menambah sunyi di dalam hatiku,
Akan mengenangkan kembali semangat yang hilang dicuri
orang…
Tapi ah…walau demikian,
Mengapa tiap barang dilihat engkau teringat,
Mengapa tiap barang dipandang engkau terbayang,
Bukankah telah kututupkan pintu hatiku buat kau,
Dan tidak seorangpun lagi kubolehkan masuk ke dalam,
Sebab pikirku cukuplah sekali aku tertipu?
Bukankah kunci kalbuku itu telah kucabutkan,
Telah kubantun kurenggutkan tidak sepala,
Dan kuserahkan kembali kepada yang punya: Tuhan semesta?
Tapi, mengapa tiap barang dilihat engkau teringat,
Mengapa tiap barang dipandang engkau terbayang?
O’rang jauh…bila hari ‘lah jauh malam,
Di kala beta hanyut dalam samadi dan memuja,
Dan suara alam ‘lah hening tenggelam ditelan kesepian,
Mengapa selalu senandungmu jua yang terdengar kepadaku,
Beralun berombak menggetarkan jiwaku dalam bertapa…?
Biarkan kenapa aku membubung tinggi ke langit bintang,
Beta ingin memecahkan awan yang padu sarat memberat,
Dan kemudian mengecap nikmat alam damai di baliknya.
Biarkan kenapa o’rang jauh, biarkan kenapa…
Sebab Samadi Berbilang Masa
Ketika badai topan melenguh panjang,
Ketika raung anjing menggarung sayup-sayup di dalam
kampung,
Ketika ranting berdetak-detak berpatah-patah,
Pukul-memukul…gugur ke bumi,
Ketika alam dahsyat demikian,
Kupetik kecapi untuk melipur hati yang kecut,
Tetapi ah,…ia tidak bergetar lagi…
Waktu aku duduk di atas munggu,
Di puncak bukit di Kaliurang,
-- Memandang ke bawah meninjau lembah:
Jalan memutih berbelok-belok masuk rimba keluar rimba.
Cerobong pabrik berconggahan putih-putih,
Dan terus lagi ke sana…
Ke tempat ufuk dikaburkan awan berarak,
Waktu itu kucoba menyanyikan lagu jiwa merindu,
Tetapi ah…suaraku telah serak, ta’ dapat bernyanyi lagi…
Ketika kapal membelah ombak di Samudera Hindia,
Di dalam sinar bulan terang-benderang,
Dan cahaya menari bergelut di atas air kelabu,
Atau pun ketika merenungi alam Maninjau,
Tempat kelapa melambai-lambai, tempat pengail mengayuh
gontai,
Di mana gadis menghempaskan cucian di atas batu,
Dan budak-budak berkecimpung berkejar-kejaran,
Di dalam kesedihsuraman mentari petang,
Kucoba melukiskan pigura alam yang indah,
Tetapi ah…pensilku telah patah, tak dapat dipakai lagi…
Ada pula suatu masa, ketika duduk di tepi pantai,
Bersandarkan pohon cemara rimbun rampak, di kaki bukit
hijau-hijau
Tempat semak penuh bayangan. Kudengar:
Dari laut ombak gemuruh berdebur-debur,
Dari bukit elang sayu berkelit-kelit;
Ketika itu kutiup seruling gembalaku masa dahulu,
Tetapi ah…suaranya ‘lah retak dua…
Tali kecapiku telah kutukar, tiap diregang tiap putus…
Suaraku telah kuobat, makin diobat makin parau…
Pensil penggambar telah kuraut, tiap diraut tiap patah,
Seruling itupun telah kuganti, tapi tak sesuai dengan
jiwaku…
Sebab itu,
Kembali aku ke gubuk buruk,
Kupasang dian setengah samar,
Duduk aku bertupang dagu,
Mata meleleh jantung berdebar…
Itulah teman, sebab aku samadi berbilang masa.
Tentang Samadi
Nama sebenarnya Samadi
adalah Anwar Rasjid. Lahir di Maninjau, 18 November 1918. Beberapa tahun menjadi
kepala sekolah HIS di Kuala Simpang. Tahun 1939 menjadi redaktur Pedoman Masjarakat dan Pedoman Islam di Medan. Kumpulan puisi Senandung Hidup ditulis antara tahun 1935-1941
dan terbit pertama tahun 1941 di Medan. Samadi dinyatakan hilang dalam
pergolakan perang saudara (PRRI) di Sumatera antara tahun 1957-1958.
Catatan Lain
Dalam buku Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia yang ditulis Ajip Rosidi (cetakan V, dari Penerbit
Binacipta, 1991, hlm 69-71) ada ditulis tentang penyair Samadi. Tulis Ajp
Rosidi: “Sajak-sajaknya yang permulaan tidak begitu menarik, bahkan terasa
membosankan dan mengikuti kegaliban pada masa itu belaka…..bla bla
bla…//Sajak-sajaknya yang akhir bukan saja menunjukkan kematangan pemikiran dan
aqidahnya, melainkan juga menunjukkan kematangan pengucapan. Sajaknya ‘Musafir
Mendaki Gunung’ dan ‘Kepada Kekasih’, merupakan sajak-sajak yang cukup kuat.
Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang
daripada kepada para penyair sebelumnya.”
Oya,
kalo melihat stempel di belakang buku, yang isinya himbauan untuk mengembalikan
buku sebelum atau pada tanggal yang tertera, maka cap stempel yang pertama
bertanda 4 April 1979. Wow, saya belum lahir. Ada 9 cap stempel tanggal sebelum
saya. Ah, ini hanya intermeso saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar