Data buku kumpulan puisi
Judul : Pita Biru
Penulis : S. Wakidjan
Penerbit : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah
Cetakan : I, 1979
Tebal : 56 halaman (30 puisi)
BP No. 2130
Catatan: Buku
ini pernah diterbitkan Balai Pustaka, 1962, Djakarta. Gambar kulit oleh Mes’oet
N. Joenoes
Beberapa pilihan puisi S.
Wakidjan dalam Pita Biru
Ibu dan Bapak
Ada pangestu
dalam sorot mata
dalam gerak
bibirnya,
mengelus mesra
sepanjang langkah.
Sekarang
tulislah:
Kamus lengkap
yang acap aku buka-buka!
Ini pengembara
yang terus haus
nyeret kaki
nurut bisik-bisik halus
tidak lewat di
jejak kerjanya melulu,
cuma jadi tukang
jual susu.
Dua manusia itu,
bagiku:
Bulan, matahari,
pantai
juga lembah
indah,
bisa bikin
hilang lelah.
Nanti kalau uban
sudah tumbuh
dan bentuk-bentuk
itu sama luruh
apa mesti
membisu di jalan panjang?
Tidak, tidak!
Ini ada kaki untuk jalan melenggang…
Malam Jernih
Langit bersih
Bulan putih
Bintang-bintang
jauh menepinyisih
Malam yang
jernih
Dan aku betah
sekali
Membenamkan muka
pada bidang malam begini
Biar hanya
berteman dengan hati
Dan tidak punya
janji
Lihat! bayangan
pada girang menari
Kalau angin tiba
berkendara cahya
Malam jadi lebih
panjang sekali
Hingga pagi
merangkak tiba mengganti.
Ulang Usia Kelahiran
Pagi kepucatan
di pangkuan bumi
Tiada tingkah
bocah membuncah
Hanya sekeping
malam bermukim di hati
Beserta secabik
cinta yang merah.
Cinta yang merah
Malam sekeping
Pagi kuning
Melekat pada
kerdipan netra bening,
Dan aku pantang
menyerah!
Sebutir embun
putih terlambat netes di tanah
Kenangan
kepada alm. adikku D
Segunduk tanah
bertumbuhan rumput jalang
di samping
kerampingan kemboja berkembang
jarang:
Tempat istirahat
adikku sayang
Tempat yang
selalu berselimut tenang
meriba berpuluh
tubuh kaku kejang
penuh kasih sayang
Benih muda yang
tertimbun batu
Itu engkau,
adikku!
Ocehmu: pawana
melanda rumpun bambu,
masih membekas
panjang di balik dadaku.
Dan kenangan
padamu, sayang
Membasah mataku
nyalang
melahirkan sajak
di malam gersang.
Sepi sendiri
cuma berteman
bintang bulan hampir mati
Dan adikku sudah
pergi!
Lagu Penidur Bocah
I
Podang pulang
perbukitan pudar
Bawa buah cawat
cinta
Bawa bulan sarat
sinar
Bawa biru langit
luas
Tidurlah sayang,
tidurlah manik mata
Nanti ibu
bikinkan pasaran
Nanti bapa
bikinkan mainan!
II
Wajah wingit
wiku-wukir
Senyap samadi
mendoa dikir
Di alam alim
antah berantah
Bulan bulat
cahaya cerah
Tidurlah kasih,
tidurlah manis
Jangan nakal
jangan nangis
Beranjak besar
anakku manis!
III
O, malam mabuk
tuak tua
Kejang kolik
ditekik tinggi,
Bapa bunda
merestui
Pada putik
belahan nyawa
Tidurlah
kasihku, tidur
Tambah umur,
tambah subur
Kelak sayangku
masyhur!
IV
Ah, betapa rindu
rina akan hari
Penuh pencar
sinar matari
Tiada lelehan
getah gulita,
Dan engkau kenes
ketawa.
Kini tidurlah
dulu sayang
Pagimu
membayang, harimu masih panjang
Tidurlah, tidur,
anakku sayang!
*Wajah wingit wiku wukir = wajah
tenang tekun pendeta di gunung
Pejuang yang Hilang
Namanya terlalu
kudus untuk ditulis dilisankan
Kisahnya begitu
agung buat cerita dan kenangan
Mereka hidup
dalam hati yang setia
Yang merangkum
tanah air dalam dadanya
Di awal, satu
sumber gerak gelora
Seketika bisa
buyar terbentur kedangkalan rasa
Sedang mereka
hidup dalam hati yang setia
Yang merangkum
cinta dan keberanian dalam dadanya
Lalu siapa wajib
beri isi kehilangan?
Kita semua atau
keluarganya yang duka?
Ah, suatu
kehilangan yang menjiwai cita
Cita dari cinta
yang hingga kini belum sewarna
Karena aku
penyair, mereka kuberi tempat dalam sanjak
Karena aku
pengembara, terluncur doa dalam jatuh dan tegak
Ibu
Pagi telah lama
mati
dan datang malam
tebal nyelimuti bumi
Dalam saat-saat
begitu
rindu kasih
mengucur mesra
membenam lembut
setitik kata:
Ibu!
Ke sana tiap
pelarian sembunyi berdoa hening
dan musafir
menimba restu
sesudah akar
harapan satu-satu menguning kering
dan lorong-lorong
cita penuh geronjolan batu.
Ibu!
air zamzam
penenang kalbu
Aku bentang
sayap ke langit biru.
Gadis
Di bawah titian
garis alisnya yang gelap
bersarang sinar
kembar yang asing berkilauan
dari bibir ke
bibir kabar merayap:
siapa memandang
‘kan merasa cinta berdeburan,
menggosong hati
membelah dada.
Siapa dia?
Gadis dari
daerah mimpi yang wangi?
Bulan yang tiba
pada waktunya
tahu, bahwa
tahtanya akan direbut rina
dan aku tahu,
gadis lambang keremajaan yang bakal sirna.
Berita Kepada S.K.
Pohon pisang
sudah berbuah, nimas
Kelu kejang
klaras pucat-menyerah
Merunduk tunduk
ke bawah
Mencium tanah
pada perpisahan tidak berwatas
Sewaktu terik
melepas lecut
Memutus haus
dalam jilatan bibir kering rengkah-lisut
Dan
Lengking
kelinting penjual es dan manisan
Tinju pukulan
bagi tiap saku kempis
Bisa juga bikin
diam bocah nangis
Kepada Kekasih yang Lepas
Piring dan
senduk membisu
bersama bekas
kuah dan butiran nasi,
ini engkau
bikin kucing
tambah ingin mau menjilat.
Dan bulan
bintang di langit cerah
membuat jarak
jauh kita jadi menikam.
Kini kekasih
lepas makin lepas
batas berkaratan
saksi waktu;
Ah, yang
terpandang dan terkenyam langsung mencekik.
Piring dan
senduk tetap membisu
bersama bekas
kuah dan butiran nasi.
Aku sendiri kelu
bersama kenangan
dan bayangan.
Laporan
Itu mata genteng
berdebu
Dan tingkah
mengendap kelu
Gigi tulang jua
menonjol mau bicara
Gelepar nyawa
melingkar usia
Ah!
Bikin catatan
laporan dengan kepucatan
Yang mematikan
Di sela desis
nafas kepayahan
Bilang bibir
boleh basah
Langkah lepas
melangit cerah.
Malam Larut tiada Omongan
Malam larut
tiada omongan
kosong merata
menyurutkan
nenek jadi membayi
anak-anak mimpi manis
madu kedewasaan
dan kesibukan
pikir mencair dingin
Dalam
keseluruhan kedamaian ini
ada aku:
berdamai dengan hati
pegangan pada
siang hari mendatang
Perawan Kota Bengawan
Surut senja di
seberang senyum
Terjun teja di
tengah tawa
Ke mana lagi
hati mau ngembara?
Di kotaku mawar
menguntum di mata ranum!
(kepada mungilku: mBong, Ris, dan Ida)
Di atas langit
biru memberat
bintang-bintang
samar mengabu
tidak sebanyak
biasa.
Angin mati
kesepian
mengapungkan maharuang
nerawang bayang
raut mungilku
menggigilkan
kerinduan yang menyemak.
Kita sedarah,
buyung
sama merah sama
putih;
musim-musim yang
mendatang nanti
akan membisik
kebenaran kata itu:
Kita sedarah,
buyung!
Kelak dengan
senyum memagi
dan wajah alam
cerah,
engkau kembali
kembali,
dan berkata lunak
patuh, penuh
kemesraan menyayu:
Ananda datang,
Bapa!
Di atas langit
masih biru memberat
bintang-bintang
samar mengabu
dan kesepian
mengapungkan maharuang
mengapungkan hati
mataku…
Prabangkara dan Hapyu
(fragmen)
I
Bulan putih
Malam jernih
Kasih menampung
kasih
Merajut cinta
telah terpilih.
Silir angin
menyegarkan
Harum bunga
tanjung berguguran
Janji dikuatkan:
Perkawinan
Atau dua jiwa
satu kuburan
Bulan, bunga
tanjung dan cemara
Menyimpan janji
di bersih udara
(Hapyu dan
Prabangkara turun taman
Membawa
kemanisan membawa kenikmatan
Dalam dada dalam
kenangan)
Malam makin
meremang
Cahaya hilang
Angin hilang
Rindu resah
mengambang
II
Putik pilihan
Prabangkara
Putra mahkota
Hembus halus
harapan Hapyu
Perawan ayu juru
taman, tersapu
Gertak geram
ayahanda prabu
Ratap kasih
bunda mencinta.
Maunya prabu
Jelita istana
jadi menantu
Sama derajat
Sama ningrat
Asri puri oleh
melati dewi
Cinta ayahanda
Cinta ibunda
III
Sendu kelabu di
kalbu Hapyu
Gundah membelah
dada Prabangkara
Tiada cahya
Tiada lagu
Mana belai
bahagia
Mana tangan
syahdu
Yang mau
menuntun ke sumber gita?
Panah patah
tertumbuk batu
IV
Gelap yang
menyungkup hari
Gelap yang
mengurung diri
Menyimpulkan
putusan di hati Hapyu
Lari
Lari!
Membawa hati
perih malu
Cinta
Derita
Biar mati
dimangsa rimau
Atau terkapar di
tanah rantau
Tinimbang s’lalu
ditimang risau
Lari
Lari!
Tinggalkan
engkau bapak simbok
Daku pergi
ninggalkan pondok
Mencari yang tak
tercari di luas langit
Jalan jurang
pembebas sakit
Selamat tinggal!
Ampunilah anakmu
tunggal!
Gadis menangis
pergi
Fajar mekar di
muka bumi.
V
Kesepian ruang
keheningan yang mati
Membuat Nyi Juru
mencari-cari
Adakah Hapyu
masih nikmat dimabuk mimpi,
Ataukah lungkrah
digulung gandrung?
Kamar gadis
sayu-suwung
Ke mana pergi
nini sepagi ini?
Dalam mencari-cari
Nyi Juru hanya bersua sunyi.
‘Duh ketewasan
kyai
Hapyu pergi,
Hapyu lari
Tiada bekas
pesanan…
Juru taman
sekalian ditelan kebingungan
Matahari makin
meninggi
Rupawan taman
tak kunjung kembali
VI
Dengan dada
padat duka
Resah melangkah
Ki Juru ke kabupaten
Di matanya
menggenang bening air mata
Di pusat hatinya
mengalir rasa rawan…
Gerisik geser
tapak di pasir pura
Meretas rumpun
puja pangeran muda
Terusik
keasyikan samadi di sanggar panepen
Natap netra
memandang Ki Jurutaman
Badai bencana
bagai belah di bumi hati
Terasa-rasa
risau rangkai-rinangkai
Apa pula bala
yang tiba?
Dengan derai
suara renyah
Penekan pikir
penuh prasangka
Meluncur lincah
tanya kata Prabangkara
Gemetar gugup
berkisah Ki Jurutaman
Dari awal sampai
penghabisan
Tentang Hapyu
mabuk rindu kasmaran,
Nyusul lenyap
hilangnya rupawan taman;
Sekilat pucat
wajah cerah putra mahkota
Di semu senyum
sambil berkata:
Saat apa Hapyu
berlalu?
Bumi mana titik
tuju?
Dan kapan Paman,
dia lepas lalu?
(halaman 22 kosong melompong,
sepertinya puisinya belum selesai, kesalahan cetak?)
Tentang S.
Wakidjan
Tak
ada biodata penulis di buku ini.
Catatan Lain
Kumpulan
sajak “Pita Biru” terdiri dari empat bagian, yaitu Pita Biru I (8 puisi), Pita
Biru II (7 puisi), Pita Biru III (7 puisi), dan Pita Biru IV (8 puisi).
Oya, saya sempat menduga bahwa
penyair ini adalah illustrator di banyak buku terbitan Pustaka Jaya. Ternyata
salah. Ada satu huruf yang berbeda: A.
Wakidjan dan S. Wakidjan.
Ternyata ini adalah dua orang yang berbeda. Karena tak ada biodata penyair di
buku terbitan ini, saya berburu di internet. A. Wakidjan (1928-…) adalah pelukis dan illustrator yang lahir di
Yogya. Ia bersama pelukis Zaini, Nashar, dll, menggerakkan Sanggar Seniman
Indonesia Muda Yogyakarta. Awal belajar melukis pada Jaya Asmoro (1944-1945).
Setelah itu, lingkungan belajarnya meluas pada S. Sudjojono, Affandi, Usman
Effendi. Ia pernah menjadi pelukis bebas di pasar seni ancol, Jakarta. Pernah
bekerja sebagai illustrator majalah Kisah dan penerbit Balai Pustaka (1949-1950).
Nah, S. Wakidjan, jika benar itu orangnya, pernah menulis puisi di Surat
Kabar Asia Raja (surat kabar
propaganda Jepang, 29 April 1942 - 7 September 1945). Judulnya “Menoedjoe
Tjita”, dimuat 18 Juli 1945. Tercatat nama-nama seperti H.B. Jassin, Usmar
Ismail, Rosihan Anwar, Karim Halim, dsb pernah menulis puisi di situ. Literatur
lain menyebut puisi S.Wakidjan juga mampir di Mimbar Indonesia (1950-1954). Saya rasa penyair ini tak banyak
disebut, dalam buku Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi, namanya ada di “indeks nama” halaman
171. Tapi ternyata tak ada nama itu di halaman tersebut. Sekali ada juga
disebut nama ini dalam Prahara Budaya-nya
Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto. Ketahuan bahwa pada masa-masa polemik
Manikebu-Lekra, ia berada di daerah. Di Solo. Jauh dari hiruk-pikuk. Dan jika
benar itu orangnya, huruf S itu adalah Sukono
Wakidjan. Termasuk satu dari sekian banyak penyair yang puisinya ikut
diterjemahkan ke bahasa Rusia. Entahlah. Salam puisi saja.
Pita Biru terbitan Balai Pustaka, 1962. Sumber foto: http://fadlizonlibrary.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar