Data buku kumpulan puisi
Judul : Rumah Panggung
Penulis : Linus Suryadi AG.
Penerbit : Nusa Indah, Ende, Flores, NTT.
Cetakan : I, 1988
Tebal : 161 halaman (108 puisi)
NI: 881412
Prolog : C.
Bakdi Soemanto
Kumpulan puisi Rumah
Panggung terdiri dari 3 bagian, yaitu Rumah Panggung (40 puisi), Malam
Getsemane (30 puisi), dan Kwatrin-Kwatrin
Alit (38 puisi).
Beberapa pilihan puisi Linus
Suryadi AG. dalam Rumah
Panggung
Kwatrin-kwatrin Pagi di Bali
(1)
Matahari bangkit
di laut Jawa
Wahai! Matahari
siapa pula?
Baru kemarin ia
tenggelam di lepas Kuta
Sambil
meliak-liukkan pohon-pohon kelapa
(2)
Mula-mula fajar
cerah dingin di tanah
Membagikan
uapnya ke pasir yang ramah
Tapi pantai
belum terjamah kaki resah
Bocah bermain
dan para turis yang singgah
(3)
Semalam laut
mencucikan pantai riam
Kutahu, bangkai
ayam & bunga korban
Tapi bau amis
sampan & jala para nelayan
Tertambat di
pasir. Angin mengusir ke pegunungan
(4)
Kau menguap
melepaskan sisa kantuk
Pada riak-riak
kecil air yang lengang
Kau merentak
sia-sia. Kau gapai langit utara
Di batas
matahari berkain sarung lurik-jingga
(5)
Merentang tangan
ke laut yang terbuka
Tertangkap
kepenuhan hidup dalam rasa
Tapi tak kita
tahu, pisau-sunyi terbawa
Kelak, ia
menggoresi tulang-tulang iga hampa
Kadisobo, 25 April 1987
Gubug Sampan
Di pantai ada
gubug. Di gubug ada sampan
Dan kita duduk
di bawah gubug, bersampan
Dan kita pandang
gelora ombak pantai Kuta
Terpandang jauh
di sana. Pulau Nusa Penida
Kadisobo, 29 Maret 1987
Selat Bali
di atas Ferry Kintamani
Dari Ketapang ke
Gilimanuk
Matahari
menyibak langit fajar
Kita berdiri di
atas ferry
Mengunjungi
pulau yang kawentar
Gundukan-gundukan
bukit Bali
Rapat berselimut
kabut tebal
Putih transparan
di kejauhan
Tapi kita tahu,
sebentar juga pudar
Sunyi dan kantuk
masih terbawa
Bergayut di
lengan-lengan kita
Dan selat tetap
saja bergelora
Bagaikan hati
tersimpan di balik dada
Di celah-celah
bukit dan lembah
Bersemayam sisa
kegelapan malam
Dinda, pernahkah
kau berdiri
– guyah –
Kapan sangsi
hadir tanpa kawan?
Kadisobo, 25 Maret 1987
Pulau Bali
Bagimu pulau
Bali pulau pesiar
Bagiku masa
lampau yang terhampar
Baginya jagad
utuh tak tertawar
Tapi bagi siapa:
hidup kembali segar & mekar?
Tak perlu
spanduk model seminar
Jargon penjual
jamu di pasar-pasar
Hidup cantik
yang terawat baik,
Berujar:
“Welcome to Bali. Anda tak kesasar!”
Kadisobo, 2 April 1987
Tampak Siring
Bukit-bukit
bertahan. Bukit-bukit
ilalang
Bukit-bukit
menjadi tangga-tanah
pertanian
Rumpun-rumpun
kelapa. Rumpun bunga
sepatu
di sana
Mengantar kita
ke pintu gerbang
semesta
pagi pula
Kadisobo, 31 Maret 1987
Penyair
Dia serahkan
irama hidup antar
desa
& kotanya
Selama
menyeberangi arus deras
sungai
ke hilir
Selama jiwa di
dalamnya membuka
isyarat
rahasia
Bahwa penyair
berdiri dan bersaksi
di
pinggir
Kadisobo, 30 April 1987
Lanskap
Dengan tustel
dan tele di tangan
Kita pun
membidik langit Besakih
Satu-dua cerecah
segar kutilang
Terbang-hinggap.
Luput dan tersisih
Hadir
berpasangan. Kita terkesima
Tapi tanpa
sesaji megah dan langka
Tanpa upacara
akbar bagi para dewa
Seperti ketika
hari raya Eka Dasa Rudra
Dan semua hiruk
pikuk di kota besar
Tawar. Prasangka
yang tak terlontar
Terhisap lagi ke
dalam rahim purbani
Sunyi: asal mula
kehidupan di bumi
Maka di balik
pegunungan berjurang
Memutih awan.
Horison yang hilang
Bagaikan kabut
puncak gunung Agung
Turun. Dia
selimuti buah-buahan dan kebun
Kadisobo, 23 Maret 1987
Bunga Nirwana
Pura Besakih
Di Jawa ketemu
candi. Di Bali ketemu pura
Betapa hidup
penuh dengan upacara-upacara!
Tapi jika tak
ketemu seorang yang kau cinta
Kenangkanlah
peristiwa lama, sebentar saja:
Di emas-rambutmu
pernah ada seorang pria
Yang
menyuntingkan sekuntum bunga Nirwana
Kadisobo, 23 Maret 1987
Gunung Es
Kadang saya
berpikir; benarkah tuan Eliot
Penciptaan puisi
dan teori katalist, berbobot?
Hanya karena
selembar surat, ya ucapan selamat
Gunung es pun
cair. Si Tolol pun terkesiap
Kadisobo,1 April 1987
Rumah Panggung
Rumah-rumah
upacara bagai panggung
Beratap ijuk.
Sunyi. Tak terlindung
Rumah-rumah
upacara di kaki gunung
Ah, kita di
Besakih. Di kaki gunung Agung
Kadisobo, 23 Maret 1987
Beberapa pilihan puisi Linus
Suryadi AG. dalam Malam Getsemane
Dua Pria
Kusaksikan 2
pria kembar
Mengusir iblis
Makhluk
bertanduk
Dalam mimpiku
Pria kembar yang
tampan
Berambut ikal
Berjubah lurik.
Bagaikan malaikat
Dalam hidupku
Lalu tampaklah
padaku
Seorang wanita
muda
Jalan
menggelosot. Bagaikan ular
Mencari sesuatu
Orang-orang pun
menyingkir
Pergi menjauh
Aku bersaksi
Dalam kediaman
penuh
Dan 2 cahya
kuning terbias
Di atas tembok.
Elok
Di waktu subuh
Dalam jagaku
Kadisobo, 27 Maret 1987
Dari Gunung Sion
Prosesi
Jika dari gunung
Sion
Ke jantung kota
Jerusalem
Arak-arakan yang
panjang
Pada rangkaian
hari Pondok Palem
Bagaikan pergi
ziarah
Ke kubur-kubur
di bukit
Dalam gaung-gema
nyanyian
Menyibak
kesunyian batu granit
Para putri ngapu
rancang
Betapa jauh
iringan
Betapa terjal
jalan
Dengan sekelumit
doa pengharapan
Jika saja musim
balau
Dari puing-puing
bayang
Kita pun usah
mengigau
Berlindung di
bawah Tiang Berpalang
Kadisobo, 10 April 1987
Alpha - Omega
Jika Bapa adalah
Alpha dan Omega
Di bentangan
jagad dan metajagad
Manusia bergerak
bagai pendulum
Menggapai-gapai
titik tumpuannya
Kadisobo,18 April 1987
Kapal di Pelabuhan
Bertambatan
kapal-kapal di pelabuhan
Buang sauh.
Bongkar barang muatan
Dan para kelasi
bongkar kerinduan
Tapi nakoda tak
mau meninggalkan anjungan
Di kota pantai.
Di kota yang permai
Di kota jutaan
redup neon menggapai
Gereja dan night
club berjajar, damai
Tapi jiwa rindu
tak lagi bisa santai
“Itulah
sebabnya, kenapa aku tinggal
Tak turun, ”
gumam sang nakoda kapal
Di beranda hotel
dan di geladak sial
Kesunyian hitam
jadi setru yang bebal
“Lebih baik
pergi mandi. Mencuci diri
Dari angin
bergaram dan peluh matahari”
Nakoda itu balik
ke anjungan, berdiri
Meneropong
mainan camar senja dan pelangi
Kadisobo, 24 April 1987
Buruh Musiman
Biji gandum
ditabur ke ladang
Tumbuh suburlah
tanaman
Ladang diketam
pada musimnya
Rumput &
disianginya jawan
Hujan jatuh dari
gudang langit
Ke hektar-hektar
ladang
Bagai kasih
hidup yang terbit
Menyehatkan jiwa
& badan
Tapi kapan musim
panen tiba
Si empunya
ladang heran
Ujarnya: “Ladang
panenan berlimpah
Kenapa buruh
pemetiknya sedikit?”
Sang Penabur,
Sang Budi Luhur
Biar jauh datang
berasal
Tapi jika Kau
berkenan
Izinkan aku
menjadi buruh musiman
Kadisobo, 10 April 1987
Pagi
Dan pada pagi
kebangunan dunia
Langit bersulam
kain tembaga
Tapi langit
anganmu merah saga
Ketimpa
gelombang polusi abad tua
Di atap rumbia.
Di tembok lumutan
Berjatuhan
debu-debu cuaca
Udara sumpeg
penyakit asma
Getaran-getaran
suara tanpa rupa
Kau pun bangun
dari mimpi buruk
Di samodra tidur
tanpa bintang
Merenangi air
hidup gelap butek
Keletihan dalam
tempo yang panjang
Jika demikian
apa yang tinggal
Napas hari yang
menggosong dada
Dan hati pun
kehilangan rasa iba
Parau suaramu
bikin aku ketawa
Kadisobo, 12 April 1987
Kadisobo
Tiap fajar tiba
dan senja turun
Selalu terlihat
ratusan bangau
Bercanda sambil
berayun-ayun di ranting
Dan
cabang-cabang bambu petung
Tiap fajar tiba
dan senja turun
Selalu terdengar
ratusan burung
Bercinta sambil
lincah berloncatan
Di dahan-dahan
pohonan rimbun di kebun
Tiap fajar tiba
dan senja turun
Ular, katak,
jangkrik, gansir, walang
Dan serangga
malam yang ria ketawa
Menyapa alam
semesta dengan santun
Tiap fajar tiba
dan senja turun
Kapan kaum tani
santai di dusun
Tanpa pestisida
dan tanpa racun
Tapi itu terjadi
sudah 30 tahun
Tiap fajar tiba
dan senja turun
Kadisobo,15 April 1987
Gambar Mimpi
Seandainya
gambar mimpi terbakar
Dari
langit-langit angan
Kau tak perlu
bimbang:
Buat apa bangkit
dari kejatuhan?
Seandainya hidup
tanpa kelakar
Hanyut dalam
arus sial
Kau tak perlu
sungsang:
Buat apa
merangkaki tebing curam?
Kehendak hidup
tersepuh
Sinar matahari
sunyi
Tubuh mandi
keringat
Jiwa dalam
pergolakan itu lagi
Di lembah sangar
& terjal
Dalam rasa sudah
bebal
Apa tanya perlu
kau buat:
Langit pagi
tinggal sejengkal?
Kadisobo, 8 April 1987
Beberapa pilihan puisi Linus
Suryadi AG. dalam Kwatrin-Kwatrin
Alit
Purwokerto
masih risik
belalang, lampu-lampu merkuri
suaramu menembus
lengang pagi
serasa mendekam
kabut dinihari
serasa
kugenggam: gabaklah hati!
1973
Prambanan
(1)
menjulang bagai
raksasa
bayangan pun
ngungun jua
bukan epos,
semata bukan chaos
pada rasa, pada
mulanya: sepi aksara-aksara
(2)
berserak
batu-batu, sayang
menyilang hening
purbani
berserak angan,
sayang
jagadmu, o,
bayangmu bukan abstraksi!
(3)
pohon-pohon
ketapang menyayup
menggapai
puncak. masih abadi
pohon-pohon
ketapang mencipta jarak
sunyi. bernaung
di bawahnya kita, di sini
1973
Jalan Lengang
kabut menembus
lengang jalanan
melintas masuk
hutan
engkau jabat
saat-saat senyap
di tubir, di
bibir: habis cakap
1973
Gloria
Cintamu ibarat
bintang berpijar
Yang jauh, ia
menerangi jagad raya
Yang mengusap
roman indah gemetar
Di antara kelam
dan remang cuaca
Cintaku ibarat
bintang berpijar
Yang jauh, ia
menerangi jagad raya
Yang mengusap
roman indah gemetar
Di antara kelam
dan remang cuaca
Cintamu dan
cintaku saling berpadu
Dan tergetarlah
langit dan samodra
Ah, jika jauh
kelak kita ingin bertemu
Bayangkan,
bintang-bintang bercahaya!
1976
Hari Esok
Akan kudukung
hari-hari esokmu
Dengan wajah
sebagaimana semula
Letih lesu kini
tengah mengabu
Dan bangkit jiwa
seorang raksasa
Dan di balik
punggungku lautan
Kekal mengombak
kenangan hidup
Engkau dan aku
pernah tenggelam
Dulu: kini
memanggil-manggil sayup
1976
Nazareth
Dengan gitar
tunggal di tangan
Aku pun
bernyanyi tengah malam:
“Ini bulan Desember. Tahun Masehi
Abad 20 kan habis sebentar lagi”
Dengan
lilin-lilin di tangan
Berkibaran
kain-kain satin
O, para putri
gunung Sion
Mengiring Sang
Bijak berjalan
Turun, menyibak
kegelapan
Siapakah kamu,
kau bertanya:
Yohanes
Pembabtis?
Penyair Matheus?
O, siapakah
kamu:
Seorang patriot?
Yudas Iskariot?
Kucari terang di
dalam gelap
Tapi yang kutemu
jutaan bintang
Kucari terang di
dalam terang
Tapi yang kutemu
jutaan kunang-kunang
Siapakah kamu,
aku bertanya:
Pontius Pilatus?
Simon Petrus?
O, siapakah
kamu:
Seorang
pembelot?
Raja berjenggot?
O, putra
Nazareth
Yang mandi di
tepian bengawan Yordan
Yang kramas diri
dalam air kehidupan
Yang menyebar
benih permaafan
Cinta kasih dan
kasih sayang
Dengan gitar
tunggal di tangan
Aku pun
bernyanyi malam lengang:
“Ini bulan Desember. Tahun Masehi
Siapa lahir dengan jiwa tercuci”
Yogya, 1979
Yerusalem
Langit dan bumi
bertangkupan
Pegunungan-pegunungan
diam
Cuaca dingin.
Udara pun basah
Bisik-bisik
berkabar maut singgah
Lalu derap
langkah kuda Zanggi
Derap ladam
kaki. Derap tangan besi
Berderap menggegarkan
jantung insani
100.000 serdadu
bangsa Romawi
Tapi bayang
Herodes di pusat malam
Belum beres. Di
timur ada bintang
Dan seruling
malaikat berkumandang
Kado: “Gloria in
Exelsis Deo”
Yogya, 1980
Lanskap
(1)
Siapa yang Anda
inginkan?
Seorang kekasih
dan hidup kekal
Percumbuan
jiwa-jiwa bergairah
Dalam desah.
Tanpa sesal?
(2)
Apakah yang Anda
inginkan
Sebidang tanah
dan rumah tinggal
Wilayah
pengembaraan tanpa tuan
Seluas jagad.
Tak dikenal?
(3)
Kepada siapa
Anda tanyakan?
Raga ada rasa.
Rasa ada jiwa
Jiwa ada sukma.
Sukma ada Dia
Bebas. Dalam
percakapan lepas?
(4)
Bagaimanakah
Anda mendapatkan?
Dalam kulit ada
daging. Otot-otot
Dalam tulang ada
sumsum. Darah
Rekah. Dari
gelisah dan gairah?
(5)
Dengan apa Anda
mencapainya?
Perahu waktu tak
pernah aus
Jiwa dan hati
menjalin pagi
Dan layar.
Berkibar terus!
(6)
Bagaimana Anda
bisa tahan?
Ia mengalir
bagaikan air
Dalam putaran
tanpa akhir
Berkisar.
Tersingkap tabir!
1979
Tentang Linus
Suryadi AG
Linus
Suryadi AG lahir 3 Maret 1951. Di Kadisobo, Yogyakarta. Menulis puisi dan esai
sejak 1970. Menerima hadiah dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
tahun 1984. Mengikuti International
Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA. Baca puisi di beberapa
kota dan perguruan tinggi di Michigan, Washington, San Fransisco, dan Sydney.
Catatan Lain
Buku
puisi ini disebut-sebut oleh penyairnya sebagai: “kumpulan puisi untuk
Stephanie”. Dalam kata pengantar, yang ditulis oleh C. Bakdi Soemanto, dan
bertanda: Yogyakarta, 3 Januari 1988, disebut: Siapa Stephanie? Penulis merujuk
kepada Stephanie Moffett. Seorang yang dikenal saat Bakdi Soemanto mengajarkan
dan mengenalkan sastra Indonesia melalui terjemahan bahasa Inggris di Oberlin
College, Negara bagian Ohio, USA. Stehphanie pernah tinggal setahun di
Indonesia mempelajari seni pedhalangan
di Kartosura, di bawah bimbingan Ki Naryo Carito. Dan entah bagaimana
ceritanya, ia kenal dengan Linus dan banyak bercerita tentang dia. Linus
dianggap banyak membantu studi dan membuka cakrawala , terutama tentang seni
tradisional Jawa khusunya seni karawitan dan pedhalangan. Stephanie kemudian
melanjutkan perjalanan ke Cina, Australia dan beberapa Negara lain sebelum
akhirnya tinggal di Inggris untuk belajar seni acting. Saya hanya ingin
mengutip akhir dari tulisan itu:”Penyair
dan sejarah berhadapan; dia terlibat tetapi tak sekedar terbawa. Sebab penyair
mampu diam dan memberi arti baru kepada yang sudah lalu.”
Oya, harus jujur dikatakan, bahwa
akhirnya puisi-puisi yang muncul di sini adalah puisi terpilih yang subjektif.
Kadang-kadang ada halangan besar untuk menampilkan puisi-puisi tertentu,
walaupun itu menarik. Sesuatu yang normatif sifatnya. Dua hal yang saya rasakan
agak membatasi adalah soal keyakinan beragama dan soal erotika. Banyak
puisi-puisi Linus yang bertutur tentang ajaran Kristiani, pun puisi-puisi
Sindhunata. Nah, inilah soalnya. Rasanya tak dapat menampilkan sesuatu apa
adanya tanpa harus terlibat atau merasakan sebuah tanggung jawab pribadi. Singkatnya,
ada hal-hal yang saya fanatiki dan ada wilayah yang saya dapat bertoleransi dan
berkompromi. Pun saya terhalang untuk menampilkan puisi-puisi yang terlalu
vulgar. Saya berpikiran, itu tidak bagus buat semua orang walaupun bagus bagi
sebagian orang. Jadi, untuk mendapatkan gambaran utuh, beli atau pinjamlah
bukunya. Dan mungkin, tak cukup hanya satu buku, atau bahkan satu hidup dari
penulisnya. Berendah hatilah dalam menilai dan mem-vonis orang demi orang. Salam
puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar