Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Perahu
Kertas
Penulis : Sapardi
Djoko Damono
Cetakan : I, 1983
Penerbit : PN. Balai Pustaka, Jakarta
Tebal : 50 halaman (42 puisi)
Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam Perahu
Kertas
Pertapa
Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah
gua, atau sebutir telur, atau sepatah kata
— ah, apa pula
bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku
sudah dililit akar,
sudah merupakan benih, sudah mencapai makna
— masih
beranikah kau menyapaku, Saudara?
Yang Fana adalah Waktu
Yang fana adalah
waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah
waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
tanyamu. Kita abadi.
Tuan
Tuan Tuhan, bukan?
Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
saya sedang ke luar.
Telinga
“Masuklah ke
telingaku,” bujuknya.
Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci — setiap kata, setiap huruf,
Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci — setiap kata, setiap huruf,
bahkan letupan dan
desis
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-
baiknya apa pun
yang dibisikkannya
kepada diri
sendiri.
Tajam Hujanmu
tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang ber-
ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang ber-
goyang-goyang
di tangan kananku, air yang menetes dari ping
gir-pinggir
payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang meng-
arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang meng-
ganjal
di tenggorokan
deras dinginmu
:
sembilu hujanmu
sembilu hujanmu
Di Tangan Anak-anak
Di tangan
anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk
pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya
membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut
anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”
Akulah Si Telaga
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
biar aku yang menjaganya
Sihir Hujan
Hujan mengenal
baik pohon, jalan,
dan selokan –
swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun
sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu
benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan,
dan selokan –
menyihirmu agar
sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap
wahyu yang harus kaurahasiakan
Seruling
Seruling
bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, me-
nutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan
pangeran dan
putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak
terbayangkan merdu-
nya ….
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa me-
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa me-
nganga.
Perahu Kertas
Waktu
masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau
layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang,
dan perahumu
bergoyang menuju lautan.
“Ia
akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
tua. Kau sangat gembira, pulang dengan
berbagai gambar
warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun
menunggu kalau-
kalau ada kabar dari perahu yang tak
pernah lepas dari rindu-
mu itu.
Akhirnya
kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam
sebuah banjir besar
dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Cara Membunuh Burung
bagaimanakah
cara membunuh burung yang suka berkukuk
bersama teng-teng jam dinding yang
tergantung sejak kita
belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau
setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya
di sela-sela ranting
pohon jambu (ah dunia di antara bingkai
jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering
ingin sendirian
soalnya ia baka
soalnya ia baka
Gonggong Anjing
untuk Rizki
gonggong
anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu merayapi
pohon cemara dan tergelincir terbanting di
atas rumah me-
nyusup lewat celah-celah genting bergema
dalam kamar demi
kamar tersuling lewat mimpi seorang anak
lelaki
“siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi
“siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi
Peristiwa Pagi Tadi
kepada GM
Pagi
tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
tentang lelaki yang terlanggar motor waktu
menyeberang.
Siang
tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
sahabatmu yang terlanggar motor waktu
menyeberang, mem-
bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat
ke tepi jalan.
Sore
tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
terlanggar motor waktu menyeberang,
membentur aspal, lalu
diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan
menunggu setengah
jam sebelum dijemput ambulans dan
meninggal sesampai
di rumah sakit.
Malam
ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa
itu.
Di Atas Batu
ia
duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah
kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana
ke mari
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang - timbul di sela
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang - timbul di sela
goyang daun-daunan, jalan setapak yang
mendaki tebing kali,
beberapa ekor capung –
ia
ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi
Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun
1964. Semasa mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara
sastra RRI Yogyakarta, menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian,
menerjemahkan, main dan menyutradarai sandiwara, dll. Aktivitasnya kemudian
menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, hingga guru besar.
(Tertulis di biodata al. begini: DukaMu Abadi pertama kali diterbitkan
tahun 1969 oleh pelukis Jeihan. Dua buku Sapardi yang lain yang sudah terbit
adalah Mata Pisau dan Akuarium, keduanya terbit tahun 1974). Saat
ini, kumpulan puisi beliau tentu telah bertambah.
Catatan Lain
Di dalam kata Pengantar Perahu Kertas, penerbit mengutip Sapardi Djoko
Damono dalam sebuah ceramah tentang Puisi Indonesia Mutakhir (Jakarta, 6
November 1969). Ia mengatakan: “Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi.
Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan
ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa
umumnya, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan
dunia intuisi penyair, namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung
imaji. Hal inilah yang membedakannya dari kata-kata dalam puisi.”
Barangkali kutipan yang sengaja
diangkat penerbit bisa menjadi semacam kredo bagi SDD dalam membikin puisi.
Terbaik
BalasHapustak ada kata lagi selain"terbaik untukmu"
BalasHapusyang fana adalah waktu, halaman berapa ya?
BalasHapusTerimakasih uploader, saya sangat terbantu
BalasHapus(Lagi nugas, bingung milih antologi yg mana)
Pokoknya thx u min😁