Data buku kumpulan puisi
Judul : Lagu Pemacu Ombak
Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
Cetakan : II, 1984 (cet. I. 1978)
Penerbit : PT Dian
Rakyat, Jakarta.
Tebal : 39 halaman
(19 judul puisi)
Link: http://www.alisjahbana.org/
Beberapa
pilihan puisi Sutan Takdir Alisjahbana
dalam Lagu Pemacu Ombak
Seindah Ini
Tuhan,
Terdengarkah kepadamu himbau
burung di hutan
sunyi meratapi siang di senja hari?
Remuk hancur rasa diri
memandang sinar lenyap
menjauh di balik gunung.
Perlahan-lahan turun malam
menutupi segala pan-
dangan.
*
Menangis, menangislah hati!
Wahai hati, alangkah sedap
nikmatnya engkau pandai
menangis!
Apa guna kutahan, apa guna
kuhalangi?
*
Aku terima kasih kepadamu,
Tuhan, memberiku hati
tulus-penyerah seindah ini:
Sedih pedih menangis,
waktu menangis!
Girang gembira tertawa,
waktu tertawa!
Marak mesra bercinta,
waktu bercinta!
Berkobar bernyala
berjuang, waktu berjuang!
10 Agustus 1937
Dari: Pujangga Baru, Agustus, 1937
Kalah dan Menang
Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang!
Sebab kuputuskan, bahwa kemenangan sudah
pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka
yang lain:
Yang mengeluh bila terjatuh,
Yang menangis bila teriris,
Yang berjalan berputar-putar dalam belantara
*
Di padang lantang yang kutempuh ini,
aku tak mungkin dikalahkan:
Sebab disini jatuh sama artinya dengan
bertambah
kukuh berdiri.
Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik
berlipat
ganda kepada sipemukul.
Malahan algojoku sekalipun yang akan
menceraikan
kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri
seumur
hidupnya:
Melihat mataku tenang menutup dan bibirku
berbunga
senyum.
4 Mei 1944
Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 23 Desember
1945.
Kepada Kaum Mistik
I
Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap.
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja
Aku berbisik dengan Tuhanku
dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang diatas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja
II
Berderis decis jelas tangkas
Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu
Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu
Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di-mana2
Diujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar
19 Oktober 1937
Manusia Utama
Beta
selalu menggemari pemandangan lantang: di
pinggir laut yang luas, di puncak
gunung yang tinggi.
Dan
sekarang beta berdiri di tengah padang yojana:
sejauh mata memandang ruang lapang,
diatas mem-
bentang gelanggang awan terbang.
Disini
dada kurasa limpah ruah, darah mengalir
berbusa-busa, tenaga mekar tiada
berhambat.
Tuhan
menjadikan manusia penguasa seluruh buana:
matanya tembus menerus segala
adangan, telinganya
menangkap segala getaran, langkahnya
melewati segala
watas dan tangannya menjingkau ke
balik angkasa.
Dan
hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan
makhluk itu ulat papa tiada berdaya.
Beribu
tali dibelitkannya sekeliling badannya, se-
hingga akhirnya ia tiada dapat
bergerak lagi.
Picik
matanya akan rahasia alam dan takutnya akan
mati disucikannya menjadi agama.
Malasnya berpikir
dan menyelidiki dinamakannya
percaya.
Takutnya
bertanggung jawab disembunyikannya di
balik nasib. Ngerinya berjalan
sendiri dipalutnya dengan
keluhuran sepuhan adat.
Dan
akhirnya tertutuplah sekalian kemungkinan alam
yang luas baginya dalam kepompong
gelap yang di-
jalinnya sendiri …….
Sedangkan
bagi kepompong ulat, makhluk yang lata
itu, alam menjanjikan kemuliaan dan
kemegahan, telah
sepatutnya bagi kepompong manusia,
makhluk utama
yang lengkap berakal dan berbekal
itu, hanya teruntuk
kehinaan dan kemelaratan.
Sebagai
hukuman akan kealpaannya terhadap pen-
jelmaan kebesaran dan kekuasaan
Tuhan dalam dirinya.
4 Mei 1944
Dari: Majalah Pembangunan,
Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945
Buah Karet
Sekali
aku duduk dibawah pohon karet dan terkejut
mendengar letusan nyaring diatas
kepalaku: biji matang
menghambur dari batangnya.
Ya,
aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki
bebas dari ikatan!
*
Terdengarkah
itu olehmu, wahai angkatan baru?
Putuskan,
hancurkan segala yang mengikat!
Rebut
gelanggang lapang disinar terang!
Tolak
segala lindungan!
Engkau
raja zamanmu!
*
Biar
mengeluh, biar merintih segala nenek moyang!
Lagi
pohon yang bisu insaf, bahwa biji yang sekian
lama dikandungnya itu akan mati
busuk dibawah
lindungan.
Bahwa
bayangan rindang yang meneduhi itu meng-
halangi tumbuh.
5 Mei 1944
Dari: Majalah Pembangunan,
Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945.
Selalu Hidup
Dan ketika aku melihat dari kebunku
kebawah
ke sawah tunggul jerami di tanah
yang rekah,
dan dari sana memandang ke bukit
kering merana,
terus ke hutan hijau dibaliknya,
sampai ke gunung yang permai
bersandar di langit biru,
maka masuklah bisikan kedalam
hatiku:
Hidup ialah maju bergerak,
selalu, selalu maju bergerak,
gembira berjuang dari tingkat yang
satu ke tingkat
yang lain.
…………………………………..
Topan, datanglah engkau menyerang!
Malang, datanglah engkau menghalang!
Kecewa, engkaupun boleh datang
mendera!
Badanku boleh terhempas ke bumi!
Hatiku boleh hancur terbentur!
Wahai, teman, besi baja yang keras
hanya dapat ditempa dalam api yang
panas.
Dan Tuhan,
berikan aku api senyala-nyalanya!
Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu,
terlebur dalam bakaran apimu,
nampak kepada beta:
Dunia bertambah jelita!
Diriku bertambah terkurnia!
Dan engkau, Tuhan, bertambah mulia!
21 Agustus 1937
Dari: Pujangga Baru, 1937
Hidup di Dunia Hanya Sekali
Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Menarik menunda badai dahsyat
seluruh buana tempat ngembara
Ria gembira mengejar berlari
anak air di gunung tinggi
memburu ke laut sejauh dapat
Lihat api merah bersorak
naik membubung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi!
Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat sampai berguncang
Jangan tanggung jangan kepalang
Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja
Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat bernyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit perjuangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
Urat seregang mata menantang
12 Januari 1938
Menghadapi Maut
Kulihat,
Kurasakan:
Peluru mendesing menembus kening,
Pedang bersinau memenggal leher,
dan
Tergulinglah jasad di tanah:
Darah mengalir merah panas.
Sekejap pendek:
Kaki melejang-lejang,
Urat berdenyut meregang-regang.
Sudah itu
Diam
Sepi
Mati,
Muka menyeringai pucat pasi.
Datang mendorong dari dalam:
Mana harapanku, mana cita-citaku?
Sebanyak itu lagi ‘kan kukerjakan!
Mana isteriku, mana anakku,
karib handai tolan?
Lenyapkah sekaliannya
selama-lamanya?
Hampa!
Kelam!
Ngeri!
Tanganku mengapai-gapai:
orang karam mencari ranting.
Wahai nasib,
Sebanyak itu perjuangan!
Sebanyak itu pengikat!
Pemberat hati kepada dunia!
Sedangkan,
Dari semula telah kutimbang,
Kupikir, kurenung matang-matang:
Ditengah peperangan seluruh buana,
Hebat dahsyat tiada beragak:
Bom peluru mungkin menghancur remuk,
Perampok penyamun mungkin menggolok,
Disentri, kolera, lapar mungkin
mencekik …
Dan diantara mati perlbagai mati,
Bukankah ini telah kupilih,
Dengan hati jaga, mata terbuka?
Wahai rahsia hidup!
Penuh pertentangan, penuh
kesangsian!
Berat sungguh menjadi manusia!
Tahanan Seksi Tanah Abang,
Januari 1945
Dari: Majalah Pembangunan,
Tahun I, No. 19-20, 10-25 September 1946.
Kerabat Kita
Bunda,
masih kudengar petuamu bergetar
waktu ku tertegun di ambang pintu,
melepaskan diriku dari pelukmu:
“Hati-hati di rantau orang, anakku
sayang,
Berkata di bawah-bawah, mandi di
hilir-hilir.
Dimana bumi dipijak disana langit
dijunjung.”
Telah lama aku mengembara:
Jauh rantau kujelajah,
banyak selat dan sungai kuseberangi,
gunung dan gurun kuedari.
Baragam warna, bahasa dan budaya
manusia,
teman aku bersantap, bercengkerma
dan bercumbu,
lawan aku bertengkar dan berselisih.
Di runtuhan Harapa dan Pompeyi aku
ziarah,
Dari menara Eifel dan Empire State
Building
aku tafkur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan ummat
berpikir, mengatur dan berbuat.
Kuhanyutkan diriku dalam lautan
manusia
di Time Square di New York dan di
Piccadily di
London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara
unta
di gurun pasir dan batu Anatolia,
saga Islandia yang megah di padang salju
yang putih.
Bunda,
Pulang dari rantau yang jauh
berita girang kubawa kepadamu,
resap renungan petua keramat,
sendu engkau bisikkan di ambang
pintu:
Dimana-mana aku menjejakkan kaki,
aku berjejak di bumi yang satu.
Dan langit yang kujunjung
dimana-mana langit kita yang esa
Bunda,
Alangkah luasnya dan dahsyatnya
kerabat kita,
kaya budi kaya hati,
pusparagam ciptaan dan dambaan.
Honolulu, HARI IBU, 1962
Dari: Majalah Horison,
Oktober 1971
Pemacu Ombak
Pemacu ombak di segara raya,
Gelisah terapung berbuai-buai
Diatas alun kecil-kecil,
Menantikan ombak tinggi padu,
Gairah menggulung menuju pantai.
Didepan membentang samud’ra biru,
Jauh menghabis di garis lengkung,
Tempat langit mantap bertahan,
Dan awan tipis takjub tertegun.
Disini segalanya tiada berhingga:
Ketinggian langit melingkungi
semesta,
Keluasan angin di gelanggang biru,
Kedalaman rahasia ombak bergolak.
*
“Datang, datanglah alun perkasa!
Tinggi biru berpuncak putih,
Saya ‘lah siap diatas peluncur,
Menanti anda menjulang tinggi.”
*
Meninggi, meninggi alun biru.
Sejenak pendek:
otot berseregang
mata terpaku
jantung terhenti
Dan peluncur tangkas merebut ombak,
Garang liar mengejar pantai.
Cepat cergas pemacu gairah,
Tangkas terpegas di papan peluncur,
Menguakkan tangan meluruskan badan,
Menegakkan kepala anggun bangga,
Laksana dewa, muda ria
Merangkum rahasia permainan abadi,
Antara langit, air dan angin.
*
Pemacu ombak di segara raya,
Gelisah terapung berbuai-buai
Diatas alun kecil-kecil,
Menantikan ombak tinggi padu,
Gairah menggulung menuju pantai.
Pantai Kuta, 17 September
1974
Tentang Sutan Takdir
Alisjahbana
(Di dalam
buku tak ada biodata penulis, saya nyarinya di
http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana) Sutan Takdir
Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari
1908 – meninggal
di Jakarta,
17 Juli
1994 pada umur 86 tahun),
merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia.
Buku-bukunya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929), Dian
Tak Kunjung Padam (novel, 1932), Tebaran Mega (kumpulan sajak,
1935), Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang
(novel, 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940), Kebangkitan
Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969), Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971), Lagu
Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978), Amir Hamzah Penyair Besar antara
Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978), Kalah dan Menang (novel,
1978), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985), Seni
dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985),
Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Catatan Lain
Baru di kumpulan inilah saya benar-benar
merasakan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai tokoh dibalik Polemik Kebudayaan. Pikiran-pikiran dan
pandangan-pandangannya lebih terasa di kumpulan puisi ini ketimbang dalam Tebaran Mega.
Juga, saya pun memaklumi, setelah
membaca kumpulan ini, jika kemudian STA dan Sanoesi Pane, misalnya, beranggapan
bahwa angkatan 45 adalah bagian dari Pujangga Baru. Hanya kemudian, H.B. Jassin,
dkk-lah yang “menang” dalam polemik ini dan kanon sastra Indonesia akhirnya
lebih memilih angkatan 45 sebagai angkatan sendiri. Namun yang menjadi catatan
saya, kegarangan puisi Chairil Anwar, yang menjadi ikon angkatan 45, sudah
terasa di kumpulan ini. Namun juga tak memungkiri, lukisan alam kadang masih
muncul di sana-sini. Puisi-puisi ikon Pujangga Baru, seperti STA, Sanoesi Pane,
Amir Hamzah, belum sepenuhnya bebas dari “nuansa” puisi-puisi lama.
Misalnya akan dikutipkan sebuah puisi lagi, sebuah puisi yang pernah
dimuat di Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 19-20, 10-25 September 1946. Dan
diberi keterangan untuk Angkatan Baru.
Puisi ini juga sering dikutip dalam buku teks sekolah waktu saya sekolah dulu,
entah sekarang.
Menuju Ke Laut
Angkatan Baru
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:
“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”
Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara
bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.
Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap.
……………………………..
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat
Jadi dalam buku ini ada beberapa puisi sudah di muat dalam majalah seperti jangan tanggung jangan kepalang, kalah dan menang, dan menuju ke laut?
BalasHapus