Data buku
Judul : Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda
Penulis : Multatuli (adalah nama samaran dari Eduard
Douwes Dekker 1820-1887, yang bermakna = aku telah banyak menderita)
Tahun terbit buku : 1860
Penerjemah: H.B. Jassin (langsung dari Bahasa
Belanda)
Penerbit : Djambatan, Jakarta.
Cetakan : IX, 2005
(Cet. I: 1972)
Percetakan : Ikrar
Mandiriabadi
Tebal : xxi + 359 halaman
ISBN : 979-428-586-2
Pendahuluan dan
Anotasi : Dr. Gerard Termorshuizen
“Ya, aku bakal
dibaca!//Jikalau tujuan itu tercapai, maka puaslah aku. Sebab aku bukan hendak
menulis baik,… aku hendak menulis
begitu rupa, sehingga didengar, dan seperti orang yang berteriak :’tangkap
maling itu!’ tidak perduli gaya ia menyampaikan ucapannya yang spontan kepada
publik itu, maka akupun tidak perduli bagaimana orang menanggapi cara aku
meneriakkan: ‘tangkap maling itu!’.// Buku itu isinya aneka macam, tidak
beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian;…tidak
ada bakat, tidak ada metode…. //Baik, baik,… semuanya itu benar,… tapi orang
Jawa dianiaya!//Sebab, orang tidak bisa
membantah maksud utama karyaku.”
(Multatuli, hlm 347)
Puisi-puisi dalam buku Max Havelaar karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker
Kembalikan Dulu Ibuku Padaku
Ibu, jauh memang tempat ku lahir,
Negeri
tempat kulihat cahaya mentari,
Airmataku
berlinang pertama kali,
Kau besarkan aku dalam bimbingan;
Jiwa sang anak kau isi dan kau pimpin
Penuh
kasih sayang seorang ibu
Setia
kau mendampingiku
Kau angkat jika ku jatuh; –
Nasib
kejam memutus hubungan kita
Tapi hanya lahirnya saja…
Sendiri
aku berdiri di pantai asing
Seorang diri,… dan Tuhan…
Namun,
ibu, apapun menggelisahkan hati,
Yang menyenangkan maupun menyedihkan
Janganlah
ragu cintanya beta
Cinta puteramu di dalam hati!
Belum
ada empat tahun yang silam
Aku berdiri penghabisan kali nun di sana
Tanpa kata di tepi pantai
Menatap
jauh ke masa depan;
Kubayangkan segala yang indah
Yang
menunggu di masa depan,
Kelecehkan
masa kini dengan berani
Kuciptakan surga firdausi;
Hatiku tak gentar menempuh jalan
Melanda segala hambatan,
Yang
melintang di depan mata,
Ku
rasa dunia bahagia semata…
Tapi masa itu, sejak pertemuan penghabisan
kali
Betapa
cepat hilang menjauh,
Seperti kilat tidak terperi.
Seperti
bayangan melintas lalu…
Namun alangkah dalam, alangkah dalam
Bekasnya yang tinggal!
Aku merasa girang dan sedih sekali datang,
Aku
berpikir, dan aku berjuang,
Aku
bersorak, dan aku mendoa…
Ku rasa berabad-abad menghilang lalu!
Aku mengejar kebahagiaan hidup,
Aku
menemukan dan aku kehilangan,
Masa
kanak kujalani cepat
Bertahun-tahun rasa sesaat…
Namun
percayalah bundaku sayang
Demi langit yang melihat kita
Percayalah
ibu percayalah…
Puteramu tidak melupakanmu!
Aku
cintakan seorang gadis. Seluruh
Hidup ku rasa indah karena cintaku;
Ku lihat dirinya laksana mahkota
Ganjaran
akhir cita-citaku
Yang
diberikan Tuhan sebagai tujuan; –
Bahagia menerima karunia
Yang
ditentukannya untuk diriku
Yang dikaruniakannya kepadaku
Akupun
bersyukur dengan airmata berlinang…
Cinta dan agama adalah satu.
Dan
jiwaku bahagia membubung tinggi
Mengucap
syukur kepada Yang Mahatinggi
Mengucap syukur dan mendoa untuknya
sendiri…
Susah
hatiku karena cintaku,
Hatiku resah gelisah,
Tiada tertahan rasanya dukacitaku
Mengiris
melukai hatiku lemah;
Hanya takut dan derita yang ku dapat
Bukannya
nikmat yang ku harap,
Selamat
bahagia yang ku cari,
Racun dan petaka datang mendekat…
Aku
senang dalam derita tanpa kata!
Aku tabah penuh pengharapan; –
Untung
malang menambah gairahku,…
Untuknya biar ku pikul beban derita!
Tiada
ku hirau pukulan malapetaka,
Sukacita aku dalam dukacitaku,
Aku
rela, aku rela memikul segala…
Asalkan nasib jangan merenggutnya dari
padaku!
Gambaran
wajahnya, yang terindah bagiku di atas bumi,
Ku bawa di dalam hati,
Laksana barang tiada bernilai,
Ku
simpan setia dalam hatiku!
Tiba-tiba
asing ia bagiku!
Walau cintaku bertahan
Sampai
tarikan nafas penghabisan
Akhirnya mengembalikannya padaku
Di
tanah air nan lebih indah,…
Aku
mulai mencintainya!
Apakah cinta yang baru mulai,
Dibanding
cinta bersama hidup
Dimasukkan
Tuhan dalam hati si anak,
Sebelum pandai ia bicara?...
Tatkala ia di dada ibunya,
Baru
saja meninggalkan kandungan,
Menemukan susu pertama pemuas dahaga,
Cahaya
pertama di mata Bunda?...
Tidak, tiada ikatan yang lebih erat
Lebih
kuat memadu hati.
Dari
ikatan Tuhan ciptakan
Antara si anak dan hati ibunda!
Dan
hati yang begitu terpaut
Pada keindahan sesaat berkilau;
Yang memberiku duri semata,
Dia
tiada menjalin satupun kembang,…
Apakah hati itu, hati itu juga
Lupakan
kesetiaan hati ibunda; –
Dan cinta wanita
Yang
menerima dalam hatinya gundah
Teriakanku pertama sebagai bayi, –
Yang
membujuk daku jika menangis,
Mencium
kering airmata dari pipiku,…
Yang memberi ku makan dengan darahnya?...
Bunda
janganlah percaya,
Demi Tuhan yang melihat kita.
Bunda
janganlah percaya,
Tidak, anakmu tiadalah lupa!
Di
sini aku jauh dari kehidupan
Yang
di sana penuh kemanisan dan keindahan;
Kenikmatan masa pertama
Sering
dipuji dan disanjung tinggi,
Di
sini bukan bagianku
Di tempatku yang sepi dan suram, –
Curam
dan penuh duri jalanku,
Untung malang menekan jiwaku,
Beban
ku pikul memberat pundakku
Dan menghimpit hatiku; –
Biarlah
airmataku menjadi saksi
Bila kepalaku terkulai pilu
Di saat-saat tanpa harapan
Di
tengah alam yang luas;…
Sering bila harapan tiada lagi,
Hampir-hampir
lepaslah keluhan:
“Tuhan,
berilah daku di alam barzah,
“Apa yang di dunia tidak kau berikan! –
“Tuhan,
berilah daku di dunia sana,
“Bila maut menyentuh bibirku, –
“Tuhan,
berilah daku di dunia sana
“Apa yang di sini tidak ku kecap …
ketenangan!”
Tapi,
terbenam dalam bibirku,
Doaku tak sampai kepada Tuhan,…
Memang aku berlutut, –
Memang
keluhan lepas dari bibirku, –
Tapi ucapanku: “Jangan dulu, ya Tuhan
“Kembalikan
dulu ibuku padaku!”
(Aslinya
puisi ini tanpa judul, ada di Bab III, hlm. 23-27, merupakan sajak yang
dideklamasikan Frits di rumah keluarga Rosemeijer- pedagang gula, yang diambil
dari bungkusan milik Sjaalman yang dititipkan kepada Batavus Droogstoppel. Inti
dari sajak ini adalah tentang seorang muda yang menulis kepada ibunya bahwa ia
jatuh cinta dan bahwa gadisnya kawin dengan orang lain)
Cintaku,
buat Hatiku
Di
atas sayap laguku, ku bawakan terbang cintaku,
Cintaku,
buat hatiku
Ke
sana, ke padang datar sungai Gangga
Di
sana ku tahu tempat yang indah;
Di
sana ada taman bersemarak kembang merah
Bermandi
cahaya rembulan
Seroja
rindukan adiknya sayang
Kembang
violeta pacaran terkekeh-kekeh
Memandang
ke atas ke bintang-bintang
Bunga
mawar saling membisik
Dongeng-dongeng
yang harum wangi
Rusa-rusa
yang saleh, rusa-rusa yang cerdik,
Melompat-lompat
mendekat memasang telinga
Dan
nun di sana menderau air sungai yang suci
Di
sana kita menyelam di bawah naungan palma
Menghirup
ketenangan serta asmara
Mimpikan
impian yang serba bahagia.
(Aslinya
puisi ini tanpa judul, terjemahannya dihadirkan dalam lampiran II, hlm. 351.
Merupakan sajak yang dideklamasikan oleh Stern kepada seorang gadis yang
merajut di dalam suite. Dari keterangan di buku (hlm. 147), sajak ini ditulis
oleh Kitsch Heine dan diulas oleh Batavus Droogstoppel bait per bait hanya
untuk membuktikan bahwa sajak-sajak selalu berisi kebohongan-kebohongan dan
penyair hanya sekumpulan penipu. Sajak ini dihadirkan dalam bahasa Belanda di
hlm. 148-149)
Legenda
tentang Dosa Pertama yang Menenggelamkan Pulau yang Dahulu Melindungi Pelabuhan
Natal
Anda
bertanya mengapa gerangan
Samudera
di pelabuhan Natal,
Di
mana-mana patuh dan ramah,
Namun
ganas bergelora di pelabuhan Natal,
Senantiasa
menggelegak dan bergolak?
Anda
bertanya, dan si anak nelayan
Yang
papa mendengar pertanyaan anda,
Berkedip
matanya hitam,
Ia
menunjuk arah ke Barat nun jauh di sana
Di
bawah langit melengkung luas.
Dialihkannya
pandang dari mata yang legam,
Dan
ia memandang arah ke Barat,
Ke
manapun anda memandang,
Hanya
air, air semata,
Dan
laut, laut di mana-mana.
Itulah
sebabnya Samudera di sini
Menggeser
keras pasir di pantai;
Sekitar
anda laut semata,
Dan
air, air, tiada lain,
Sampai-sampai
ke pantai Madagaskar.
Dan
banyak korban disampaikan
Sebagai
pampasan kepada Samudera
Dan
banyak jeritan terbenam di air,
Tiada
yang mendengar, isteri, anak maupun keluarga
Yang
tahu hanyalah Tuhan.
Tangan
menggapai penghabisan kali,
Menggapai-gapai
di atas air,
Meraba-raba,
mencekau, mencepuk-cepuk
berputar-putar,…
Mencari-cari
tempat bertumpu,…
Lalu
tenggelam selama-lamanya
Selanjutnya
aku tak tahu lagi…
(Aslinya
puisi ini tanpa judul, hadir di hlm. 165-166. Merupakan sajak yang dibuat oleh
Max Havelaar saat memeriksa kebun-kebun lada yang terletak di Teluk-Balai, di
sebelah utara Natal. Karena terletak di pantai, maka Max berperahu dengan seorang
Datuk dan anak gadisnya, 13 tahun, yang sibuk menguntai manik. Adapun judulnya,
merupakan kalimat yang saya temukan di bawah sajak)
Yang
Utama ialah Hidup, Sekalipun Hidup Melarat
Dua
puluh gulden, alangkah banyak!
Selamat
tinggal sastra,
Selamat
tinggal Kopiist!
Nasibku
malang, aku mati kelaparan,
Hatiku
sedih, kesal dan geram,…
Dua
puluh gulden dua bulan makan
Kalau
aku punya sekian… ku pakai sepatu bagus
Ku
makan makanan enak, lebih indah tempatku tinggal
Aku
kan hidup senang…
Yang
utama ialah hidup, sekalipun hidup melarat
Kejahatan
memalukan, bukan kemiskinan
*)
De Kopiist : nama majalah yang terbit di Betawi tahun 1842.
(Merupakan
“sajak” yang memprotes kemiskinannya sendiri - Max Havelaar -, yang ditulis di
belakang kwitansi. Kwitansi seharga 20 gulden itu merupakan harga berlangganan
majalah “De Kopiist” – yang dilindungi
pemerintah, di mana wang langganannya dibayarkan kepada kas negeri. Sajak berbahasa
Belandanya hadir di halaman 185, terjemahannya ada di lampiran III, hlm. 352.
Juga tanpa ada judul. )
Aku
tak Tahu di Mana Aku kan Mati
Aku tak tahu di mana aku kan mati
Aku
melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang ke sana
dengan
ayahku, untuk membuat garam;
Bila
ku mati di tengah lautan, dan tubuhku di lempar ke air dalam,
ikan
hiu berebutan datang;
Berenang
mengelilingi mayatku, dan bertanya: “siapa antara kita
akan melulur tubuh yang
turun nun di dalam air?”
Aku tak akan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Kulihat
terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena
ia
mata gelap;
Bila
ku mati dalam rumah sedang terbakar, kepingan-kepingan
kayu
berpijar jatuh menimpa mayatku;
Dan
di luar rumah orang-orang berteriak melemparkan
air
pemadam api, –
Aku
takkan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Kulihat
Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, waktu memetik
kelapa
untuk ibunya;
Bila
aku jatuh dari pohon kelapa, mayatku terkapar di kakinya,
di
dalam semak, seperti Si Unah;
Maka
ibuku tidak kan menangis, sebab ia sudah tiada. Tapi
orang lain akan berseru:
“Lihat Saijah di sana!”
dengan
suara keras; –
Aku takkan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Kulihat
mayat Pak Lisu, yang mati karena tuanya, sebab
rambutnya
sudah putih;
Bila
aku mati karena tua, berambut putih, perempuan meratap
sekeliling
mayatku;
Dan
mereka akan menangis keras-keras, seperti perempuan-
perempuan menangisi mayat Pak Lisu; dan
juga cucu-cucunya
akan
menangis, keras sekali; –
Aku takkan mendengarnya
Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Banyak
orang mati kulihat di Badur. Mereka dikafani, dan
ditanam
di dalam tanah;
Bila
aku mati di Badur, dan aku ditanam di luar desa, arah
ke timur di kaki bukit dengan
rumputnya yang tinggi;
Maka
Adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan
mengingsut
mendesir rumput,…
Aku akan mendengarnya.
(Sajak
ini ada di hlm. 283-284, tak memiliki judul. Juga hadir di sampul belakang
buku, tentu dengan pemenggalan kalimat yang berbeda. Di roman ini, sajak dibuat
oleh Saijah).
Lihatlah
Bajing
Lihatlah
betapa bajing mencari makan
Di
pohon kelapa, ia naik ia turun, ia mengeracak kiri
dan
kanan
Ia
berlari (mengitari pohon), melompat, jauh,
memanjat
dan jatuh lagi
Sayap
ia tak punya namun ia cergas seperti burung
Selamatlah bajingku, selamatlah
Pasti
kau menemukan makan yang kau cari, …
Tapi
aku seorang diri duduk di hutan jati
Menunggu
makanan bagi hatiku.
Sudah lama bajingku kenyang
Sudah
lama ia kembali ke sarang
Tapi
masih juga jiwaku
Dan
hatiku sangat berdukacita … Adinda!
Lihatlah
nun rama-rama keliling mengepak sayap
Sayapnya
berkilau laksana kembang aneka warna
Hatinya
cinta berahikan bunga kenari
Pastilah
ia mencari, mencari kekasih yang harum wangi.
Selamatlah
ramaku, selamatlah
Pastilah
kau menemu apa dicari
Tapi
aku duduk seorang diri di hutan jati
Menunggu
kekasih idaman hati
Sudah lama rama-rama mengecup
Kembang
kenari yang sangat ia cintai
Tapi
masih jiwaku
Dan
hatiku alangkah berdukacita … Adinda!
Lihatlah
betapa matahari bersinar nun di atas
Jauh
di atas bukit Waringi
Terlalu
panas ia merasa dan ingin turun ke bumi
Tidur
di dasar laut seperti rangkulan seorang suami.
Selamatlah o matahari, selamatlah
Pasti
kau menemu apa dicari
Tapi
aku seorang diri di hutan jati
Menunggu
hatiku menjadi tenang
Sudah lama nanti matahari turun
Dan
tidur di dalam laut, jika segala telah kelam
Tapi
masih jiwaku
Dan
hatiku alangkah berdukacita … Adinda
Jika
tiada lagi rama-rama terbang keliling mengepak sayap
Jika
bintang tiada lagi berkilauan
Jika
melati tiada lagi harum baunya
Jika
tiada lagi hati berduka
Tiada
lagi binatang liar di dalam hutan
Jika
matahari kesasar jalan
Dan
bulan lupa mana Timur mana Barat
Jika
waktu itu belum juga datang Adinda
Maka
turunlah malaikat dengan sayap kemilau
Ke
atas bumi mencari apa yang tinggal
Maka
mayatku terkapar di sini di bawah ketapang
Jiwaku
alangkah berdukacita,… Adinda!
Maka
malaikat melihat mayatku
Diberitahunya
saudara-saudaranya, ditunjuknya
mayatku
dengan jarinya
“Lihatlah,
nun di sana ada seorang manusia mati terlupa
Mulutnya
kejang mencium kembang melati
Marilah,
kita angkat dia kita bawa ke surga
Orang
yang menunggu Adinda sampai mati
Sungguh,
ia tak boleh tinggal sendiri
Orang
yang hatinya keras mencinta”
Maka sekali lagi mulutku kejang akan
membuka
Untuk
memanggil Adinda yang kucinta
Sekali
lagi kukecup melati
Yang
dia berikan … Adinda … Adinda!
(Sajak
ini muncul di hlm. 291-294. Sajak “Lihatlah Bajing” dalam bahasa Melayu, yang
ditulis oleh Multatuli sendiri, kemudian ditemukan kembali oleh E. Du Perron
dan dimuat ke dalam bukunya sendiri. Sajak berbahasa Melayu ini dimunculkan di
Lampiran V, hlm. 358-359: begini sajaknya……)
Liat
Lah Bajing
Liat
lah bajing cari pangidupan
Naik
turon klappa, main kiri kanan
Putar
melompat, jato, naik, turon,
Sebabnya
tida cepat kai burong.
Ontong
terlalu, bajingku slamat,
Pasti
nyang cari pangidupan dapat!
Saiya
sendiripun di hutan jati
Duduk,
bernanti pangidupan hati.
Sudahlah
perutnya bajingku kenyang –
Sudahlah
lama masok di sarang,
Tapi
slamanya jiwanya saiya,
Hatiku
paiya – Upi Adinda!
Liatlah
kupu-kupu kuliling,
Kaya
kembang waru saiyab gemilang
Hatinya
cinta bunga kenari
Pasti
kasaiyangan harum dicari
Ontong
terlalu, kupuku slamat
Apa
nyang cari, tantuken dapat!
Saiya
sendiripun di hutan jati
Duduk
bernanti kasaiyangan hati.
Sudahlah
lama cium kupu-kupu
Bunga
kenari cinta terlalu
Tapi
selamanya jiwanya saiya
Hatiku
paiya – Upi Adinda!
Liat
mathari cahaiya tingie,
Tingie
di atas bukit waringin.
Pannas
terlalu turun diminta
Tidor
di lahut kaiya bini dicinta
Ontong
terlalu mathari slamat,
Apa
nyang cari tantuken dapat!
Saiya
sendiripun di hutan jati
Duduk
bernanti diamlah hati
Sudahlah
lama turun mathari
Tidor
di lahut – trang sudah lari
Tapi
slamanya jiwanya saiya
Hatiku
paiya – Upi Adinda!
Kalu
tralagie kupu kuliling
Kalu
tralagie bintang gemilang
Kalu
tralagie harum melati
Kalu
tralagie kerasahan hati
Kalu
di hutan tralagie binatang,
Kalu
Andinda belom lagie datang, –
(Dua
baris yang ada dalam bahasa
Belanda,
tidak ada di sini)
Nanti
bidari saiyabnya gellang
Turon
di bumi cari nyang korang –
Nanti
ketinggalan badannya saiya
Hatiku
paiya – Upi Adinda!
Nanti
bangkehku diliat bidari,
Pada
sudarah menunjuk jari.
Liat
dilupa seorang mati,
Mulutnya
kaku cium bunga melati,
“Mari
kit ‘angkat ia di saorga,
“Nyang
sampeh matti nanti Adinda
“Janganlah
sungoh tinggal di situ
“Nyang
punya hati cinta begitu” –
Dan
lagi sekali mulut buka
Panggil
Adinda nyang hatinya suka;
Cium
lagi sekali melati bunga
Dia
nyang kassi – Upi Adinda!
Anakku,
Jam Sembilan Sekarang
a) “Anakku, jam sembilan
sekarang, dengarlah!
Angin malam mendesir dan
udara jadi sejuk
Terlalu dingin mungkin
bagimu, jidatmu hangat
Kau main begitu lasak
sehari-harian
Kau tentulah letih, mari,
tikarmu menunggu –”
“Ah, Bunda, biarkan daku
sebentar lagi
Enak tiduran di sini – dan di
sana,
Di dalam sana di atas
tikarku, aku segera tertidur,
Dan tidakpun tahu apa
mimpiku, – tapi di sini,
Di sini segera ku dapat
cerita apa mimpiku,
Dan tanyakan apa artinya –
dengarlah,
Apakah itu?”
–
“Itu kepala yang jatuh ke tanah.” –
– “Sakitkah rasanya ia jatuh?”
–
Ku kira tidak,
Orang bilang buah dan batu tak punya perasaan.”
–
– “Tapi kembang, tak merasakan juga?” –
–
“Tidak,
Orang bilang tak ada perasaannya.”
–
Kalau begitu,
Mengapa Bunda, waktu kemarin ku bawa pukul
ampat
Bunda berkata aku sakiti dia?” –
– “Anakku, si pukul ampat amat cantiknya,
Kau tarik daunnya halus sehingga koyak
Sedih aku melihat kembang itu.
Sekalipun ia sendiri tidak merasa,
Aku merasakan untuknya, karena ia begitu
cantiknya.” –
– “Tapi Bundaku sayang, kau pun cantikkah
juga?”
–
“Tidak, anakku,
Ku kira tidak.” –
–
“Tapi Bunda punya perasaan?” –
b) – “Ya, orang punya perasaan,
tapi tidak semuanya sama” –
– “Dan dapatkah sesuatu
menyakitimu?
Sakitkah
itu kau rasa
Jika kepalaku berat terhantar
di pangkuanmu?” –
– “Tidak, itu tidak sakit ku
rasa!” –
– “Dan Bunda,
Apakah aku punya perasaan?” –
–
“Tentu, ingatkah kau
Waktu jatuh kesandung batu,
tanganmu luka dan kau menangis,
Kau pun menangis waktu Saudin
menceritakan padamu
Anak domba di bukit sana
Jatuh ke dalam jurang lalu
mati;
Lama kau menangis, – itulah
perasaan!” –
– “Tapi Bunda, kalau begitu,
perasaan
samakah dengan
kesedihan?” –
– “Ya,
seringkali demikian,
Tapi tidak selalu, –
kadang-kadang tidak! Kau tahu
Kalau adikmu kecil mencekau
rambutmu,
Dan memekik riang menarik
mukamu ke mukanya
Kaupun tertawa girang, itu
pun perasaan.” –
– “Dan adikku kecil – dia
menangis begitu sering
Karena sakitkah? – Apakah dia
berperasaan juga?” –
– “Mungkin, anakku, tapi kita
tidak tahu,
Karena dia masih kecil dan
tak dapat mengatakannya.” –
– “Tapi Bunda … dengarlah,
apakah itu?” –
–
“Seekor rusa
Yang kemalaman dalam hutan
dan kini
Berlari pulang melepas lelah
Bersama rusa yang lain,
rusa-russa kesayangannya.” –
–
“Bunda,
c) Rusa itu, adakah adiknya kecil
seperti aku
Dan adakah Bundanya juga?” –
– “Entahlah,
anakku.” –
– “Kalau tidak, alangkah
sayang!
Tapi, Bunda, lihatlah – apa
yang berkelip-kelip
di
sana di dalam semak,
Lihatlah bagaimana ia
melompat-lompat dan menari-nari,
apakah
itu bunga api?” –
– “Itu adalah kunang-kunang”
–
– “Bolehlah ku
tangkap?” –
“Boleh, tapi serangga itu
begitu halus
Kau pasti menyakitinya dan
begitu
Kau sentuh ia agak kasar
dengan jarimu,
Ia sakit dan mati dan tiada
bercahaya lagi.”
– “Itu sungguh menyedihkan –
tidak, aku takkan
menangkapnya,
–
Lihat dia menghilang – tidak,
dia datang kemari, –
Tapi aku takkan menangkapnya
– dia terbang lagi,
Gembira karena aku tak menangkapnya,
–
Itu dia terbang – tinggi –
nun di atas – apa itu?
Apakah itu pun kunang-kunang,
nun di sana?” –
–
“Itu adalah
Bintang-bintang.” –
– “Satu dan
dua dan sepuluh dan seribu!
Berapakah semuanya?” –
–
“Entahlah;
Belum
ada orang menghitung berapa jumlah bintang semua!” –
– “Tapi coba katakan Bunda,
Dia pun pernahkah tidak menghitung?” –
– “Tidak sayang. Dia pun tidak.” –
–
“Jauhkah itu
Nun di atas di mana ada
bintang-bintang?” –
–
“Amat jauh” –
– Tapi apakah mereka
berperasaan juga, bintang-bintang itu?
Dan bila kupegang dengan
tangan,
Segera sakit dan kehilangan
cahaya
Seperti kunang-kunang tadi? –
Lihatlah, masih ia melayang –
Katakanlah, apakah bintang
juga merasa sakit?”
–
“Tidak,
Bintang tidakkan sakit kau
pegang – tapi ia terlalu jauh
Terlalu tinggi, tak dapat
dicapai tanganmu kecil.” –
– “Dapatkah Dia menangkap bintang dengan tangannya?”
–
– “Dia pun tidak, tak ada
orang yang dapat menangkap.
–
“Sayang,
Aku ingin memberimu satu –
tapi tunggu aku besar
Nanti
ku cintai kau, begitu besar cintaku sampai ku bisa.”
Si anakpun tidur dan mimpikan
“perasaan”
Mimpikan bintang-bintang yang
dicapainya dengan tangan –
Si Bunda lama baru tertidur pula.
Tapi
dia pun bermimpi
teringat kepada mereka yang
jauh –
Cassel, Januari 1859
* Pukul empat – kembang yang
membuka kelopaknya jam empat
* Saudin – penjaga anak
(Puisi
ini juga tanpa judul, dihadirkan dalam bahasa aslinya di hlm. 230-233 dan
terjemahan bahasa Indonesianya ada di bagian lampiran IV, hlm. 353-357)
Tentang Multatuli
Multatuli adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, lahir 1820 di
Amsterdam. Dibesarkan dalam keluarga protestan sederhana. Ia memiliki watak
yang gelisah dan ‘sukar’. Umur 18 tahun berlayar menuju Hindia Belanda dan
bekerja pada pemerintah di Dewan
Pengawas Keuangan di Betawi, sebagai amtenar. Tahun 1841, ia berpindah ke
Katolik karena gadis yang dicintainya, Caroline Versteegh. Tapi lamarannya ditolak
oleh ayah si gadis dan ia mengalami goncangan batin hebat. Tahun 1842 ia minta
dipindahkan ke Sumatra Barat. Bulan Juli 1842, Doewes Dekker ditempatkan
sebagai kontelir di Natal, di mana untuk pertama kalinya ia berhadapan dengan
penderitaan penduduk. Bulan Juli 1843, dia dipecat/dibebastugaskan dari
jabatan, dan setelah itu ia berpindah-pindah tugas ke Padang, Betawi (1844),
Krawang, Bagelan, Menado dan tahun 1851 ia menjadi asisten residen di Ambon,
namun tak lama karena jatuh sakit. Menikah dengan Everdine Huberte van
Wijnbergen, yaitu Tine dalam Max Havelaar. Tahun 1852, setelah 14 tahun tinggal
di Khatulistiwa, bersama isteri menjalani perlop di negeri Belanda, hingga
lahir anak pertama (si Max kecil).
Bulan Mei 1855 bersama keluarga kembali ke Betawi. Dan tanggal 4 Januari
1856 diangkat menjadi asisten residen Lebak, dalam wilayah keresidenan Banten.
Residensi adalah penyebutan bagi suatu wilayah yang terbagi atas tiga, empat
atau lima kabupaten. Kepalai oleh asisten residen. Dan diangkat pula seorang
kepala dari bumiputera dengan gelar Bupati, untuk mendampingi asisten residen.
Bupati kebanyakan dari kalangan bangsawan tinggi dan digaji. Tanggal 21 Januari
1856 tiba dengan keluarga di Rangkas Betung, ibukota Lebak, dan pada hari itu
juga ia mengucapkan sumpah jabatan. Sepertinya Dekker segera berhadapan dengan
situasi-situasi buruk karena hubungannya dengan Bupati Lebak, Raden Adipati
Karta Nata Nagara dan menantunya, Demang Parangkujang, Raden Wira Kusuma, tidak
terlalu akur. Dekker menuding Bupati (dan penguasa-penguasa pribumi di
bawahnya) telah menyalahgunakan kekuasaannya sehingga menyengsarakan rakyat.
Dan itu dilaporkan ke Residen Banten (24 Februari 1856), dan dilanjutkan ke
Gubernur Jenderal (29 Februari 1856). Tanggal 28 Maret 1856 datang keputusan
Gebernemen bahwa tindak tanduknya tidak dibenarkan dan bahwa ia akan
dipindahkan. Kecewa dan marah, Dekker minta berhenti dari jabatannya dan itu
diluluskan tanggal 4 April 1856. Ia dan keluarga kembali ke Betawi.
Bulan April 1857, Dekker berangkat ke Eropa, anak isteri ditinggalkan
pada keluarga. Ia pun hidup ssebagai bohemian yang mengembara dan selalu dalam
kemiskinan. Bulan Januari 1858 ia tiba di Brussel, di mana ia berusaha keras
untuk direhabilitasi dan diangkat kembali dalam jabatan pemerintah jajahan. Tapi
sia-sia. Tahun 1859, anak isterinya kembali ke Belanda dan menumpang pula pada
keluarga. Dalam situasi keuangan yang buruk, ia menulis buku Max Havelaar di
sebuah kamar loteng sebuah Losmen di Belgia, dalam musim gugur 1859, diselesaikan
dalam waktu satu bulan saja. Tujuannya ada dua, yaitu: Kehormatannya (diwakili
oleh sosok Max Havelaar) harus dipulihkan dan pemerasan terhadap orang Jawa
harus diakhiri. Karya Dekker yang lain, Minnerbrieven
(Surat-surat Cinta), Woutertje Pieterse,
dan Ideen (1862-1877). Pada akhirnya,
Dekker menjadi asing dengan keluarganya sendiri. Si isteri berangkat ke Itali,
setelah mendapat sumbangan dari kawan-kawannya dan meninggal di sana pada 1874.
Tahun-tahun terakhir Dekker dihabiskan di di Nieder-Ingelheim, Jerman, di mana
pengagumnya membelikan dia sebuah rumah. Tanggal 19 Februari 1887 ia meninggal
di sana. (Baca bagian
pendahuluan oleh Dr. Gerard Termorshuizen, hlm. vii-xviii).
Catatan
Lain
Buku Max Havelaar dikatakan oleh Dr.
Gerard Termorshuizen, inti ceritanya banyak mengandung unsur Oto-biografis. Namun
tentu saja pengarang ada juga melakukan beberapa kebebasan. Roman Max Havelaar
seolah ditulis oleh tiga orang, yaitu oleh makelar kopi Amsterdam, Batavus
Droogstoppel, kemudian ada Stern, seorang pemuda Jerman, dan Multatuli sendiri.
Waktu pertama kali terbit pada bulan Mei 1860, Dekker menyerahkannya pada
pengarang Jacob van Lennep yang sedang cemerlang bintangnya. Takut akan
mengguncang, Van Lennep mengganti semua nama tempat dan angka tahun dengan titik-titik
supaya buku itu kehilangan daya bukti. Baru pada cetakan keempat, di mana
pengarang sendiri yang menyelenggarakannya, dipulihkan seperti semula.
Salah
satu bagian yang termasyur dari buku ini adalah kisah cinta Saijah dan Adinda.
Sejak masih kanak-kanak Saijah menyaksikan kerbau ayahnya dirampas oleh kepala
Distrik Parang-kujang. Ayahnya menjual keris pusaka dan beli kerbau lagi. Saat
itu Saijah berumur 7 tahun. Ia cepat akrab dengan kerbaunya. Kebetulan sawahnya
bertetangga dengan sawah ayah Adinda, jadi saat membajak sawah itulah
momen-momen awalnya. Saat umur Saijah 9 tahun (adinda 6 tahun), kerbaunya
dirampas lagi. Saijah kecil menangis dan lama ia tak dapat makan. Ayah Saijah
menjual dua pengait kelambu dan beli seekor kerbau lagi. Dengan kerbau yang
satu ini, Saijah bahkan diselamatkan oleh Kerbaunya dari Macan yang lapar.
Kerbaunya hanya kehilangan sedikit daging pada leher kena cakar oleh macan,
sedang si macan terkapar dengan perut terbuka. Namun, lagi-lagi kerbaunya
dirampas. Saat itu umur Saijah 12 tahun dan Adinda dikatakan sudah pandai
menenun sarung dan mencanting.
Ayah
Saijah tak punya pusaka lagi untuk dijual. Dan ia pun harus membayar pajak
tanah. Beberapa tahun ia masih bertahan dengan kerbau sewaan. Tapi itu pun
tidak memadai. Ibu Saijah bahkan meninggal karena dukacita. Ayah Saijah pergi
ke Bogor cari kerjaan, tapi dihukum dera karena meninggalkan Lebak tanpa pas
jalan dan dibawa kembali oleh Polisi ke Badur. Ia masuk penjara karena dianggap
gila dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Saijah
umur 15 tahun dan ia berencana pergi ke Batawi. Ia berjanji kepada Adinda dalam
waktu 3 tahun akan kembali dan menikahinya: “Buatlah garis pada lesungmu pada
tiap bulan baru. Sesudah cukup tiga kali dua belas garis, sehari sesudah itu
aku akan datang di bawah ketapang;… berjanjilah bahwa kau akan menunggu di
sana.” Adinda berjanji: “Ya, Saijah, aku akan menunggu di bawah ketapang di
hutan jati jika kau kembali.” Kemudian Saijah menyobek secarik dari ikat
kepalanya yang biru dan diberikan kepada Adinda sebagai petaruh.
Saijah sukses di
Betawi. Hampir 3 tahun bekerja sebagai jongos, ia membawa pulang 30 mata wang
Spanyol, yang cukup untuk membeli 3 ekor kerbau. Belum lagi keris, pending dari
emas, ikat pinggang dari rantai perak, dll. Tapi apa yang didapat setiba di
kampung halaman. Impiannya sirna. Ayah Adinda pun dirampas kerbau-kerbaunya oleh
kepala Distrik Parangkujang. Ia membawa keluarganya yang tersisa (termasuk
Adinda, ibu Adinda dan adik bungsu Adinda meninggal) bersembunyi di hutan di
Cilangkahan, distrik Lebak yang berbatasan dengan lautan dan bersama-sama
segelintir yang lain merampas perahu dan berlayar hingga ke Lampung. Saijah
menyusul ke Lampung. Dan saat itu Lampung sedang bergolak dengan pemberontakan.
Ia bergabung dengan orang Banten, bukan untuk bertempur tapi untuk mencari
Adinda. Suatu hari ia masuk ke desa di mana desa tersebut baru direbut dari
tangan pemberontak. Saijah berkeliling dari rumah ke rumah. Dan di desa itu ia
menemukan mayat ayah Adinda, ketiga saudara Adinda, pemuda-pemuda, anak-anak
dan Adinda sendiri, dalam kondisi yang teraniaya dan mengerikan. Sepotong kecil
kain biru masuk ke dalam luka yang terbuka di dadanya. Dengan impian yang
hancur, Saijah lalu menyongsong serdadu yang dengan bedil terkokang masih
memburu sisa-sisa pemberontak. Ia pun mati juga, dengan bayonet tertumbuk pada
dadanya. Kira-kira begitu ringkasannya (Kisah Saijah dan Adinda ada di Bab XVII
hlm. 274-302).
Oya, ini catatan bagi
penerjemah Max Havelaar, yaitu H.B. Jassin. Atas hasil kerjanya ini, ia
berkesempatan untuk mengunjungi dan tinggal di negeri Belanda selama lebih
kurang setahun. Dan beliaupun dianugerahi Hadiah Martinus Nijhof pada tahun
1973, yang diberikan oleh Prins Bernhard Founds.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar