Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Pleidoi Malin Kundang
Penulis: Indrian Koto
Penerbit: Gambang Buku Budaya,
Sleman, Yogyakarta.
Cetakan: I, April 2017
Tebal: vii + 77 halaman (46
puisi)
Desain Isi: Kun Andyan Anindito
Desain Sampul: Yopi Setia Umbara
ISBN: 978-602-6776-43-3
Pleidoi Malin Kundang terdiri dari Dari Tengah Kampung (17 puisi), Ziarah Laut (14 puisi) dan Kota Lama (15 puisi)
Sepilihan puisi Indrian Koto dalam Pleidoi Malin Kundang
Mimpi
barangkali kematian berlangsung
seperti bangun dari tidur
kau hanya mampu mengingat mimpi semalam
sepotong demi sepotong
bisa jadi
kalian hanya mimpiku saja
dunia dan seluruh semesta yang kukenali ini
karang-karangan sederhana
yang ditulis penyair setengah mabuk setengah ngantuk
lalu begitu aku bangun
tak ada perang, tak ada yang terbunuh
tak ada tangisan, tak ada yang kehilangan
bahkan agama, bangsa dan benua
dan segala yang disebabkan olehnya
bisa jadi istilah baru ketika bangun nanti
suatu hari yang rasanya dekat sekali
2011
Tersebab Mata
aku mengenang masa lalu sebagai mata
kekasih yang berkhianat
serupa kekasih yang melukai
aku mengenangnya penuh kebencian
dan rasa rindu
aku ingin segera memeluk
dan meludahi matanya yang licik
diam-diam kucintai segalanya dengan seluruh
kemarahan yang rahasia
aku meragukan apa pun
sudah lama tak kupercai kata-kata
dan membiarkan semua menampar mukaku
serupa kekasih yang berkhianat
aku menatapnya penuh kebencian
dan cinta yang rahasia
aku merasa sendirian serupa bayi yang ditinggalkan
memanggil-manggil namanya
dan menyeru-nyeru nama tuhan
aku mengenang masa lalu sebagai mata
kekasih yang berkhianat
2007-2008
Yogya: Kelahiran Kedua
I
di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan
begitulah mungkin kita bertemu
aku orang asing mencari persinggahan
kau memberi tempat yang nyaman
kumasuki lorongmu seperti remaja yang jatuh cinta
masa lalu ditorehkan dalam graffiti
tertulis di tembok-tembok kota, di makam-makam tua.
aku mendapati gempa yang singkat dan liar
seperti merapi, bibirku bergetar
aku melewati tenda pengungsian, jalan retak,
rumah ambruk, dengan pikiran runtuh.
setelahnya, aku merisaukan hari depan
seperti dikurung abu dan gempa subuh.
ia datang dengan banyak rencana
membangun tembok, menanam gedung,
memanen warung cepat saji,
dan menyepakati masa depan dalam siasat ganjil.
seperti kekasih aku pun enggan melepasmu.
aku merindukan nyala lampu, jalan sepi
dan daun gugur di kota baru
dan code seperti perawan yang sedang tumbuh
ketika subuh.
II
dari apa sebuah kota tegak berdiri?
jalan-jalan sempit
kendaraan penuh dan saling menjerit.
di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi
politik menjadi begitu nyaring dan lantang
lampu merah terus ditancapkan
sepeda seperti kenangan yang terus dihidupkan
dari apa sebuah kota diciptakan?
orang-orang berbondong datang
aku mendengar makin di jalan-jalan
traffic light tak menyala, awas ada galian,
aturan-aturan basi.
kekuasaan seperti terbuat dari pijar lampu dan gedung baru
masa depan seperti lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh.
dari apa sebuah kota dibangun?
rumah susun, pinggir kali, kecemasan para penganggur.
kota dikepung minimarket 24 jam
kedai makan impor, kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu.
di kota ini aku merasa kembali dilahirkan
berebut tempat dengan kecemasan
politik seperti orang tua nyinyir dalam kerangkeng masa lalu
2012
Tangan Rindu
aku menyentuh tangan kurusmu
wahai perempuan yang pandai memasak
luka. jemarimu runcing serupa rindu
yang disangrai di dalam wajan. menjadi
rahasia api tungku, penyedap masakan
yang kau tekuni benar asam garamnya.
jemarimu tempat luka dan rindu
bersarang. kau lemparkan bersama irisan
bawang. matamu, makam sunyi
berabad kehilangan peziarah
tanganmu meruncingkan nasib buruk
takdir seorang perempuan
berakrab dengan bara dan pisau daging
tangis dan bau bawang, asap dan minyak goreng
di dapur, tak kunjung matang itu rindu
kau hidangkan lukamu pada banyak orang
sebentuk rahasia yang mesti mereka telan.
kau menanggung rindu pada kampung jauh
rindu yang seruncing garis tanganmu
tumbuh, bercabang dan memunculkan tunas baru
“pegang tanganku, sibaklah belukar dan
semak tubuhku.”
sepasang tangan yang serupa karang
bau dapur meruap bersama sabun dan
tangis yang tertampung di sana. betapa rindumu
menumpuk, tinggi serupa gunung.
tapi aku tak akan bisa menyibak belukar
tanganku terlalu mentah untuk menjadi
perambah dan membuka lahan, bahkan
untuk di dapur sekalipun
rindumu, mungkin jadi hujan, jadi batu
jadi pulau, jadi pohon, jadi dunia
imaji bagi anakmu yang bertumpuk
bersama sejumlah amsal. tangan yang
nanti seseorang akan memecah
hutan lebatnya.
Lansano, Oktober 2007
Kampung Lansano
aku berayun di batang rambutan yang dulu kutahu benar
cara merawatnya, kini tempatku bergantung
hingga tak lagi kukenal rupa nasibnya.
tak ada apa-apa di sini selain kenangan
hujan sepanjang sore telah menghapus banyak hal dariku
ombak begitu sepi meski suaranya makin merapat
oktober ini, lebaran melewati pintu kami
orang-orang menyisakan hari besok untuknya masuk.
ia menyapaku seperti belasan tahun lalu. dan aku
terkenang pistol air, bedil betung, anjing kecil dan majalah lusuh
duduklah di sini, ma. di antara rumah-rumah yang berebut
tumbuh dan bekas gempa. aku berayun dengan
debar. seberdebar aku menjumpai kawan lama
dan menjabat tangan mereka lagi
sebentar saja. aku nyaris tak mengenal banyak kawan
anak-anak melompat besar, pandai merawat
luka yang diwariskan, mereka yang bertahan di batas
kampung, naik ke hulu, ke pangkal hutan
mengupas kepala gunung dan menggantinya dengan
gambir, cengkeh, jati dan karet.
mereka dan tanaman itu berebut tempat
dengan semak dan beludru. selebihnya adalah keringat
dan kepedihan, adalah kabut adalah bis yang menelan
dan melempar apa pun ke tengah jalan
aku berayun, terus berayun, membuai nasib
sendiri. jalan cekung yang kian tenggelam
mengecil di antara deru kendara dan sisa kecelakaan
di sini, peristiwaku tinggal sedikit saja
—hanya sesudut saja. ia tak sempat jadi apa pun,
sebelum tumbuh dan bercabang. aku terus berayun
berayun dan berayun biar terlihat
laut lepas. biar terlihat pulau jauh
agar padam seluruh bayangmu.
Di Pemakaman
bagaimana aku,
dengan kedua tangan ini
yang pernah memijat letih punggungmu,
menimbun dirimu dan meninggalkan sendirian
di tanah berlumpur sehabis hujan?
aku merindukan kedua tanganmu
menyisik rambutku dengan hati-hati,
cerita, dan doa mengalir di antara telur kutu,
kau mengasihiku seperti hulu kepada hilir.
aku mengingat semuanya:
tubuhmu matang oleh nasib buruk
dan seluruh penderitaan dunia ketiga.
kau lewati perang kecil dan besar,
musuh dari luar, musuh dari dalam.
rambutmu masih saja hitam
meski kau nyaris tak bisa berjalan.
maut memberimu tanda lewat usia.
di setiap kerut-lisut kulitmu
kuketemukan kasih yang tak pernah tua.
bagaimana aku kini,
dengan banyak dongeng-dongengmu
terus hidup di kepalaku, di antara telur kutu,
mampu melenyapkan dirimu
dengan kedua tanganku.
tangan yang banyak menerima
tengadah dan terus meminta.
di kantong sirihmu yang berkapur, uang receh terulur,
membujuk masa remajaku agar tak patah.
kita seperti yatim-piatu yang dilenyapkan
oleh nasib buruk dan keberangkatan.
kau terlalu banyak ditinggalkan
terlalu banyak kehilangan.
aku mengenang semuanya,
sebagai peristiwa yang akan terkubur
dalam lapis ingatan, dalam banyak perulangan.
bagaimana aku bisa membiarkan
kau yang terbaring di bawah sana,
menuntaskan seluruh tentangmu
sebagai sesuatu yang akan tiada.
Meninggalkan Rumah
kau tampak begitu terhina
melewati jalan-jalan yan memperlakukanmu
dengan sengit
langit seperti mendung
sejak pertama kau melepaskan rumah
dari ingatan
masih saja kau ingin pulang
merebahkan diri di ranjang, beranjak ke dapur
dan merenung di ruang belakang
mencomot satu demi satu kenangan
membuat hatimu terus-terusan basah
kenapa tak kau biarkan saja
angin merampas semuanya
dan merelakan hujan menciptakan
muara untuknya
tak ada apa-apa lagi setelah ia
membanting pintu dan membawa segalanya
mungkin ia akan kembali
tapi waktu tak pernah diam di situ saja
kau ingin berjalan-jalan sebentar
jalan-jalan adalah labirin, orang-orang
menghabiskan banyak usia di sana
kau terlambat menyadari
bahwa kau benar-benar sendiri
tak ada alamat yang pasti
dan kau akan tersesat jua akhirnya
Bait yang Hilang
bagaimana lagi aku menulis
agar ada yang abadi dari diriku
kubiarkan luka; kutulis ingatan
kupahat peristiwa penting dan tak penting
tapi tak kunjung jadi puisi
bagaimana lagi;
kuakui kini, betapa sedikit yang aku punya
waktu lebih banyak kuwarnai dengan igauan
tapi kurasa, dari yang sedikit ini
ada yang abadi dalam hidupku
betapa gagalnya aku
kurasa kata-kata lebih dulu berangkat
sebelum kutulis stasiun dan kereta;
pelabuhan dan kapal-kapal
bagaimana menulis puisi
menyelamatkan bait-bait yang terus
ingin kujaga rahasianya
selalu saja kurasa ia tiada
berkubur dan lari ke tangan penyair lain
bagaimana aku menulis hidup
jika ia lebih puisi?
Februari 2008
Pleidoi Malin Kundang
i
karena jarak mengajarkan rindu
izinkan aku mengangkat sauh, ibu
sejak dulu, aku ingin karam di laut jauh
agar tak melulu diserbu sesal yang gaduh
sebagaimana kau tahu,
tanah ini menyimpan kesakitan masa lalu
bagi lelaki seperti aku
maka, aku mencipta masa depan dalam ingatan
menghijaukannya diam-diam
aku celaka ibu, kutuk saja menjadi batu
agar lunas utang sangsaiku
agar padam segala keluh
agar sejarah tak perlu mencatat
mengekalkannya di balik cadas
“duh, yang bernama keberangkatan
betapa ranum di matamu. hingga kau hapus
segala yang sisa,” sedumu di sebuah subuh.
tidak ibu, segala tempat, segala waktu
dan untuk seluruh peristiwa setelahnya, hidup
adalah belajar melupakan dan selalu ditinggalkan
lalu aku, untuk sebuah keberangkatan
kurasa bukan lagi sejarah baru.
laut itu ibu, laut itu selalu memanggilku
aku seperti mencium tanah lain di kedalamannya
jika kelak mati –di tanah mana pun – aku ingin
berkubur di karang saja
sebab laut selalu jujur, di pantai mana pun kau berdiri
akan kau rasa warna yang sama. juga camar itu.
menangislah, dan sesalilah segala yang bernama masa lalu
karena pagi ini aku akan menulis sejarah baru
dan kelak, semoga tangismu mengembalikan aku
pada halamanmu dan api tungku
oh, laut mengapa mengambil segala yang sisa
dan menghanyutkan ke tempat jauh?
dan aku, si celaka ini diam-diam telah membenamkan
segala riwayat bersama sauh. laut mengajarkanku
untuk membakar segala biru. dan kapal ini
segala yang bernama pelayaran adalah jalan lain
membakar ingatan.
ii
kupasrahkan hidup pada yang baru
merawatnya sebagai kelahiran lain
sebab hidup meringsek maju, dan aku, lelaki yang dibalur
dendam, terus mengeja, ibu, pada setiap sudut jalan.
ini tanah lain yang kamu percaya sebagai rumah lain
padanya aku temukan wajah bapak yang lupa kau ceritakan
–duh, mengapa aku tak pernah mempertanyakan?
betapa sumbingnya kisah yang kau gariskan di tubuhku.
di pantai lain kutanam riwayat baru di pasir yang sama pucatnya
kukirim kenangan yang bersisa kepadamu
-semoga laut akan sampai padamu dan membisikkan diam-diam
lewat sepotong malam yang kau rawat di kolong ranjang.
kuproklamirkan kesendirian ini tanpa bendera
dan tanda cinta. Dengan sisa jahitan luka
cukuplah kupetakan nasib sendiri
padanya segala masa depan kukaitkan tanpa sisa.
iii
bukankah sudah sejak lama kau kehilangan?
aku tak menumbuhkan apa yang sempat padam ibu
jika itu membuatmu nyeri, membuatmu perih
hapuslah aku dan sudahi saja si celaka ini
sebab darimu segalanya dan engkaulah yang kelak mengambilnya
“aku tak menemukan lagi anakku,
siapa yang telah menguburnya di pulau lain? ia yang sempat
memeras habis susuku menyudahi kisah tentang kami.
celaka, celakalah ia yang durhaka.”
siapa sebenarnya yang durhaka? tak kau ajarkan aku
tentang dosa dan rindu
selain patahan ranting, deru ombak, merawat dendam
“jangan tersedu, sebab lelaki dilahirkan bukan untuk itu
sebab bapakmu, dulu, sambil tersedu menumpangkanmu
di rahimku tapi begitu saja ia berlalu.” katamu dulu
lalu aku belajar kejam pada yang bernama kehilangan
dan masa lalu
celaka? siapa yang celaka sesungguhnya?
dulu aku tak minta dilahirkan. dengan melupakanmu
aku berharap masa lalu segera padam. tapi kau tak kunjung
hilang, ibu.
maka, izinkan aku mencintaimu dengan kesombongan ini
agar semua terlunaskan
agar dendam terbayarkan
“pada jejakmu yang membatu, pohon-pohon tumbuh serupa lelatu
dan ibu, tak pernah sangsi anakku.
jika kesenangan mengembalikan dirimu pada yang paling jahiliah
sungguh, ibu tak rela.”
tidak ada yang pulang sebenarnya, ibu
tubuhku, kapal baru yang dimuati segala baru
dengan tanah lain yang melulu biru
bukankah ibu, tak pernah mengambil
apa pun setelah semua dilahirkan?
ia yang sungai, mengembalikan semua ke laut jua.
lalu aku, si anak hilang, kau kalungkan sumpah dan petaka.
“setiap kehilangan adalah satu kepulangan lain
dan kau tak pernah pergi sesungguhnya.”
keberangkatan, adalah kehilangan.
juga aku.
“sungguh celaka.”
celakalah, enyahkan aku dari hidupmu
dari hasrat dan rasa malu
“kukembalikan kau pada segala asal
pada segala kepulangan.”
inilah aku si celaka itu
yang kekal oleh hasrat dan rasa malu.
Yogyakarta, 2007
Ziarah Laut
/a
dengan sebutir kampung halaman
kutanam di dalam dompet
kutunggangi peta usang
yang terhampar di tanah lapang
kukendarai laut
hingga rumah tampak melepuh
kurapal jejak pendahulu
yang tertinggal bersama buih
hingga tubuhku menjelma laut
melulu biru
bukan laut ini benar yang keramat
hanya pelayaran sedikit nakal
memutar arah dan kemudi
juga angin liar yang mencabik cadik
kutemukan kampung seberang
tanpa jejak jejak pendahulu
tanah yang semerah darah
serupa kafan di kubur para leluhur
panji-panji mengepul mengingatkanku
pada tungku ibu
yang asapnya memanggilku pulang
sebutir kampung halaman
yang kutanam di dalam dompet
terus saja tumbuh; sepetak ladang, derit ranjang
sisa batuk bapak pada masa kanak
yang tertempel di kamar mandi
layangan mengapung di atas rumah, bau kopi
dan daun nilam
usap lagi punggungku dengan tanganmu, ibu
sampai melepuh
sampai yang tertinggal hanya sebaris kantuk
dan aku menemukan tubuh
mengapung di tanah asing
/b
di mana selatan
barangkali matahari dan cuaca
bersepakat
menipuku dengan arah angin
hingga aku lupa
masa kanak yang berserak
aku belajar menjala mimpi
memungut dahaga, meracik rindu
serupa bumbu
dan kesiur angin hanya nafas ibu
/c
alangkah sukar merapal jalan
pulang hanya sepetak ingatan
yang mulai rimbun
aku mendaki samudera
membaca sebiji pasir sebagai isyarat
di sepanjang pelayaran
pulau-pulau tenggelam
hingga tak sebiji pun kutemukan bau rumah
dan amis pantai
merentang layar, aku seperti menziarahi
kampung halaman yang terus tumbuh
di dalam dompet
duhai, di mana rumah, sepetak
ingatan masa kanak?
rumahlebah, 2006
Bayi Serigala
aku ingin dilahirkan sebagai bayi serigala
dengan geligi tajam. sepasang mata yang akrab
dengan malam. aku ingin
menaiki bukit berbatu, kering, kosong. angin
kemarau dengan gebalau risau membawa
lolong juga gonggong. sampai
malam-malammu mencekam, serupa
anak kecil kau menyimpan semua mainan
dan merapatkan semua yang kau punya
aku ingin menjadi teror bagimu,
hantu lapar yang mengabarkan rindu
dari jauh. di bulan-bulan mati
aku ingin sempurna bersendiri
2009
Ayunan
aku dibuai nasib sangsai
kampung halaman
jalan lengang, tikungan sepi
bis-bis serupa hantu lapar
yang menelan dan memuntahkan apa pun
kelapa tinggi pucat
bukit-bukit menahan sakit
kampung didera kehilangan
aku dibuai nasib sangsai
Tentang Indrian Koto
Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Lansano, kampung kecil di Pesisir Selatan Sumatera Barat. Lulus Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisannya berupa cerpen dan puisi tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Mengelola toko buku sastra online jualbukusastra.com.
Catatan Lain
Ada beberapa yang bisa dirujuk dalam hubungan kakak-adik atau saudara yang sama-sama menekuni bidang sastra, misalkan Sanusi Pane dan Armijn Pane, Koesalah Soebagyo Toer dan Pramudya Ananta Toer, kemudian ada Raudal Tanjung Banua dan Indrian Koto ini. Oya, barangkali, nama Indrian Koto akan masuk juga dalam kelompok pasangan suami-isteri penyair, tentu karena sang istri juga sama-sama menulis puisi, Mutia Sukma. Oya, didalam buku pertamanya ini, banyak berserakan kata “serupa”. Itu kesan umumnya. Jika beli buku di JBS, kalo transfer mesti lewat BNI atas nama Indrian Toni. Mungkin itu nama aslinya. Dulu sekali pernah ke kos sewaktu dia masih bujangan, waktu itu masih di belakang IAIN Sunan Kalijaga. Tujuannya, ya, beli buku. Hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar