Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Kawitan
Penulis: Ni Made Purnama Sari
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Cetakan: I, 2016
Tebal: x + 78 halaman (42 puisi)
Editor: Mirna Yulistianti
Ilustrasi sampul: Natisa Jones
Setter: Nur Wulan Dari
ISBN: 978-602-03-2788-4
Kukira Hatta bersamaku di kereta
Bagai dua siswa sekolah mula
tempuh ujian akhir tahun:
ia menulis sajak, aku gubah sejarah
tak boleh saling contek
rasanya baru saja bintang jatuh
memintas kanal dan puing kota
menemani peti-peti buku kiriman
di samudera tanah jajahan
jauh ke bandanaira;
melesat lewati kereta seratus kilo per jam
yang bikin lampau kota Rotterdam
tak kutahu tentang apa
Sejarah yang aku buat
entah akan akhir bagaimana
Kami tak punya apa-apa
kecuali nasib buruk yang tanpa jemu
menikung langkah di setiap kesempatan
membacanya dalam hati
tak henti membacanya dalam hati:
Berdua memisah arah
Ia turun di stasiun, aku laju ke masa yang nun
Puisi kami, sejarah kami
Entah akan pernah sejalan lagi
seorang pengelana bertanya arah pulang:
pemuda aborigin
pelaut tanah yunan
ksatria berkuda dari britania
membeku dalam gugur bayang
jelita asia dan rupawan arabia
cium berpisah pulang, buat selama-lamanya
bunga beri, bunga semi hijau
melayu sepanjang pinggiran kota
kiranya itu jua yang memisahkan
Seusai tenggelamkan balitanya
Karena si ayah tak mau serumah lagi dengannya
Seluruh warga dieksekusi
sementara tujuh saksi mata di pengadilan
Tak berani mengungkap pelaku kejahatan
Aneka croissant ditawar setengah harga
Sedangkan di halaman lain
Ratusan pengungsi melarikan diri
Laparnya memuncak sampai ke bulan mati
disayat kesumat mimpi
Di mana batu dan tanah menjelma roti
Dengan gaya rambut model terkini
Bercinta dengan pangeran negeri dongeng
Naik kereta kencana yang hanya ada di layar kaca
Meyakin-yakinkan diri bahwa sungguh ada di bumi
ketika membaca jutaan buku di perpustakaan
Terpencil, di sudut rasi bintang tak bernama
Dan manusia telah lebih dulu sampai di sana
Jauh dibandingkan nujuman waktu
Atau kata pertama para wahyu
Kelamnya laut selesai diselami
Manusia hidup menuai nasibnya sendiri
Mengapa tidak berfirman di koran-koran, di jalan-jalan
Tidak berfirman padamu atau padaku
seseorang duduk menunggu
pada setangkai bunga peoni
menyentuh ujung malam
di linang matanya
tak kuasa jauhkan tangan
dari cahaya bulan
tak mampu jadi mawar
yang cintai durinya sendiri
luluh berdamai dengan maut
termenung melantunkan sisa doa
untuk mereka yang belum tiada
Di ketinggian langit pesawat
Kupandangi wajah murung seekor orangutan
Dan hijaunya tumbuhan kantong semar
Di mana lebah terbujuk maut yang kesekian kalinya
berada di rimba raya
Terasa sekali, aku bukan siapa-siapa
Entah muasal, atau hendak ke mana
Aku buat satu sekoci dan kuarungi sungai-sungai
Menembus lahan gambut, menembus sepi kabut
Menembus waktu yang menyesatkanku jauh kemari
Alir sungai, bening sungai, membayang pandangku
Melamunkan wajah siapa pun
Yang entah pernah kukenal
atau tak pernah kukenal:
Wajah para pelaut yang sunyi ditikam karam
Wajah para ibu yang tak henti menatap maut
Kembali ia memantulkan malam semata
Hingga muncul lagi wajah orangutan
Penuh kasihan pada diriku
Pada lembah, pesisir pantai, dan gua-gua rahasia
Menuju dunia yang lagi-lagi tak bisa kuingat
Gelap dalam penyap
Menyeru kesekian kali, menunjukkan hijau dahan-dahan
Juga biru langit dingin kabut
Sambil memandang wajah murung orangutan
Betapa inginnya aku kembali pulang
Rumi, Khayyam, Paz, Mistral!
Inginku menandingimu tiap kali usai membacamu
Kuyakin mudah tulis puisi tentang anggur
membayang bulan padang gurun
Kisah dua taman, patung singa
menghilang di ujung petang
Perahu kenangan dentang lonceng
mewangi laut di batas semenanjung
badai datang sebelum sempat berlabuh
Hidupku, orang sekitarku, tak pernah bisa kukira:
yang rupa dan namanya tak pernah kusadari
mereka mencopet, memaki, sembunyi
tanpa pernah kusadari
Di jemariku kuntum bunga tumbuh merimbun pohon
rindang lalu berguguran
ranting kering menjelma tangan
gemetar genggam takdir yang bukan miliknya
Di dalam tidur diam-diam jiwaku meminta. Berdoa
Mengikat janji pada maut
agar abadi dalam dunia fana ini
Di sana tak ada ibu yang menunggu menyambutku
Bagai anak hilang abai tak pulang
aku berharap bisa ngembara:
mendayung sampan di hutan-hutan
berenang di muara, menyelam bersama lumba-lumba
mengarungi samudera, memintas masa ke masa
terpilih jadi nabi di galaksi baru nun di mana
hingga kemudian aku kembali, sungguh ke muasal
dan tak ada seorangpun kukenali di sana
dan tak siapapun masih mengenaliku
oh, Whitman, Rumi, Khayyam, Paz, Mistral?
Dua taman, anggur, bayang bulan gurun. Bersemilah
Tapi puisi, tak kumau hanya igaukan diri sendiri
Sendiri di air
Siapakah ia
pertapa atau cuma
seekor ikan durhaka?
terbawa arus
adakah ia
untuk kita?
Sebuah sampan nelayan
tak pergi ke hulu
atau ke tepian yang teduh
mengayuh menempuh buih
atau kata-kata
Cuma punya tanya
sungai mengalir, entah ke muara
atau ke laut yang sia-sia
dan ranting kayu
menolak terbawa arus
Sekarang pohonan rindang di jalan-jalan weltevreden
Pesepeda mengayuh sisa waktu sebelum senja tiba lagi
Tempat dulu tuan tanpa malu memandang
Pada gadis yang baru datang dari pasar
Malam kemudian,
Jadilah ia nyai yang kesekian
Di mana kuli angkut, petani miskin
Pencuri, rampok, dan cendikia
Ditahan bertahun-tahun
Sama rata, sama rasa
Pesawat melintas di langit weltevreden
Melayangkan mimpi penyanyi jalanan
Melantun dari trem ke kereta
Dari bus sesak ke taman kota
Lari dari kejaran polisi juga lilitan piutang kehidupan
Anak remaja pacaran, curi-curi ciuman
ketika tiba musim gugur:
Maut yang pias di wajah ibu
atau nujuman masa depan
yang tersamar kabut?
ada sebuah batu kelabu
kemilau di bawah bulan
Serupa cermin, kulihat wajahku
bagai gelombang sungai yang hijau
mengalirkan tawa riang
dua saudara kutilang
yang mempertengkarkan hampa
kepunyaan ibu peri
atau kupu yang menangis di hulu?
ketika melihat dahannya yang hijau:
Sarang kecil seekor pelatuk
yang kuyup oleh hujan
atau lenguh lembu di padang luas?
namun gemerlap cahaya
mengaburkan kabut
membiaskan angan-angan kami
mengering mati
dalam sia lupa ingatan
ciko, si anjing tua
penjaga rumah
mengigaukan nama-nama burung
nama-nama tuan
yang satu per satu melupakannya
menciumiku, tersedu
sebab tak dikenalinya siapa aku
Dibasuh hujan di halaman
Sebelum ciko sempurna buta
puisi orang mati atau keluh sebuah kota yang berubah
membujuk siapa saja untuk lekas berangkat
diam-diam menyamar kepala stasiun
atau penjaga loket yang letih dan payah
selalu memintaku bersitahan menunggu
menuju dunia baru yang tak pernah kutahu:
dan bercinta tak jemu di gerbong tua kereta
Dunia yang jadi rumah teduh
bagi kotaku yang jauh berubah
menyelusup dalam pikiranku
Suara kicaunya beri warna pada kata-kataku
membuka pintunya di hadapanku
menampilkan ruang remang sepi penumpang
hidup bangkit kembali karena doa puisi
Ni Made Purnama Sari menulis puisi, cerpen dan esai. Kelahiran Klungkung, 22 Maret 1989. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi. Diundang dalam berbagai Festival Penulisan dalam dan luar negeri. Mendapatkan beasiswa penelitian riset sosial budaya selama 3 bulan di Belanda. Kawitan, terpilih sebagai pemenang kedua sayembara manuskrip buku puisi Dawan Kesenian Jakarta, 2015.
Halaman 74 dan 75 ada Riwayat Pemuatan karya. Halaman 76 berisikan Tentang Penulis. Halaman 77 tentang Ilustrator Sampul, Natisa Jones. Di sampul belakang buku, ada petikan tulisan dari Dwan Juri Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015, Putu Fajar Arcana dan Jean Couteau. Kata Jean: “Di dalam sebagian besar kumpulan sajak ini, Purnama Sari mengajak kita untuk keluar dari tradisi etno- dan ego-sentris dari kebanyakan penyair Bali modern: bukan diri yang dibicarakan, dan diajak merasakan, tetapi “yang lain”. Si “lian” itu dirangkul di dalam ruang yang beda, status sosial yang beda, atau politik dan budaya yang beda. Tetapi justru karena diakui sebgai “beda”, “kelianan” itu hilang dengan sendirinya, larut di dalam kebersamaan Sang Manusia.” Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar