Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Jangan Mati Sebelum
Berguna
Penulis: Fitri Nganthi Wani
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Cetakan: I, April 2020
Tebal: x + 137 halaman (96 puisi)
Penyelia naskah: Teguh Afandi
Desain sampul: Ivana Kurniawati
Penata letak: Fitri Yuniar
ISBN: 978-602-06-4058-7 (PDF)
berupaya keras untuk tetap bertahan hidup
tanpa harus menyusahrugikan orang lain
dari padangan para pengamat hidup
terkadang bukan dukungan yang didapat
justru nyinyir sindir hujan hujat
dan teori konspirasi yang tak berkesudahan
untuk menyikapi mereka
yang tak punya kapasitas untuk mendengar
tetaplah memihak kebenaran
Oraknya adalah kalkulator
Bertahan teliti dan penuh perhitungan
Mereka pernah berperang
Melawan keroyokan dunia yang munafik
Dunia yang suka memaksa
Namun durhaka pada waktunya
Menjadi ibu dari banyak bayi
Bayi dari rahimnya sendiri
Bayi dari rahim neneknya
Bayi dari rahim ibu mertuanya
Bayi dari rahim perempuan lain
Rambutnya berantakan
Lingkar mata kehitaman
Bibir mengering
Sorot mata kecemasan
Binge Eating – Anorexia – Bulimia
Tubuh sendiri dibenci
Disakiti dan ingin mati
Perempuan-perempuan yang dikorbankan?
Dan hatiku jadi tersedu
Tuhan memberiku rasa rindu
Memulangi tempat asalku
Melihat apapun terasa palsu
Maka ibu tetaplah ibu
Para pembunuh akan mengakui
Perbuatannya dari mulutnya sendiri
Di hadapan Tuhan
Hanya untuk mengatur pembalasanmu
Sebagai penggugur dosamu
Dan ketabahanmu
Menjadikanmu mulia?
Karena kepuasan lebih mudah diperoleh dengan memaki
“Akankah kau habiskan waktu hidupmu
yang sementara ini hanya untuk mencaci
sedangkan Tuhan yang tengah mempersiapkan
rumahmu yang indah dan kekal
sedih melihatmu berada dalam golongan penyerapah?”
Meski berkali-kali kau kutuki
Biarlah dia terbang menuju takdirnya
Hingga genaplah tugas sang angin
Yang mengikutiku saat berjalan
Yang menghadapiku saat bercermin
Saat aku ingin atau tak ingin
Membuatnya sulit sekali terlelap
Maka bila aku masuk ke ruang yang gelap
Ibuku lenyap menghindari senyap
Karena aku berani menantang surya
Menaklukkannya dan menghisap sinarnya
Agar saat malam aku terus menyala
Biar bayangan ibu selalu ada
raut kan kian mengkerut
pada Tuhan
agar membalas indah
semua perjuanganmu
namun tak terbebaskan
karena bebas haruslah kamu sendiri
aku memeluk
melawan sudut pandang rapuh
menghancurkan batas-batas konyol
yang terbangun waktu dan harga mati
runtuhkan keyakinan
yang terbodohi doktrin massa
yang mencipta hidup pada periuk rahim
pengasah pusaka jiwanya sendiri
penebar bibit-bibit perlawanan
bangkit dan melawan
di mata semesta
perempuan dan lelaki
setara!
TAK MAMPU DIRAMPAS
yang telah dihadang
sejak dari tempatku belajar
mengikat tali sepatu
meski mesin waktu gemar mencubit
dan membuatkku kaku wagu
karena sakitnya bukan main
kadang bilur birunya membekas begitu lama
merusak penampilanku
kesimpulan sukses hanyalah sudut pandang
dari angin yang berlari ke segala penjuru
aku belajar mencermati
bahkan dengan meringkuk di balik selimut
aku bisa menjadi liar tanpa harus diajari liar
karena mimpi tak mampu dibeli dan bebas tak bisa dirampas
kekuatan dimulai dari mindset
memerdekakan diri sendiri adalah sikap
pertanyaannya: berani apa tidak?
siap merdeka
siap tahan banting
kadang kita tak tahu
yang tampak santun
justru menelanjangi dirinya sendiri
yang tampak semrawut
justru tertata hati dan pikirannya
yang tampak keras
justru begitu lembut perasaannya
yang tampak manis
justru sedang menyiapkan minuman beracun
di saat kita lengah
yang belum berusaha
tapi sudah mengeluh kelelahan
yang tampak tenang
tapi sedang kebingungan
yang tampak banyak pertanyaan
tapi tak mau mendengar jawaban apapun
yang tampak kepayahan
tapi tak mau dikasihani
terbentuk dari trauma
dan imajinasi yang berlebihan indahnya
yang pertama biasanya berakhir lebih baik
meski yang kedua juga bisa melahirkan hal-hal brilian
tentang berhati-hati
dan pengharapan
nilai bersifat relatif
tergantung kepentingan
masyarakat kita masyarakat kepentingan
jika kau masih tergalaukan selera publik
dan merasa rikuh ketika pingin jadi diri sendiri
tahu tidak?
kebebasan itu sesungguhnya absurd
tapi dipaksa terapi maklum
dihajar lalu dicium
dihujat lalu dibelai
dituduh lalu disayang
diam tak sanggup melawan
memikul dampak masa lalu
namun terbungkam
tak sanggup mengungkap pengap
yang sukarela mau memanggul
salib-salib nabi pergerakan
kareana mereka bukan Yesus
yang kembali meminta salibnya sendiri
kata mereka yang kuingat di masa lalu
aku kecil sangat berbinar waktu itu
namun aku kecil pun dibuat terus terlantar
dijadikan bola mainan
dianggap tiada karena apa adanya
lalu menua menjadi korban baru
menjadi sejarah baru
cerita baru
hiburan baru
aku rindu masa kanak-kanakku
pura-pura menyesal
minta dikasihani
dikasihani
pura-pura menyesal
meminta ampun
diberi ampun
menyesal
meminta ampun
ditinggal pergi
playing victims
mendapat simpati
diulang lagi
sampai kau memohon ampun pada hidup
dan tak lagi bermain-main dengan kesempatan
Fitri Nganthi Wani lahir di Solo, 6 Mei 1989. Kumpulan puisinya Selepas Bapakku Hilang (2009), Kau Berhasil Jadi Peluru (2018). Banyak terlibat dalam kegiatan dan aktivitas kesusastraan.
Di sampul belakang buku ada tulisan begini: “Dalam kumpulan puisi ini, Fitri Nganthi Wani menerjemahkan luka, cinta, duka keluarga, dan peliknya kehidupan sebagai anak Wiji Thukul aktivis yang hingga sekarang tak terang keberadaannya. Sesekali dengan bahasa manis, lebih sering dengan bahasa menggertak, memperlihatkan kegeraman dan nada perlawanan yang kentara sebagai perempuan. Persis seperti yang disampaikannya. Perempuan memang begini. Kalau tidak melawan, tidak akan menawan.”
Oya, hubungan ayah-anak sebagai penyair/pesastra kulihat ada beberapa di Indonesia ini. Selain Wiji Thukul & Fitri Nganthi Wani, juga ada Gerson Poyk & Fanny Jonathans Poyk, Hijaz Yamani & Micky Hidayat, Ajamuddin Tifani & Dewi Alfianti. Berikut puisi yang kayaknya ditulis buat bapaknya itu:
Dari sejarah yang membentuk masa depanku
Ia kini tak setangguh yang dulu
Memoriku sudah mulai tercecer
Emosiku bak roller coaster yang naik turun
Segala nyeri di sekujur tubuh
Menjadi alami
Kepergianmu adalah kekerasan
Merinduimu adalah kekerasan
Tekanan yang kuhadapi adalah kekerasan
Aku dinyatakan sakit
Karena kekerasan yang terjadi di masa lalu
Kita menjadi kisah sendu
Yang tak lekang waktu
Dalam nadiku kurajah puisimu
Agar suatu saat ketika usia melumpuhkanku
Aku akan senantiasa ingat
Bahwa “bapakku orang berani”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar