Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : 99 Puisiku
Penulis : Ngurah Parsua
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Lembaga Seniman Indonesia Bali (LESIBA),
Bali.
Tebal : xvi + 132 halaman (99 judul
puisi)
ISBN
: 978-979-15268-2-1
Desain
sampul dan buku : MDR, KT
Percetakan
: Swasta Nulus
Prolog
: Jiwa Atmaja
Epilog
: Putu Arya Tirtawirya
99 Puisiku terbagi atas tiga bagian,
yaitu Puisiku (2001-2004, 47 puisi), Puisiku Hari Ini (1999-2000, 38 puisi), Pada Puisi (1972-1998, 14 puisi)
Beberapa pilihan puisi Ngurah
Parsua dalam 99 Puisiku
Pada Puisi
kepedihan luka,
mengembara ke batas dunia
sayap tak pernah
jemu dan layu
kepak pikiran,
gairah, burung mungil terbang
dalam sunyi,
pembicaraan dini hari
penghibur
lelahku, diamlah duka, tidur saja
dalam puisi ini,
rebahkan tubuh kering dan pahit kaku
tatap langit
biru senandungkan isi hati
haru tergenang
di kelopak mata
istirahat dari
huru-hara
kutulis cermin
sendiri, mengasah pedang
mesiu, memberi
selamat kepada saudara
dendam dengki kasih
sayangku, kebanggaan
dan
kesombonganku
keserakahan,
ketercelaan pikiran burukku
memberi selamat
kepada derita
tabahlah, dunia
kecil jatuh
ke tangan
kesedihan
rebahlah, tidur
paling nyenyak
esoknya mendaki
pegunungan himalaya
pulang dan
mengembara
menyeberangi
selat malaka
teduhnya rumah
sendiri
pada puisi
Denpasar, 1979
Surat
Seorang Penyair Kepada Kekasihnya
dekapan
purnama
ladang
terbuka
jemari
di tanah subur
lembut
lenyap baur
sepasang
burung di ranting
flamboyan
melepas
sunyi
perahu
menepi
pelabuhan
sepi
ditambatkan
abadi
semoga
Tuhan
semogalah
Tuhan!
rakhmat
harapan
burung
beterbangan
apa
mereka punya sekarang
petani
setia di kaki bukit
miskin
terpencil di gubug mungil
cinta
membara
pusaka
ibu-bapa
manisku,
manisku sayang
rumah
berteduh puisi telanjang
humor
berkelakar membuat sabar prihatin
sederhana
tanpa pangkat jabatan
senangkah
menerima kehadirannya
terbentang
lepas padang tegalannya
suka,
awan bayang-bayang
gaib
lama bertahan
sengsara
kuda tungganganku berkejaran
kepunyaan
penghabisan kematian
milik
abadi bertahan
hidup
bertahan membangun harapan
teduhnya
bintang di malam kelam
buat
apakah hadir?
mereguk
rasa pahit sebelum terakhir
pedih
menjadi manis
kita
bercinta
penuh
silih meminta
menyandang
kegairahan
cermin
mengenal diri
bayang-bayang
tak pernah mati
puisi
mengajarku jantan bersabar
diam
mengenal siapa bermain di atas layar
mengajarku
pemberontakan
kutujukan
protes, dan
keruntuhan
selalu tiba bagi
siapa
saja menipu kalbunya sendiri
mengajarku
beribadah
sujud
segenap diri kumal karatan
aku
pun bukan milikku, ibu-bapa
bayangan
menjalankan papa
papa
bukanlah untuk menyerah
cinta
bergairah malam purnama
meniup
layar perahu lautan
bulan
matahari berangkulan
melangsungkan
perkawinan
membakar
kegairahan
terimalah
terimalah
manisku
segala
miskin kepapaanku
dungu
bertahan karena-Nya
Denpasar,
1972
Kawula-Gusti
hati
telaga bening
wajah
di air hening
rindu
pada-Mu
engkau jiwa sumber jiwa
dilerai
ruang bungkus kaca
tembus
pandang bertatapan
gelisah rayuan kalbu
menyesakkan
batin
mendaki
ke puncak kesucian
kudus
pencarian
di
lorong kemuliaan
antara
Maha Besar dan pengabdi
di dua jiwa
tersekat selaput
sutra
bertatapan
di taman rindang damai
penyatuan
bayang-bayang
manunggal
tanpa berlekatan
ketika
sempurna tiba
Denpasar,
2004
Jejak
Pengembara
jejak
di matahari; lagu seruling
meniup
hutan belantara
siapakah
pagi
ini, rerumputan terbakar
jadi
abu tanpa debu
siapakah
dipetik
nyanyian penghibur
tanpa
lelah
getar
angin
tak
pernah berhenti
siapakah
penyeka
darah, di balik
tangis
tak pernah berhenti
rindu
penyanyi di langit sendiri
menapak
jejak
sunyi
ditiup seruling abadi
siapakah
Denpasar,
Juni 2004
Puisiku
irama
lara, biarlah dan puisi
terindah,
ditulis kalbu. Cinta luka bertahun
bayang
kejernihan, tak pernah berhenti minta
hening,
kesadaran
hina
kebenaran
terakhir di baliknya, duka
Air
gerimis tak jemu membasahi kalbu
Engkau
irama, keheningan segala,
bunyi
di dalam sepi,
bertemu
cahaya kencana,
membuai
cinta abadi seorang dara,
tak
pernah hilang ditelan waktu
mengalir
di setiap musim
Penyair
besar telah mati, menepuk dada
tak
berarti di hadapan-Nya
Terukir
di balik sukma,
Dipersembahkan,
bunga hati
dibalut
bayang derita
pengemis
di kota-kota menanti
sampai
terakhir
Denpasar,
2004
Semadi
gadis memetik
sukma
serangga
bernyanyi
ngarai sunyi
pasraman tua
mengirim segala
berita api
korban
besar oleh doa
kesepian panjang
cukupkan saja
lalang tumbuh
tajamnya
runcing diasah
sepi
mengalir ke anak
sungai
he, jero gede
dilingkari umbul-umbul
besar karena
sepi
semadi
segala hidup
jadi tak mati
segala miskin
sederhana
makna segala
makna
tak siap
diucapkan
lebih baik
memejam mata
ditabuh kulkul
hidup dan mati
abadi mencari
lembah sunyi
senyap saja
tertidur resah
pada lembah
carilah! Tak
guna gelisah!!!
di balik jendela
dan pintu rumah
Denpasar, 1983
Puisi
Ibu
Puisi
ibu: ibu dari puisi
lahir
dari kelelahan
pesta
larut malam
di
perjamuan bermabukan
ibu
semua puisi:
lahir
di bumi
setelah
mabuk laut
kehidupan
membalutkan
bijaknya
di
luka
puisi
ibu, ditulis penyair
mati
tersihir
dan
darah duka mengalir
terukir
manis: terpahat penyihir
di
kaki semesta terukir
karenanya,
membaca puisi ibu
mengingat
perjalanan
tak
pernah berakhir
ditulis
darah penyair
rahasia
abadi
menuntun
hati
bijaklah
dititi tak perlu menepi
Denpasar,
2001
Barong
dan Rangda
di
bumi
di
alam semesta
di
setiap tubuh
di
setiap impian
di
setiap pertikaian
kebenaran
dan “kebenaran”
Barong
dan rangda
sesuatu
menjadi abadi
tak
pernah berhenti
menanti
dan menanti
mengalir
abadi
sebelum
tiba dinanti
Denpasar,
2003
Menatap
Waktu
mata
langit di jantung melati
kutatap
waktu terpisah waktu
cinta
hamba dibalut perjalanan
tak
menentu;
rindu
dibalik rindu ternyata
kecemburuan
berkhiananat lalu kudekap
noda
dibingkai hati suci;
lupakan
saja; ikhlas berpisah
di
depan kehangatan mengulum
mata
lirih seperti aku;
berpisah
sebelum pertemuan
karena
asmara di dunia tak terduga
sekilas
sampai; menatap kekasih setiap
hari;
cukupkan!
akhir
waktu hanya berita
Denpasar,
2002
Penari
Keris
yang
menikam diri sendiri
penuh
arti
Denpasar,
2003
Pura
Ulu Watu
Seorang
pelancong bergumam
Ulu
Watu
berkah
di daun batu
ombak
memukul dinding bumi
berseru
di antara keangkuhan peradaban
keheningan
tak kembali
Sang
Wiku mengakhiri perjalanan
membuat
sejarah; hidup
berakhir
menempuh
lautan kehidupan
suka-duka,
bahagia-sengsara, jaya-runtuh
Dan
segala nestapa
Berjalanlah!
Melangkah mendekati bintang
tertinggi
di langit jauh
Seorang
Wiku memercikkan doanya
Menjadi
sejarah di bumi
Memandang
laut; lautan noda
dan
derita
Ulu
Watu bisu sesepi pagi
Batu
sepi tak pernah kehilangan
misteri
memanggil
pelancong membawa berkah
Sang
Wiku termenung memandangi ombak
bisu
dalam doa hening memuja Hyang Widhi
Denpasar,
2003
Sungai
Semesta
sungai
sunyi airnya sepi
di
batang pohon hening
pembasuh
luka dan duka
debu
derita
haus
dahaga dipuaskan kata
lapar
dilupa
perburuan
tak sia-sia
sungai
itu, dicari-cari
nil
atau missisipi di bumi
sungai
di semua sungai jiwa
mengalir
sendiri tanpa tepi
terlalu
dekat di hati
di
mana itu
gemerciknya
berdenyut
di nadi
kasih
tak tertahan
mengalirkan
sejuk pegunungan
terlalu
dekat di hati
Denpasar,
2001
Roh
Berkerumun
siapakah itu?
manusia
api tak mati
hidupnya hidup
matinya mati
tak luka
darahnya
pengembara
kemiskinan
keadilan
pasar
tanah
samudara bijak?
Mayat
sia-sia palsu
menipu diri
bebas
Denpasar, 1999
Batur - Kintamani
senyap kabut
bias matahari di
antara remang
kokok ayam sayup
serangga menabuh
lengang
margasatwa
dingin tak tertahan
berciap
antara gegas
berselimut kumal
danau sampan
menyibak
kepul asap
dicumbu angin sepoi
gemawan termangu
sendiri
bergumul nyanyi
gaungnya sunyi
digubah lembah
hijau
siul air beriak
kemilau
bukit gunung
berliku
lereng di tepi
danau
pohon tua
dikabut lembut
persembahan redup
menggali umbi
menuai kopi
canda bocah di
antara sinar pagi
di sini tempat
bermain
pulang dan
istirahat panjang
tanah subur
kedamaian
sengketa selesai
ibu pulang
menjadi dewasa
bersahabat alam
tanah kehidupan
berlangsung
kerja ada makmur
persahabatan
perdamaian
kasih sayang kemanusiaan
kurnia, manusia
dan alam permai
seruling
bernyanyi
kerinduan burung
gong ditabuh
musik dedaunan
berkelana
mencari cintanya
gunung kabut
sutera kelabu
kemarin ibu
berdoa
antara kabut
gunung dan lembah
bila
meninggalkan persahabatan
kutuk, dosa dengan
sengketa
ke manakah lagi
mengadu?
dengarlah sayang
lembut sorgawi
bidadari turun
menari-nari di
pucuk meru
rambutnya
panjang terurai
dibalut sutera
merah melambai
digerai cinta
perkasa
penyanyi itu
telah lama
menunggu di
antara danau ngarai
membasuh mimpi
demi mimpi
mendengungkan
doa-doa abadi
memperciki
luka-luka di hati
sembahkan bunga
sujud melati
nyanyi abadi
tersembunyi
gemanya
gamelan ditabuh
ayam pun
disabung darah mengucur
arena jadi
gemuruh, sorak-sorai membaur
orang datang
termangu
telah
dikorbankan darah bunga
pepohonan
gemulai bernyanyi
damai
tanah subur
ramah hatinya
kasihnya abadi
tanpa tepi
tembang petani
lagukan keringat
pemberani
gaung tabah
nurani
kasihnya bunga
warna-warni
harumnya
menembus dinding sukma
kopi bernas siap
dipetik
kentang
sayur-mayur siap diikat
ikan danau di
jaring nelayannya
dibelai temaram
senja
adakah kasih
sayang sia-sia
tanah ramah yang
lempung
Bali, Kintamani 1980
Angin
di Atas Pantai Sanur
malam
menari
sinar-Nya
purnama sunyi
Angin
di atas pantai Sanur
hening,
dicumbui angin timur
membelai
derai
bunga
luruh helai demi helai
kepada-Nya
Pelancong
tak kembali
sudah
lebur tak peduli
terjerat
cinta
dilumat
pantai
malam
itu
Berserakan
pesta rindu
sisa
upacara
Seruling
sudah usai ditiupnya
gamelan
senyap memanggilnya
dibasuh
cinta
lengang
tengah malam
Bertemu
damai hatinya
Apakah
engkau cari, tuan
bidadari
pergi sejak itu
cemburu
mengiriskan sembilu
tak
tertahan rindu
Angin
tertidur sampai pagi
sesaat
dibacanya mantram, blur
Melasti
darah ditabur
Dibasuh
laut: terkubur
Laut
membasuh duka
bagi
setiap tapa
basuh
musuh; amarah
nafsu,
serakah dan sampah
Diusungnya
ke tepi setiap hari
memandangi
kehidupan
kesetiaan
kebajikan
Angin
pemukul gendrang sunyi
rindu
abadi tak bertepi
bidadari
menari-nari
di
taman damai, berbunga permai
Bertemukah
sesudah ini?
Nelayan
melaut tertelan cakrawala
menjaring
impian tertidur lelap
Menenggelamkan
kekalahan ke pusar,
lautnya
pantai Sanur
Apakah
engkau cari, tuan
bencana
pagi ini berhamburan
manis
kasih
perih
luka
sudah
lama diberitakan orang
Borgol
kebencian melumuri keterikatan
beriak
ombak bersedu-sedan
–
membuahkan air mata beracun –
membakar
kesumat, alangkah sayang
Belajar
merenungi angin
menengadah
mengenang kesetiaan-Nya
Angin
di atas pantai Sanur
Kuil
kencana rumah Tuhan abadi
Pura,
gereja, mesjid, maupun vihara
bangunlah
cintanya
tanah
dan cinta milik-Nya
Laut
membasuh derita
matahari
pagi rindu terjelang
melambai
pulang
Denpasar,
2000
Tentang Ngurah Parsua
Ngurah Parsua memiliki nama lengkap I Gusti
Ngurah Parsua, lahir di Bondalem, Singaraja, Buleleng. Sempat menjadi guru,
dosen, kepala sekolah. Namun Pensiun sebagai Widyaiswara pada UPTD Koperasi,
Pengusaha Kecil dan Menengah, Provinsi Bali. Karyanya tersebar di berbagai
media massa dan antologi puisi bersama, seperti Antologi
Penyair ASEAN (1983), Tonggak 3
(1987). Kumpulan puisi tunggalnya: Matahari (1970), Setelah
Angin Senja Berhembus (1973), Sajak-sajak
Dukana (1982), Pemburu (1987), Sajak-sajak Langit (1994), Duka Air Mata Bangsa (1998), Ketika Penyair Bernyanyi (2002), dan rencananya akan didaur ulang dan disatukan menjadi buku "Setelah Angin Senja Berhembus".
Catatan
Lain
Putu
Arya Tirtawirya, di bagian epilog, ada membincangkan pembagian puisi yang
terbagi atas Puisi Transparan, Puisi Prismatis dan Puisi Abstrak. Nah, penyair
Ngurah Parsua diletakkannya di bagian puisi transparan plus setengah prismatis
bersama Taufik Ismail, Ayip Rosidi, Rendra, Diah Hadaning, Dinullah Rayes, Piek
Ardiyanto Supriyadi.
suka angka 99 nya :)
BalasHapuspuisinya panjang2 jga hehe
panjang atau pendek, yang penting bagus, Mas... :)
HapusTerimakasih atas komentarnya. Memang benar, bagi saya itu tergantung pada kwalitasnya.Panjang mungkin ingin berkomunikasi lebih variatif dengan bahasa yang terjaga tidak apa, kan? Asal punya kemampuan untuk menggunakan bahasa figuratif, bukan sekedar komunikasi biasa. Tolong ikuti pula puisi-puisi lainnya. Seperti ''Setelah Angin Senja Berhembus'', ''Potret Pohon Air Mata'',''Air Mengalir'' Atau ''Mendengar Nyanyian Langit'' dan mungkin ada dinamisasi. Terimakasih. Ngurah Parsua.
BalasHapusLebih jelasnya pandangan saya terhadap puisi, mohon dibaca juga
BalasHapusesa-esai sastra saya berjudul: ''KITA DAN PENDIDIKAN SASTRA''. SEMOGA DAPAT MEMBERI MASUKAN UNTUK DAPAT MEMPERKAYA DIRI SAYA TERHADAP PUISI.
TERIMAKASIH. NGURAH PARSUA