Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Bius Doa di Km 48
Penulis : Abdurrahman El
Husaini
Cetakan : I, Desember 2013
Penerbit : Scripta Cendekia, Banjarbaru.
Tebal : xii + 116 halaman (98 judul
puisi)
ISBN
: 979-17199-9-3
Pengantar
: Dewi Alfianti Pratama
Beberapa pilihan puisi Abdurrahman
El Husaini dalam Bius Doa di Km
48
Tentang
Pulang
Pulanglah
kata-kata
Ke
rumah kamus puisimu yang purba
Untuk
mencari bisa sebuah makna
Pada
bahasa-bahasa yang telah berkhianat dengan kejujuran
Pada
kalimat-kalimat yang telah bersekutu dengan kemunafikan
Pulanglah
kata-kata
Ke
rumah kamus puisimu yang purba
Untuk
mencari bisa sebuah makna
Pada
laki-laki yang bernama: MUHAMMAD!
Petuah
Jiwa
Wahai
mata yang buta akan keindahan, melihatlah
Wahai
telinga yang tuli akan kemerduan, mendengarlah
Wahai
mulut yang bisu akan kebenaran, bicaralah
Wahai
hati yang beku akan kejujuran, berbisiklah
Wahai
tangan yang buntung akan ketulusan, merentanglah
Wahai
kaki yang pincang akan kebebasan, melangkahlah
Sebelum
kokok ayam
Sebelum
matahari terbit
Sebelum
perahu umurmu merapat di dermaga sunyi
Aku
Menjelma
Aku
menjelma burung pengantin
Yang
membuat sarang kasih sayang
Di
pohon kalbu anak istriku
Aku
hinggap di dahan dan rantingMu
Menetaskan
telur rindu
Dalam
desah nafas cintaku
Yang
terhimpun pada serabut
Kun
FayakunMu
Ya
Rabbi
012012
Ziarah
Batin
Ibu
Aku
ingin kembali ke alam rahimmu
Aku
ingin hidup damai di sana
Walau
hanya sembilan bulan sembilan hari saja
Aku
ingin selalu disuapi tali pusarku
Aku
ingin selalu digoda manja ketuban
dan
belai mesra tembuni
Ibu
Aku
ingin kembali ke alam rahimmu
Aku
ingin hidup damai di sana
Walau
hanya sembilan bulan sembilan hari saja
Sebab
Mataku
sudah nanar melihat penindasan
Telingaku
sudah bosan mendengar gibah dan fitnah
Mulutku
sudah parau meneriakkan kebenaran
Lidahku
sudah kelu mengecap penderitaan
Tanganku
sudah terbelenggu menggapai kebebasan
Kakiku
sudah lumpuh menendang keserakahan
Ibu
Keringatmu
penuh bunga
Harum
dan segar
Sepanjang
masa
Martapura,
suatu waktu teringat ibu, 10/07/2013
Isak
Pengayuh
Aku
yang patah
Kini
disia-siakan
Aku
tidak lagi kau gunakan untuk mengayuh perahu cintamu
Lihatlah:
perjalanan kelok sungai
Beku
di mulut muara
Tulislah:
riwayat riak dan gelombang
Kaku
di angin buritan
Bacalah:
nasib perahu
Terikat
abadi di dermaga purba
Aku
yang patah
Kini
menggigil mengharap belai kasih dan sayang
Dari
kau yang telah melupakan sungai
Manusia:
ludahi kebinasaanku!
Sungai
Martapura suatu senja, 10 Juli 2013
Hikmah
:
N
Petiklah
bunga
Ciumlah
harum
Walau
taman tak selamanya indah
Lihatlah
awan
Lukislah
pelangi
Walau
langit tak selamanya cerah
Puailah wanyi*
Ambillah
madu
Walau
hutan tak selamanya rindang
Tadahlah
hujan
Ambillah
dinginnya
Sekali-kali
nikmati gigilnya
*
Puailah wanyi: Ambillah madu lebah
Perempuan
dalam Lukisan itu
Perempuan
dalam lukisan itu
Menyimpan
gunung kesetiaan di dadanya
Sebelum
hujan tangis ketabahannya reda
Ia
mengalirkan lahar dingin ketulusan cinta kasih
Ke
sungai kehidupan anak-anaknya
Cintanya
membatu
Abadi
melekat di dinding waktu
Setulus
tatap
Selembut
goresan
Di
kanvas itu
Kasih
seorang ibu
Akh!
Raden
pengantin itu
Ternyata
aku
30/08/13
Rahasia
Pada
usia yang sudah beranjak senja
Izrail
menemani hari-harimu
Pada
rambut yang sudah mulai memutih
Izrail
mengelus kepalamu
Pada
gigi yang sudah mulai tanggal
Izrail
mengkumuri mulutmu
Pada
kulit yang sudah mulai keriput
Izrail
membelai tubuhmu
Pada
langkah yang sudah mulai tertatih
Izrail
menuntun jalanmu
Pada
nafas yang sudah mulai berat
Izrail
bermalam di bilik jantungmu
Maut
ternyata tak pernah mau berkhianat
Pada
janji
Pada
cinta
Martapura,
Jumat pagi, 51012
Perjalanan
Hotel
mewah
Nikmatnya
kupersembahkan buat anak istriku
Tidur
enak
Nyenyaknya
kuberikan buat anak istriku
Makan
enak
Lezatnya
kusampaikan buat anak istriku
Lelaki
itu
Ohoi
Hatinya
Konon
Tertinggal
Di
rumah
Grand
Palace Hotel Yogya 216
Sajak
Cinta
Dengarlah
manis
Debur
debar detak ombak jantung ini
Mencuri
kerlingmu
Pada
setiap tatap
Yang
dirundung rindu
Lihatlah
manis
Getar
gitir gerak bibir ini
Mengukir
pandang
Pada
setiap sapa
Pada
temu
Pada
senyum
Dililit
rindu
Di
ucap-ucap
Di
mata-mata
Di
hati-hati
Kukayuh
jukung rinduku
Menuju
dermagamu
Aku
sekarat diracuni cintamu
Gitir
= getar
Bius
Doa di Kilometer 48
Bius
doa
Bius
zikir
Di
kilometer 48
Kubaca
catatan perjalanan nasib
Sebelum
sampai ke kilometer berikutnya
Menuju
lorong waktu
Tak
kan jua kukhianati ucap janji suciku
Kubius
doa
Kubius
zikir
Dengan
taufik dan hidayahMu
Ya
Rabbi
Sebelum
kokok ayam
Di
kilometer 49
Tiba
memasang
Lunta zikir
Rengge salawat
Di
sungai hidupku Ya Rabbi
Lunta
= jala; Rengge = jaring
Penyair
Nyinyir
:
Sainul Hermawan
Sihir
penyair
Hutan
buku-buku merimbuni rumah kata-kata
Kata-kata
menjelma garam
Garam
membumbui diksi-diksi
Makna
menjadi mimpi ambigu
Bukalah
pintu
Lukisan
laut
Bukalah
jendela
Celurit
rindu
Menebas
padang garam
Nyanyi
lagu perjalanan anak manusia
Bersenandung
di ranah tanah banyu pedalaman
Mereguk
teguk air empat puluh satu reragi
Mendarah
daging
Seputih
hati
Memutih
tulang
Mengurai
benang kusut
Tali
perjalanan nasib anak manusia
Kita
yang terlahir sebagai puisi
Martapura,
29/07/13
Liang
Mimpi
:
penyair lumpuh
wahai
penyair lumpuh
kubaca
teriakanmu
di
alir riak mimpimu
seperti
tertulis di batubatu
terpahat
semangat yang menggebu
maurak tikar purun
yang
rutus dimakan sisa usia
senja
bermatahari jingga
burung
malam berhias
menyambut
malam bulan purnama
malam
keabadian
bulan
dan bintang
bersanding
di pelaminan ilahi
wahai
lelaki bermata pengantin
bunuh
risaumu
Martapura
cpb 2 mlm Jumat, 51012
maurak
= membuka; rutus = mudah putus
Control
Shift
Banjir
memaksa kita berhenti di sini
Membasuh
bumi manusia
Di
bawah jembatan metropolis
Nasib
orang pinggiran
Larut
ke muara
Dijemput
asinnya air laut
Kehidupan
Banjir
memaksa kita berhenti di sini
Membasuh
bumi manusia
Di
bawah jembatan metropolis
Lidah-lidah
kerakusan menjulur
Membukakan
pintu
Kehidupan
Mulut-mulut
menjadi saksi bisu
Banjir
memaksa kita berhenti di sini
Membasuh
bumi manusia
Di
bawah jembatan metropolis
Wajah-wajah
kebohongan
Membukakan
jendela
Kehidupan
Mata-mata
Menjadi
saksi buta
Banjir
memaksa kita berhenti di sini
Membasuh
bumi manusia
Di
bawah jembatan metropolis
Nasib
orang pinggiran berteduh
Dari
derasnya kucuran hujan ketidakberdayaan
Banjir
memaksa kita berhenti di sini
Membasuh
bumi manusia
Menjemput
tangis manusia
Melarutkan
umur manusia
Tahajjud
Malam
dingin dan gelap
Kunyalakan
bintnag-bintang
Untuk
menerangi rumah iman
Nyanyi
hati
Nyanyi
sunyi
Berujung
tangis
Hati
malam
Sunyi
malam
Tersudut
Dikepung
air mata
Kemenyan
Rindu
Harum
rasa yang bertahta di singgasana hati
Adalah
raja dari segala rasa
Meresap
menyusup ke sela-sela tepi relung kelopak rindu
Bayangan
hidayah kemesraan melintas di harum asap
kemenyan
ini
Menggoda
menyebut asmaMu
Di
setiap gerak alir nafasku
Ketika
aku tersesat di belantara
Kasih
dan sayangMu
Sambil
memunguti butir-butir Alif Lam hingga Ha
Yang
tercecer di jejak-jejak alpaku
Ya
Robbi
Harumi
nafas rindu cintaku ini dengan kemenyan Rahman
dan
RahimMu
Agar
wangi ruhku singgah mengetuk pintuMu
Seperti
sepasang kekasih
Berkasih-kasihan
di mahligai perkawinan
Penuh
senyum canda
Tanda
sayang dan kasihMu tak pernah luntur
012012
Walau
dan Tak Diucap Pungguk dan Laron Seperti Muhammad dan Musa karena Adam dan Hawa
Walau
deru anginMu tak semerdu dulu lagi
Telingaku
tak akan beralih dengar ke suara yang lain
Walau
warna pelangiMu tak seindah dulu lagi
Mataku
tak akan beralih pandang ke titik sudut yang lain
Walau
bunga-bungaMu tidak seharum dulu lagi
Hidungku
tak akan beralih cium ke aroma yang lain
Walau
hidanganMu tak selezat dulu lagi
Lidahku
tak akan beralih kecap ke rasa yang lain
Walau
kecupanMu tak sehangat dulu lagi
Bibirku
tak akan beralih cium ke wajah lain
Walau
dekapanMu tak semesra yang dulu lagi
Tanganku
tak akan beralih peluk ke tubuh yang lain
Wad
lau rumahMu jauh tak terukur jarak dan waktu
Langkahku
tak akan beralih arah ke jalan yang lain
Satu
dengar satu suara
Satu
pandang satu titik
Satu
cium satu aroma
Satu
kecap satu rasa
Satu
kecup satu cium
Satu
dekap satu tubuh
Satu
rumah satu langkah
:
Sebab akulah pungguk yang telah Kau takdirkan untuk selalu
merindukanMu
seperti
kekasihMu Muhammad yang menggigil di Gua Hira
Walau
deru anginMu tak semerdu dulu lagi
Telingaku
tak akan beralih dengar ke suara yang lain
Walau
warna pelangiMu tak seindah dulu lagi
Mataku
tak akan beralih pandang ke titik sudut yang lain
Walau
bunga-bungaMu tidak seharum dulu lagi
Hidungku
tak akan beralih cium ke aroma yang lain
Walau
hidanganMu tak selezat dulu lagi
Lidahku
tak akan beralih kecap ke rasa yang lain
Walau
kecupanMu tak sehangat dulu lagi
Bibirku
tak akan beralih cium ke wajah lain
Walau
dekapanMu tak semesra yang dulu lagi
Tanganku
tak akan beralih peluk ke tubuh yang lain
Walau
rumahMu jauh tak terukur jarak dan waktu
Langkahku
tak akan beralih arah ke jalan yang lain
Satu
dengar satu suara
Satu
pandang satu titik
Satu
cium satu aroma
Satu
kecap satu rasa
Satu
kecup satu cium
Satu
dekap satu tubuh
Satu
rumah satu langkah
:
Sebab akulah laron yang telah Kau takdirkan untuk selalu
berusaha
menggapai cahayaMu
seperti
kekasihMu Musa yang pingsan di kaki Tursina
Walau
deru anginMu tak semerdu dulu lagi
Telingaku
tak akan beralih dengar ke suara yang lain
Walau
warna pelangiMu tak seindah dulu lagi
Mataku
tak akan beralih pandang ke titik sudut yang lain
Walau
bunga-bungaMu tidak seharum dulu lagi
Hidungku
tak akan beralih cium ke aroma yang lain
Walau
hidanganMu tak selezat dulu lagi
Lidahku
tak akan beralih kecap ke rasa yang lain
Walau
kecupanMu tak sehangat dulu lagi
Bibirku
tak akan beralih cium ke wajah lain
Walau
dekapanMu tak semesra yang dulu lagi
Tanganku
tak akan beralih peluk ke tubuh yang lain
Walau
rumahMu jauh tak terukur jarak dan waktu
Langkahku
tak akan beralih arah ke jalan yang lain
Satu
dengar satu suara
Satu
pandang satu titik
Satu
cium satu aroma
Satu
kecap satu rasa
Satu
kecup satu cium
Satu
dekap satu tubuh
Satu
rumah satu langkah
Walau
tak akan ada
Tak
akan ada walau
Bila
Adam dan Hawa tak tergoda rayu manis lezatnya buah
terlarang
itu: Khuldi!
CPB2,
Malam Rabu, 072012
Hujan
Doa
doaku
menggigil di sela rimbun rintik gerimis
kilat
sambar pintaku
petir
sambar aminku
hujan
kuyupi doaku
dalam
dingin sepuluh jarimu
aku
tersungkur
mengirim
seribu sesalku
ribut
angin
menumbangkan
pohon kealfaanku
di
pinggir jalan
di
seberang rumah iman
aku
berlari dalam hujan
bpp,
hotel ibis kmr3026
mlm
rabu, 25/09/13
Tentang Abdurrahman El Husaini
Abdurrahman El Husaini lahir di Puruk Cahu,
Kalimantan Tengah pada 1 Januari 1965. Antologi puisi bersama yang memuat
puisinya antara lain Ragam Jejak Tsunami
(Balai Bahasa Medan 2005), Akulah Musi
(Dewan Kesenian Palembang, 2011), Requiem
bagi Rocker (2012), Dari Sragen
Memandang Indonesia (DKKS, 2012), Indonesia
dalam Titik 13 (2013) dan Puisi
Menolak Korupsi (2013), dan tentu saja juga di beberapa terbitan buku Aruh
Sastra Kalimantan Selatan. Antologi puisi pribadinya al: Legenda Air Mata (2012), dan 2 antologi puisi berbahasa Banjar
yaitu Doa Banyu Mata (2011) dan Jukung Waktu (2012). Penyair yang
menamatkan S2 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Lambung Mangkurat ini memperoleh Hadiah Seni Gubernur Kalsel bidang
Sastra tahun 2008 dan Anugerah Astaprana dari Lembaga Adat Kekerabatan dan
Kesultanan Banjar pada 2011. Berprofesi sebagai guru di Martapura (nah, kalimat
terakhir ini tak terdapat dalam biodata penyair di buku) .
Catatan
Lain
Ada
tiga hal yang menarik perhatian saya di kumpulan puisi ini. Pertama, adanya
puisi berbahasa Inggris, yang sejumlah 6 buah itu, tersebar di beberapa titik,
hadir tanpa terjemahan. Kedua, munculnya sejumlah puisi yang ditujukan kepada
penyair/sastrawan, tercatat ada nama Ajamuddin Tifani, Arsyad Indradi, Hijaz
Yamani, Yustan Aziddin, Jokpin, Sosiawan Leak, Ibramsyah Amandit, ASA, Arifin
Noor Hasbi, Hamami Adabi, Sainul, Sandi, Randu, Fahmi Wahid. Ketiga, perubahan
nama Dewi yang sekarang bertambah panjang menjadi Dewi Alfianti Pratama. Satu
nama terakhir meminjam nama suaminya. Saya lalu membandingkannya dengan Nai
yang juga menyandingkan namanya dengan nama suami. Bedanya Nai menyingkatnya
sehingga namanya menjadi Nailiya Nikmah JKF. JKF adalah Jumiadi Khairi Fitri. Tetap
menulis walau terjadi perubahan status, dan dengan sadar mencatatkan perubahan
itu, barangkali ini yang jarang terjadi pada para penulis. Yang laki-laki
tentu, tak akan atau katakanlah tak pernah saya jumpai menambahkan nama
istrinya, misalnya. Dan kaum perempuan pun sangat jarang yang melakukan hal
ini, kebanyakan tetap memakai nama gadisnya saja. Oya, Dewi sendiri menulis di
kumpulan ini sebanyak 5 halaman, dengan judul pengantar Bertukar Kenyataan dengan Puisi. Dan di sampul belakang buku, juga
muncul sedikit ulasannya, al (yang saya suka): “Kita tidak bisa menolak
kebenaran puisi sekaligus kita memahami bahwa kenyataan mengungkapkan fakta
yang berbeda.” Di bawah nama Dewi ada tambahan keterangan: Dosen Filsafat
Bahasa di STKIP PGRI Banjarmasin. Nah lho. Bukan penyair. Walaupun dikenal
sebagai penulis puisi juga (saya pikir puisinya lumayan bagus, setidaknya ia
memiliki darah penyair dari Ajamuddin Tifani), namun sampai saat ini “Ibu
Dosen” ini belum juga menerbitkan buku puisinya. Mungkin sebentar lagi.
Tentang
penyair sendiri, telah beberapa kali bertemu di beberapa kesempatan, meski tak
pernah terlibat dalam pembicaraan mendalam, hanya membicarakan seputar
aktifitas dan beberapa basa basi. Abdurrahman El Husaini dikenal pula sebagai
pembaca puisi yang kuat. Duetnya dengan Ali Syamsudin Arsi dinobatkan Sandi
Firly sebagai pembacaan puisi terbaik yang pernah dilihatnya. Hehe. Saya baru
secara langsung menyaksikan pembacaan puisinya di acara satelit UWRF di museum
Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Dapat disaksikan di youtube juga.
hujan doa
BalasHapussaat doa doa dijabah sang pengabul doa :)
hujan :)