Data buku kumpulan puisi
Judul : Puan Kecubung
Penulis : Jimmy
Maruli Alfian
Cetakan : I, Februari 2009
Penerbit : KataKita, Depok.
Tebal : 100 halaman (49 puisi)
ISBN :
978-979-3778-54-9
Editor : Sitok
Srengenge
Penyelia Aksara :
Wikan Satriati
Penata Letak :
Cyprianus Jaya Napiun
Perangcang Sampul : M.
Iksaka Banu
Puan Kecubung terdiri atas 3 bagian, yaitu Sebelum Berangkat (7 puisi), Bukit Fatima (35 puisi) dan Jalan Pulang (7 puisi)
Beberapa pilihan puisi Jimmy Maruli Alfian dalam
Puan Kecubung
Surat
Buat Sulaiman
pada sebuah pokok
jambu saya pernah melihatmu berbincang
dengan sekelompok
semut sedang memintal sarang. Waktu
itu, matahari masih
susup oleh kabut dan satu dua daun uzur
jatuh tersungkur
karena lamur.
apa yang kalian bincangkan,
Sulaiman? Mengapa tak mengajak
saya saja berdiskusi
sambil nonton telenovela? Bila ingin, saya
mau sua di samping
tangga taman gembiraloka
beberapa menit saja
dari Jogja
oh ya, sebenarnya apa
arti perang menurutmu? Sebab di
sana tak lagi ada kupu,
bahkan banyak perempuan menangis
karena derap sepatu.
Bayangkan, bulan memar kerena sepi
melebar dan rama-rama
acap liar lantaran banyak anak terkena
sampar.
dan manakala nanti
jatuh hujan januari, gigil makin berdenting
di jemari, maka kita
harus jumpa, di samping tangga taman
gembiraloka
beberapa menit saja
dari Jogja
2000
Mencari
Alamat
sudah bergantikah
warna cat rumahmu?
sepanjang jalan basah,
rumah-rumah tampak suwung
seperti tak ada bujang
penjaga kampung
berkali-kali di setiap
rumah kuketuk pintu
berharap engkau keluar
mengajakku
berbincang di
serambimu
dari penyeberangan ini
akulah lelaki pucat
tak mampu menjaga
paras dari cabik angin selat
kini saat kucari
rumahmu pada kehitaman kening
justru bulan pecah,
menanggalkan cahaya
beberapa ekor lelawa
ikut menumpahi wajah
dengan cuilan pepaya
sudah bergantikan
warna cat rumahmu?
musim hujan sudah lama
tiba
aku belum sempat
menyimpan payung dan mantel
cuma ada potret
kekasih, sajak-sajak lama
dan dongeng
Zarathustra
2002
Ranjang
Raja
tidurlah, segala
upacara membuatku menderita
belum lagi mandi
kembang, tarian dan balas pantun
yang tak bisa kuikuti
sepenuh hati
tabik, sesekali
mungkin tuan harus tiada
pergi tidur, memancing
atau sekedar memetik
kembang kopi di kebun
sendiri
lalu mewariskan istana
lucu ini
kepada pengembara yang
setiap hari
bertambah serius
sekaligus purba
tuan, soneta yang
kuhayati tak membuatku sabar
kelok pantun tak pula
membuat mimpi jadi jembar
tidurlah, semoga
selimut dan sepasang guling
membuatmu nyenyak
melupa sejenak
silsilah yang berjejak
sungguh, dongeng dari
sekumpulan kitab
hanya membuatku
sebatang kara dan senyap
2006
Pemain
Sirkus Nonton Sirkus
beberapa rajahan jatuh
dari tubuh
sedangkan engkau
terlanjur serius menjadi burung
meninggalkan
anak-anakmu yang terlambat
berpegangan pada kepak
aku tahu, kau sudah
menyangka
di antara rombongan
karnaval
ada maut berbaju badut
yang selalu tertawa gembira
terlebih-lebih hari
ini,
persis januari pertama
hujan akan mabuk
menjatuhkan liurnya
ayo, mainkanlah bola-bola
api
sebagai lelaki kita
tak boleh dingin oleh janji
dengan egrang, sepeda
satu roda,
di atas punggung kuda
bakar saja kenangan
(dan kemenyan?)
toh maut tak mau tahu
tentang harapan
kita akan bertarung
dengan ajal
tanpa wasit
dan teriak penonton
yang terjepit
jangan lupa berdoa!
siapa tahu, besok pagi
nama kita
dimuat di halaman
pertama surat kabar ibukota
2002/2003
Kidung Pohon
Bapak, kalau harus dilarang ngunduh
bebuahan
kenapa kau tanam pohon itu di taman?
semisal kau tandur singkong atau mengkudu
tentu aku sangsi mendekat pohon yang kau
berkati
singkong, sejak ketela itu merambat ke
kedalaman
aku pun terkubur dalam tanah kecoklatan
membenam kata-kata
sampai ke dasar yang sedikit sekali hara
mengkudu, dengan roman bopeng lucu
dan bau yang memendam rahasia waktu
melengkapi prasangka bahwa tubuh
ngandung benih sengsara
ah, apakah tak lagi diberi zat
bagi tetumbuh yang akarnya sesat?
tumbuh sebagai lelaki tanpa daun
tak pernah tahan dengan musim apa pun
dirubung debu, dijangkiti penyakit kulit
lalu berlumut karena lembab di ujung mulut
kata bapak, pohon-pohon itu memiliki silsilah
yang setiap hari bercerita kepada cuaca
dengan akar menjalar sabar ke perut sungai
dan benang sari yang membuatku terikat janji
“Akulah pemilik taman, kau boleh main ayunan,
kemah bermalam-malam, memetik bebuahan
tapi tidak pohon yang ini!” katamu sambil
melingkari
batang dengan kawat duri dan memberi cat merah
hati
sungguh, untuk apa kau tanam di sana
kalau hanya membuat rimbun sengketa?
sebagai anak, larangan ialah kehilangan
kau tahu, taman dan ladang rajin kugaru
tak pernah subur hama juga benalu
lihat, sebentar lagi buah-buah akan masak
maka biarkan aku menuai semua yang tampak
“Tapi tidak pohon itu!” ulangmu
dengan suara sekencang angin petang
mata merah serupa matahari tenggelam
kelopak dan putik enggan bersitahan di dahan
tiba-tiba kukenang hutan yang jauh
lalu kukhayal kau membiarkanku
sasar dalam rimba ingatan
di antara bebatang angan-angan
di timur, nun matahari tengah uzur
cedar merah subur di lereng-lereng yang marah
dedaunannya lebat merupa jubah
tetapi seratnya gagal menyerap amis darah
di pinggang lereng mengalir lekas
sungai yang mencari muara cemas
ya, seharusnya aku tahu
dengan ribut mesiu mereka berebut sisa bukitmu
tanah yang dipagari perjanjian
denah yang dibatasi kematian
sedang dedaun khusyu’ menghadap ke barat
dengan ranting yang terus bersidekap
sulur-sulur lebat ialah janggut
menjadi rumah bagi hantu, bagi gerutu,
juga bagi usia yang bakal dikutuk waktu
bayangkan, sebuah taman, sebuah hutan
dan laki-laki yang cuma bercawat
oh, semakin kuhafal nama-nama
buah makin ranum dan rentan menggoda
aku pun bernafsu meski getah lengket di
wajahku
aku pun lengket dengan lagu panen yang baru
Bapak, kalau harus dilarang ngunduh
bebuahan
kenapa kau tanam pohon itu di taman?
Bapak, untuk apa kau tanam pepohon di sana
kalau hanya membuat rimbun sengketa?
biarlah kutebang pohon laranganmu
kuganti singkong atau mengkudu
2006
Bukit
Fatima 2
akhirnya kau sudah
punya rumah
dengan kusen kayu
meranti
dan lebar jendela kau
hafal dalam inci
tak ada serapah untuk
tidak betah
pintu yang menangkil
ke selatan
dan bangku di dapur
menjorok ke lautan
ialah sejumlah dalih
bahwa kau menungguku
dengan sedih
nyatanya kau biarkan
aku merapah ke bebukit
lalu dengan tolol
mengenangmu
saat menyapu beranda
dan berkali gembira
mengibaskan keset ke
batang mangga
padahal kau tahu,
telapak kaki
dan semua ingatanku
tinggal di situ
sungguh, aku ingin
kembali ke sana lagi
lalu merayahmu dari
lengan waktu
nanti saja katamu, pada
saat hari sabat
kau akan rehat dari
menggambar denah,
memikirkan letak guci,
warna kamar mandi
pun jahitan kulit
kursi
“dan di sebuah senja,
datanglah ke rumahku
dengan berahasia akan
kubiarkan kau
mengutip surga di
bibir jendela
diintip cahaya dari bukit
fatima”
ah, aku tahu kau hanya
basa-basi
sekadar gurau atau
menokok mimpi
karena sungguh,
bagaimana hendak tandang
bila pintumu sudah
terkunci dan dipalang?
oleh isyarat
juga riwayat
2007
Fort
Marlborough
“apakah harus ada yang
dipertahankan
kalau nyatanya kau
konyol digempur kesedihan?”
waktu pertama
menemukan daratan itu
ia langsung lupa dari
kubu mana ia tiba
baginya pelayaran ini
teramat lucu
karena cuaca melulu
gagal dikira
hah! begitu letih
mengimani laut
tak ada penunjuk arah
sewaktu kalut
kompas rusak, teropong
hilang
ikan-ikan tak ada
renang mengambang
sampai akhirnya ia
berani berlabuh
meninggalkan serdadu
ombak,
selat yang padat,
tubuh yang rapuh,
dan gelak awak di atas
geladak
“kesedihan tak punya
kebangsaan
maka biarkan aku merapat
sendiri
pura-pura suluk di
tempat sembunyi
kalian, teruskanlah
perjalanan ke selatan”
ia pun menunggu
maghrib
sore dan hujan saling
menyalip
di antara bibir
benteng dan mulut pantai
tubuh ringkihnya pun
makin lepai
ia putuskan tinggal di
sana
meriam dan parit-parit
akan melindungi
dari serangan kenangan
yang membuatnya
harus memilih kalah
atau menang
“hei, apakah harus ada
yang dipertahankan
kalau nyatanya kau
konyol digempur kesedihan?”
ia pun menggumam dalam
duduk silanya
“masa bodo! tak akan usai pertahanan ini
karena menyerang
membuat diri
semakin jauh dari
tempat kembali
semak dan miang bakal
ganti menghuni”
2007
Nonton Wayang
sudah lama tak naik kereta api bersama kamu
menyisir lengkung gunung
mengekalkan dengkurmu
di antara orang-orang yang merenung
saat peluit memekik sedih
dan pintu yang cekatan menutup diri
maka kamu pun memahami
harus ada perasaan yang disisih
ram jendela dengan bening kaca
digoda menor paras kota
juga penumpang yang kesepian
selalu mengkhatamkan pertanyaan:
“mau pergi ke mana?
banyak sekali koper dan timbelnya”
pergi?
“kami mau pulang,
mau bersama menonton wayang”
waktu itu, malam baru sepertiga
cengkerik masih bertakhta jumawa
tetapi saat gerbong dikulum lidah matahari
dengan gigis, kamu bertutur silsilah tragis:
“sebenarnya kita sudah lama tiba di kurusetra
tetapi asmara membuatku tolol saat terluka”
akhirnya kamu pun turun di stasiun kecil,
lalu mengawai tanpa memanggil
sampai kereta berteriak lagi
memaki kopermu yang merah hati
ah, dalang! dari gunungan lancip
dan cahaya yang simpuh menyisip
mbok ya aku diberi nukilan
lakon apa yang dimainkan!
2007
Meditasi
Laut
simpan saja laut
yang hendak kau
bentangkan padaku
aku tak butuh
gelombangnya!
aku cuma butir pasir
sepanjang sore seorang
anak perempuan
membangun istana di
bibir air
dan engkau pun mungkin
mengerti
tak ada yang berubah
di pantai ini
setelah beberapa waktu
kau tinggalkan
merkuri redup disekap
hujan
bangku kayu menahan
kesendirian
atau beranda kafe
mulai temaram
karena habis musim
pertemuan
tak ada lagi yang
harus kau tafsir
dari rencana menetap
di pesisir
karena badai lebih
dulu melambai
ke batang palma tempat
kita acap kulai
2001
Tablo
5 Babak
1
akhirnya subuh pun melenguh
malam dan badar pun sama-sama runtuh
seorang lelaki dengan wewangian
menggedor rumah kekasih dengan kasmaran
rumah yang sarat ukir kayu
juga tikar pandan tanpa lelampu
lalu rambut kabut terus tergerai ke bukit
selendang matahari merupa selampai
membelit di leher lelaki
seperti mengajak teler dalam semadi
sudah tiga ratus pagi habis
ia belum juga ceguk dan menangis
2
sebuah ruang tunggu
menyebut nama seseorang
agar siap berangkat ke negeri baru
tanpa ingatan yang dikenang
ia merapatkan diri di ujung kursi
keringatnya menyusuri jari-jari
karena jalan yang akan ditempuh
tak bisa lagi ditunda meski riuh
matahari pun sinau menggerayang
kakinya henti mengetuk lantai pualam
berganti risau dengan lekuk jarum jam
ia gemetar menatap menara di seberang
kawanan angin berlagak lalai
terus menabrak rambutnya yang masai
ia cuma menarik nafas panjang
melumuri tanah di batang kembang
kursi-kursi pun telah lama kosong
ia terus menunggu sesuatu yang lowong
3
ia berlari melintasi jembatan
mulut sungai dengan liurnya yang hitam
menyiprat ke wajahnya tanpa perasaan
tapi apalah makna pitam?
kalau ia dapat menangkap lanskap:
ternyata senja berdendang
saat matahari disulang di pembaringan
sore pun tunai
ia sempatkan ke pasar
membeli ikan, udang kecil,
brokoli juga wortel
tak lupa garam dan lengkuas
agar tak hambar seluruh cemas
4
ia memasak tanpa berkata-kata
wajahnya berkobar takut neraka
percakapan hanyalah rentak sutil
menoreh luka di dada kuali
di luar, badar pun datang lagi
dengan pasukan bintang si biti-biti
di dalam, seorang lelaki telanjang
terus memasak dengan gasang
5
karena ranjang itu tak lapuk
ia genapkan lagi niat suluk
demikianlah, malam tinggal sisa
suara hujan sama paraunya
tetapi ia mulai memanggil namamu
sampai megap-megap minta dicumbu
ia gagal untuk diam dan tak bertanya
“duhai, kapan aku boleh berceloteh
tentang sakit yang kuperoleh?”
2007
Dayang
Rindu
(menduga-duga
legenda)
duhai wanita berlengan
batang ara
akan kamu temukan
daratan dalam dadaku
tempat kamu dapat
menanam jemarimu
tanpa upacara dan
keruh mantra-mantra
menyeberanglah,
bukankah cinta alpa akan silsilah
dan sampan merupa
perangai harapan
tempat anak rantau
berceracau tentang
tabiat pulau
syahdan, angin selat
akan beranak dari rahimmu
desaunya ramah membujuk
orang-orang
menunggu di bibir
dermaga kayu
kedatanganmu ialah
isyarat;
anak sungai tak lagi
mampat,
senja juga tak pucat,
atau gugur bunga kopi
kian lebat
maka akan kukenakan
gelang karet pada lenganmu
sebagai tafsir
mengikat potongan waktu
apakah pantas kupakai
batu akik untuk menyambutmu?
lazimnya pelaut,
sesekali lehermu harus kupagut
seperti bandar-bandar
yang tak pernah luput
disinggahi para kelasi
yang tak kebal sepi
tapi malas menabal janji
ah, pohon bakau dan
batang ara sama kekalnya
dengan lenganmu yang
kerap mengajak berahasia!
aku akan semakin
wasangka
apakah bisa kamu
menulis setia
pada peta yang tak
punya tanda?
karena pantai tak akan
berubah perangai
ia akan lebih sabar
menahan tubuhmu yang lampai
dan riak ombak selalu
meminang butir pasir
lalu dirangkul ke laut
lepas
menyelesaikan igau
yang belum tuntas
seperti itu aku
mengeram rindu
agar jadi badai yang
mengaram cemasku
2004
Jalan
Pulang
lelaki, sudah lama kau
pergi
kubayangkan kau akan
pulang
dengan tubuh wangi
belerang
maka izinkan aku
menunggu
sebelum kebencian
menjadi rambu
kuku telunjuk yang
bertahun lalu kauwarnai
kini tak lagi merah
sepanjang hari tuhan
membiarkan
mataku basah
mungkin juga tak
peduli
pada kemurungan yang
menjadi
apakah harus kubilang
kita lalai saat memulai?
lelaki, kalau kau
masih berguru di punggung gunung
seharusnya ada hujan
yang kau kirim ke kota
sebagai penanda aku
tak kehilangan angan
mantelmu masih
tergantung di balik pintu
lelaki, cecabang
ketapang di halaman kian rimbun
di kamarku, sekarat
dan tangis menjadi serumpun
dan di depan cermin,
usai bersolek di sore hari
aku kerap berbincang
sendiri
“untuk tahu tajam
kelokan
dan berapa lama sampai
tujuan
kenapa melulu aku yang
ditinggalkan?”
2005
Improvisasi
Hamlet
apakah benar aku Hamlet
yang gagal mewujud gila?
mungkin ayah harus
membisikkan
mengapa suara mikrofon
mesti berakhir
tanpa ada satu daun
pun jatuh tersihir
lihatlah, mendadak
harus kuciptakan prasangka
kepada lumpur yang
menempel di kaca
ataupun pada
wajah-wajah
terbelah
ah, mengapa ibu
memecahkan rahasia cuaca
bagi pemabuk yang
gemar sekali berpesta
sungguh, ingin
kubiarkan saja luka
merupa sebuah tanda
lalu menggunting wajah
ibu
dalam foto keluarga
2003
Rumah
Ziarah
ia pernah sangsi
mengetuk pitnu rumahmu
mencari anak kunci
pada kisi-kisi
sementara gerimis
jatuh dengan rapuh
“beberapa ratus tahun yang lalu, aku mengirimmu
surat
dan foto-foto saat aku piknik di bibir Eufrat”
sejak kapan ia
mengeluh tentang amnesia
yang membuatnya kerap
alpa mematikan air wastafel
atau menyapu tumpahan
saus di kerah mantel?
mungkin ia ingin
kausapa
sekadar memberikan
sehelai tisu
lalu berbicara tentang
sungai di badan kota
juga tentang mumi yang
gemar membunuh anak lelaki
“beberapa ratus tahun yang lalu, aku mengirimmu
surat
dan foto-foto saat aku piknik di bibir Eufrat”
sungguh, sehimpun
perjalanan
hanya akan
mengantarnya
pada rumahnya yang
lucu
bebatang lampu penjor,
patung rusa betina
dan dedaun melur tua,
yang membuatmu rajin
menghitung gugurannya
maka, suruh saja ia
masuk
cuaca di luar
membuatnya lengkap oleh mabuk
2003
Lelaki
dan Ikan (B)
LELAKI : Berangkatlah, di daratan aku pernah punya
rumah tapi setiap pergi aku selalu bertanya
ke mana mesti kembali. Setiap pagi. Berjanji
dengan Ibu sesudah menyeduh kopi, meski sadar
di perjalanan akan sasar. Kau yakin riwayat tak
perlu dirawat?
IKAN : Ketika lahir, sejauh selat langsung
kusisir.
Mengabaikan amar agar tidak ke pinggir. “Sangat
jahat
perangai pukat dan jala” kata
Ibu
LELAKI : Tapi kenapa aku yang terjerat hasrat?
Tumbuh
sebagai lelaki subur dengan keinginan dan
kenangan.
IKAN : Laut hanya menunggu tubuhmu.
LELAKI : Peta buta, bunga kamboja, kalung dari
bekas
kekasih, juga pewarna kuku yang membuatku
ragu menempuh waktu. Aku selalu tak sempat
menghimpun kemungkinan. Apakah laut kenal
kemarau?
IKAN : Jangan gelisah tentang musim. Badai
hanyalah
pikiranmu yang masai dan karam merupa
penyesalan, ditabrak ketakutan. Kau pandai
berenang?
LELAKI : Sejak lahir aku selalu kuyup. Lalu pernah
hanyut
pada kesedihan kecil sampai gerimis datang
membuat lengkap rembang petang. Sesudahnya
aku pasti mengigau. Adakah yang sia-sia dari
peristiwa? Hujan semakin ramai, di halaman
basah pula rumpun serai.
IKAN : Juga laut, tak suka bila kau mengiba
karena
cuaca. Bukankah matahari dan hujan memang
harus ada agar kau terhibur dengan cahaya atau
kecipaknya?
LELAKI : Berangkatlah, supaya laut mengajariku
silsilah
asmara: Kerang yang kepayang, liuk alga
meronta.
Dan aku pun tak mesti durhaka pada sesuatu
yang (mungkin) sia-sia.
2005
Tentang Jimmy Maruli Alfian
Jimmy Maruli Alfian lahir di Teluk Betung, 3 Maret 1980. Alumnus Program
Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung. Menulis puisi, esai, tinjauan
buku yang dipublikasikan di berbagai media. Pernah menerima Anugerah Pena
Kencana kategori puisi (2008). Sehari-hari berteater di Konunitas Berkat Yakin,
Lampung.
Catatan
Lain
Di sampul belakang buku, ada 5 komentar, yaitu dari Arif Bagus Prasetya,
Dorothea Rosa Herliany, Hasif Amini, Joko Pinurbo dan Koran Tempo, 23 Juni
2003. Kata Hasif Amini: “Memadukan unsur
dramatik dan lirik, sajak-sajak Jimmy Maruli Alfian kadang terasa sebagai
sebidang panggung berwarna-warni berisi suara-suara (riang, sayu, lirih, lucu,
gasang, getir, gila…)” Kata
Arif Bagus Prasetya: ”Puisi-puisi Jimmy
mengandung paradoks yang menarik. Di satu sisi, ada obsesi sangat kuat kepada
dialog, momen komunikatif untuk memahami dan dipahami. Di sisi lain, kerimbunan
imaji dan ritme puisi cenderung menciptakan efek makna yang mendistorsi bahkan
memblokir jalur komunikasi. Secara ironis, dialog puitik justru melahirkan
lubang hitam komunikasi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar