Senin, 02 Februari 2015

Jimmy Maruli Alfian: PUAN KECUBUNG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Puan Kecubung
Penulis : Jimmy Maruli Alfian
Cetakan : I, Februari 2009
Penerbit : KataKita, Depok.
Tebal : 100 halaman (49 puisi)
ISBN : 978-979-3778-54-9
Editor : Sitok Srengenge
Penyelia Aksara : Wikan Satriati
Penata Letak : Cyprianus Jaya Napiun
Perangcang Sampul : M. Iksaka Banu

Puan Kecubung terdiri atas 3 bagian, yaitu Sebelum Berangkat (7 puisi), Bukit Fatima (35 puisi) dan Jalan Pulang (7 puisi)

Beberapa pilihan puisi Jimmy Maruli Alfian dalam Puan Kecubung

Surat Buat Sulaiman

pada sebuah pokok jambu saya pernah melihatmu berbincang
dengan sekelompok semut sedang memintal sarang. Waktu
itu, matahari masih susup oleh kabut dan satu dua daun uzur
jatuh tersungkur karena lamur.

apa yang kalian bincangkan, Sulaiman? Mengapa tak mengajak
saya saja berdiskusi sambil nonton telenovela? Bila ingin, saya
mau sua di samping tangga taman gembiraloka

beberapa menit saja dari Jogja

oh ya, sebenarnya apa arti perang menurutmu? Sebab di
sana tak lagi ada kupu, bahkan banyak perempuan menangis
karena derap sepatu. Bayangkan, bulan memar kerena sepi
melebar dan rama-rama acap liar lantaran banyak anak terkena
sampar.

dan manakala nanti jatuh hujan januari, gigil makin berdenting
di jemari, maka kita harus jumpa, di samping tangga taman
gembiraloka

beberapa menit saja dari Jogja

2000



Mencari Alamat

sudah bergantikah warna cat rumahmu?
sepanjang jalan basah, rumah-rumah tampak suwung
seperti tak ada bujang penjaga kampung

berkali-kali di setiap rumah kuketuk pintu
berharap engkau keluar mengajakku
berbincang di serambimu

dari penyeberangan ini akulah lelaki pucat
tak mampu menjaga paras dari cabik angin selat

kini saat kucari rumahmu pada kehitaman kening
justru bulan pecah, menanggalkan cahaya

beberapa ekor lelawa
ikut menumpahi wajah dengan cuilan pepaya

sudah bergantikan warna cat rumahmu?
musim hujan sudah lama tiba
aku belum sempat menyimpan payung dan mantel

cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama
dan dongeng Zarathustra

2002


Ranjang Raja

tidurlah, segala upacara membuatku menderita
belum lagi mandi kembang, tarian dan balas pantun
yang tak bisa kuikuti sepenuh hati

tabik, sesekali mungkin tuan harus tiada
pergi tidur, memancing atau sekedar memetik
kembang kopi di kebun sendiri
lalu mewariskan istana lucu ini
kepada pengembara yang setiap hari
bertambah serius sekaligus purba

tuan, soneta yang kuhayati tak membuatku sabar
kelok pantun tak pula membuat mimpi jadi jembar

tidurlah, semoga selimut dan sepasang guling
membuatmu nyenyak
melupa sejenak silsilah yang berjejak

sungguh, dongeng dari sekumpulan kitab
hanya membuatku sebatang kara dan senyap

2006


Pemain Sirkus Nonton Sirkus

beberapa rajahan jatuh dari tubuh
sedangkan engkau terlanjur serius menjadi burung
meninggalkan anak-anakmu yang terlambat
berpegangan pada kepak

aku tahu, kau sudah menyangka
di antara rombongan karnaval
ada maut berbaju badut yang selalu tertawa gembira

terlebih-lebih hari ini,
persis januari pertama
hujan akan mabuk menjatuhkan liurnya

ayo, mainkanlah bola-bola api
sebagai lelaki kita tak boleh dingin oleh janji
dengan egrang, sepeda satu roda,
di atas punggung kuda

bakar saja kenangan (dan kemenyan?)
toh maut tak mau tahu tentang harapan

kita akan bertarung dengan ajal
tanpa wasit
dan teriak penonton yang terjepit

jangan lupa berdoa!

siapa tahu, besok pagi nama kita
dimuat di halaman pertama surat kabar ibukota

2002/2003


Kidung Pohon

Bapak, kalau harus dilarang ngunduh bebuahan
kenapa kau tanam pohon itu di taman?

semisal kau tandur singkong atau mengkudu
tentu aku sangsi mendekat pohon yang kau berkati

singkong, sejak ketela itu merambat ke kedalaman
aku pun terkubur dalam tanah kecoklatan
membenam kata-kata
sampai ke dasar yang sedikit sekali hara

mengkudu, dengan roman bopeng lucu
dan bau yang memendam rahasia waktu
melengkapi prasangka bahwa tubuh
ngandung benih sengsara

ah, apakah tak lagi diberi zat
bagi tetumbuh yang akarnya sesat?

tumbuh sebagai lelaki tanpa daun
tak pernah tahan dengan musim apa pun
dirubung debu, dijangkiti penyakit kulit
lalu berlumut karena lembab di ujung mulut

kata bapak, pohon-pohon itu memiliki silsilah
yang setiap hari bercerita kepada cuaca
dengan akar menjalar sabar ke perut sungai
dan benang sari yang membuatku terikat janji

“Akulah pemilik taman, kau boleh main ayunan,
kemah bermalam-malam, memetik bebuahan
tapi tidak pohon yang ini!” katamu sambil melingkari
batang dengan kawat duri dan memberi cat merah hati

sungguh, untuk apa kau tanam di sana
kalau hanya membuat rimbun sengketa?

sebagai anak, larangan ialah kehilangan

kau tahu, taman dan ladang rajin kugaru
tak pernah subur hama juga benalu
lihat, sebentar lagi buah-buah akan masak
maka biarkan aku menuai semua yang tampak

“Tapi tidak pohon itu!” ulangmu
dengan suara sekencang angin petang
mata merah serupa matahari tenggelam
kelopak dan putik enggan bersitahan di dahan

tiba-tiba kukenang hutan yang jauh
lalu kukhayal kau membiarkanku
sasar dalam rimba ingatan
di antara bebatang angan-angan

di timur, nun matahari tengah uzur
cedar merah subur di lereng-lereng yang marah
dedaunannya lebat merupa jubah
tetapi seratnya gagal menyerap amis darah

di pinggang lereng mengalir lekas
sungai yang mencari muara cemas

ya, seharusnya aku tahu
dengan ribut mesiu mereka berebut sisa bukitmu
tanah yang dipagari perjanjian
denah yang dibatasi kematian

sedang dedaun khusyu’ menghadap ke barat
dengan ranting yang terus bersidekap

sulur-sulur lebat ialah janggut
menjadi rumah bagi hantu, bagi gerutu,
juga bagi usia yang bakal dikutuk waktu

bayangkan, sebuah taman, sebuah hutan
dan laki-laki yang cuma bercawat
oh, semakin kuhafal nama-nama
buah makin ranum dan rentan menggoda

aku pun bernafsu meski getah lengket di wajahku
aku pun lengket dengan lagu panen yang baru

Bapak, kalau harus dilarang ngunduh bebuahan
kenapa kau tanam pohon itu di taman?
Bapak, untuk apa kau tanam pepohon di sana
kalau hanya membuat rimbun sengketa?

biarlah kutebang pohon laranganmu
kuganti singkong atau mengkudu

2006


Bukit Fatima 2

akhirnya kau sudah punya rumah
dengan kusen kayu meranti
dan lebar jendela kau hafal dalam inci
tak ada serapah untuk tidak betah

pintu yang menangkil ke selatan
dan bangku di dapur menjorok ke lautan
ialah sejumlah dalih
bahwa kau menungguku dengan sedih

nyatanya kau biarkan aku merapah ke bebukit
lalu dengan tolol mengenangmu
saat menyapu beranda dan berkali gembira
mengibaskan keset ke batang mangga

padahal kau tahu, telapak kaki
dan semua ingatanku tinggal di situ
sungguh, aku ingin kembali ke sana lagi
lalu merayahmu dari lengan waktu

nanti saja katamu, pada saat hari sabat
kau akan rehat dari menggambar denah,
memikirkan letak guci, warna kamar mandi
pun jahitan kulit kursi

“dan di sebuah senja, datanglah ke rumahku
dengan berahasia akan kubiarkan kau
mengutip surga di bibir jendela
diintip cahaya dari bukit fatima”

ah, aku tahu kau hanya basa-basi
sekadar gurau atau menokok mimpi

karena sungguh, bagaimana hendak tandang
bila pintumu sudah terkunci dan dipalang?

oleh isyarat
juga riwayat

2007


Fort Marlborough

“apakah harus ada yang dipertahankan
kalau nyatanya kau konyol digempur kesedihan?”

waktu pertama menemukan daratan itu
ia langsung lupa dari kubu mana ia tiba
baginya pelayaran ini teramat lucu
karena cuaca melulu gagal dikira

hah! begitu letih mengimani laut
tak ada penunjuk arah sewaktu kalut
kompas rusak, teropong hilang
ikan-ikan tak ada renang mengambang

sampai akhirnya ia berani berlabuh
meninggalkan serdadu ombak,
selat yang padat, tubuh yang rapuh,
dan gelak awak di atas geladak

“kesedihan tak punya kebangsaan
maka biarkan aku merapat sendiri
pura-pura suluk di tempat sembunyi
kalian, teruskanlah perjalanan ke selatan”

ia pun menunggu maghrib
sore dan hujan saling menyalip
di antara bibir benteng dan mulut pantai
tubuh ringkihnya pun makin lepai

ia putuskan tinggal di sana
meriam dan parit-parit akan melindungi
dari serangan kenangan yang membuatnya
harus memilih kalah atau menang

“hei, apakah harus ada yang dipertahankan
kalau nyatanya kau konyol digempur kesedihan?”

ia pun menggumam dalam duduk silanya

masa bodo! tak akan usai pertahanan ini
karena menyerang membuat diri
semakin jauh dari tempat kembali
semak dan miang bakal ganti menghuni”

2007


Nonton Wayang

sudah lama tak naik kereta api bersama kamu
menyisir lengkung gunung
mengekalkan dengkurmu
di antara orang-orang yang merenung

saat peluit memekik sedih
dan pintu yang cekatan menutup diri
maka kamu pun memahami
harus ada perasaan yang disisih

ram jendela dengan bening kaca
digoda menor paras kota

juga penumpang yang kesepian
selalu mengkhatamkan pertanyaan:
“mau pergi ke mana?
banyak sekali koper dan timbelnya”

pergi?

“kami mau pulang,
mau bersama menonton wayang”

waktu itu, malam baru sepertiga
cengkerik masih bertakhta jumawa

tetapi saat gerbong dikulum lidah matahari
dengan gigis, kamu bertutur silsilah tragis:
“sebenarnya kita sudah lama tiba di kurusetra
tetapi asmara membuatku tolol saat terluka”

akhirnya kamu pun turun di stasiun kecil,
lalu mengawai tanpa memanggil
sampai kereta berteriak lagi
memaki kopermu yang merah hati

ah, dalang! dari gunungan lancip
dan cahaya yang simpuh menyisip
mbok ya aku diberi nukilan
lakon apa yang dimainkan!

2007


Meditasi Laut

simpan saja laut
yang hendak kau bentangkan padaku
aku tak butuh gelombangnya!

aku cuma butir pasir
sepanjang sore seorang anak perempuan
membangun istana di bibir air

dan engkau pun mungkin mengerti
tak ada yang berubah di pantai ini
setelah beberapa waktu kau tinggalkan
merkuri redup disekap hujan
bangku kayu menahan kesendirian
atau beranda kafe mulai temaram
karena habis musim pertemuan

tak ada lagi yang harus kau tafsir
dari rencana menetap di pesisir
karena badai lebih dulu melambai
ke batang palma tempat kita acap kulai

2001


Tablo 5 Babak

1
akhirnya subuh pun melenguh
malam dan badar pun sama-sama runtuh
seorang lelaki dengan wewangian
menggedor rumah kekasih dengan kasmaran

rumah yang sarat ukir kayu
juga tikar pandan tanpa lelampu

lalu rambut kabut terus tergerai ke bukit
selendang matahari merupa selampai
membelit di leher lelaki
seperti mengajak teler dalam semadi

sudah tiga ratus pagi habis
ia belum juga ceguk dan menangis

2
sebuah ruang tunggu
menyebut nama seseorang
agar siap berangkat ke negeri baru
tanpa ingatan yang dikenang

ia merapatkan diri di ujung kursi
keringatnya menyusuri jari-jari
karena jalan yang akan ditempuh
tak bisa lagi ditunda meski riuh

matahari pun sinau menggerayang
kakinya henti mengetuk lantai pualam
berganti risau dengan lekuk jarum jam
ia gemetar menatap menara di seberang

kawanan angin berlagak lalai
terus menabrak rambutnya yang masai
ia cuma menarik nafas panjang
melumuri tanah di batang kembang

kursi-kursi pun telah lama kosong
ia terus menunggu sesuatu yang lowong

3
ia berlari melintasi jembatan
mulut sungai dengan liurnya yang hitam
menyiprat ke wajahnya tanpa perasaan
tapi apalah makna pitam?

kalau ia dapat menangkap lanskap:

ternyata senja berdendang
saat matahari disulang di pembaringan

sore pun tunai
ia sempatkan ke pasar
membeli ikan, udang kecil,
brokoli juga wortel

tak lupa garam dan lengkuas
agar tak hambar seluruh cemas

4
ia memasak tanpa berkata-kata
wajahnya berkobar takut neraka

percakapan hanyalah rentak sutil
menoreh luka di dada kuali

di luar, badar pun datang lagi
dengan pasukan bintang si biti-biti

di dalam, seorang lelaki telanjang
terus memasak dengan gasang

5
karena ranjang itu tak lapuk
ia genapkan lagi niat suluk

demikianlah, malam tinggal sisa
suara hujan sama paraunya
tetapi ia mulai memanggil namamu
sampai megap-megap minta dicumbu

ia gagal untuk diam dan tak bertanya

“duhai, kapan aku boleh berceloteh
tentang sakit yang kuperoleh?”

2007


Dayang Rindu
(menduga-duga legenda)

duhai wanita berlengan batang ara
akan kamu temukan daratan dalam dadaku
tempat kamu dapat menanam jemarimu
tanpa upacara dan keruh mantra-mantra

menyeberanglah, bukankah cinta alpa akan silsilah
dan sampan merupa perangai harapan
tempat anak rantau
berceracau tentang tabiat pulau

syahdan, angin selat akan beranak dari rahimmu
desaunya ramah membujuk orang-orang
menunggu di bibir dermaga kayu

kedatanganmu ialah isyarat;
anak sungai tak lagi mampat,
senja juga tak pucat,
atau gugur bunga kopi kian lebat

maka akan kukenakan gelang karet pada lenganmu
sebagai tafsir mengikat potongan waktu

apakah pantas kupakai batu akik untuk menyambutmu?

lazimnya pelaut, sesekali lehermu harus kupagut
seperti bandar-bandar yang tak pernah luput
disinggahi para kelasi
yang tak kebal sepi tapi malas menabal janji

ah, pohon bakau dan batang ara sama kekalnya
dengan lenganmu yang kerap mengajak berahasia!

aku akan semakin wasangka
apakah bisa kamu menulis setia
pada peta yang tak punya tanda?

karena pantai tak akan berubah perangai
ia akan lebih sabar menahan tubuhmu yang lampai

dan riak ombak selalu meminang butir pasir
lalu dirangkul ke laut lepas
menyelesaikan igau yang belum tuntas

seperti itu aku mengeram rindu
agar jadi badai yang mengaram cemasku

2004


Jalan Pulang

lelaki, sudah lama kau pergi
kubayangkan kau akan pulang
dengan tubuh wangi belerang

maka izinkan aku menunggu
sebelum kebencian menjadi rambu

kuku telunjuk yang bertahun lalu kauwarnai
kini tak lagi merah
sepanjang hari tuhan membiarkan
mataku basah
mungkin juga tak peduli
pada kemurungan yang menjadi

apakah harus kubilang kita lalai saat memulai?

lelaki, kalau kau masih berguru di punggung gunung
seharusnya ada hujan yang kau kirim ke kota
sebagai penanda aku tak kehilangan angan

mantelmu masih tergantung di balik pintu

lelaki, cecabang ketapang di halaman kian rimbun
di kamarku, sekarat dan tangis menjadi serumpun

dan di depan cermin, usai bersolek di sore hari
aku kerap berbincang sendiri

“untuk tahu tajam kelokan
dan berapa lama sampai tujuan
kenapa melulu aku yang ditinggalkan?”

2005


Improvisasi Hamlet

apakah benar aku Hamlet yang gagal mewujud gila?

mungkin ayah harus membisikkan
mengapa suara mikrofon mesti berakhir
tanpa ada satu daun pun jatuh tersihir

lihatlah, mendadak harus kuciptakan prasangka
kepada lumpur yang menempel di kaca
ataupun pada wajah-wajah
terbelah

ah, mengapa ibu memecahkan rahasia cuaca
bagi pemabuk yang gemar sekali berpesta

sungguh, ingin kubiarkan saja luka
merupa sebuah tanda
lalu menggunting wajah ibu
dalam foto keluarga

2003


Rumah Ziarah

ia pernah sangsi mengetuk pitnu rumahmu
mencari anak kunci pada kisi-kisi
sementara gerimis jatuh dengan rapuh

“beberapa ratus tahun yang lalu, aku mengirimmu surat
dan foto-foto saat aku piknik di bibir Eufrat”

sejak kapan ia mengeluh tentang amnesia
yang membuatnya kerap alpa mematikan air wastafel
atau menyapu tumpahan saus di kerah mantel?

mungkin ia ingin kausapa
sekadar memberikan sehelai tisu
lalu berbicara tentang sungai di badan kota
juga tentang mumi yang gemar membunuh anak lelaki

“beberapa ratus tahun yang lalu, aku mengirimmu surat
dan foto-foto saat aku piknik di bibir Eufrat”

sungguh, sehimpun perjalanan
hanya akan mengantarnya
pada rumahnya yang lucu
bebatang lampu penjor, patung rusa betina
dan dedaun melur tua,
yang membuatmu rajin menghitung gugurannya

maka, suruh saja ia masuk
cuaca di luar membuatnya lengkap oleh mabuk

2003


Lelaki dan Ikan (B)

LELAKI :       Berangkatlah, di daratan aku pernah punya
rumah tapi setiap pergi aku selalu bertanya
ke mana mesti kembali. Setiap pagi. Berjanji
dengan Ibu sesudah menyeduh kopi, meski sadar
di perjalanan akan sasar. Kau yakin riwayat tak
perlu dirawat?
IKAN :            Ketika lahir, sejauh selat langsung kusisir.
Mengabaikan amar agar tidak ke pinggir. “Sangat
jahat perangai pukat dan jala” kata Ibu
LELAKI :       Tapi kenapa aku yang terjerat hasrat? Tumbuh
sebagai lelaki subur dengan keinginan dan
kenangan.
IKAN :            Laut hanya menunggu tubuhmu.
LELAKI :       Peta buta, bunga kamboja, kalung dari bekas
kekasih, juga pewarna kuku yang membuatku
ragu menempuh waktu. Aku selalu tak sempat
menghimpun kemungkinan. Apakah laut kenal
kemarau?
IKAN :            Jangan gelisah tentang musim. Badai hanyalah
pikiranmu yang masai dan karam merupa
penyesalan, ditabrak ketakutan. Kau pandai
berenang?
LELAKI :       Sejak lahir aku selalu kuyup. Lalu pernah hanyut
pada kesedihan kecil sampai gerimis datang
membuat lengkap rembang petang. Sesudahnya
aku pasti mengigau. Adakah yang sia-sia dari
peristiwa? Hujan semakin ramai, di halaman
basah pula rumpun serai.
IKAN :            Juga laut, tak suka bila kau mengiba karena
cuaca. Bukankah matahari dan hujan memang
harus ada agar kau terhibur dengan cahaya atau
kecipaknya?
LELAKI :       Berangkatlah, supaya laut mengajariku silsilah
asmara: Kerang yang kepayang, liuk alga meronta.
Dan aku pun tak mesti durhaka pada sesuatu
yang (mungkin) sia-sia.

2005


Tentang Jimmy Maruli Alfian
Jimmy Maruli Alfian lahir di Teluk Betung, 3 Maret 1980. Alumnus Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung. Menulis puisi, esai, tinjauan buku yang dipublikasikan di berbagai media. Pernah menerima Anugerah Pena Kencana kategori puisi (2008). Sehari-hari berteater di Konunitas Berkat Yakin, Lampung.


Catatan Lain
Di sampul belakang buku, ada 5 komentar, yaitu dari Arif Bagus Prasetya, Dorothea Rosa Herliany, Hasif Amini, Joko Pinurbo dan Koran Tempo, 23 Juni 2003. Kata Hasif Amini: “Memadukan unsur dramatik dan lirik, sajak-sajak Jimmy Maruli Alfian kadang terasa sebagai sebidang panggung berwarna-warni berisi suara-suara (riang, sayu, lirih, lucu, gasang, getir, gila…)” Kata Arif Bagus Prasetya: ”Puisi-puisi Jimmy mengandung paradoks yang menarik. Di satu sisi, ada obsesi sangat kuat kepada dialog, momen komunikatif untuk memahami dan dipahami. Di sisi lain, kerimbunan imaji dan ritme puisi cenderung menciptakan efek makna yang mendistorsi bahkan memblokir jalur komunikasi. Secara ironis, dialog puitik justru melahirkan lubang hitam komunikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar