Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Dongeng-dongeng Tua
Penulis : Iyut Fitra
Cetakan : I, Januari 2009
Penerbit : AKAR Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : 138 halaman (70 judul puisi)
ISBN
: 978-979-19004-3-0
Supervisi
: Joni Ariadinata
Penyunting
: Raudal Tanjung Banua
Setting
: Adi Samawa
Desain
cover : Nur Wahida Idris
Gambar
cover : diolah dari lukisan “Yang Abadi”, (145x160), acrilik, 2007 dan
Instalasi “lets come here to comfortable”, 2007 karya Dalbo Swarimbawa
“sungguah cilako jalan basimpang/awak sairiang dipisahkannyo”
(Sajak Palayaran, Iyut Fitra)
Beberapa pilihan puisi Iyut
Fitra dalam Dongeng-dongeng
Tua
Yang
Berjalan ke Dalam Kelam
kelak,
bila suaraku tak lagi kau dengar
di
rabun malam. di jalan-jalan sebelum menempuh kota
hanya
kan terlihat para pengemis kecil meringkuk. meminta
bulan
jatuh
atau
bintang
untuk
selimut dari takdir yang gigil
dan
aku, adalah penyair gagal membaca peta negeri ini
atau
bila puisi-puisiku tak lagi menggetarkan jiwamu
karena
sepanjang waktu kau lewati. hanya lagu-lagu muram
senandung
bocah kehilangan angan. kehilangan rumah
dan
harapan
tergadai
dalam rusuh dan keruh
maka
kata-kata
adalah
serpih sesia teronggok di pinggir jalan
saat
kesepian saja bisa kau baca
mungkin
aku. atau syair-syairku tengah berjalan
ke
dalam kelam
Payakumbuh,
2006
Si
Bincik
selepas
lebuh lurus
di
gerbang kota setelah bukit-bukit
padi-padi
menguning
angin
berdesauan lembut
dan
orang-orang berpantun air jernih
dan
ikannya yang jinak
di
sanalah payakumbuh
nagari
gadis-gadis bercanda di tepian
bujang-bujang
bersimbur sepanjang pematang
maka
tataplah!
jauh
ke lereng ngalau
goa-goa
pun terhampar sebagai kisah
si
bincik
yang
didendangkan di tubuh batu menangis
+ palung waktu.
bila ada alasan untuk menunggu
adalah bau ranjang
kanak-kanak. kelambu yang bergabuk
pulangkan ia ke
kubangan…
– kurasakan
desirnya
hulu yang
hanyut. di taeh sampelong dilantunkan
rindukah menikam
rantauku
+ palung waktu.
di ngalau helat kusiapkan
pengantin yang
akan pulang. adakah ia telah dewasa?
– siapakah itu
yang menyayat nadi dalam hari
ayo siapkan,
biar kupacu kudaku
maka
berpaculah pagi siang dan malam
seorang
ksatria dengan tujuh dubalang lesat membelah rimba
si
bincik pulang ke tandus rindu. bukit, gunung dan lekuk
ke
desa lembah ibunya yang tua
canang
dipukul siang
gemanya
sampai ke rabu sepi. orang-orang pun berkumpul
di
antara lelalang
tua-tua
membesarkan mata
gadis-gadis
melepas rambutnya. matahari gagah
si
bincik di atas kuda
tujuh
dubalang dengan pakaian kebesaran. dan angin pun
bersimpuh
+ palung waktu.
telah kujerat napasnya
bau itu kini
telah dewasa
anakku,
merapatlah ke tubuhku!
angin
menggeliat pelan. si bincik muram
hamparan
sepanjang pemandangan tiba-tiba baginya kelam
– tujuh malam di
perjalanan dengan tujuh dubalang
berpakaian
kebesaran
tak pernah
kukira mimpi seburuk ini
orang tua, aku
si bincik dengan seribu mahkota!
angin
yang bersimpuh, pelan-pelan naik, dan hitam
pelan-pelan
+ demi tangis
kecil yang tak kulupa
demi helat
kusiapkan
mendekatlah anak
yang besar berkalang lengan
kasih tak pernah
lerai di tubuhku
sebentar lagi
serunai melengking mengiringi perkawinan
– adakah lembah
yang telah salah. atau angin berubah arah
enyahlah orang
tua, sebelum kudaku meringkik menerjang langit
+ anakku,
suaramu masih kusimpan
tidakkah kau
rindu gadis dulu di tepian?
– enyahlah
perempuan bansaik
atau kudaku kan
menjilat kulitmu yang busuk
malin
kundang! malin kundang! serupa kisah yang berulang
orang-orang
berlarian meninggalkan lelalang
tua-tua
ternganga
gadis-gadis
mengikat rambutnya
angin
telah sempurna naik. hitamnya sempurna
melukis
langit dengan legenda yang murung
si
bincik dengan tujuh dubalang berpakaian kebesaran
meludahi
tanah. melajang bukit
debunya
turun ke lembah
dan
cucur airmata jadi doa
+ tuhan, rinduku
telah membatu. penungguanku membatu
maka batukanlah
semua. sekalipun itu anakku!
angin
seketika mungkin tak ada. hanya hitam saja
serta
langit berubah kelabu dan asin
helat
yang tak jadi
si
bincik berteriak di atas kuda
bersisian
bayang dengan kursi pengantin, payung
dan
pelaminan
tak
jauh di antaranya, sang ibu pun membatukan diri
dalam
doa
berapa
kutuk harus diturunkan
sebelum
sejarah
Payakumbuh,
2007
Si
Bincik: sebuah legenda dari Kota Payakumbuh Sumatera Barat
Sirompak
Taeh
sudahkah
pukul dua belas malam?
yang
tidur akan dibangunkan
maka
laki-laki bergalembong hitam. matanya dingin
melihat
jauh ke batas langit. dan suaranya pun berkuai
oi,
ketiding rago-ragoan
ragoan
setentang sudut dapur
kepinding
tolong bangunkan. setentang nan kandung tidur
benang
pun berpilin-pilin. gasing di kakinya berputar
pongangnya
memecah malam. menembus gunung bungsu
adakah
yang melintas?
dialah gadis
pekan
selimut putih
terjela di tepi ranjang
angin menyusup.
menggelitik dinding yang berdetak
siapa gerangan
yang mengirim aroma kembang tengah malam
gasing
kian meninggi. lengkingnya merompak dusun
kisah
seorang pangeran yang disembilu hatinya
menabung
cinta purba
berlari
meninggalkan pekan. rampai, menyan dan kain putih
lalu
bertaruh dalam kemarahan
oi,
ketiding rago-ragoan
ragoan
setentang sudut dapur
kepinding
tolong bangunkan. setentang nan kandung tidur
bertempurlah.
taruhkan rasa ngilu sampai ke ujungnya
penawar
kan datang membuka pintu. menyelusup dinding
wahai,
ini tengkorak pendekar ilmu hitam
bila
meludah ia datang. mari bercinta di bawah bulan
gadis pekan
rambut sepinggang
pelan-pelan
mulai bernyanyi dan menari
jendela yang
terbuka sebelah. langit-langit warna ungu
dikenakannya
baju paling merah, gincunya basah
siapa engkau
pemuja?
ketuklah pintu,
jemput aku!
gasing
genting makrifat sebentar cukup syarat
saluang
digelitik segala lubang
dendang
berayun
oi,
ketiding rago-ragoan
ragoan
setentang sudut dapur
kepinding
tolong bangunkan. setentang nan kandung tidur
maka
malam semakin cepat. pangeran menggigil dan berkeringat
putus!
putus! gasing terpelanting
dan
tunggulah orang-orang terbangun mendengar lintas
langkah
gegas
mengintip
bilik-bilik perempuan
pintu terbuka di
rumah gadis pekan
bersama lesat
angin dituju aroma kembang tengah malam
dibawanya
jantung, hati dan diri; ambillah!
dan
di gunung bungsu, embun segera turun
Payakumbuh,
2008
Sirompak
Taeh: sebuah kesenian musik dari Negeri Taeh Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera
Barat
Taman
Itu Tak Pernah Ada
bertahun
telah kuciumi kesedihanmu
serekah
warna mawar, senantiasa aku bagai bocah dusun
cemas
kehilangan
capung-capung,
hari lepas tak tertangkap, menjadi cakrawala
setiap
pagi dan senja engkau tangiskan derita
berharap
aku akan membangun taman, dan menyelipkan
sehelai
kasih di rambutmu
“senyum
kunang-kunang dulu bernyanyi tentang gerimis,
masihkah
engkau menyimpannya?”
tetapi
jejak demi jejak retak
kau
pernah membiarkanku jatuh di ujung gamang bayang
sejarah
memang makin tua, matahari ringkih
dan
sisa geliat serta pakaianmu yang tertinggal
telah
kulipat ke dalam subuh yang lamban, hanyut ditelan bulan
“setiap
hari ciuman kutinggalkan di sini, kini kujemput ia
sebagai
cermin!”
tapi
taman itu tak pernah ada
dan
waktu terlanjur memahatku jadi batu
Payakumbuh
Untuk
Apa Lagi Membicarakan Alamat
kami
berdiri di sini
telah
lama
jiwa-jiwa
yang goyah. bumi rapuh
tak
ada detik atau menit yang tak berguncang
angin
memiuh malam. dalam tarian gelisah burung gagak
dalam
doa tersandar. buhul cemas-cemas ketakutan
gelombang.
gelombang. awan memasuki kota-kota seiring airmata
pancang-pancang
pengungsian
dan
barisan zikir
kehilangan
untuk
apa lagi membicarakan alamat
setiap
saat kami telah siap untuk pergi
jenjang,
stasiun, terminal, pamitlah pada pelabuhan
di
hitungan waktu gegas siapa pun tak akan pernah sempat
menutup
atau membuka pintu
titipkan
saja cinta di rumah-rumah tak berhuni
jangan
pernah membangun rindu
untuk
menjemputnya
kami
berdiri di sini
telah
lama
sesungguhnya
hanya barisan jiwa menunggu
setiap
saat burung gagak melintas di depan rumah kami
Payakumbuh,
September 2007
Negeri
Kita, Kekasih Kita
(ke kubangan, ke
kubangan jua bangau-bangau itu
pulang.
bercerita matahari atau kisah tak sudah-sudah)
jika
kabut telah turun. hari yang tak hijau
maka
marilah memulai kembali. dari nadir
dari
perca waktu dan sejarah yang tak sempat diyakini.
kuucapkan
jua
padamu
ini
negeri kita – segerombolan kata
kata
merunjang matahari. sebab hari pecah-pecah mimpi
dari
segala hanya
ya,
amelia. ya, kekasih dari penyair gelisah dan tua
mendekatlah
dengan sebutir hujan di tempayan. lelehkan
di
jalan-jalan
sebelum
ban-ban dibakar, kampus-kampus dimasuki
dan
kursi-kursi dipatahkan
gumamkan
puisi singkat tentang malam kita tak sempat
atau
laut resah
atau
sobekan-sobekan pakaian ibu yang tercecer sepanjang
pengungsian
bukankah
bangau-bangau itu
burung-burung
tua pulang ke sarang
masih
isyaratkan daun-daun. sekelompok senja pun zikir embun
ya,
amelia katakanlah. ya, kekasih katakan cinta seumur usia
biar
kuhitung garis bibirmu dengan lelarik pedih
agar
perang menjadi lengang. agar badai-badai usai
senyummu
kini ranah berubah merah. orang-orang menjalin
airmata
sebagai keranda
lidah
kematian
yang
dijinjing kanak-kanak ke sekolah
biar
pula kugambar dadamu dengan peta-peta hilang. sudut
kasih
tergadai
kerena
orang-orang telanjang berkejar doa
untuk
menjadi nabi. malaikat
atau
tuhan untuk tahta. sedang kita masih menimba-nimba pagi
(ke kubangan, ke
kubangan jua bangau-bangau itu
pulang.
bercerita matahari atau kisah tak sudah…)
maka
jika kabut telah turun. kendati hari tak lagi hijau
kukatakan
jua padamu tentang cinta
ini
negeri kita!
Payakumbuh,
Agustus 2006
Biarkan
Kesedihan Itu
biarkan
kesedihan itu saja, kekasih
yang
menghamparkan kelam perjalanan
sebab
cinta tak cukup sempat membuatku dewasa
dan
negeri ini, adalah nyanyian-nyanyian kita
yang
terkunci
Jakarta
Merah
Putih Genting
–
100 tahun bung hatta
(seratus lilin
seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren
bung, inilah
kisah tentang ranah)
setapak
tepian yang tertinggal, lembah lembab
barangkali
angin pun masih setia, di sana dulu segala kau pesankan
tuah
dan petitih, biduk dengan pendayung, sepancang tonggak
hingga
geliat kibar bendera
maka
di selaksa jejer pulau melati pun harumlah
lalu
di setiap kolam-kolam teratai pun kembanglah
harumlah,
kembanglah
indonesia,
napas yang terpancang. menderap gegas memburu
arah
baru
dan
kau berdiri tepat di sisinya
meminang
jejak sejarah, memainkan lagu waktu yang tak tersimak
sampai
akhirnya kereta itu datang juga; ke digul, ke digul!
ke
tempat di mana sepi ternyata tak berkutik
selain
sesungging senyum, segelas teh panas dan kacang goreng
selebihnya
mungkin jejak panjang tentang cinta yang hilang
waktu
yang tak bertekuk
musim
terus tua
begitu
segala tampak lelah dalam perguliran
berapa
kali kata terbingkai. berapa suluh yang telah menyala
dan
negeri itu kini serupa tersia
kota-kota
melumut
benang-benang
merah putih genting dari ujung ke ujung
mengusuti
hari-hari debu. hari-hari penuh mesiu
“mengapa
retak juga akhirnya cinta ini?
mengapa
belah juga gemburnya tanah ini?”
di
tanah kusir, tanah yang kau minta sendiri
mungkin
kau dengar keluh orang-orang di jalan
di
ranjang
di
meja makan atau di tiang-tiang bendera yang tak kokoh
betapa
perjalanan setelah tahun-tahun kesunyian
tampak
seperti langkah-langkah luka
dan
tua
karena
di tiap tapal orang-orang berlomba mencuri demi nasib
sendiri-sendiri
dan
kau di sana, adakah tengah menangis, atau sedang
belajar
dansa
(seratus lilin
seperti tak redup. seratus tahun serasa kemaren
ah, bung.
istirahat sajalah!)
Payakumbuh
Sajak
Senja
kumasuki
lembah itu. cuaca tak lagi berteguran
senja
adalah perpisahan paling gawat
kita
saling berpinjam waktu. dalam tahun-tahun kelabu
kau
dengar langkah kanak-kanak di kaki bukit itu. daun-daun kering
di
tangannya. legenda puti sari banilai di puncak harau ditarikan
pangeran,
tambatkan kapalmu ke tepi. sebentar lagi malam
di
sini berduri tabuh yang serupa hantu-hantu
sipongang
dari dinding lengang, uir-uir. senja kan melipat
menajam
galau
lama
kusetubuhi waktu di rentang harimu
peluk
yang bertukaran jemari
tak
sedikit cerita menabung airmata; aku mencintai senja
rembang
itu melemparku ke awang-awang. di langit kelelawar
bergerombolan
bukankah
hidup untuk saling meninggalkan?
kumasuki
lembah itu. baumu terasa lengkap
kayu-kayu
basah. anak sungai mengalir ke hilir
lihat,
kapalku lepas. gelombang menampar tapi tunggulah
di
pelabuhan
aku
pernah mendekap lama. sampai musim tanggal
luruh
dari kalender. di kaki bukit itu kanak-kanak terus bertarian
dalam
legenda
senja,
adalah kesepian paling sempurna
Payakumbuh,
2007
Lelaki
di Jendela
ada
lelaki setengah tua tertegun di jendela
tatapannya
lumpuh, angin menyapu gurat nan gelisah
di
setiap jengkal pandang hanya degup jantung berkisah kesiaan
dan
ia meludahi hari, tapi hari menyambutnya dengan nyanyian
karang
terjal tepi laut yang tak mengeluh dihempas gelombang
dan
ombak pasang adalah lelaki
batu-batu
ditimpa air terjun lembah senyap sepanjang musim
adalah
lelaki
bebutir
pasir disengat terik matahari gurun adalah lelaki
trotoar
penuh lubang dipercik air sehabis hujan lebat adalah lelaki
sebuah
kereta tua yang mengulangi stasiun adalah lelaki
lelaki
setengah tua tersenyum
meninggalkan
jendela
ingin
menjambak matahari
Payakumbuh,
Februari 2005
Lagu
Pagi yang Aneh (4)
sebait
saja, kirimkan aku lagu tentang cinta
karena
takut kuhadapi hari-hari, yang selalu
beranjak
gelisah, bahkan terkadang tanpa kopi
lalu
nyanyikanlah, setulus cintaku pada negeri ini
meski
kemakmurannya tak henti-henti menikamku
sebait
saja, kirim aku lagu tentang cinta
Padang
Bunga
Puti Lembayung
bunda,
bagi anak-anak yang akan lahir dari rahim waktu
aku
telah menyusun rakit, bila badai itu datang
cepat
panaskan pagi hari kita, hingga kenangan bukan
sejarah
kepahitan demi kepahitan
bunda,
lihatlah langit meminang matahari
saat
aku menyentuh hari berkabut, hujankah yang turun
hingga
aku teramat rindu pada kanak-kanak itu
dan
lanjutkanlah dongeng-dongeng yang tak usai
sepanjang
perjalanan
Payakumbuh
Bila
Malam tak Tidur
tangis
bayi
desau
daun-daun
mata-mata
terpaku menatap waktu
larut telah
jatuh. belum juakah kau rebahkan tubuh?
dan
murung uir-uir. sebelum tatih langkah. kau pernah bertanya,
di
bukit sebelah mana kita akan bicara soal rindu?
kau
tak berkata tentang diam. tapi kering memanjang.
tungkainya
jadi tiang pucat yang menyapamu
sebagai
gundah; selalu kupuja gerimis. dan dirimu
yang
berjalan tengah malam
di
bawah gelap dan laron-laron, ada yang berkata
siapakah
itu yang terjerembab dalam kabut
ah,
di rahimku musim telah tua. gerombolan kanak-kanak sungai
hanya
segambar langit yang rapuh.
meski
bersenja-senja kutunggu engkau di sana
mengantarkan
kisah tentang dusun. ibu tua yang kesepian
menanti
bujang-bujang hanyut di rantau
inilah
riwayat malam. seorang kekasih yang dingin
dalam
gigil ngalau dan harau ia sulam beragam pantun
tapi
sapanya lengang. lingkarang gelanggang hilang tarian
suluh-suluh
padam. hanya sisa ratok yang berlantunan
di
lahir sulit bertemu
di
batin tolong tumpangkan
larut telah
jatuh. belum juakah kau rebahkan tubuh?
engkau
memang tak bercerita tentang penungguan. sudut tepian
yang
merentangkan gelisah ketika tidur menahun tangis
namun
gerimis itu turun ketika malam
jatuh
ke tanah yang kau jengkal dari mimpi-mimpi tua
aku
rindukan ada yang singgah
menggoyang
ranjang. atau menyingkap hasrat yang pualam
di
sini gemetar akan berbisik kepadamu. wahai, masuklah!
lantunkan
nyanyian di bawah bulan. tentang rama-rama putih
yang
lincah. akulah kekasih yang dingin!
dan
kita telah berdiri di bukit itu meski tak bicara soal rindu
kering
terus memanjang
kau
lihat pimping berpatahan. ilalang mersik
kita
tetap saja tak berkata-kata
larut telah
jatuh. belum juakah kau rebahkan tubuh?
tangis
bayi
desau
daun-daun
mata-mata
terpaku menatap waktu
Payakumbuh,
2008
Lelaki
Jalan
ke
jalan, anakku. lelakilah yang mengukur simpang-simpang
dalam
bola kabut. atau neraka yang terpancar dari kerusuhan
teruskan
sangarnya matahari. seperti waktu yang selalu
kita
debatkan bagi kampung halaman. serta rakit yang
mengarungi
rantau-rantau. maka teruskan mencari
meski
kau akan banyak kehilangan. ketika malam jatuh
atau
saat para pemabuk terbuai. ukurlah hidup
baru
selingkar mana?
ke
jalan, anakku. bagi lelaki tak ada takdir di kamar ini
selain
bayangan langit-langit. mimpi berkepanjangan
jangan
deritakan duka yang jauh. karena saatnya
orang-orang
akan diusir dalam perpisahan. tentu bagi hidup
maka
berangkatlah! sekeras-keras tangis kematian
seperti
bayi-bayi lepas dari gendongan. sampai kau ketagihan
menjilat
airmata. dan kokoh sebagai pengembara
Payakumbuh
Dongeng-dongeng
Tua
–
laila
sebagaimana
orang-orang datang. aku di sana
seorang
pengembara tersesat. petualang tua di gurun, mengejar
arah
matahari
dan
pintumu terbuka ketika aku dahaga. singgahlah, ini
negeriku,
sebuah padang penuh
kembang.
taman-taman kesepian terhampar di laman, gaunku
menjuntai
di tepinya
bila
belum sempat malam. saat senja digelisahkan. sebatang
lilin
nyala
seduhlah
sedikit cahaya kupunya
demikianlah
aku singgah. sebelum magrib terkurung suara
adzan.
dan surau tua itu
ada
di hadapan kita. kuulurkan tangan atas nama perjalanan
dan
kau menyambutnya sebagai seorang peladang yang ingin
bertanam
bila
kau punya benih, telah kubuka lelahan sebelum hutan-
hutan
dikalahkan,
katamu
menutup pintu
kelambu
ungu. malam merah jambu, kita tulis cita-cita di atas
harapan-harapan
kita
punya.
lihat, bulan sedang tersenyum, katamu malu
lagu
negeri itu selesai juga di ranjang malam kita. sebuah kesaksian
dalam
rintih tertahan kau ceritakan orang-orang yang datang.
membawa
kesakitan
gerombolan
pencinta yang kasar itu. mereka menyetubuhi
negeriku
dengan
nafsu
serupa batu. hanya sebongkah darah. lumuran luka
tertinggal
tak terjahit cecer
sepanjang
jenjang. bagai pagar-pagar rumput. tinggi
melebihi
gonjong
dan
tak satu pun yang kembali ketika bayi-bayi dewasa
dalam
rerusuh hari
lalu
engkau menangis
mungkin
ini airmataku yang terakhir. bila kau ingin
menyulamnya,
bingkailah sebelum
subuh.
anjungkah ia dekat jendela, agar menjadi cermin bagi
anak-anak
kita
aku
tak mengerti
negeri
seperti apa yang tengah kau ceritakan. apakah hanya
sedusun
silang sengketa
atau
perahu dua warna yang pernah kupuja
kemudian
kau kenakan gaun yang tanggal. ujungnya kau
usapkan
ke ujung letihku
matamu
hambar. berharap aku tak akan pergi
dan
akan selalu bernyanyi
beginilah
negeriku. bila kau lepaskan cinta dengan terpaksa,
pergilah
sebelum pagi
tapi
bila warna ungu yang kau bawa adalah rindu
yang
lama kutunggu
biarkan
kuteruskan dongeng-dongeng dusta
tentang
orang-orang datang. orang-orang membawa kesakitan
hanya
orang-orang penuh nafsu merabai tubuhku
tapi
tak mengerti makna rindu
rebahlah
harumku
akan menidurkan gelisahmu. perjalanan panjang,
tapi
di sini malam tak kan
berakhir.
di pangkuanku kau akan bermimpi tentang negeri
penuh
peri
sebuah
laman penuh taman. tempat kau berharap sebuah surga
dan
sebelum hasrat sudah, aku meminangmu. aku mencintai
juntai
rambutmu tergerai
seperti
sungai-sungai. aku mencintai sejumput warna redup
dari
hidupmu, kekasih
bila
hari telah pagi, bila aku harus pergi, tapi aku akan kembali
akan
kukisahkan pada semua pengembara. para pejalan di
gurun-gurun
bahwa
negeri yang pernah kusinggahi adalah negeri yang kucintai
tempat
seorang perempuan rebah pasrah
menunggu
dalam rindu
akan
kedamaian yang dicumbu tanpa nafsu
akan
kukisahkan,
kekasih!
–
musim kematian bunga
I
di
langit. irama itu terus bertukar
dua
musim lagi berkayuh. dayung-dayung melompat dari matamu
sebuah
negeri kita ciptakan dari mata terpejam. dari tiada
sampai
membentuk mendung melahirkan hujan deras. ritual
para
gerimis
membentuk
tapal dan ikrar-ikrar. pelarian-pelarian
orang
hilang jalan
tentang
bebiji apel. tentang dedaun arbei
suara
angin. ketakutan yang kau pesankan
kamar
hotel serta darah yang tertumpah
sebelum
segala pulang pada tiada. ia bertahta
sebagai
pengkhianatan
dari
sebuah bingkai kayu. tiba-tiba potretmu jatuh
di
sana. kusaksikan malam tak bersinar
mungkin
tak ada yang mencatat. bulan itu mei
atau
juni dua tahun setelahnya. tapi di bulan-bulan dan tahun
yang
tak lagi tertangkap kota-kota masih membara
dalam
gelap. dalam anggur-anggur mabuk
dua
malaikat mematahkan sayapku. dua malaikat lain
menaburkan
lengang. seolah mengantarkan pada kota-kota
yang
pernah kucintai. mereka berdansa
dan
seorang rahib melarikanmu yang setengah telanjang
tapi
mengapa kau pun memeluk kelicikan itu?
“lelaki, telah kita cipta hujan setiap
perjalanan
kini segeralah mereguk badai…”
kudengar
lonceng gereja berdentang keras
angin
menderu-deru. tapi lilin-lilin tak mati
seolah
iringan pendeta tua datang kepadaku
mengatakan
gersangnya sebuah gurun perjalanan
dan
malam. adalah pengantinku yang hilang
“lelaki, dua musim berkayuh
seluruh dayung-dayungku patah!”
II
dalam
bayangan seorang rahib. aku mengintai perjalanan
segera
tergambar sebuah surau tua
tempat
kanak-kanakku mengaji. dan tangisku
adalah
kasihnya. tapi mengapa pisau itu tak jua mau berdamai
“nonera, menyeberanglah pada suatu malam
di sana akan tergambar sunyi seutuhnya!”
dan
aku seperti telah kehilangan roh. dihantam bencana
dibunuh
kejujuran sendiri. lalu menari-nari menyaksikan
kau
berangkat dengan ayunan dulu pernah kita pesankan
“nonera,
ingatkah musim-musim berkayuh
bulan
telah terkapar di atasnya…”
III
“lelaki, bila telah mati, ia akan abadi
jangan tunaskan kebencian!”
IV
“nonera, janji adalah hidup
mati adalah surga
di tengahkah kini kita berada?”
V
“lelaki, yang abadi bukanlah cinta
yang kekal tak pula airmata!”
VI
di
kota-kota itu. kota kita
masih
kudengar berita pembantaian dan jerit kematian dari
orang-orang
bersaudara
menjinjing
napas-napas putus sepanjang jalan seraya
melupakan
iman
mereka
menyebut-nyebut tuhan. benarkah mereka berpesta
untuk
tuhan?
o,
betapa!
VII
segala
kembali melintas. bunga-bunga yang terlanjur mekar
adalah
bunga-bunga yang akan menaburi kuburanku
di
atasnya kau menari. di sebelahnya seorang rahib
berkisah
tentang kesucian. di sebelahnya lagi para malaikat
menabuh
gendang kematianku
februari.
mei. agustus. september. berulang-ulang
waktu
berputar-putar sampai maut itu datang
di
awal juni
“nonera, tataplah hujan itu
seperti ada yang bakal berangkat!”
VIII
“lelaki, dengarlah hujan itu
seperti ada yang akan kehilangan!”
IX
“nonera, itukah kematian?”
X
“ya, kematian!”
XI
di
langit. irama itu tersentak
warna-warna
menghitam. segala menghitam
tak
ada ladang apel ataupun daun-daun arbei
tak
ada kanak-kanak berlarian memburu hujan
selain
seribu bayang janjimu
seorang
rahib
iringan
pendeta tua
malaikat-malaikat
menabuh gendang
kini
berdiri di depanku
di
depan kuburanku!
–
trizia
langit
di negeriku masih tersenyum. aku belum mati!
kemudian
kita berjumpa di pengungsian. berjabat erat dalam
cerita-cerita
nan derita
tanpa
lampu. tanpa rumah. kita bersikejar kekunang
sebelum
gelap
ada
satu tertangkap dalam dekap. ada satu lepas ke alam
bebas.
dan malam penyaksi
upacara
kita yang sederhana. begitu tiba-tiba kita meraba dada
ada
degup tiba-tiba
maka
kusebutlah engkau querida. sehamparan
kasih terserak
seorang
kekasih yang lahir dari perih
tidak,
aku ingin jadi pelangi di tiap senja kita punya, katamu
merebut
jantungku
di
kesunyian tanpa peta kita hitung orang-orang yang hilang
dalam
pelarian
betapa
tak terhingga, teriakmu
dan
akan masih banyak lagi, jawabku
maka
sebagai lelaki kusandarkan engkau di bahuku. tidurlah
wahai
peri kecilku!
sejenak
mari bercerita tentang cinta. kan kunyanyikan sebait
kupu-kupu
yang lucu
dendang
timang-timang yang lengang. atau burung-burung
rendah
di tepi sawah
bila
perang itu kembali diletuskan, ketika pagi kita belum selesai
dalam
airmata basah tentu kita akan berpisah
kerena
setiap jengkal dari tanah yang kita pijak jadi retak
orang-orang
merengkahnya dengan senyum. dan puisi
yang
pernah kutitipkan
hanya
jadi ranjang di pengungsian yang lain
simpanlah
pertemuan. akan kita lunaskan bila negeri ini telah
menemu
matahari
dan
kita bertemu jua di musim berikutnya. rambutmu
masih
panjang
pita
ungu itu masih ada. luka itu masih sisa
bacakan
kembali buatku puisi-puisi, karena sepi di sini lebih
nyeri
dari duri
tidak
kau surukkan bibir ketika aku mencuri harum kekanak.
sebasah
rintih
menggeliat
dari tubuhmu yang masih aroma dusun. perawan kecil
kucoba
selesaikan peta-peta hilang. dengan tangan gemetar
warna-warna
kian jelas
di
dadamu
sepasang
impian yang lama kita pesan
ambillah
bila memang kau akan berumah di sini. di negeri ini
tempat
kumbang-kumbang dan kembang-kembang akan
berdekapan
sepanjang sore. memesan bulan
tapi
berangkatlah bila kesementaraan kau punya hanya
di
sini sumur-sumur telah kering. hitam hutan hangus
aku
tak ingin kehilangan napas yang kau rampas. bila hasrat
selesai
di tepi letih
kuminta
kembali apa saja yang pernah kau cium dari tubuh ini
jangan
pernah berkhianat, kekasih!
dan
kupeluk engkau. kupeluk jalan-jalan sepanjang senja
pengamen-pengamen
kecil
pengemis-pengemis
tua
berjuta
asa bergolek-hampar di trotoar. dan kubisikkan
padamu
gelisah itu
aku
mencintaimu, kekasih. sebagaimana aku mencintai negeriku
dan
kau pun membingkai
dengan
senyum
yang
damai
bulan
tanggal. tahun mana yang tak akan tua
hutan-hutan
itu pun kalah. di pengungsian. di perlarian orang-
orang
menciptakan lagu bangsa
rumah
yang tak ada. damai yang sengsara. lalu airmata mereka
jahit
sebagai bendera
berkibarlah!
berkibarlah
engkau wahai gelombang dari harapan-harapan
dan
impian
tiangmu
adalah kapal-kapal yang akan melayarkan dua ratus
juta
lebih ke arah barat
di
mana matahari samar
dan
mereka tak pernah lagi menunggu
aku
di sini, kekasih. aku di sini. kudengar suaramu
mengambang
di cakrawala
serupa
layang-layang lepas benang. meliuk dengan angin berpeluk
menuju
jauh
maka
dengarlah pantun-pantun pun berlantun. menerawang
di
awang-awang
ondeh bulan
dimalah bintang, etan di pucuak limau manih
sikoko tunggang
ureknyo, pandan di jawo dirabahan
lah sabulan
dibalah pinang, lah sataun lalok jo tangih
den sangko adiak
kamaubek, nyawo jo badan den sarahan
kasih
telah sampai. melupa kemarau. sebagaimana puisi telah
jadi
sajadah di rumput-rumput lecah
kita
saling menyandarkan janji membeli cincin perkawinan
setelah
perang henti
lingkarkan
cinta itu di jariku, bila kelak kita berumah
mari
teruskan nyanyian tentang negeri yang ramah
betapa
sumringah. betapa pelarian-pelarian pengungsian tetiba
terasa
jalan surga
derita
menjelma romansa pertemuan adam dan hawa
alismu
kukecup berulang
dadamu
kulukis setiap petang
inilah
negeri itu. sebuah mimpi yang pernah tergadai. kini
datang
bagai mempelai
tapi
kota-kota meledak lagi. hutan itu kalah kembali
betapa
pilu. betapa ngilu. perpisahan! jeritmu melarikan
puisi-puisi
baruku yang tak
keburu.
sisanya kudiang ditungku-tungku
sendiriku
negeri
ini, ah, aku mencintaimu. aku mencintaimu!
–
amelia
kujalani
sendiri di resah detik-detik tak bermusik. kembali aku
pengembara
melintasi
dusun-dusun, lepau dan kisar musim
kadang
matahari terpanggang di sepanjang bayang. kadang
rembulan
berkeping di ujung ranting
aku
mencatatnya sebagai langkah yang kalah. sketsa peta-peta
tak
selesai
mungkin
derita yang indah
kemudian
kudengar jua suara, di sisa gerimis, di ujung senja
murung.
masuklah!
di
luar sengketa belum lerai. lukamu menyungai sampai
ke
pintuku
akan
kubuatkan secangkir teh hangat, sepotong roti, atau
dongeng-dongeng
tua tentang
mesjid
dan gereja yang terbakar
bila
cemasmu kering, kutemani engkau mencari kampung-
kampung
yang hilang
bolehkah
kuusap perihmu?
kuingat
seorang perempuan bergaun biru masa lalu. bibirnya
ranum
apel belah
senyumnya
serupa ibuku sedang bernyanyi. engkaukah itu?
adakah
pintu selalu terbuka untukku?
alangkah
banyak yang akan kukisahkan. di medan-medan
pergolakan.
di sepanjang hari
nyeri
tak henti. mungkin kau bisa membungkusnya
untuk
nostalgia. sejarah. atau nama jalan sebelum sampai
ke
ruang tamu
catatlah.
sebab bila waktu tiba, kita akan berangkat pada arah
yang
berbeda
sebuah
kesunyian yang tak pernah kita impikan
dan
selalu
lelaki
dan perempuan berpadu dalam gelora palsu
menuangkan
cinta sementara. sebelum pergi meninggalkan
kota-kota
bila
kau pun harus pergi, akan selalu kudengar sesuara. karena
telah
kutulis pertemuan singkat di setiap gerimis. meski kita
tak
akan saling menunggu
atau
jejak kita sesungguhnya tak ada bekas. tapi marilah
bernyanyi
bila senja
jadi
murung. ceritakan pada kanak-kanak
bahwa
di negeri ini, pada sebuah musim. ada kedamaian
pernah
dianjungkan
bila
kini segala tak ada
barangkali
karena orang-orang tak lagi memupuk getar cinta
telah
kukisahkan, kekasih!
betapa
cintaku tumbuh di negeri ini. saat kita berbagi gumam
selamat
jalan
meneruskan
pelarian-pelarian ke dalam pengungsian. akhirnya
tak
akan pernah kusesali mati di negeri
yang
kucintai
Komunitas
seni INTRO Payakumbuh 2006
* querida
: kekasih dalam bahasa Portugis
** pantun cinta dalam bahasa Minang
Tentang Iyut Fitra
Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera
Barat, 16 Februari 1968. Menggerakkan Kelompok Seni Intro di kota kelahirannya.
Puisi, cerpen, esainya tersebar di berbagai surat kabar, majalah dan puluhan
antologi bersama. Dongeng-dongeng Tua
(2009) adalah kumpulan puisinya yang kedua setelah Musim
Retak (2005).
Catatan
Lain
Di
sampul belakang ada 4 nama yang menghiasai endoresemen, yaitu Melani Budianta,
Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, dan Ivan Adilla. Kata Ivan Adilla: “Sajak-sajak Iyut mengemukakan paradoks dari
kehidupan yang galau; tentang harap dari kehilangan, tentang sepi dalam
keriuhan, kedamaian dalam peperangan serta cinta dan pencarian…”
Oya,
di bagian depan, penyair menulis pengantar yang yang diberinya judul: Salam
Penyair. Ah, itu mengingatkan saya pada judul kumpulan puisi Ragil Suwarna.
Selain mengucapkan terima kasih kepada sejumlah nama, penyair juga menitip
pesan buat puisi-puisinya: – Apakah ia
(maksudnya puisi) akan mengunjungi pembaca atau hanya menjadi bagian yang akan
tersimpan di rak buku, tentu ia punya retak nasib sendiri. Ia telah lahir. Dan
ia akan melayari kehidupan. Saya tak berhak lagi untuk menentukan jalannya.
“Berjuanglah sebagimana ibumu berjuang melahirkanmu. Catatkan dirimu di bumi yang
sempit ini. Jangan meragu. Bila ternyata sia-sia kau sua, bukankah tak ada lagi
yang akan menangis, karena ibumu telah mati!”
–
Tidak ada komentar:
Posting Komentar